"Cinta itu hanya ilusi, dan dendam akan tetap abadi." Bagi Valen, cinta tak lebih dari tipuan yang lemah atau lebih tepatnya sesuatu yang hanya pantas untuk dimanfaatkan. Karena cinta dia kehilangan segalanya, juga karena cinta dendam itu jadi semakin membara, dan kini dengan cinta itu pula dia akan membalaskan segalanya. Perlahan, tapi pasti. Vale mulai menyusup kedalam hati pewaris De Lantonus, salah satu sindikat mavia paling kejam. Merajut cinta yang palsu namun mematikan. Tetapi semakin jauh ia masuk ke dalam permainan ini, semakin ia dihadapkan pada pertanyaan yang tak pernah ia antisipasi Apakah cinta bisa menghancurkan dendam? Ataukah dendam akan merusak setiap jejak cinta yang tersisa di dalam dirinya? Di antara tipu daya, darah, dan pengkhianatan, Valen harus bertaruh segalanya, termasuk hatinya sendiri Pada akhirnya dia akan dihadapkan dengan dua pilihan. Antara melanjutkan balas dendamnya atau jatuh ke dalam perangkap cinta yang ia ciptakan sendiri. Di antara tipu daya, darah, dan pengkhianatan, Valen harus bertaruh segalanya, termasuk hatinya sendiri.
View MoreDorr!!
Dor!! Dor!! “Nyonya Elena! Mau kabur kemana lagi, Anda!” “Serahkan diri Anda! Percuma saja Anda mau lari, kami sudah mengepung setiap sudut hutan ini!” Suara itu menggelegar, memecah kesunyian malam yang mencekam. Tembakan demi tembakan terus terdengar, menghancurkan ketenangan langit malam, mengubahnya menjadi kepulan asap tak karuan. Namun, hal tersebut tak sedikitpun membuat seorang wanita bergaun putih selutut, dengan perut yang sudah membesar untuk terus berlari di bawah kanopi hutan yang gelap, meskipun kini nafasnya terdengar semakin berat, di tengah teriknya malam. “Shit! Akhhh” Sesekali dia mendesah, tatkala tanpa sengaja duri yang tajam menggores kulit putihnya, membuat darah segar mengucur tanpa bisa ditahan, tetapi itu sama sekali tak membunuh tekadnya untuk terus menyelinap di antara semak belukar, dan akar pohon yang menjulur, berusaha keras untuk menghindari peluru yang mengintai dari arah belakang. Suara gemericik daun dan ranting yang patah di bawah kaki, menyatu dengan dentuman tembakan, menciptakan simfoni chaos yang membuatnya semakin cemas. Setiap langkah terasa lebih berat, dan rasa nyeri di perutnya semakin mengganggu saat dia berusaha mencapai tempat perlindungan. Dalam kegelapan, dia hanya bisa berharap bahwa hutan akan menyembunyikannya cukup lama untuk merencanakan langkah selanjutnya. Elena memutuskan untuk beristirahat sejenak, saat tiba-tiba perutnya terasa tidak nyaman, dengan bersandar di pohon yang rindang, dia mengusap perut itu penuh belas kasihan. “Sayang, kamu bertahan ya! Mama akan selalu jaga kamu sampai tetes darah terakhir mama.” Suara tersebut terdengar cukup pilu. “Elena, serahkan anak itu!” Kedua bola mata Elena sontak membola sempurna, urat-urat di tubuhnya terasa menegang, juga jangan lupakan bulu kudungnya yang turut meremang secara bersamaan, tentu saja ia sangat mengenali suara itu meski hanya samar-samar masuk ke dalam gendang telinganya. Dengan susah payah Elena bergegas bangkit, berniat untuk kembali berlari. Naasnya saat baru saja mulai melangkah, kakinya justru salah mengambil pijakan, membuatnya merosot jatuh kedalam jurang. “Argh!” Ellena memekik tanpa bisa ditahan, suara nyaring itu menggema di antara pohon-pohon besar, memecah keheningan hutan. Beruntung, tangan Elena yang gemetar berhasil meraih akar panjang yang menjuntai ke bawah, kulitnya terasa terbakar saat menyentuh permukaan kasar akar tersebut. Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit yang semakin menusuk di perut, Nafasnya terengah, setiap tarikan nafas seperti menyisipkan pecahan kaca ke dalam paru-paru. Dia sadar, jika kram yang kini menjalar di sepanjang tubuhnya bukan lagi sekadar akibat kelelahan, dan dia cukup yakin, jika bayi dalam perutnya kini hampir tiba, mengingat usia kehamilannya sudah memasuki usia yang seharusnya. “Elena! Aku tahu itu kamu! Kamu gak akan bisa sembunyi dariku!” Suara berat penuh amarah ikut membelah udara, terdengar mendekat, dan bergaung di atas kepalanya. Jantung Elena berdegup begitu kencang, seolah siap melompat keluar dari dadanya. Ketika dia mendongak, pandangannya tertuju pada sekumpulan pria berbaju serba hitam yang berdiri di atas tebing, tepat di tempat suara itu berasal. Kegelapan pakaian mereka seakan menyatu dengan bayang-bayang pepohonan, membuat mereka tampak lebih mengancam. Tanpa sadar, Elena membekap mulutnya sendiri, menahan napas agar suara takutnya tak terdengar. Keringat dingin mengalir di pelipis, matanya yang besar dan penuh ketakutan bergerak liar guna mencari jalan keluar. Di tengah ketakutan yang menghimpit, dia tahu satu hal pasti, dia harus bertahan, untuk dirinya dan untuk bayi yang ada dalam kandungannya. "Keparat!" Pria itu mengumpat keras, suaranya menggema di antara pepohonan, membuat burung-burung terbang ketakutan. Dengan satu gerakan kasar, dia mengayunkan tinjunya ke batang pohon terdekat, memukulnya dengan keras hingga suara retakan kayu terdengar. Gema pukulan itu seolah merambat ke dalam dada Elena, membuatnya menahan napas semakin erat. “Kita pergi dari sini! Telusuri terus hutan ini, dan bunuh saja berand*al brengs*ek yang sudah berani membawa kabur anakku itu.” Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, akhirnya Elena bisa menghembuskan nafas, meski belum sepenuhnya lega, saat menyadari segerombolan pria itu mulai menjauh dari tempatnya berada. Dia menunduk ke bawah, mencoba mengukur kedalaman jurang yang bisa kapan saja mengancam nyawanya. Setelah memastikan dengan cermat, secara perlahan dia mulai turun menggunakan ranting sebagai pegangan, hingga akhirnya sampai di dasar jurang. Elena terus mencoba untuk menarik napas dalam-dalam, tetapi udara tipis di dasar jurang terasa begitu menyesakkan. Setiap langkah terasa seperti beban yang menghantam tulang-tulangnya. Perutnya semakin bergejolak hebat, seolah ada pisau yang perlahan merobek dari dalam. Hingga akhirnya, dia jatuh berlutut, satu tangan meremas tanah yang dingin dan lembab, sementara yang lain memegangi perutnya yang seolah menyimpan badai kematian. Keringat dingin terus mengalir di wajahnya, menetes di atas tanah yang keras dan berkerikil. Tubuhnya menggigil hebat, bukan hanya karena rasa dingin yang merasuk hingga tulang, tetapi juga karena rasa sakit yang tak semakin tak tertahankan. “Nggak, Elena! Kamu nggak boleh nyerah!” Dia mencoba bangkit, tetapi kakinya justru gemetar, seakan telah menolak untuk menahan beban tubuhnya yang mulai melemah. “Argh … Sakit!” Rasa sakit itu datang dalam gelombang mencekam, membuatnya mengerang tanpa bisa ditahan. Perlahan dia merangkak, mencoba mencari tempat yang lebih aman. Namun, setiap gerakan justru membuat perutnya semakin terasa seperti akan meledak. Matanya berkabut, fokusnya kabur, tetapi tekadnya untuk menemukan sedikit kenyamanan tetap kuat. Tangannya meraba-raba, mencari apa saja yang bisa digunakannya sebagai sandaran, tetapi yang ada hanya ranting-ranting rapuh dan batu-batu tajam. "Di sana!" gumamnya begitu lirih. Akhirnya, dia menemukan celah di antara dua batu besar, cukup untuknya bersandar dan menahan diri dari rasa sakit yang terus mencabik-cabik tubuhnya. Dengan susah payah, dia meletakkan punggungnya pada batu yang kasar, sementara kedua tangannya memegangi perutnya yang berdenyut menyakitkan. Setiap detik terasa seperti hukuman, setiap nafas seperti api yang membakar tenggorokannya. “Sayang, ini mama. Kamu udah nggak sabar mau ketemu sama mama, ya?” Dia tertawa kecil, berusaha menghibur hati yang dipenuhi rasa tak pasti. Detik berikutnya, menatap langit yang nyaris tak terlihat dari dasar jurang itu, berharap ada keajaiban yang datang untuk menghentikan penderitaannya. Namun, hanya kegelapan yang menjawab, menyelimuti dirinya dalam kesendirian dan rasa sakit yang tiada henti. "Sampai kapan aku harus terus seperti ini?" bisik Elena, suaranya hampir tak terdengar. Kesenangan yang ia coba ciptakan lenyap seketika, "Aku lelah ... sangat lelah. Jika ini hukuman, kapan akan berakhir? Atau ... memang aku tak pantas mendapat belas kasih?" Dia menarik napas panjang, berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Akan tetapi, sekuat apapun ia mencoba, akhirnya kalah juga, kini air mata mengalir tanpa bisa ditahan, isakan-isakan kecil terdengar begitu menyesakkan, tak pernah terbayang sebelumnya, dia akan berada dalam situasi seperti saat ini. "Apakah aku benar-benar harus menyerah?" tanyanya pada diri sendiri, nadanya bergetar antara putus asa dan keinginan untuk bertahan. "Tuhan ... jika Kau mendengarkan, beri aku tanda ... apa pun ... aku mohon..." Namun, sekali lagi, hanya keheningan yang menjawab, meninggalkan Elena dalam gelap yang semakin pekat, dengan harapan yang semakin menipis. Tak ada lagi yang mampu Elena lakukan, kecuali menutup mata dengan kuat, berusaha mengatasi gelombang rasa sakit yang semakin menggila setiap detik. Rasa sakit di perutnya berubah menjadi kontraksi yang semakin intens, menghempaskan tubuhnya hingga merosot ke tanah yang dingin dan keras. Dia mencoba menarik napas dalam-dalam, namun rasa sakit itu terlalu hebat, seolah merenggut setiap kemampuan untuk berpikir selain dari bertahan. Keringat bercampur darah mulai mengalir di antara pahanya, bukti bahwa bayi itu tak bisa menunggu lebih lama lagi. “Inikah saatnya?” ******Vale melempar senyuman canggung ke arah Sandro, begitu pula sebaliknya, sebelum keduanya sama-sama duduk diatas bangku taman dibawah pohon rindang. Awalnya tidak ada yang bersuara, suasana tampak hening, hanya ada suara desiran angin, dan suara tawa dari beberapa anak yang saling bersahutan dari kejauhan. Vale sendiri tampak fokus menatap ke arah beberapa anak di depan sana, bibirnya melengkung, membentuk senyuman yang jarang sekali ia tonjolkan. Sandro yang memperhatikan hal itu merasa semakin canggung, dia bingung harus berbuat apa, selain belum mengenal perempuan di sampingnya, dia juga masih terbayang hal tidak mengenakan yang pernah menimpa keduanya. Jangan kira Vale tidak sadar akan hal tersebut, justru perempuan itu cukup peka, dan apa yang dilakukannya saat itu sudah termasuk kedalam rencana, “Kenapa ngelihatinya kayak gitu? Ada yang aneh ya?!”Bak maling yang tertangkap basah, detik itu juga Sandro langsung memalingkan pandangan, dia menggaruk tengkuknya dengan canggung,
Di balik dedaunan rimbun, Vale masih setia mengamati beberapa anak kecil yang tampak asik berlarian di sebuah taman yang berada tak jauh dari sebuah gedung yang menjulang tinggi.“Mereka sangat lucu,” katanya dengan menarik tinggi sebelah bibirnya, “Sama seperti perannya yang akan membawaku kedalam hubungan yang indah.” “Gue udah selesai, sekarang apa yang akan lo lakuin ke mereka?” Vale menoleh, tatapannya terus bergerak ke atas hingga kebawah, menelisik pakaian Vincent yang baginya tidak tepat di situasi saat ini, beruntung dia sudah menyiapkan semuanya. Dia mengambil sebuah paper bag yang semua ia bawa. “Ganti baju lo dengan ini dan tampil menarik didepan anak-ank itu.”“M-makBaru saja Vincent hendak membuka suara Vale sudah lebih dulu memotongnya. “Lakuin apa yang gue mau, Vincent!” Entah sudah untuk yang keberapa kalinya Vincent hanya mampu berdecak, tetapi tak urung ia tetap menerima pemberian Vale meski dengan kasar, lantas tanpa permisi langsung beranjak pergi. Vale se
“Siapa wanita ini?” Vale, dengan tatapannya yang tampak begitu menyala penuh amarah, dia terus menatap beberapa lembar cetak foto yang kini berserakan diatas meja. “Dia adalah Maria, sejauh ini yang kita tahu, dia adalah wanita yang akan menjadi tunangan Sandro, dan acara pertunangan tersebut akan berlangsung minggu depan.” “Brengsek!” Nafas Vale memburu secara tiba-tiba, otot-otot di tangannya terlihat begitu menonjol tatkala sebelah tangannya meremas satu foto yang memperlihatkan dua manusia berbeda gender tersebut tengah berciuman mesra.Detik berikutnya perempuan itu sedikit mendongak, menatap beberapa orang yang masih setia berdiri di hadapannya. “Cari tahu lebih dalam mengenai wanita ini, jangan biarkan dia mempersulit rencanaku untuk kedepannya!” “Baiklah, akan kami lakukan,“ jawab salah satu darii pria bertubuh tegap dengan pakaian rapi serba hitam tersebut, sebelum kemudian mereka semua bergegas pergi meninggalkan Vale dengan dua orang yang sedari tadi hanya diam di bela
BRUKK“Argh! stt!” Suara yang terdengar begitu nyaring, disusul suara rintihan tersebut membuat Sandro reflek menarik tubuhnya dari Maria, tak peduli dengan sang wanita yang langsung berdecak kesal, pria itu tetap berlari untuk menuju ke depan ruangan.Matanya membola tatkala mendapati salah seorang staf tersungkur di atas lantai dengan beberapa lembar dokumen yang berserakan. Tanpa pikir panjang pria itu ikut duduk hanya untuk membantu mengumpulkan beberapa dokumen. “Maaf, saya tidak sengaja, Pak! Kaki saya tiba-tiba keseleo dan semua dokumen ini jatuh.” katanya begitu lirih, dia menunduk dalam-dalam, tak berani menatap sang atasan.“It’s okay, lain kali hati-hati,” balas Sandro tersenyum ramah, dia mengulurkan beberapa berkas yang ia kumpulakan, dan langsung diterima oleh si perempuan.“Halah, kamu cuma alasan kan? Kamu pasti ngintip aku sama Sandro kan?” Dari dalam ruangan Maria melangkah mendekat, dia bersedekap dada dengan tatapannya yang tidak ramah.“Maria, tolong jaga bicar
Dengan duduk di atas pangkuan sang pria yang masih sibuk dengan layar laptop di hadapannya, Maria tampak berusaha menarik perhatiannya. Jari-jarinya yang lentik memainkan kerah kemeja pria itu dengan lembut, mencoba mengalihkan fokusnya. Namun, alih-alih terganggu, pria itu hanya mengangkat sebelah alis sambil melirik sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya."Kalau kamu terus begini, pekerjaanku nggak akan selesai," gumam pria itu, nada suaranya terdengar datar, meskipun bibirnya terlihat sedikit membentuk lengkungan ke atas. Maria hanya tertawa kecil, memiringkan kepala untuk menatapnya lebih dekat. "Siapa suruh kamu lebih sibuk sama pekerjaan daripada aku?" katanya dengan nada manja, seolah menuntut perhatian penuh darinya."Lagi pula kamu kerja terus! Nggak bosan apa?!” Tambah Maria, suaranya lembut namun memaksa.Pria itu mendesah panjang, berusaha menahan rasa jengah yang mulai mendidih di dadanya. "Maria, ayolah … aku sedang sibuk," jawabnya singkat, tanpa menoleh.Namun, Mari
BRAKK!Meja kayu itu berguncang hebat, bahkan gelas di atasnya nyaris jatuh. Ton menatap lurus ke arah depan, nafasnya memburu seolah mencoba menahan sesuatu yang hendak meledak."Jadi, anak itu masih hidup?" Suaranya berat, nyaris seperti geraman.Dia berbalik dengan gerakan tiba-tiba, matanya menyalak tajam, memindai satu per satu wajah pucat para anak buahnya yang kini tidak berani menatap langsung ke arahnya. Salah seorang dari mereka menelan ludah, terlihat gemetar di sudut ruangan.Ton berjalan mendekat, langkahnya berat, setiap hentakan sepatu menciptakan gema di ruangan itu. "Kalian ... semua ini hanya sekumpulan pecundang!" Katanya sambil menunjuk mereka dengan telunjuknya, tangan kirinya mengepal hingga uratnya terlihat.“Bukankah waktu itu aku sudah menyuruhmu memastikan semuanya,” Ton selangkah lebih maju, pandangannya semakin tajam pada sosok pria yang kini hanya bisa menunduk. “Tapi bagaimana bisa dia masih hidup sekarang, jawab aku!” Tak lagi bisa membendung amarahnya,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments