Share

Tuan Muda Psycho

"Hei ... hei, sabar. Kita selesaikan dulu urusannya."

Dirga menepuk pundak pria yang baru saja memenangkan lelang, hingga dia mundur lalu membalikkan tubuhnya mengahadap Dirga.

"Bams."

Pria itu menjentikkan jarinya pada seorang pengawal yang masuk bersamanya.

Dengan sigap, pengawal yang di panggil Bams mengeluarkan buku cek dari kantong jas dan menyerahkan pada pria itu.

Kemudian, pria itu menulis sejumlah nominal pada sebuah cek lalu menyerahkannya ke Dirga.

Dengan cepat, Dirga mengambil cek tersebut dan senyum lebar mengembang dari bibirnya.

"Senang berbisnis dengan anda, 'Tuan Muda'." 

Pria yang di panggil tuan muda itu membalas ucapan Dirga dengan menarik sedikit sudut bibirnya.

Lalu, dia melepaskan jas yang saat itu dia kenakan, dan memakaikannya pada Gendis.

Gendis sedikit kaget melihat apa yang dilakukan pria itu.

"Selamat bersenang-senang." Dirga berkata setengah berteriak, ketika pria itu membawa Gendis keluar dan memasukkannya ke dalam mobil mewah.

Gendis duduk di bagian belakang, bersama sang tuan muda.

Sementara di depan, seorang sopir dan pengawal.

"Kita ke tempat biasa." Tuan muda memberi perintah pada sopirnya.

"Baik, Tuan." 

Kemudian mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang sepi, dimana kanan kirinya hanya ada hutan dan perbukitan.

"Benar apa yang dikatakan Suli semalam, bahwa tempat dimana dia berada, memang jauh dari pemukiman dan berada di tengah hutan." Bisik hati Gendis.

Walaupun tempat itu seperti terpencil, namun jalanan beraspal bagus.

Bahkan, Gendis melihat beberapa orang berjalan kaki atau menggunakan sepeda sambil membawa kayu bakar ataupun hasil kebun. Itu artinya, ada sebuah perkampungan atau pemukiman di sekitar sini.

Gendis duduk dengan tegang menempel di sisi kiri, menempel pada jendela. Sementara sang tuan muda berada di sebelah kanannya, duduk dengan acuh tanpa mempedulikannya.

Dalam hati, Gendis berpikir, bahwa orang di sebelahnya adalah orang baik, yang mungkin bisa menolongnya keluar dari cengkeraman Dirga, mengingat sampai detik ini, dia belum menyentuh tubuhnya atau melecehkannya. Bahkan dia merelakan jas yang dipakai menutup tubuh bagian atas Gendis.

"Jangan buang tenagamu untuk memikirkan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Simpanlah untuk nanti. Kamu akan membutuhkan banyak tenaga."

Gendis menegakkan kepalanya, yang tadi dia sandarkan di jendela.

Ditatapnya sang tuan muda dengan rasa takut sekaligus penasaran.

"A--apa maksudmu?"

"Ckkk ... lupakanlah."

Sang tuan muda mengibaskan tangannya ke udara, dan menyuruh Gendis untuk melupakan apa yang baru saja dia ucapkan.

"Kita mau kemana, Tu--an Muda." Dengan terbata, Gendis bertanya pada pria yang duduk di sebelahnya.

"Ha ha ha ha ...."

Pria yang dipanggil tuan muda itu tertawa keras, seolah ada yang lucu dari pertanyaan Gendis.

"Apa ada yang aneh?" tanya Gendis polos.

"Inilah salah satu alasanku, memilihmu tadi. Kamu memang masih polos."

Gendis semakin tidak mengerti dengan apa yang diucapkan sang tuan muda.

"Jangan panggil aku Tuan Muda. Panggil saja Steve."

Pria itu menyebutkan namanya, Steve. 

Steve, pria berkulit putih dengan tubuh tinggi dan tidak terlalu besar bahkan terkesan jangkung itu menatap lurus ke depan.

Sorot matanya tajam, bahkan ketika Gendis melirik dengan ekor matanya, seperti melihat menembus dinding es, begitu dingin.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, mereka tiba di sebuah kota kecil yang cukup ramai.

Mobil berjalan pelan, hingga akhirnya sampai pada sebuah bangunan besar dengan pagar tinggi di sekelilingnya.

"Apa yang ada di dalam sana?" pikir Gendis.

Seorang laki-laki tua menyambut kedatangan Steve, lalu membungkukkaan tubuhnya.

"Selamat datang, Tuan muda," ucapnya.

Lalu mata laki-laki tua itu beralih memandang Gendis yang berdiri di belakang Steve.

Dengan agak terkejut, dia berkata.

"Tuan ...."

"Dia akan di sini bersamaku." Steve menjawab cepat, seolah tahu apa yang akan diucapkan laki-laki itu.

"Baiklah, Tuan." 

Kembali laki-laki tua itu berkata dengan sopan.

"Ikut denganku."

Steve meraih pergelangan tangan Gendis lalu membawanya menuju lantai atas rumah besar itu.

Gendis mengamati sekeliling ruangan yang dia lewati. Dan rumah itu memang begitu besar, mungkin lebih besar dari tempat dimana dia di sekap oleh Dirga.

Namun bedanya, rumah ini sepi, beda dengan tempat Dirga, yang selalu riuh ramai.

"Masuk dan tunggu aku di dalam, aku akan segera kembali."

Steve membuka pintu sebuah kamar yang luas, dengan tempat tidur besar yang di kelilingi jendela kaca.

Serta satu set sofa yang di letakkan di salah satu sudutnya, seperti yang dia lihat dalam film atau sinetron yang sering dia tonton ketika bersama orang tuanya.

Begitu mewah.

Pintu kembali di buka, dan Steve muncul dengan membawa segelas minuman berwarna merah.

Perlahan, Steve mendekati Gendis dengan masih memegang gelas di tangan kirinya.

Lalu meletakkan di atas meja.

Steve menatap Gendis tanpa berkedip, lalu dia berkata.

"Buka!"

Gendis hanya berdiri mematung di tengah ruangan, tanpa tahu apa yang harus diperbuat, sementara jas milik Steve masih dia pakai.

"Aku bilang Buka!!" teriak Steve dengan keras. Wajah dinginnya terlihat semakin dingin dengan tatapan mata yang tajam.

"Apa yang di buka?" Gendis bertanya dengan takut.

Steve memberi isyarat untuk membuka baju, Gendis yang melihatnya, buru-buru melepas jas milik Steve. Dalam hati dia berpikir, mungkin Steve menginginkan kembali bajunya.

Namun Steve justru menggelengkan kepala begitu melihat Gendis melepaskan jas miliknya.

Steve yang tadi duduk di sofa, kini berdiri dan berjalan cepat ke arah Gendis berdiri. Lalu dengan sekali sentak, baju yang di pakai Gendis sudah lepas, melorot hingga membuat  dada Gendis terlihat.

Dengan cepat Gendis menutup dadanya menggunakan kedua tangannya dan berusaha menghindari Steve dengan membelakanginya.

Namun rupanya hal itu justru membuat Steve semakin kalap.

Tanpa sepengetahuan Gendis, Steve melepaskan ikat pinggang yang dia kenakan saat itu lalu ....

Plak ... Plak ....

Gendis tersungkur di atas lantai sambil berteriak kesakitan.

Dan setiap kali Gendis menjerit, Steve tersenyum puas terlebih ketika melihat tubuh mulus Gendis terluka dan mengeluarkan darah.

Tatapan mata dingin Steve semakin liar, tiap kali ikat pinggangnya menyentuh kulit Gendis.

"Ampun ... sakit ...." teriak Gendis.

Namun semakin Gendis berteriak kesakitan, Steve samakin beringas.

Hingga akhirnya tubuh Gendis tergolek tidak berdaya di lantai dan di penuhi luka dan berdarah.

Perlahan, Steve mendekati Gendis yang sudah tidak berdaya, lalu menyentuh wajahnya sambil berkata, "Maafkan aku, aku ... aku tidak sengaja menyakitimu."

Lalu, Steve membopong tubuh Gendis ke atas tempat tidur.

Perlahan, Steve membuka pakaian yang dia kenakan satu persatu hingga tidak menyisakan satupun di sana.

Dipandanginya tubuh penuh luka Gendis dengan beringas, bibir Gendis yang mengeluarkan darah, dia usap pelan dengan jarinya, lalu menjilat darah yang ada di jarinya.

Sementara itu, di luar kamar, di bawah tangga rumah besar itu, pria tua yang tadi menyambut kedatangan Steve, hanya berdiri terpaku menatapap ke arah kamar, dimana Gendis berada.

Lalu, pria tua itu perlahan beranjak pergi.

Sementara di dalam kamar, dimana Gendis berada, Steve sudah berada di puncak birahinya, melampiaskan pada tubuh tak berdaya Gendis.

Samar, terdengar rintihan Gendis.

Seperti berada diantara mati dan hidup, Gendis berusaha untuk tetap sadar namun disisi lain, apa yang telah dilakukan Steve terhadap dirinya, sungguh tidak dapat dia terima. 

Steve memperlakukan dirinya seperti binatang, luka fisik yang Gendis rasakan, memang begitu sakit. Namun apa yang dilakukan Steve padanya, jauh lebih menyakitkan.

Mencumbu tubuh Gendis setelah menyiksa dirinya dan membuatnya terkapar tak berdaya.

Airmata Gendis membasahi kedua pipinya, tak lagi dia hiraukan Steve yang telah berkali-kali mencapai klimaks. Yang dia rasakan hanyalah sakit hati yang tidak akan dia lupakan selama hidupnya.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status