Beranda / Urban / Revenge / Tuan Muda Psycho

Share

Tuan Muda Psycho

Penulis: Yani Santoso
last update Terakhir Diperbarui: 2021-02-07 23:03:17

"Hei ... hei, sabar. Kita selesaikan dulu urusannya."

Dirga menepuk pundak pria yang baru saja memenangkan lelang, hingga dia mundur lalu membalikkan tubuhnya mengahadap Dirga.

"Bams."

Pria itu menjentikkan jarinya pada seorang pengawal yang masuk bersamanya.

Dengan sigap, pengawal yang di panggil Bams mengeluarkan buku cek dari kantong jas dan menyerahkan pada pria itu.

Kemudian, pria itu menulis sejumlah nominal pada sebuah cek lalu menyerahkannya ke Dirga.

Dengan cepat, Dirga mengambil cek tersebut dan senyum lebar mengembang dari bibirnya.

"Senang berbisnis dengan anda, 'Tuan Muda'." 

Pria yang di panggil tuan muda itu membalas ucapan Dirga dengan menarik sedikit sudut bibirnya.

Lalu, dia melepaskan jas yang saat itu dia kenakan, dan memakaikannya pada Gendis.

Gendis sedikit kaget melihat apa yang dilakukan pria itu.

"Selamat bersenang-senang." Dirga berkata setengah berteriak, ketika pria itu membawa Gendis keluar dan memasukkannya ke dalam mobil mewah.

Gendis duduk di bagian belakang, bersama sang tuan muda.

Sementara di depan, seorang sopir dan pengawal.

"Kita ke tempat biasa." Tuan muda memberi perintah pada sopirnya.

"Baik, Tuan." 

Kemudian mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang sepi, dimana kanan kirinya hanya ada hutan dan perbukitan.

"Benar apa yang dikatakan Suli semalam, bahwa tempat dimana dia berada, memang jauh dari pemukiman dan berada di tengah hutan." Bisik hati Gendis.

Walaupun tempat itu seperti terpencil, namun jalanan beraspal bagus.

Bahkan, Gendis melihat beberapa orang berjalan kaki atau menggunakan sepeda sambil membawa kayu bakar ataupun hasil kebun. Itu artinya, ada sebuah perkampungan atau pemukiman di sekitar sini.

Gendis duduk dengan tegang menempel di sisi kiri, menempel pada jendela. Sementara sang tuan muda berada di sebelah kanannya, duduk dengan acuh tanpa mempedulikannya.

Dalam hati, Gendis berpikir, bahwa orang di sebelahnya adalah orang baik, yang mungkin bisa menolongnya keluar dari cengkeraman Dirga, mengingat sampai detik ini, dia belum menyentuh tubuhnya atau melecehkannya. Bahkan dia merelakan jas yang dipakai menutup tubuh bagian atas Gendis.

"Jangan buang tenagamu untuk memikirkan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Simpanlah untuk nanti. Kamu akan membutuhkan banyak tenaga."

Gendis menegakkan kepalanya, yang tadi dia sandarkan di jendela.

Ditatapnya sang tuan muda dengan rasa takut sekaligus penasaran.

"A--apa maksudmu?"

"Ckkk ... lupakanlah."

Sang tuan muda mengibaskan tangannya ke udara, dan menyuruh Gendis untuk melupakan apa yang baru saja dia ucapkan.

"Kita mau kemana, Tu--an Muda." Dengan terbata, Gendis bertanya pada pria yang duduk di sebelahnya.

"Ha ha ha ha ...."

Pria yang dipanggil tuan muda itu tertawa keras, seolah ada yang lucu dari pertanyaan Gendis.

"Apa ada yang aneh?" tanya Gendis polos.

"Inilah salah satu alasanku, memilihmu tadi. Kamu memang masih polos."

Gendis semakin tidak mengerti dengan apa yang diucapkan sang tuan muda.

"Jangan panggil aku Tuan Muda. Panggil saja Steve."

Pria itu menyebutkan namanya, Steve. 

Steve, pria berkulit putih dengan tubuh tinggi dan tidak terlalu besar bahkan terkesan jangkung itu menatap lurus ke depan.

Sorot matanya tajam, bahkan ketika Gendis melirik dengan ekor matanya, seperti melihat menembus dinding es, begitu dingin.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, mereka tiba di sebuah kota kecil yang cukup ramai.

Mobil berjalan pelan, hingga akhirnya sampai pada sebuah bangunan besar dengan pagar tinggi di sekelilingnya.

"Apa yang ada di dalam sana?" pikir Gendis.

Seorang laki-laki tua menyambut kedatangan Steve, lalu membungkukkaan tubuhnya.

"Selamat datang, Tuan muda," ucapnya.

Lalu mata laki-laki tua itu beralih memandang Gendis yang berdiri di belakang Steve.

Dengan agak terkejut, dia berkata.

"Tuan ...."

"Dia akan di sini bersamaku." Steve menjawab cepat, seolah tahu apa yang akan diucapkan laki-laki itu.

"Baiklah, Tuan." 

Kembali laki-laki tua itu berkata dengan sopan.

"Ikut denganku."

Steve meraih pergelangan tangan Gendis lalu membawanya menuju lantai atas rumah besar itu.

Gendis mengamati sekeliling ruangan yang dia lewati. Dan rumah itu memang begitu besar, mungkin lebih besar dari tempat dimana dia di sekap oleh Dirga.

Namun bedanya, rumah ini sepi, beda dengan tempat Dirga, yang selalu riuh ramai.

"Masuk dan tunggu aku di dalam, aku akan segera kembali."

Steve membuka pintu sebuah kamar yang luas, dengan tempat tidur besar yang di kelilingi jendela kaca.

Serta satu set sofa yang di letakkan di salah satu sudutnya, seperti yang dia lihat dalam film atau sinetron yang sering dia tonton ketika bersama orang tuanya.

Begitu mewah.

Pintu kembali di buka, dan Steve muncul dengan membawa segelas minuman berwarna merah.

Perlahan, Steve mendekati Gendis dengan masih memegang gelas di tangan kirinya.

Lalu meletakkan di atas meja.

Steve menatap Gendis tanpa berkedip, lalu dia berkata.

"Buka!"

Gendis hanya berdiri mematung di tengah ruangan, tanpa tahu apa yang harus diperbuat, sementara jas milik Steve masih dia pakai.

"Aku bilang Buka!!" teriak Steve dengan keras. Wajah dinginnya terlihat semakin dingin dengan tatapan mata yang tajam.

"Apa yang di buka?" Gendis bertanya dengan takut.

Steve memberi isyarat untuk membuka baju, Gendis yang melihatnya, buru-buru melepas jas milik Steve. Dalam hati dia berpikir, mungkin Steve menginginkan kembali bajunya.

Namun Steve justru menggelengkan kepala begitu melihat Gendis melepaskan jas miliknya.

Steve yang tadi duduk di sofa, kini berdiri dan berjalan cepat ke arah Gendis berdiri. Lalu dengan sekali sentak, baju yang di pakai Gendis sudah lepas, melorot hingga membuat  dada Gendis terlihat.

Dengan cepat Gendis menutup dadanya menggunakan kedua tangannya dan berusaha menghindari Steve dengan membelakanginya.

Namun rupanya hal itu justru membuat Steve semakin kalap.

Tanpa sepengetahuan Gendis, Steve melepaskan ikat pinggang yang dia kenakan saat itu lalu ....

Plak ... Plak ....

Gendis tersungkur di atas lantai sambil berteriak kesakitan.

Dan setiap kali Gendis menjerit, Steve tersenyum puas terlebih ketika melihat tubuh mulus Gendis terluka dan mengeluarkan darah.

Tatapan mata dingin Steve semakin liar, tiap kali ikat pinggangnya menyentuh kulit Gendis.

"Ampun ... sakit ...." teriak Gendis.

Namun semakin Gendis berteriak kesakitan, Steve samakin beringas.

Hingga akhirnya tubuh Gendis tergolek tidak berdaya di lantai dan di penuhi luka dan berdarah.

Perlahan, Steve mendekati Gendis yang sudah tidak berdaya, lalu menyentuh wajahnya sambil berkata, "Maafkan aku, aku ... aku tidak sengaja menyakitimu."

Lalu, Steve membopong tubuh Gendis ke atas tempat tidur.

Perlahan, Steve membuka pakaian yang dia kenakan satu persatu hingga tidak menyisakan satupun di sana.

Dipandanginya tubuh penuh luka Gendis dengan beringas, bibir Gendis yang mengeluarkan darah, dia usap pelan dengan jarinya, lalu menjilat darah yang ada di jarinya.

Sementara itu, di luar kamar, di bawah tangga rumah besar itu, pria tua yang tadi menyambut kedatangan Steve, hanya berdiri terpaku menatapap ke arah kamar, dimana Gendis berada.

Lalu, pria tua itu perlahan beranjak pergi.

Sementara di dalam kamar, dimana Gendis berada, Steve sudah berada di puncak birahinya, melampiaskan pada tubuh tak berdaya Gendis.

Samar, terdengar rintihan Gendis.

Seperti berada diantara mati dan hidup, Gendis berusaha untuk tetap sadar namun disisi lain, apa yang telah dilakukan Steve terhadap dirinya, sungguh tidak dapat dia terima. 

Steve memperlakukan dirinya seperti binatang, luka fisik yang Gendis rasakan, memang begitu sakit. Namun apa yang dilakukan Steve padanya, jauh lebih menyakitkan.

Mencumbu tubuh Gendis setelah menyiksa dirinya dan membuatnya terkapar tak berdaya.

Airmata Gendis membasahi kedua pipinya, tak lagi dia hiraukan Steve yang telah berkali-kali mencapai klimaks. Yang dia rasakan hanyalah sakit hati yang tidak akan dia lupakan selama hidupnya.

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Revenge   Saling Memaafkan

    "Calon mantu?"Kali ini ayah Gendis yang mengulang kalimat.Dengan pandangan bingung, laki-laki paruh baya itu berdiri, mendekati tamu yang baru datang ke rumahnya.Ditatapnya satu persatu wajah orang-orang yang baru datang ke rumahnya itu."Gendis, apa benar, kamu kenal dengan mereka?" tanya nya.Diarahkan pandangan matanya pada anak perempuannya itu.Gendis mengerjap, merasa bingung harus dari mana dia menceritakan semuanya. Karena sejak kedatangannya kembali ke rumah, belum sempat bercerita pada kedua orang tuanya. Yang mereka tahu, kalau anak perempuannya telah pulang kembali ke rumah dan berkumpul bersama mereka."Bapak, Gendis kenal dengan mereka. Merekalah yang telah menyelamatkan Gendis dari cengkeraman jahat Dirga dan bapaknya," ujar Gendis menjelaskan."Saya Steve, Pak," ucap Steve sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan bapak Gendis.Sejenak merasa ragu, lalu, disambutnya ukuran tangan pemuda jangkung yan

  • Revenge   Menyusul Gladys

    Steve membanting tubuhnya di atas tempat tidur, diembuskan kasar napasnya.Ada rasa kesal sekaligus kesedihan yang bercampur jadi satu.Dibukanya kembali surat yang ditulis Gladys."Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku," dengkus Steve.Dia melempar surat itu kasar, lalu menenggelamkan tubuhnya di atas tempat tidur, tatapannya kosong, menerawang menembus langit-langit kamar.Diletakkannya sebelah tangan di atas dahi.Beberapa kali Steve merubah posisi tidurnya, lalu dia bergegas bangkit menuju lemari pakaian, mengganti piyama dengan kemeja lengan panjang, yang digulung hingga bawah siku.Rasa nyeri di perut, tidak dirasakan lagi."Tuan Muda, mau pergi? Biar saya yang nyetir mobilnya," ucap pak Markus, saat melihat Steve berjalan menuju garasi."Tidak usah, Pak. Saya bisa nyetir sendiri," jawab Steve."Tapi Tuan Muda belum sepenuhnya pulih ....""Pak Markus, aku bisa sendiri." Steve menolak."Tapi mau keman

  • Revenge   Gladys Meninggalkan Rumah Steve

    Di dalam kamar, Gladys terduduk lesu.Hati kecilnya ingin sekali tinggal di rumah ini lebih lama, terlebih saat ini sikap Steve tidak sedingin sebelumnya.Namun di sisi hatinya yang lain, keinginan untuk bertemu orang tuanya semakin menggebu, apalagi sudah hampir tiga tahun sejak Dirga membawanya keluar dari rumahnya, belum pernah sekalipun dia bertemu atau sekedar mendengar kabar tentang keluarganya.Cukup lama Gladys terpekur, sesekali matanya menatap langit-langit kamar, lalu kembali menunduk. Beberapa kali dia menarik napas dalam."Dys ... kamu dari mana?" tanya Suli yang baru keluar dari kamar mandi."Oh, aku baru saja dari halaman depan. Menghirup udara pagi," jawab Gladys.Dia kembali menunduk, meremas jari jemarinya, lalu beranjak menuju lemari pakaian. Suli memperhatikan setiap gerak-gerik sahabatnya itu tanpa mengeluarkan sepatah kata."Buat apa kamu mengeluarkan tas itu, Dys? Juga pakaian itu ....?" tanya Suli keheranan saat me

  • Revenge   Maaf

    Steve sudah kembali ke rumahnya, di hari kedua, dia bahkan sudah bisa berjalan-jalan di sekitar rumah, walau sedikit lambat.Namun pagi ini, rupanya ada yang sedang mengganjal hatinya, hingga membuatnya terlihat tidak tenang, wajah dinginnya terlihat sedikit murung.Akan tetapi, dia berusaha untuk tetap bersikap tenang, walau getar-getar di hatinya, membuatnya susah tidur.Beberapa kali dia menarik napas berat, lalu dengan kasar mengembuskannya."Tuan ...."Sebuah panggilan lembut mengagetkan lamunannya, Steve menoleh ke arah suara. Di sana, Gladys berdiri dengan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku."Gladys, kamu sudah bangun?" tanya Steve."Sudah, Tuan sendiri ... kenapa sudah berada di luar. Ini masih sangat pagi," jawab Gladys.Steve yang mendengar pertanyaan Gladys menjadi sedikit kikuk, lalu dengan cepat dia menjawab, "Oh, aku ingin mencari udara segar. Berbaring di tempat tidur membuatku bosan.""Oh, begitu ..

  • Revenge   Love it or Hate it

    Gladys berlari sepanjang koridor, di belakangnya, Suli dengan napas terengah mencoba mengejar langkah sahabatnya itu.Pikirannya sangat kacau, ketika Roy mengabarkan kalau saat ini Steve tengah menjalani operasi, walaupun Roy juga sudah mengatakan kalau semua baik-baik saja.Kedua wanita itu kemudian masuk ke dalam salah satu ruangan, di mana terdapat dua orang pria berbadan tegap berdiri di dekat pintu.Mereka adalah anak buah Steve yang sengaja ditugaskan oleh Roy untuk berjaga di luar."Steve ... bagaimana keadaanmu?" tanya Gladys begitu dia berada di dalam ruangan."Dia baik-baik saja, operasinya berjalan lancar." Roy yang duduk di kursi sebelah brankar menjawab."Syukurlah." Gladys menarik napas lega sembari mendekat ke arah Steve yang masih terbaring.Gladys duduk di sebelah Roy, sembari meraih tangan Steve."Ouh ... sakit," rintih Steve ketika tidak sengaja Gladys menyentuh bagian tubuh Steve yang terlukan."Maaf, aku

  • Revenge   Sakit Hati Suli

    "Keluar, atau aku akan menyeretmu dari sana!" Gladys kembali berteriak. Suaranya menggema ke seluruh ruangan.Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di dalam ruangan itu.Gladys berjalan pelan menuju meja, suara sepatunya memaku lantai.Tok tok tok ....Baru beberapa langkah, Gladys berhenti.Dari bawah meja, tampak seseorang berjongkok, lalu perlahan dia bangkit berdiri menghadap arah Gladys.Melihat siapa yang muncul dari balik meja, Gladys tersenyum. Lalu dia berkata."Kita bertemu lagi, Tania. Walau dalam suasana yang berbeda," ucap Gladys."Iya, senang bisa bertemu denganmu lagi, Gendis."Tania berkata sambil merapikan rambutnya, dia berusaha bersikap tenang, namun tetap saja, kegugupan tampak jelas di wajahnya.Tiba-tiba, Suli yang sejak tadi diam di depan pintu, berlari menghampiri Tania, dan tangan kanannya langsung bergerak cepat meninju wajah Tania.Mendapat serangan yang tib

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status