Brak ....
Terdengar seperti sesuatu yang terjatuh di lantai.
Dan bersamaan dengan itu, terdengar suara teriakan seorang perempuan dari luar.
"Ampuun ... sakit, jangan pukul saya."
Jeritan dan rintihan itu begitu menyayat hati, hingga membuat Gendis penasaran dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi di luar kamar.
Gendis berusaha membuka pintu kamar, namun sia-sia.
Karena pintu tersebut terkunci rapat.
Tak kekurangan akal, Gendis lalu membungkuk dan mengintip dari lobang kunci di kamarnya.
Dari lobang kunci tersebut, Gendis melihat seorang gadis muda sedang di tendang dan di pukul oleh seorang pria berbadan tegap serta berkulit gelap dengan tubuh yang dipenuhi dengan tato.
"Sakit ... ampuun ...." Rintih gadis itu sambil memegangi perutnya yang di tendang berkali-kali. Darah menetes dari sudut bibir dan juga pelipisnya.
"Suli ...." teriak Gendis begitu melihat ternyata gadis yang tengah di hajar itu tak lain adalah Suli, yang baru saja mengantarkan makanan untuk nya.
Brak brak brak ....
"Keluarkan aku dari sini," teriak Gendis sambil menggedor gedor pintu kamarnya.
Brak brak brak ....
Kembali Gendis menggedor pintu kamarnya, kali ini bahkan lebih keras.
"Diam kamu, atau kamu juga mau kuhajar sekalian?" teriak seorang laki-laki dari luar kamar, hingga membuat Gendis berhenti menggedor pintu.
Kembali Gendis mengintip dari lubang kunci, dan melihat Suli terkapar di atas lantai sambil memegang perutnya.
"Syukurlah, aetidaknya dia berhenti menghajar Suli." Gendis bergumam.
Seorang pria berpakaian rapi datang, dan berkata pada pria bertato yang baru saja menghajar Suli.
"Cukup, jangan sampai dia mati. Aku tidak ingin bermasalah lagi," ucap pria itu.
Suara pria itu tidak asing di telinga Gendis, lalu Gendis kembali mengintip dari lobang kunci untuk memastikan siapa pria tersebut.
"Juragan Sapto?"
Gendis menutup mulutnya sendiri, begitu tahu bahwa pria tersebut adalah juragan Sapto, ayah dari Dirga.
Kehadiran juragan Sapto di rumah ini, membuat Gendis berpikir bahwa, selama ini Juragan Sapto memang terlibat dengan perbuatan yang dilakukan oleh Dirga.
"Bapak dan anak sama-sama bajingan." Gendis mendesis, begitu menyadari semuanya.
Namun, kemarahannya saat ini tidak berguna, karena dirinyapun tidak bisa berbuat apa-apa.
"Lalu, bagaimana dengan dia, Juragan?" tanya pria bertato yang baru menghajar Suli.
"Masukkan dia ke gudang!" perintah juragan Sapto.
"Ampun Juragan, saya tidak akan mengulanginya lagi, saya berjanji."
Gendis melihat Suli merangkak dan memegang kaki juragan Sapto.
Namun juragan Sapto menendangnya, hingga membuat Suli kembali terjengkang.
"Juragan boleh menghukum saya, tapi jangan masukkan saya ke gudang." Rintih Suli sambil memohon pada sang juragan.
Juragan Sapto menatap Suli dengan tatapan bengis, seperti seekor srigala buas.
"Coki, jadikan satu dengan gadis yang baru datang. Beri dia obat, aku tidak ingin bisnisku rugi gara-gara dia."
"Baik Juragan." Pria yang di panggil Coki itu menunduk hormat pada juragan Sapto, ketika dia berjalan meninggalkan Coki dan Suli yang masih tergeletak di lantai.
Juragan Sapto turun ke lantai bawah diiringi beberapa anak buahnya, yang semua berwajah sangar.
Dan dari lantai bawah, samar-samar Gendis mendengar suara gelak tawa para wanita dan iringan musik.
"Benar-benar sarang monster," ucap Gendis sambil bergidik ngeri.
Gendis yang masih termangu di belakang pintu, terkejut ketika tiba-tiba pintu dibuka, hingga membuatnya mundur beberapa langkah ke belakang.
Ceklek ....
"Cepat masuk!" teriak pria bertato sambil mendorong tubuh lemas Suli, hingga membuatnya hampir terjatuh.
Untung saja, Gendis dengan cepat menangkap tubuh Suli, hingga membuat tubuhnya sempoyongan karena menahan beban tubuh Suli.
"Kamu rawat dia sampai sembuh!" Pria bertato itu berkata pada Suli sambil menyerahkan sebuah kantong plastik berisi obat ke arah Gendis.
"Jangan coba berbuat macam-macam kalau mau selamat." Ancam pria bertato itu sebelum membanting pintu dengan kasar lalu menguncinya dari luar.
"Suli ... Suli," teriak Gendis bergit melihat wajah Suli semakin pucat.
Gendis memapah Suli menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhnya di sana.
Dengan menahan sakit, Gendis berjalan cepat menuju kamar mandi dan kembali lagi dengan membawa baskom berisi air dan handuk.
Dengan pelan, Gendis membersihkan luka-luka yang ada di tubuh Suli.
Dibukanya kantong plastik dengan cepat, dan mengambil obat merah yang ada di sana.
"Gendis, aku tidak mau mati di tempat ini, tolong aku." Suli berkata sambil terisak.
Sementara kedua tangannya masih memegang perutnya.
"Kamu akan baik-baik saja, Suli. Tenanglah, aku akan mengoleskan salep ini pada luka memar di tubuhmu."
Gendis membuka pelan baju yang dikenakan Suli, dan dia melihat hampir di sekujur tubuhnya banyak sekali luka memar dan lebam.
"Aduuhh ...." rintih Suli sambil memegang perutnya.
"Perutmu kenapa, Suli? Apakah ada luka juga disana? Sini, biar aku obati."
Suli dengan cepat menggeleng. Lalu berkata, "Perut ku tidak apa-apa, Gendis. Aku hanya menghawatirkan bayi yang saat ini aku kandung."
"Apa, kamu ....?"
"Tolong, jangan biarkan orang lain tahu, kalau aku sedang hamil," ucap Suli lirih.
"Tapi ... bagaimana bisa kamu hamil? Apakah salah satu dari mereka yang melakukannya?" tanya Gendis penuh selidik.
"Mereka memang melakukannya padaku, juga orang-orang yang telah membayarku. Tapi ini bukan anak dari salah satu dari mereka."
Suli mengusap matanya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih memegang perutnya.
Suli terlihat menarik nafas, kemudian dia melanjutkan ceritanya.
"Sebenarnya, anak yang ada di dalam perutku ini adalah anak dari suamiku. Ketika bapak tiriku menjualku, aku dalam keadaan hamil."
"Benar-benar biadab. Bagaimana mungkin bapak kamu menjualmu dalam keadaan hamil?" tanya Gendia, penuh emosi.
"Mereka tidak tahu, kalau aku hamil." Suli menjawab lirih.
"Bagaimana dengan suamimu, Suli ... dimana dia?"
Suli menggelengkan kepanya, kemudian dari kedua matanya mengalir air mata.
"Mereka telah menghabisi suamiku."
Gendis mencengkeram seprei yang membungkus spring bed dengan erat, dadanya naik turun.
Bahkan Gendis tidak sanggup untuk membayangkan, manusia seperti apa sebenarnya yang telah membawa dirinya ke tempat seperti ini, dan bagaimana dia bisa masuk ke dalam sarang monster ini.
"Gendis, aku ingin keluar dari tempat ini. Aku tidak sanggup melayani para pria berhidung belang dengan kondisi seperti ini."
Suli menatap wajah Gendis, dengan kedua mata hitam karena dihajar, membuat Suli terlihat begitu menyedihkan.
Kemudian Gendis memeluk gadis yang ada di depannya, lalu keduanya larut dalam tangisan.
"Suli, ceritakanlah apa yang kamu ketahui tentang Dirga dan juragan Sapto."
Suli kembali menarik nafas dalam, lalu gadis itu mulai bercerita.
"Sebenarnya, juragan Sapto adalah orang yang kejam. Dia ketua gank dari daerah selatan, namun membungkusnya dengan usaha jual-beli, walau sebenarnya, yang mereka perjual belikan adalah barang haram. Sementara Dirga, anaknya, dikenal sebagai seorang germo. Dia menyediakan wanita penghibur kepada relasi juragan Sapto, ayahnya. Anak buah mereka banyak dan sangat kejam."
Suli menjeda kalimatnya, lalu menatap Gendis sebelum melanjutkan.
"Kamu pasti bertanya-tanya, darimana aku mengetahui semua ini, kan?" Suli bertanya, sementara Gendis mengangguk menjawab pertanyaan Suli.
"Aku tahu banyak, karena mendengar percakapan juragan Sapto dengan pria yang aku layani waktu itu, dan kebetulan laki-laki yang kulayani adalah partner bisnis juragan Sapto."
Gendis menahan nafas mendengarkan penuturan Suli, dan membuatnya semakin takut karena membayangkan dirinya harus melayani para pria hidung belang, seperti yang dilakukan Alex pada dirinya.
"Dirga ... Dirga, bagaimana?" tanya Gendis lagi.
"Dirga pun tak jauj berbeda seperti juragan Sapto. Dia menjerat mangsanya, dengan cara mengiming-imingi dengan harta atau meminjamkan uang. Kalau tidak bisa membayar, maka dia akan mengambil apapun termasuk menghilangkan nyawa. Kalau kebetulan ada anak gadisnya, dia akan mengambil dengan cara menawarkan pernikahan, setelah itu, dia akan menjual gadia yang baru dia nikahi."
Gendis menutup wajahnya, mengingat akan nasib dirinya, yang sama persis dengan cerita Suli. Dimana juragan Sapto datang kepada ayahnya yang saat itu butuh uang banyak untuk biaya pengobatan di rumah sakit, ketika sang ayah tidak bisa membayar, Dirga hadir sebagai dewa penolong palsu dengan melamar dan menjadikan dirinya sebagai istri.
****
Malam pertama di rumah berlantai dua itu, terasa begitu lama.Walau di dalam kamar, Gendis bisa mendengar suara orang berlalu lalang melewati kamar tempat dia dan Suli berada, namun dia tidak bisa melihat dengan jelas siapa saja mereka yang berjalan di lorong depan kamarnya.Gendis mendekati Suli yang sedang terbaring di tempat tidur, peluh membasahi kening Suli.Di raihnya baskom berisi air lalu menyekanya dengan handuk kecil yang ada di dalamnya.Suli memegang tangan Gendis yang tengah menyeka peluh di keningnya."Gendis, aku baik-baik saja. Sebaiknya kamu beristirahat untuk memulihkan tenagamu."Lalu Suli bangkit dan menyandarkan tubuhnya di tempat tidur."Aku tidak bisa tidur Suli, di luar berisik sekali. Aku takut jika tiba-tiba ada orang masuk ke kamar ini."Gendis duduk di sisi tempat tidur, sesekali matanya melihat ke arah pintu."Mereka tidak akan masuk ke sini
"Hei ... hei, sabar. Kita selesaikan dulu urusannya."Dirga menepuk pundak pria yang baru saja memenangkan lelang, hingga dia mundur lalu membalikkan tubuhnya mengahadap Dirga."Bams."Pria itu menjentikkan jarinya pada seorang pengawal yang masuk bersamanya.Dengan sigap, pengawal yang di panggil Bams mengeluarkan buku cek dari kantong jas dan menyerahkan pada pria itu.Kemudian, pria itu menulis sejumlah nominal pada sebuah cek lalu menyerahkannya ke Dirga.Dengan cepat, Dirga mengambil cek tersebut dan senyum lebar mengembang dari bibirnya."Senang berbisnis dengan anda, 'Tuan Muda'."Pria yang di panggil tuan muda itu membalas ucapan Dirga dengan menarik sedikit sudut bibirnya.Lalu, dia melepaskan jas yang saat itu dia kenakan, dan memakaikannya pada Gendis.Gendis sedikit kaget melihat apa yang dilakukan pria itu."Selamat bersenang-senang."
Pria tua itu melangkah memasuki kamarnya, sesekali terlihat dia menggelengkan kepala."Kamu melakukannya lagi, Tuan muda." Pria tua itu bergumam.Matanya menatap deretan foto yang berjejer rapi di atas meja yang yang terletak di sudut kamarnya."Maafkan aku, Tuan. Yang telah gagal mendidik Steve. Aku gagal, Tuan."Pria tua yang duduk di tepi tempat tidurnya, membungkuk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.Pria itu merenung, bayangan masa lalu seolah berkejaran di benaknya. Bagaimana dirinya, yang saat itu berusia belasan tahun, dipungut dari jalanan oleh sang Tuan, yang merupakan Ayah dari Steve.Masih lekat di ingatannya, bagaimana Ayah Steve yang saat itu masih muda, memperlakukan dirinya seperti saudara, memberinya tempat tinggal yang layak, baju dan juga pendidikan.Hampir seumur hidupnya, dia abdikan pada keluarga yang telah mengambilnya dari jalanan hingga membawa dirinya bergaul deng
Setelah Gendis menghabiskan makanan yang dibawakan oleh pak Markus, dia mencoba untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, namun apa daya, luka-luka di punggungnya belum kering dan terasa perih setiap kali tergesek.Hingga akhirnya Gendis memutuskan untuk bersandar dengan memiringkan tubuhnya. Dia berusaha untuk memejamkan matanya, kalau bisa tidur, itu lebih baik. Setidaknya, dia tidak merasa begitu sakit ketika tertidur.Ketika kesadarannya mulai berkurang, antara tidur dan terjaga, Gendis merasakan sesuatu menyentuh pipinya dengan halus.Ingin sekali dia membuka mata, namun matanya terasa begitu berat untuk di buka."Tidurlah, kamu pasti merasa lelah." Dia berkata, sambil membetulkan selimut yang di pakai GendisMendengar suara itu, Gendis begitu terhenyak.Jantungnya berdetak lebih kencang dan tidak beraturan.Lalu perlahan, dia membuka matanya dan melihat seorang laki-laki duduk di tepi ranjang.Laki-laki bertubuh jangkung dengan t
"Kembalilah beristirahat di atas tempat tidur, karena besok Tuan muda akan mengantarmu kembali."Pak Markus membantu Gendis untuk kembali ke atas tempat tidur.Namun, Gendis justru memegang erat tangan lelaki tua itu sambil berkata, "Kembali? Apakah aku akan kembali ke rumah orang tuaku."Tanya Gendis dengan mata berbinar. Dia membayangkan esok dirinya akan di antar kembali ke rumah orang tuanya di kampung.Pak Markus melepaskan tangan Gendis yang masih memegang tangannya, kemudia dia menatap lekat wajah Gendis.Dengan tatapan penuh iba, pak Markus berkata pada Gendis, "Tidak."Jawaban yang sangat singkat, namun cukup membuat binar mata Gendis hilang dalam sekejap."Lalu, kemana aku akan di kembalikan? Apakah kalian akan mengembalikanku ke rumah itu lagi?"Gendis menutup kedua telinganya, menggelengkan kepala dengan cepat. Wajahnya di penuhi kecemasan dan ketakutan."Beristirahatlah, karena Tuan muda akan membawamu keluar
Gaun hitam melekat sempurna di tubuh Gendis.Beberapa kali dia memutar tubuhnya di depan cermin, memastikan penampilannya sudah sempurna.Sungguh konyol memang, jika beberapa waktu yang lalu, Steve hampir saja membuat tubuh Gendis tidak lagi sempurna, namun saat ini, Gendis justru ingin terlihat sempurna di hadapan Steve.Gendis berjalan menuju tempat tidur, meletakkan bobot tubuhnya di tepi tempat tidur. Rasa jengah menyerang, matanya menatap ke bawah, melihat kaki jenjangnya yang tanpa alas.Gendis menarik nafas dalam, lalu mengembuskannya dengan kasar."Apa aku harus keluar seperti ini? Dia bisa membelikanku baju, tapi kenapa tidak sekalian membeli sepatu," omel Gendis.Mata Gendis menyapu seluruh kamar, mencari-cari keberadaan sandal selop yang dia pakai ketika datang ke rumah ini.Namun tidak dia temukan keberadaan benda tersebut di kamar itu."Apakah pak Markus sudah membuangnya?" pikir Gendis.Dengan rasa gamang, Gendis membu
Gendis duduk dalam dalam diam, sementara Steve yang duduk di depannya pun melakukan hal yang sama.Mereka sama-sama terdiam, bahkan embusan nafas mereka sampai bisa terdengar.Seorang pelayan datang membawa dua buah gelas berisi minuman, lalu meletakkan di atas meja.Pelayan tersebut mengangguk dengan hormat begitu melihat Steve."Tuan, apakah makan malamnya bisa kami siapkan sekarang?" tanya pelayan tersebur dengan sopan dan kepala menunduk."Iya, siapkan sekarang." Steve menjawab.Tidak lama kemudian, beberapa pelayan datang sambil membawa berbagai hidangan dan menata rapi di atas meja.Sementara itu, Gendis hanya bisa menyaksikan semua tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun.Karena, di hapadapannya kini, telah terhidang aneka makanan yang selama ini hanya bisa dia lihat di acara televisi atau film-film saja.Sulit sekali untuk membuat pikirannya mempercayai bahwa semua yang ada di hadapannya saat ini adalah nyata, bukan sekedar mimpi
"Si--siapa yang melakukan ini padamu, Gendis?" tanya Steve dengan suara terbata.Sementara Gendis memandang Steve dengan tatapan ketakutan. Airmatanya masih terus mengalir dan membasahi kedua pipinya."Jangan ... jangan mendekat."Gendis memohon sambil meronta, berusaha melepaskan ikatan pada kedua tangan dan kakinya. Dia menarik-narik tali yang mengikat dengan sekuat tenaganya, namun ikatan pada tangan dan kakinya tidak juga lepas.Justru, tali ikatan itu seolah semakin mengencang. Hingga pergelangan tangannya memerah dan lecet, begitu juga dengan pergelangan kakinya.Walau demikian, tidak membuat Gendis menghentikan usahanya, dan terus menarik tangannya untuk melepas ikatan tersebut.Tubuh polos Gendis yang terikat pada dua sisi tempat tidur dan sedang meronta-ronta, berhasil membuat Steve menjatuhkan ikat pinggang dan mengurungkan niatnya untuk melampiaskan hasrat untuk menyakiti, namun, melihat Gendis dalam posisi seperti itu, justru memban