Beranda / Urban / Revenge / Dirga, Suami Jahanam

Share

Dirga, Suami Jahanam

Penulis: Yani Santoso
last update Terakhir Diperbarui: 2021-02-04 20:28:22

Gendis melepas kebaya koyaknya dan mengganti dengan pakaian yang tadi diberikan oleh Dirga.

Setidaknya, dia tidak terlihat seperti gembel dengan baju compang campingnya, walau sebenarnya gembel mungkin lebih berharga daripada dirinya, yang telah ternoda dan dijual.

Sekitar sepuluh menit kemudian, suara pintu terdengar dibuka oleh seseorang. 

"Kita pulang sekarang," ucap Dirga yang sudah berdiri di depannya dengan memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana.

"Aku ingin pulang ke rumah orang tuaku."

"Apa kamu bilang? Pulang ke rumah orang tuamu? Kamu lupa, ya, kamu itu sekarang sudah menjadi istriku. Jadi kamu harus pulang kerumahku."

Lalu Dirga menarik tangan Gendis dengan paksa keluar dari rumah tersebut.

"Lepas ... lepaskan aku." Gendis meronta, berusaha melepaskan tangan Dirga yang mencengkeram tangannya.

"Jalan, dan masuk ke dalam mobil kalau kamu masih ingin melihat orang tuamu hidup!" ancam Dirga sambil mendorong tubuh Gendis masuk ke dalam mobil.

Sepanjang perjalanan, Gendis tak henti menangis.

Apalagi mengingat apa yang telah terjadi di ruangan itu, membuat Gendis benar-benar merasa benci dengan Dirga, laki-laki yang belum lama menjadi suaminya.

****

"Turunlah, kita sudah sampai," Perintah Dirga begitu mobil sudah berada di halaman sebuah rumah yang cukup luas.

"Aku tidak mau!" tolak Gendis.

"Kamu mau turun sendiri, atau aku akan menyuruh anak buahku menyeretmu keluar dari dalam mobil?!" Hardik Dirga.

Gendis menatap wajah Dirga penuh kebencian. Dia memang tidak takut dengan laki-laki itu, tapi untuk melawannya pun juga tidak mungkin.

Dengan terpaksa, Gendis menuruti perintah Dirga untuk keluar dari dalam mobil.

Begitu berada di luar mobil, Dirga mendorong tubuh Gendis untuk berjalan hingga membuat nya hampir jatuh tersungkur.

Dengan sedikit terseok, sakit di pangkal pahanya membuat Gendis meringis menahan sakit.

"Jalan cepat, jangan membuatku hilang kesabaran," bentak Dirga dari belakang.

"Aku ... aku sakit sekali," rintih Gendis.

Namun Dirga tidak menghiraukan rintihannya.

"Kamu lihat apa yang ada di sana?" tanya Dirga sambil menunjuk ke arah dua ekor anjing yang terikat rantai.

Gendis bergidik melihat dua ekor anjing penjaga yang terlihat begitu garang.

"A--apa maksumu?" tanya Gendis dengan mata terbelalak.

"Kalau kamu tidak bisa berjalan lebih cepat, maka aku akan melepaskan salah satu untuk membuatmu berlari."

Mendengar itu, dengan sekuat tenaga Gendis berusaha mempercepat langkahnya.

Dia berasakan pangkal pahanya begitu sakit dan cairan hangat merembes keluar.

Air mata meleleh di pipi Gendis, karena dia harus menahan rasa sakit hati sekaligus sakit di tubuhnya.

"Tania, bawa dia ke kamar lantai atas," perintah Dirga pada seorang wanita berpakaian seksi yang dia panggil dengan nama Tania, begitu mereka berada di dalam rumah besar itu.

Wanita seksi bernama Tania itu, menggandeng Tania dan membantunya berjalan menuju sebuah kamar yang berada di lantai atas.

Begitu berada di dalam kamar, Tania berkata pada Gendis, "Kamu pasti istri baru Dirga."

"Da--darimana kamu tahu itu?" Gendis menjawab dengan rasa penasaran.

"Karena, Dirga selalu membawa istri barunya ke rumah ini."

"Apa maksudmu?" Gendis membelalakan matanya.

"Asal kamu tahu, kamu bukanlah satu-satunya perempuan yang dibawa ke sini oleh Dirga."

"Maksudnya apa?" tanya Gendis lagi.

"Kamu akan tahu nanti." Tania menjawab singkat dan bersiap meninggalkan Gendis, namun berhenti ketika Gendis memanggilnya.

"Tunggu, jangan pergi dulu. Katakan padaku, siapa kamu?" 

Tania membalikkan tubuhnya, lalu menjawab,

"Aku adalah istri pertama Dirga."

Setelah menjawab pertanyaan Gendis, Tania meninggalkannya sendiri di kamar.

Gendis terduduk lemas di atas tempat tidur, rupanya, sementara dari pangkal pahanya, cairan berwarna merah merembes hingga ke kakinya.

Disibaknya gaun hitam yang dia kenakan, dan begitu melihat, dia menjerit.

Haaaa.....

Gendis panik melihat darah di kakinya, dan teriakan paniknya ternyata terdengar oleh Dirga, dan membuatnya bergegas naik ke lantai atas menuju kamar Gendis.

Ceklek....

 Daun pintu kamar di buka dari luar, lalu Dirga masuk dan melihat Gendis terisak di sudut tempat tidur.

Dirga melihat kaki Gendis yang ada bercak darahnya, lalu dia berdecak.

"Jangan seperti anak kecil, itu hanya luka biasa dan akan sembuh setelah minum ini. Kamu tahu, karena itulah, kamu dihargai cukup malah oleh pelangganku."

Dirga melemparkan sebuah botol kecil berisi obat ke arah Gendis.

"Kamu jahat Dirga, benar-benar jahat!" maki Gendis. Sementara Dirga hanya menyeringai melihat Gendis menangis.

Seolah, tangisan Gendis adalah sebuah hiburan baginya.

"Aku memang jahat, dan kamu akan tahu bahwa aku sebenarnya lebih dari jahat."

Gendis mengepalkan kedua tangannya menahan marah, sementara Dirga berdiri di depannya bak monster lapar.

"Apa sebenarnya tujuanmu menikah denganku?" tanya Gendis.

Mendengar pertanyaan Gendis, Dirga tertawa terbahak-bahak.

Ha ha ha ha ....

"Tidak kah kau lihat gadis-gadis yang ada di bawah tadi?" 

Dirga mendekatkan wajahnya ke wajah Gendis.

"Mereka, gadis-gadis yang kamu lihat di bawah tadi, sebagian adalah istriku."

"Apa maksudmu?" tanya Gendis tidak mengerti.

"Sebaiknya kamu tidak perlu tahu."

Lalu, Dirga keluar kamar meninggalkan Gendis. Namun sebelum dia membuka pintu, Dirga menoleh dan berkata, "Minumlah obat itu, karena sebentar lagi kamu harus bekerja untukku."

Dipandanginya punggung Dirga yang kemudian menghilang dibalik pintu.

Gendis melempar banta ke pintu melempiaskan kekesalannya.

****

Tok tok tok ....

Sebuah ketukan di kamar.

To tok tok ....

Ketukan itu kembali terdengar, setelah beberala saat, pintu perlahan terbuka.

Seorang gadis sebaya dengan Gendis masuk membawa sebuah nampan berisi makanan.

Gendis memperhatikan gadis itu, dan dia tersenyum ke arah Gendis. Dalam hati, Gendis berpikir bahwa gadis itu adalah gadis baik. 

"Apakah kamu juga istri Dirga?" tanya Gendis ragu.

Gadis itu menatap Gendis, kemudian dia menggeleng.

"Apakah kamu anak buah Dirga, dan bekerja untuknya?" Gendis bertanya lagi.

Gadis itu menatap Gendis lama, lalu dengan pelan dia berkata, "Namaku Suli." Gadis itu memperkenalkan diri.

"Suli, kenapa kamu ada di sini?" tanya Gendis lagi.

"Aku-- aku ... di jual oleh bapak tiriku."

"Apa?" Gendis hampir saja memekik begitu mendengar jawaban Suli, namun buru-buru menutup mulutnya.

"Maaf, aku harus pergi."

"Tunggu, jangan pergi dulu." Gendis memegang tangan Suli dan memintanya untuk tidak buru-buru pergi.

"Aku takut, ada anak buah Dirga di luar," ucap Suli lirih.

"Kamu harus berhati-hati dan jaga dirimu, jangan sampai membuat Dirga marah. Atau kamu akan dihajarnya."

"Dirga menghajarmu?" tanya Gendis sambil menatap Suli.

Kemudia suli memperlihatkan lengan kirinya, disana terlihat banyak sekali memar bekas pukulan.

Gendis terbeliak melihat luka di tangan Suli.

"Dirga adalah orang jahat, dia akan menyiksa siapa saja jika ada yang berani melawan atau menolak melayani tamu yang datang. Maaf, aku harus pergi."

Suli kemudian meninggalkan Gendis yang masih syok dengan apa yang dia lihat dan dengar.

Rupanya saat ini, Gendis berada di dalam kandang srigala, yang kapan saja siap menerkam dirinya. 

Gendis bingung sekaligus takut, hingga membuatnya mondar-mandir di dalam kamar, mencari cara untuk bisa lepas dari jeratan para durjana yang ada di rumah itu.

**** 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Revenge   Saling Memaafkan

    "Calon mantu?"Kali ini ayah Gendis yang mengulang kalimat.Dengan pandangan bingung, laki-laki paruh baya itu berdiri, mendekati tamu yang baru datang ke rumahnya.Ditatapnya satu persatu wajah orang-orang yang baru datang ke rumahnya itu."Gendis, apa benar, kamu kenal dengan mereka?" tanya nya.Diarahkan pandangan matanya pada anak perempuannya itu.Gendis mengerjap, merasa bingung harus dari mana dia menceritakan semuanya. Karena sejak kedatangannya kembali ke rumah, belum sempat bercerita pada kedua orang tuanya. Yang mereka tahu, kalau anak perempuannya telah pulang kembali ke rumah dan berkumpul bersama mereka."Bapak, Gendis kenal dengan mereka. Merekalah yang telah menyelamatkan Gendis dari cengkeraman jahat Dirga dan bapaknya," ujar Gendis menjelaskan."Saya Steve, Pak," ucap Steve sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan bapak Gendis.Sejenak merasa ragu, lalu, disambutnya ukuran tangan pemuda jangkung yan

  • Revenge   Menyusul Gladys

    Steve membanting tubuhnya di atas tempat tidur, diembuskan kasar napasnya.Ada rasa kesal sekaligus kesedihan yang bercampur jadi satu.Dibukanya kembali surat yang ditulis Gladys."Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku," dengkus Steve.Dia melempar surat itu kasar, lalu menenggelamkan tubuhnya di atas tempat tidur, tatapannya kosong, menerawang menembus langit-langit kamar.Diletakkannya sebelah tangan di atas dahi.Beberapa kali Steve merubah posisi tidurnya, lalu dia bergegas bangkit menuju lemari pakaian, mengganti piyama dengan kemeja lengan panjang, yang digulung hingga bawah siku.Rasa nyeri di perut, tidak dirasakan lagi."Tuan Muda, mau pergi? Biar saya yang nyetir mobilnya," ucap pak Markus, saat melihat Steve berjalan menuju garasi."Tidak usah, Pak. Saya bisa nyetir sendiri," jawab Steve."Tapi Tuan Muda belum sepenuhnya pulih ....""Pak Markus, aku bisa sendiri." Steve menolak."Tapi mau keman

  • Revenge   Gladys Meninggalkan Rumah Steve

    Di dalam kamar, Gladys terduduk lesu.Hati kecilnya ingin sekali tinggal di rumah ini lebih lama, terlebih saat ini sikap Steve tidak sedingin sebelumnya.Namun di sisi hatinya yang lain, keinginan untuk bertemu orang tuanya semakin menggebu, apalagi sudah hampir tiga tahun sejak Dirga membawanya keluar dari rumahnya, belum pernah sekalipun dia bertemu atau sekedar mendengar kabar tentang keluarganya.Cukup lama Gladys terpekur, sesekali matanya menatap langit-langit kamar, lalu kembali menunduk. Beberapa kali dia menarik napas dalam."Dys ... kamu dari mana?" tanya Suli yang baru keluar dari kamar mandi."Oh, aku baru saja dari halaman depan. Menghirup udara pagi," jawab Gladys.Dia kembali menunduk, meremas jari jemarinya, lalu beranjak menuju lemari pakaian. Suli memperhatikan setiap gerak-gerik sahabatnya itu tanpa mengeluarkan sepatah kata."Buat apa kamu mengeluarkan tas itu, Dys? Juga pakaian itu ....?" tanya Suli keheranan saat me

  • Revenge   Maaf

    Steve sudah kembali ke rumahnya, di hari kedua, dia bahkan sudah bisa berjalan-jalan di sekitar rumah, walau sedikit lambat.Namun pagi ini, rupanya ada yang sedang mengganjal hatinya, hingga membuatnya terlihat tidak tenang, wajah dinginnya terlihat sedikit murung.Akan tetapi, dia berusaha untuk tetap bersikap tenang, walau getar-getar di hatinya, membuatnya susah tidur.Beberapa kali dia menarik napas berat, lalu dengan kasar mengembuskannya."Tuan ...."Sebuah panggilan lembut mengagetkan lamunannya, Steve menoleh ke arah suara. Di sana, Gladys berdiri dengan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku."Gladys, kamu sudah bangun?" tanya Steve."Sudah, Tuan sendiri ... kenapa sudah berada di luar. Ini masih sangat pagi," jawab Gladys.Steve yang mendengar pertanyaan Gladys menjadi sedikit kikuk, lalu dengan cepat dia menjawab, "Oh, aku ingin mencari udara segar. Berbaring di tempat tidur membuatku bosan.""Oh, begitu ..

  • Revenge   Love it or Hate it

    Gladys berlari sepanjang koridor, di belakangnya, Suli dengan napas terengah mencoba mengejar langkah sahabatnya itu.Pikirannya sangat kacau, ketika Roy mengabarkan kalau saat ini Steve tengah menjalani operasi, walaupun Roy juga sudah mengatakan kalau semua baik-baik saja.Kedua wanita itu kemudian masuk ke dalam salah satu ruangan, di mana terdapat dua orang pria berbadan tegap berdiri di dekat pintu.Mereka adalah anak buah Steve yang sengaja ditugaskan oleh Roy untuk berjaga di luar."Steve ... bagaimana keadaanmu?" tanya Gladys begitu dia berada di dalam ruangan."Dia baik-baik saja, operasinya berjalan lancar." Roy yang duduk di kursi sebelah brankar menjawab."Syukurlah." Gladys menarik napas lega sembari mendekat ke arah Steve yang masih terbaring.Gladys duduk di sebelah Roy, sembari meraih tangan Steve."Ouh ... sakit," rintih Steve ketika tidak sengaja Gladys menyentuh bagian tubuh Steve yang terlukan."Maaf, aku

  • Revenge   Sakit Hati Suli

    "Keluar, atau aku akan menyeretmu dari sana!" Gladys kembali berteriak. Suaranya menggema ke seluruh ruangan.Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di dalam ruangan itu.Gladys berjalan pelan menuju meja, suara sepatunya memaku lantai.Tok tok tok ....Baru beberapa langkah, Gladys berhenti.Dari bawah meja, tampak seseorang berjongkok, lalu perlahan dia bangkit berdiri menghadap arah Gladys.Melihat siapa yang muncul dari balik meja, Gladys tersenyum. Lalu dia berkata."Kita bertemu lagi, Tania. Walau dalam suasana yang berbeda," ucap Gladys."Iya, senang bisa bertemu denganmu lagi, Gendis."Tania berkata sambil merapikan rambutnya, dia berusaha bersikap tenang, namun tetap saja, kegugupan tampak jelas di wajahnya.Tiba-tiba, Suli yang sejak tadi diam di depan pintu, berlari menghampiri Tania, dan tangan kanannya langsung bergerak cepat meninju wajah Tania.Mendapat serangan yang tib

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status