Home / Pendekar / Rimba Memburu Senala / 3- Mamak Jambul Ternyata Seorang Pendekar

Share

3- Mamak Jambul Ternyata Seorang Pendekar

Author: Erbidee
last update Last Updated: 2025-03-12 14:29:47

Jauh di dalam rerimbunan hutan yang sepi, di sebuah padepokan terpencil, tinggallah Mamak Jambul—seorang pendekar tangguh dengan senyum khas yang selalu tampak sedikit aneh, seperti dia baru saja mengingat lelucon yang tak pernah diceritakan pada orang lain. Harimau, ular, atau babi hutan yang kebetulan lewat biasanya segera melarikan diri, bukan karena wujud Mamak Jambul menakutkan, tetapi karena makhluk liar itu tampaknya tahu persis siapa yang lebih perkasa.

Ketika Senala, bayi kecil yang dibelinya dari Bagong, mulai tumbuh besar, Mamak Jambul terlihat lebih sibuk. Hari-hari dihabiskan dengan memberi makan, menenangkan tangis, dan kadang mengeluarkan jurus "Bayu Sejuk"—istilah perempuan itu untuk mengipasi Senala hingga tertidur pulas. "Makan dan bermain saja, itulah hidup sederhana," gumam Mamak Jambul setiap kali Senala tertawa renyah saat dikejar ayam-ayam hutan.

Waktu berlalu. Senala mulai diajarkan langkah pertama seni bela diri. Dengan semangat, Mamak Jambul memberi contoh tendangan memutar. Namun alih-alih menendang, Senala justru tertawa terpingkal-pingkal sambil jatuh terguling di tanah.

"Bagus! Itu juga salah satu teknik bertahan," kata Mamak Jambul mencoba menutupi fakta bahwa latihan hari itu mungkin lebih mirip bermain kucing-kucingan.

Suatu hari, Senala yang baru saja beberapa bulan genap belajar berlari, berhasil menangkap seekor kelinci kecil. Dengan bangga dia mengangkat hasil tangkapannya. Mamak Jambul melihat itu dan tak kuasa menahan tawa hingga bahunya berguncang. Dia mengangkat Senala ke udara, memutar-mutar tubuh kecil itu dengan penuh kasih sayang. Senala yang melayang tinggi hanya tersenyum bahagia seakan-akan tahu bahwa di bawah, Mamak Jambul pasti siap menangkapnya.

Hutan lebat tempat mereka tinggal adalah sekolah terbaik untuk Senala. Pohon-pohon tinggi menjadi alat latihan memanjat, akar-akar liar menjadi rintangan untuk melatih kelincahan, dan sungai kecil yang jernih menjadi tempat belajar keseimbangan. Senala mulai mahir membaca jejak: jejak rusa, harimau, bahkan jejak ayam kampung Mamak Jambul yang suka kabur.

Ketika usia Senala mencapai sepuluh tahun, dia sudah menjadi gadis hutan yang luar biasa. Dia bisa melompat dari satu dahan ke dahan lainnya seperti burung kecil, dengan pakaian lilitannya yang dirancang Mamak Jambul agar tak mengganggu gerakannya. Mamak Jambul sering memandangi murid sekaligus anak asuhnya itu dengan rasa bangga yang tak terlukiskan.

"Senala, kamu sudah seperti pendekar betulan," kata Mamak Jambul suatu pagi sambil mengelap tombak yang hanya digunakan untuk berjaga-jaga. Sambil bersiap latihan, Senala hanya terkekeh. "Tapi, Mak, kenapa pendekar seperti kamu namanya kok Jambul?" tanyanya polos. Mamak Jambul tertawa terbahak-bahak lalu menjawab, "Namaku memang aneh, tapi siapa bilang pendekar tak bisa punya nama lucu?"

Di hutan, Mamak Jambul punya cara unik mengajar Senala. Jika Senala lelah, Mamak Jambul akan membuat teh jahe lalu bercerita tentang masa mudanya. Tentu saja, sebagian besar ceritanya dilebih-lebihkan—seperti bagaimana dia pernah mengalahkan harimau dengan hanya seutas tali, atau bagaimana dia membuat ular takut hanya dengan melirik. Senala selalu tertawa meski diam-diam dia tahu, mungkin separuh dari kisah itu hanyalah bumbu cerita.

Hari-hari di hutan berlalu dengan damai meski kadang penuh aksi konyol. Suatu sore, Mamak Jambul memutuskan untuk mengajari Senala memanah. Saat dia bersiap memanah buah kelapa di atas pohon, anak ayam peliharaannya tiba-tiba melintas. Panik. Mamak Jambul malah menjatuhkan busurnya. Senala tertawa hingga perutnya sakit melihat itu.

Dengan segala kelucuan dan keseriusan, Mamak Jambul dan Senala menciptakan cerita indah di hutan terpencil itu. Ketika malam tiba, Mamak Jambul duduk di beranda pondok sambil mengamati bintang. "Senala, suatu hari nanti, kamu akan menjadi pendekar yang lebih hebat dari aku," gumamnya pelan, sementara Senala tertidur di sebelahnya dengan senyum damai di wajahnya.

Beberapa tahun ke depan, Senala pasti akan menggantikan Mamak Jambul sebagai penjaga hutan terpencil itu. Tapi untuk sekarang, dia hanya seorang gadis kecil yang berlari-lari mengejar kelinci, memanjat pohon, dan tertawa dengan polosnya. Hutan itu, yang penuh rahasia dan petualangan, adalah rumah bagi mereka berdua. Sebuah rumah yang tak pernah sepi dari kehangatan dan tawa.

---

Pada suatu pagi, matahari menembus dedaunan lebat hutan, menciptakan pola-pola bayangan yang menari di tanah. Di tengah keheningan, Senala bergerak mengendap-endap seperti harimau kecil berburu mangsa. Si Manis, monyet kecil yang setia, berada di sisinya. Wajah si Manis tampak serius. Sesekali ia mencuri-curi pandang ke arah Senala, mungkin bertanya-tanya kapan mereka akan dapat makan siang.

Seekor rusa tampak di depan mereka, asyik mengunyah daun-daun. Senala tersenyum tipis. "Ini kesempatan kita," bisiknya pelan, cukup untuk didengar si Manis. Si Manis mengangguk kecil seolah-olah benar-benar paham situasinya. Ia bahkan mengatur napasnya agar tidak terlalu berisik.

Dengan gerakan hati-hati, Senala mengangkat busur panahnya. Napasnya diatur. Matanya tertuju pada titik lemah di tubuh rusa itu. Namun di tengah fokusnya, suara aneh tiba-tiba memecah keheningan. "TIIUUT!" Diiringi bau yang tidak sedap. Senala menoleh dengan cepat, dan di sana, si Manis terlihat canggung, menyeringai penuh rasa bersalah.

"Manis! Ini serius!" bisik Senala setengah memelotot. Si Manis hanya menggaruk kepala seolah-olah berkata, "Ups, salah aku." Untungnya, rusa masih asyik mengunyah, sepertinya tidak sadar akan ancaman yang mengintai.

Kembali ke posisi, Senala menarik napas panjang lagi. Dia mengencangkan tali busur, lalu melepaskan anak panahnya dengan kecepatan kilat. Anak panah itu meluncur, menembus udara sebelum akhirnya mengenai sasaran tepat di titik mematikan. Rusa itu terkulai ke tanah. Senala tersenyum puas sementara si Manis melompat-lompat kecil penuh kemenangan.

"Ayo, kita ke rusa itu," ajak Senala sambil menggendong si Manis yang langsung mendarat di bahunya. Mereka berjalan mendekati mangsa dengan langkah penuh semangat. Sebelum sempat menyentuh rusa itu, seekor serigala lapar muncul dari balik semak-semak.

Senala langsung waspada. Serigala itu menatap monyet mungil dan gadis itu dengan tatapan ganas. Gigi-giginya yang tajam berkilat di bawah cahaya matahari. Si Manis, yang tadinya berani, langsung berlindung di belakang kepala Senala. Wajahnya mengintip dengan mata bulat ketakutan.

"Serigala ini mau cari masalah, ya?" gumam Senala, memasang kuda-kuda. Serigala itu menyerang dengan cepat, dan pertarungan pun dimulai. Si Manis melompat dari pundak Senala, mencari aman. Tubuh mereka berguling-guling di tanah. Senala menahan rahang serigala yang berusaha menggigitnya, sementara dia berusaha meraih pisau kecil di balik bajunya.

Dengan gerakan cepat, Senala menusukkan pisau itu ke tubuh serigala. Hewan itu mengeluarkan suara parau sebelum akhirnya tumbang ke tanah, lemas tak berdaya. Senala menghela napas lega, sementara si Manis kembali berani dan melompat ke pundak gadis itu. Monyet itu mengecek serigala yang sudah tak bergerak melalui gerak kedua bola matanya, lalu menatap Senala seperti hendak berkata, "Kamu hebat sekali!"

"Ayo, kita bawa rusa ini pulang sebelum ada lagi yang datang," ujar Senala sambil tertawa kecil. Dia mengangkat tubuh rusa itu ke bahunya, sementara si Manis menggantung di kain selempangnya seperti bayi kecil. Mereka berjalan pulang dengan penuh kebanggaan.

Di padepokan, Mamak Jambul sedang menumbuk rempah-rempah di halaman. Melihat Senala dan si Manis datang membawa hasil buruan, wajahnya langsung berbinar. "Hebat, Senala! Kamu sudah seperti pendekar sungguhan," puji Mamak Jambul.

Si Manis, yang mendengar itu, langsung menepuk dada kecilnya ikut-ikutan bangga. Mamak Jambul tertawa melihat tingkah monyet itu. "Dan kamu, si Manis, jangan ganggu lagi Senala kalau dia serius berburu!"

Mereka bertiga akhirnya duduk bersama di halaman, menikmati hasil buruan dengan tawa dan cerita. Mamak Jambul bercerita tentang masa mudanya berburu harimau—meski Senala tahu kisah itu mungkin dilebih-lebihkan. Si Manis sibuk memakan potongan buah yang dibagi Mamak Jambul, sesekali melirik Senala dengan mata puas.

Hari itu, di tengah hutan yang terpencil, mereka menunjukkan bahwa bahkan dalam kesederhanaan, kebahagiaan bisa terasa begitu besar. Senala memandang Mamak Jambul dan si Manis, dan dia tahu bahwa di sini, di tengah kekonyolan dan petualangan kecil, dia menemukan rumah sejati. Mamak Jambul adalah yang terbaik. Senala belum mengetahui kenyataan sebenarnya.

Mereka adalah tim kecil yang tidak terkalahkan—Senala, si gadis berbulu mata lentik; Mamak Jambul, pendekar dengan senyum lucu; dan si Manis, monyet setia yang kadang tidak tahu kapan harus berhenti bercanda. Dan mereka semua hidup dengan cara yang tak hanya penuh petualangan, tetapi juga cinta dan tawa.---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rimba Memburu Senala   93- Syahdan di Tanah Salju

    Saat musim berganti dan salju tak lagi memaksakan dinginnya, Sekte Yǒngjiǔ berdiri sebagai monumen dari banyak luka yang perlahan disembuhkan. Para pendekar kembali ke jalan masing-masing, membawa bukan hanya ajaran bela diri, tetapi pelajaran tentang hati, tentang kehilangan, dan tentang keberanian untuk memaafkan.---Di ruang meditasi yang tenang, Yu Lie menulis jurnalnya sendiri, bukan untuk dikenang, melainkan untuk menjaga agar sejarah tak kembali dibengkokkan oleh ambisi. “Kebenaran bukan pisau,” tulisnya. “Ia adalah cermin. Kadang menyakitkan, tapi tanpanya, kita berkelana tanpa arah.” Dia menyadari bahwa tugasnya tak pernah hanya tentang membongkar rahasia—tapi mengembalikan jiwa yang terluka ke pelukan dunia.Langit malam di atas Tanah Riuh menggantung kelabu, seolah-olah enggan memberi cahaya pada hari-hari yang masih mengandung luka. Angin membawa bau debu, lilin yang telah padam, dan sisa harapan yang belum dibakar oleh ketakutan.Di ruang meditasi yang sama, Yu Lie duduk

  • Rimba Memburu Senala   92- Kehadiran Chen Lung

    Di tengah Tanah Salju yang kini menampakkan rona musim semi, Pertemuan Agung dimulai dengan arak-arakan para pendekar dari berbagai sekte. Aula utama Sekte Yǒngjiǔ kembali menjadi pusat perhatian. Simbol naga bersinar terpahat segar di dinding, dan langit tampak bersahabat, menyingkirkan salju demi cahaya kehangatan.Pertemuan Agung itu adalah pertemuan kedelapan semenjak Mei Chin dan Thong Chai terpisah.Thong Chai berdiri di podium kehormatan, mengenakan jubah biru keperakan, sementara Mei Chin berada di sisinya, tangannya menggandeng seorang bocah lelaki yang belum genap sepuluh tahun, tetapi sorot matanya tajam dan menyala penuh semangat.“Ini adalah Chen Lung,” ucap Mei Chin dengan suara bergetar, “Putra kami. Buah dari cinta yang tumbuh di tengah badai.”Chen Lung menggenggam jubah ayahnya. Tatapan para pendekar berubah dari hormat menjadi haru. Anak kecil itu membungkuk perlahan seperti telah diajarkan sejak bayi untuk menghormati para tetua. Mungil tubuhnya, tapi langkahnya ga

  • Rimba Memburu Senala   91- Bayangan di Balik Dinding Sekte

    Malam telah menjelma sunyi, memeluk Tanah Salju dengan keheningan yang dalam. Bangunan utama Sekte Yǒngjiǔ tampak seperti benteng batu yang membeku. Namun di dalamnya, Yu Lie dan tiga rekannya sudah menyusup ke lorong tersembunyi, dipandu oleh petunjuk yang mereka temukan di naskah tua kedai penginapan: peta kecil dengan tinta tipis yang memudar. Tidak ada yang tahu bahwa mereka sudah berada di jantung tempat yang dulu hanya bisa dimasuki oleh Lu Thong sendiri.“Lorong ini tidak tercatat dalam arsip umum,” bisik Yu Lie sambil mengusap embun dari dinding.Rimba berlutut memeriksa celah lantai. “Ada jejak. Beku. Tapi baru satu-dua hari. Mungkin Lu Thong sempat ke sini sebelum wafat.”Lon Chang mendorong sebuah rak tua dengan lambang ukiran naga. Terdengar suara berderak, dan rak itu bergeser membuka lorong tangga turun yang gelap.Cucu tersenyum tipis. “Akhirnya tempat rahasia yang layak disebut rahasia. Mari kita turun dan menggali kebenaran.”---Ruangan di bawah tanah itu dingin dan

  • Rimba Memburu Senala   90- Ada yang Janggal

    Angin di luar aula berderu pelan, seperti bisikan alam yang turut berduka. Aroma dupa menyesakkan dada, menggiring pikiran para pelayat pada kenangan yang belum sempat diselesaikan.Lou Cho Nghek datang tepat ketika langit meredup. Langkah-langkahnya tidak terdengar, tapi tatapan matanya mengguncang suasana. Dia berdiri di ambang pintu aula, mengenakan jubah abu-abu tua yang dipenuhi lapisan salju. Rambutnya sebagian mencair dari embun, sebagian lagi mengeras, menambah kesan beku pada wajahnya yang tanpa ekspresi.Beberapa murid yang mengenal wajahnya hanya bisa menunduk—ada ketakutan, ada dendam, ada hormat. Phe I Yek mendongak perlahan dan matanya membelalak.“Kamu datang juga,” katanya parau, nyaris seperti gumaman.Lou Cho Nghek tidak menjawab. Matanya hanya terarah pada peti mati. Langkah-langkahnya lambat, seperti menghitung dosa yang dibawanya dari masa lalu. Di depan peti, dia berlutut. Tangannya gemetar menyentuh kayu dingin.“Guru,” ucapnya lirih, “Aku …, tidak sempat bicara

  • Rimba Memburu Senala   89- Phe I Yek Berkabung

    Asap hitam membubung meninggalkan atap penginapan. Jelaga yang dibawa bersama asap hitam itu terpisah oleh butiran-butiran salju yang turun dari langit. Matahari sudah muncul dari ufuk, tetapi tidak membuat Tanah Salju menghangat karena sinarnya seakan-akan terhalang oleh butiran-butiran salju. Mungkin matahari memilih muncul ufuknya di wilayah lain, tidak di Tanah Salju.Di dalam kamar penginapan, kayu bakar menyisakan hangat dengan sisa-sisa batang-batang kayunya berubah warna menjadi sekam. Sisi jendela penginapan bagian luar menempel salju sehingga tampak seperti mata tombak yang berjejer. Embusan angin dingin berani menyelinap masuk ke dalam kamar, membuat Yu Lie menarik selimut untuk menghalau dingin.Lon Chang tidur masih dengan lelap meski suasana dingin di kamar penginapan begitu menyengat. Sementara Cucu dan Rimba, mereka berdua anteng-anteng saja. sepertinya dingin yang meliputi kamar penginapan mereka bukanlah gangguan bagi mereka untuk tetap pulas.Hingga Yu Lie merasa tu

  • Rimba Memburu Senala   88- Ayo, Tidur

    Rimba Rangkuti dan Cucu akhirnya melihat dengan mata kepala bagaimana sebuah perseteruan antara ayah-anak itu terjadi.“Ketika kita meninggalkan anak-anak Akarlangit, mereka tersenyum bahagia,” ujar Cucu.Rimba diam, tidak menimpali ucapan sahabatnya. Dia menarik selimut di kamar penginapan yang berisi empat orang. Yu Lie dan Lon Chang sudah lelap sedari tadi.“Aku, kamu, dan mereka berdua hanyalah pengembara.” Kata Rimba lagi, “Kita tidak bisa memilih apa yang akan kita lihat dan alami.”Kali ini Cucu diam di balik selimut. Pandangannya tajam pada langit-langit kamar tempat mereka menginap malam itu.“Setidaknya, pikiranmu kali ini lebih baik dari sebelumnya.”Rimba tersenyum di sisi Cucu lalu beringsut memunggunginya. “Ayo, tidur.”Sepasang mata merah Cucu menghilang nyalanya.---Langkah Lou Cho Nghek kembali menapaki dunia luar. Namun dunia yang dilihatnya bukan lagi dunia yang sama. Salju tampak lebih kelabu, langit tampak lebih rendah, dan wajah-wajah di jalanan tampak seperti b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status