Jauh di dalam rerimbunan hutan yang sepi, di sebuah padepokan terpencil, tinggallah Mamak Jambul—seorang pendekar tangguh dengan senyum khas yang selalu tampak sedikit aneh, seperti dia baru saja mengingat lelucon yang tak pernah diceritakan pada orang lain. Harimau, ular, atau babi hutan yang kebetulan lewat biasanya segera melarikan diri, bukan karena wujud Mamak Jambul menakutkan, tetapi karena makhluk liar itu tampaknya tahu persis siapa yang lebih perkasa.
Ketika Senala, bayi kecil yang dibelinya dari Bagong, mulai tumbuh besar, Mamak Jambul terlihat lebih sibuk. Hari-hari dihabiskan dengan memberi makan, menenangkan tangis, dan kadang mengeluarkan jurus "Bayu Sejuk"—istilah perempuan itu untuk mengipasi Senala hingga tertidur pulas. "Makan dan bermain saja, itulah hidup sederhana," gumam Mamak Jambul setiap kali Senala tertawa renyah saat dikejar ayam-ayam hutan.
Waktu berlalu. Senala mulai diajarkan langkah pertama seni bela diri. Dengan semangat, Mamak Jambul memberi contoh tendangan memutar. Namun alih-alih menendang, Senala justru tertawa terpingkal-pingkal sambil jatuh terguling di tanah.
"Bagus! Itu juga salah satu teknik bertahan," kata Mamak Jambul mencoba menutupi fakta bahwa latihan hari itu mungkin lebih mirip bermain kucing-kucingan.
Suatu hari, Senala yang baru saja beberapa bulan genap belajar berlari, berhasil menangkap seekor kelinci kecil. Dengan bangga dia mengangkat hasil tangkapannya. Mamak Jambul melihat itu dan tak kuasa menahan tawa hingga bahunya berguncang. Dia mengangkat Senala ke udara, memutar-mutar tubuh kecil itu dengan penuh kasih sayang. Senala yang melayang tinggi hanya tersenyum bahagia seakan-akan tahu bahwa di bawah, Mamak Jambul pasti siap menangkapnya.
Hutan lebat tempat mereka tinggal adalah sekolah terbaik untuk Senala. Pohon-pohon tinggi menjadi alat latihan memanjat, akar-akar liar menjadi rintangan untuk melatih kelincahan, dan sungai kecil yang jernih menjadi tempat belajar keseimbangan. Senala mulai mahir membaca jejak: jejak rusa, harimau, bahkan jejak ayam kampung Mamak Jambul yang suka kabur.
Ketika usia Senala mencapai sepuluh tahun, dia sudah menjadi gadis hutan yang luar biasa. Dia bisa melompat dari satu dahan ke dahan lainnya seperti burung kecil, dengan pakaian lilitannya yang dirancang Mamak Jambul agar tak mengganggu gerakannya. Mamak Jambul sering memandangi murid sekaligus anak asuhnya itu dengan rasa bangga yang tak terlukiskan.
"Senala, kamu sudah seperti pendekar betulan," kata Mamak Jambul suatu pagi sambil mengelap tombak yang hanya digunakan untuk berjaga-jaga. Sambil bersiap latihan, Senala hanya terkekeh. "Tapi, Mak, kenapa pendekar seperti kamu namanya kok Jambul?" tanyanya polos. Mamak Jambul tertawa terbahak-bahak lalu menjawab, "Namaku memang aneh, tapi siapa bilang pendekar tak bisa punya nama lucu?"
Di hutan, Mamak Jambul punya cara unik mengajar Senala. Jika Senala lelah, Mamak Jambul akan membuat teh jahe lalu bercerita tentang masa mudanya. Tentu saja, sebagian besar ceritanya dilebih-lebihkan—seperti bagaimana dia pernah mengalahkan harimau dengan hanya seutas tali, atau bagaimana dia membuat ular takut hanya dengan melirik. Senala selalu tertawa meski diam-diam dia tahu, mungkin separuh dari kisah itu hanyalah bumbu cerita.
Hari-hari di hutan berlalu dengan damai meski kadang penuh aksi konyol. Suatu sore, Mamak Jambul memutuskan untuk mengajari Senala memanah. Saat dia bersiap memanah buah kelapa di atas pohon, anak ayam peliharaannya tiba-tiba melintas. Panik. Mamak Jambul malah menjatuhkan busurnya. Senala tertawa hingga perutnya sakit melihat itu.
Dengan segala kelucuan dan keseriusan, Mamak Jambul dan Senala menciptakan cerita indah di hutan terpencil itu. Ketika malam tiba, Mamak Jambul duduk di beranda pondok sambil mengamati bintang. "Senala, suatu hari nanti, kamu akan menjadi pendekar yang lebih hebat dari aku," gumamnya pelan, sementara Senala tertidur di sebelahnya dengan senyum damai di wajahnya.
Beberapa tahun ke depan, Senala pasti akan menggantikan Mamak Jambul sebagai penjaga hutan terpencil itu. Tapi untuk sekarang, dia hanya seorang gadis kecil yang berlari-lari mengejar kelinci, memanjat pohon, dan tertawa dengan polosnya. Hutan itu, yang penuh rahasia dan petualangan, adalah rumah bagi mereka berdua. Sebuah rumah yang tak pernah sepi dari kehangatan dan tawa.
---
Pada suatu pagi, matahari menembus dedaunan lebat hutan, menciptakan pola-pola bayangan yang menari di tanah. Di tengah keheningan, Senala bergerak mengendap-endap seperti harimau kecil berburu mangsa. Si Manis, monyet kecil yang setia, berada di sisinya. Wajah si Manis tampak serius. Sesekali ia mencuri-curi pandang ke arah Senala, mungkin bertanya-tanya kapan mereka akan dapat makan siang.
Seekor rusa tampak di depan mereka, asyik mengunyah daun-daun. Senala tersenyum tipis. "Ini kesempatan kita," bisiknya pelan, cukup untuk didengar si Manis. Si Manis mengangguk kecil seolah-olah benar-benar paham situasinya. Ia bahkan mengatur napasnya agar tidak terlalu berisik.
Dengan gerakan hati-hati, Senala mengangkat busur panahnya. Napasnya diatur. Matanya tertuju pada titik lemah di tubuh rusa itu. Namun di tengah fokusnya, suara aneh tiba-tiba memecah keheningan. "TIIUUT!" Diiringi bau yang tidak sedap. Senala menoleh dengan cepat, dan di sana, si Manis terlihat canggung, menyeringai penuh rasa bersalah.
"Manis! Ini serius!" bisik Senala setengah memelotot. Si Manis hanya menggaruk kepala seolah-olah berkata, "Ups, salah aku." Untungnya, rusa masih asyik mengunyah, sepertinya tidak sadar akan ancaman yang mengintai.
Kembali ke posisi, Senala menarik napas panjang lagi. Dia mengencangkan tali busur, lalu melepaskan anak panahnya dengan kecepatan kilat. Anak panah itu meluncur, menembus udara sebelum akhirnya mengenai sasaran tepat di titik mematikan. Rusa itu terkulai ke tanah. Senala tersenyum puas sementara si Manis melompat-lompat kecil penuh kemenangan.
"Ayo, kita ke rusa itu," ajak Senala sambil menggendong si Manis yang langsung mendarat di bahunya. Mereka berjalan mendekati mangsa dengan langkah penuh semangat. Sebelum sempat menyentuh rusa itu, seekor serigala lapar muncul dari balik semak-semak.
Senala langsung waspada. Serigala itu menatap monyet mungil dan gadis itu dengan tatapan ganas. Gigi-giginya yang tajam berkilat di bawah cahaya matahari. Si Manis, yang tadinya berani, langsung berlindung di belakang kepala Senala. Wajahnya mengintip dengan mata bulat ketakutan.
"Serigala ini mau cari masalah, ya?" gumam Senala, memasang kuda-kuda. Serigala itu menyerang dengan cepat, dan pertarungan pun dimulai. Si Manis melompat dari pundak Senala, mencari aman. Tubuh mereka berguling-guling di tanah. Senala menahan rahang serigala yang berusaha menggigitnya, sementara dia berusaha meraih pisau kecil di balik bajunya.
Dengan gerakan cepat, Senala menusukkan pisau itu ke tubuh serigala. Hewan itu mengeluarkan suara parau sebelum akhirnya tumbang ke tanah, lemas tak berdaya. Senala menghela napas lega, sementara si Manis kembali berani dan melompat ke pundak gadis itu. Monyet itu mengecek serigala yang sudah tak bergerak melalui gerak kedua bola matanya, lalu menatap Senala seperti hendak berkata, "Kamu hebat sekali!"
"Ayo, kita bawa rusa ini pulang sebelum ada lagi yang datang," ujar Senala sambil tertawa kecil. Dia mengangkat tubuh rusa itu ke bahunya, sementara si Manis menggantung di kain selempangnya seperti bayi kecil. Mereka berjalan pulang dengan penuh kebanggaan.
Di padepokan, Mamak Jambul sedang menumbuk rempah-rempah di halaman. Melihat Senala dan si Manis datang membawa hasil buruan, wajahnya langsung berbinar. "Hebat, Senala! Kamu sudah seperti pendekar sungguhan," puji Mamak Jambul.
Si Manis, yang mendengar itu, langsung menepuk dada kecilnya ikut-ikutan bangga. Mamak Jambul tertawa melihat tingkah monyet itu. "Dan kamu, si Manis, jangan ganggu lagi Senala kalau dia serius berburu!"
Mereka bertiga akhirnya duduk bersama di halaman, menikmati hasil buruan dengan tawa dan cerita. Mamak Jambul bercerita tentang masa mudanya berburu harimau—meski Senala tahu kisah itu mungkin dilebih-lebihkan. Si Manis sibuk memakan potongan buah yang dibagi Mamak Jambul, sesekali melirik Senala dengan mata puas.
Hari itu, di tengah hutan yang terpencil, mereka menunjukkan bahwa bahkan dalam kesederhanaan, kebahagiaan bisa terasa begitu besar. Senala memandang Mamak Jambul dan si Manis, dan dia tahu bahwa di sini, di tengah kekonyolan dan petualangan kecil, dia menemukan rumah sejati. Mamak Jambul adalah yang terbaik. Senala belum mengetahui kenyataan sebenarnya.
Mereka adalah tim kecil yang tidak terkalahkan—Senala, si gadis berbulu mata lentik; Mamak Jambul, pendekar dengan senyum lucu; dan si Manis, monyet setia yang kadang tidak tahu kapan harus berhenti bercanda. Dan mereka semua hidup dengan cara yang tak hanya penuh petualangan, tetapi juga cinta dan tawa.---
Rimba Rangkuti dan Cucu akhirnya melihat dengan mata kepala bagaimana sebuah perseteruan antara ayah-anak itu terjadi.“Ketika kita meninggalkan anak-anak Akarlangit, mereka tersenyum bahagia,” ujar Cucu.Rimba diam, tidak menimpali ucapan sahabatnya. Dia menarik selimut di kamar penginapan yang berisi empat orang. Yu Lie dan Lon Chang sudah lelap sedari tadi.“Aku, kamu, dan mereka berdua hanyalah pengembara.” Kata Rimba lagi, “Kita tidak bisa memilih apa yang akan kita lihat dan alami.”Kali ini Cucu diam di balik selimut. Pandangannya tajam pada langit-langit kamar tempat mereka menginap malam itu.“Setidaknya, pikiranmu kali ini lebih baik dari sebelumnya.”Rimba tersenyum di sisi Cucu lalu beringsut memunggunginya. “Ayo, tidur.”Sepasang mata merah Cucu menghilang nyalanya.---Langkah Lou Cho Nghek kembali menapaki dunia luar. Namun dunia yang dilihatnya bukan lagi dunia yang sama. Salju tampak lebih kelabu, langit tampak lebih rendah, dan wajah-wajah di jalanan tampak seperti b
Di tengah kabut salju yang meruap, langkah Lou Cho Nghek mengoyak kesunyian malam. Napasnya memburu. Matanya me-merah bukan karena dingin, melainkan karena bara yang membakar dadanya tak henti-henti.Di hadapannya, rumah kayu kecil berdiri tenang. Sepasang cahaya dari dalam memperlihatkan siluet Thong Chai dan Mei Chin yang tengah duduk bersebelahan. Sebuah ketenangan yang menjadi bahan bakar bagi amarah Lou Cho Nghek.Dia tak mengetuk. Pedangnya membelah pintu kayu itu seperti membelah kenangan masa kecil yang dipenuhi cacian: "Anak yang gagal menjadi bayangan ayahnya."Mei Chin bangkit lebih dulu. Kipas baja terlipat di tangannya. Tatapannya dingin, tapi tak gentar. Thong Chai berdiri dengan gerakan mengalir seperti embun yang tak bisa dicegah oleh badai.“Lou Cho Nghek,” ucap Thong Chai pelan, “kau datang dengan amarah, bukan keberanian.”“Aku datang dengan kebenaran yang kalian sembunyikan!” balasnya dengan suara parau.Pertarungan pun meletus. Ruang sederhana itu berubah menjadi
Kedengkian tidak memerlukan alasan. Ia hanya tumbuh bagai semak belukar. Mungkin hanya api yang dapat meluluhlantakkan kedengkian sehingga panasnya pun menjalar ke sekujur tubuh yang meronta-ronta.Lou Cho Nghek mengendapkan kedengkiannya kepada Thong Chai dan Mei Chin. Pasangan itu menghindar untuk menghindari perseteruan. Mereka berdua memilih ketenteraman di satu rumah sederhana. Keseharian mereka adalah berkebun, menggembalakan binatang ternak, merajut cinta dan kasih sayang dalam setiap senyum dan lelah tubuh mereka.Sekte Yǒngjiǔ tetap menjadi sekte yang disegani meskipun rumor kekalahan Lu Thong sudah menyebar. Namun banyak dari para pendekar berempati, dan beranggapan bahwa ayah lebih memilih untuk mengalah demi sang anak.“Lu Thong bukan orang sembarangan. Lou Cho Nghek itu anak bau kencur, sekali kepret, habis anak itu.” Satu pendekar mengungkapkan pendapatnya ketika sedang duduk-duduk di kedai.“Dan, Thong Chai bisa saja mengalahkan anak Lu Thong itu.” Satu pendekar berambu
Salju turun perlahan di atas puncak Gunung Xuelan, menyelimuti tanah dengan keheningan yang menyesakkan. Di bawah langit kelabu, dua bendera berkibar: satu berwarna biru keperakan bertuliskan Yǒngjiǔ, satu lagi merah darah bertuliskan Shèng Xuè. Dua sekte, dua jalan, dua darah yang sama—namun kini saling menantang.Di aula utama Sekte Darah Suci, Lou Cho Nghek berdiri di depan para murid barunya. Matanya tajam, penuh bara yang tak padam. Di belakangnya, Guru Duan duduk bersila, wajahnya tenang lamun penuh perhitungan.“Mulai hari ini,” kata Lou Cho Nghek. Suaranya menggema, “kita tidak tunduk pada warisan yang membusuk. Kita tidak tunduk pada nama yang hanya menjadi beban. Kita adalah darah yang murni, yang memilih jalannya sendiri.”Seorang murid muda, Liang Fei, mengangkat tangan. “Tapi ..., Tuan Lou, apakah benar Sekte Yǒngjiǔ adalah tempat kelahiranmu? Tempat ayahmu mengajar dan membesarkanmu?”Lou Cho Nghek menatapnya lama. “Benar. Dan karena itulah aku tahu betapa rusaknya akar
Rimba memandang sahabatnya. Raut wajahnya bingung. Sementara, Cucu, sahabatnya pun ekspresi wajahnya bingung.“Mengapa dalam pandangan mereka berdua, kita adalah binatang?”Cucu menggeleng bingung dan tak mengerti.“Aku tidak melangkah dengan empat kaki.”“Aku juga begitu,” sahut Cucu.Akibat bertemu tiba-tiba dengan Cucu yang tinggi besar dan Rimba Rangkuti, Lon Chang, si Pengembara Botak dan Yu Lie berhalusinasi. Mereka mengidentikkan tubuh Cucu dan Rimba ramping seperti kijang, tapi kulitnya bersisik keperakan dan matanya bersinar kehijauan. Mereka berdua hanya menatap dengan sorot yang tak manusiawi. Lalu halusinasi mereka mulai ngaco, hingga mitos Qisao, Gunung Xuelan dan sebagainya menjadi igauan. Di padang rumput, mereka berhalusinasi, mengigau. Sementara Rimba dan Cucu hanya mampu tertegun melihat tingkah Lon Chang dan Yu Lie.“Kita masih beruntung.”“Beruntung?”
“Qisao adalah mitos,” sebut Lon Chang.Yu Lie diam, mengangguk tidak, menggeleng pun tidak.“Apa yang kualami cuma mimpi.”Yu Lie melirik gelang di genggaman Lon Chang.Lon Chang mengeratkan genggamannya.“Kalau sekadar mimpi, kenapa gelang itu bisa berada di tanganmu?”Lon Chang tersadar dan mengangkat genggamannya, melihat gelang itu dengan saksama. Kemudian dia memandang Gunung Xuelan.“Gerbang terbuka dalam semusim,” gumam Lon Chang.Yu Lie pun mencari apa yang dipandang oleh Lon Chang. Kemudian gadis itu berkata, “Kamu mau ke sana?”Lon Chang terlihat ragu. “Aku berharap ini sekadar mimpi.”---Lon Chang menatap siluet Gunung Xuelan yang menjulang dengan tenang dan dingin, seperti menyimpan ribuan rahasia dalam kabut abadi. Langit berwarna kelabu, menyiratkan musim yang berubah dan waktu yang tidak lagi pasti. Angin berdesir pelan,