Syurrrr... Guyuran air yang di tumpukan wanita paruh baya tepat di wajahnya membuat Zahra terbangun dari tidurnya. Dengan memegangi kepalanya yang terasa sakit, ia mencoba membuka matanya. Ia terheran saat melihat tante Mia berdiri di samping tempat tidurnya, memegang sebuah botol plastik bekas yang ia gunakan untuk menyiramnya, wajahnya terlihat tak bersahabat.
"Tante." Ucap Zahra pelan sambil mencoba bangun dari tempat tidurnya. Namun saat hendak bangun, netranya membesar melihat tubuhnya terbungkus selimut tanpa sehelai kain pun. Ia pun panik dan segera menarik selimut tersebut.
"Apa yang terjadi Tante ? Di mana aku?." ucapnya ketakutan.
Wanita yang sedari tadi menahan emosinya tiba-tiba melayangkan sebuah tamparan ke wajah mulus Zahra.
"Plak....
Kamu bilang apa yang terjadi? Kamu amnesia atau pura-pura lupa ingatan ha?."ucapnya membentuk Zahra.
"Lihat lihatlah ini, wanita itu menunjukkan sebuah foto kepada Zahra, foto di mana ia tertidur tanpa busana sambil memeluk lelaki asing".
"Kenapa Zahra? Kenapa begini?." Wanita itupun kembali melayangkan tamparan bertubi-tubi padanya.
"Ampun Tante." ucap Zahra dengan wajah sedih berharap wanita paruh baya itu segera menghentikan pukulannya.
"Kenapa kamu lakukan ini? Kalau kamu butuh uang, kamu bisa bilang padaku bukan dengan cara seperti ini menjual tubuhmu ke lelaki hidung belang, Tante kecewa padamu Zahra bahkan jika almarhum papa dan ibumu masih hidup mungkin mereka akan melakukan hal yang sama denganku."ucap wanita paruh baya itu yang kini telah terduduk lemah di lantai.
Tak ada lagi percakapan dari kedua wanita itu, mereka hanya sama-sama menangis. Tiba-tiba seorang lelaki keluar dari kamar mandi "Eh sayang, sudah bangun ternyata, jangan menangis terus dong, ayo happy seperti saat semalam kita berada di peraduan, aksimu benar-benar membuatku ingin tambah lagi, hahahaha."ucap lelaki itu tanpa ia sadari jika di samping tempat tidur Zahra ada seorang wanita paruh baya yang sedang menangis.
"Cukup." Dengan cepat wanita yang tak lain adalah Tante Mia segera berdiri. "Jangan teruskan kata-katamu brengsek, atau aku akan... Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba dadanya terasa sesak. Sakit jantung yang ia derita selama ini kini kambuh mendengar ucapan dari lelaki tersebut. Ia memegangi dadanya dan seketika ambruk ia jatuh ke lantai.
"Tante." ucap Zahra berteriak. Dengan cepat ia ia segera memakai pakaiannya dan bergegas menolong tantenya.
Lelaki yang masih berdiri berdiri di depannya hanya terdiam membisu dan seketika ia berlalu keluar dari kamar hotel. Secepat mungkin Zahra meminta pertolongan dan bergegas membawa tantenya ke rumah sakit.
"Tante maafkan aku, aku mohon sadarlah." ucap Zahra sambil mengusap air matanya.
Saat sampai di rumah sakit, Tante Mia segera di tangani dokter. Hampir setengah jam menunggu pintu UGD tak kunjung terbuka. Tiba-tiba Rini datang menghampirinya.
"Mamaku kenapa Ra?" Tanyanya kenapa Zahra yang sedang duduk di bangku tunggu.
Zahra yang kaget atas kedatangan Rini hanya bungkam, entah harus cerita dari mana dulu ia bingung untuk menjelaskannya.
"Zahra." Bentak Rini sekali lagi "Kamu punya mulutkan? Ayo bicara."
"Maafkan aku kak." ucap Zahra terbata-bata.
"Jika terjadi sesuatu pada mamaku kamulah orang yang pertama kali harus bertanggung jawab, pergi dari sini aku tak mau melihatmu lagi." ucap Rini.
Dengan langkah yang lemah iapun beranjak pergi dari hadapan Rini. Melewati lorong rumah sakit, ia memegang dadanya "Cukup sudah, aku sudah tak sanggup lagi menjalani hidup ini, terlalu banyak derita yang harus ku tanggung sendiri, aku menyerah."
Sesampainya di taman rumah sakit, ia menghempaskan tubuhnya di sebuah bangku kosong. Ia menangis seakan air matanya tak kunjung habis. Mencoba mengingat kejadian semalam tapi sayang zonk, ia tak bisa mengingatnya sama sekali.
"Penyesalan memang selalu datang terlambat, Makanya sebelum melakukan sesuatu, fikirkan dulu terlebih dahulu jangan setelah kejadian bisanya hanya menangis." ucap seorang lelaki yang tiba-tiba berdiri di depan Zahra.
Dengan perlahan Zahra mengangkat kepalanya, suara itu tak asing baginya. Saat melihatnya ia hanya tersenyum kecut mengetahui jika dugaannya tidak salah. Suara itu milik Evan, seseorang yang dulu sangat ia sayangi kini telah menjadi orang yang sangat ia benci.
Bersambung
Wanita paruh baya itu segera mengambil handphonenya yang berada di tasnya. Bergegas ia menghubungi putrinya untuk memastikan keberadaannya saat ini. Sudah berapa kali ia menelfonnya namun Rini sama sekali tak menjawabnya. "Ya Allah Rini, Kamu di mana nak ?". Batinnya sambil memegangi dadanya yang terasa sakit. Ia sangat mencemaskan putrinya itu. Bagaimana jika ada seseorang yang menangkapnya lalu menghakimi putrinya ? "Ah tidak-tidak." Segera ia membuang jauh fikirannya itu. Iapun kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas kemudian menuju ke ruangan di mana suaminya di rawat. Fikirannya hari ini benar-benar kacau. Terlalu banyak kejadian yang membuat ia ingin menyerah saja. Belum sampai di tujuan, ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari nomor yang ia tunggu-tunggu, yaitu nomor Rini. "Halo sayang, kamu di mana nak?", Ucapnya lembut. Ia tak ingin mengasari anak gadisnya itu karena jika ia melakukannya, resikon
"Hay !" Ucap Rini sambil tersenyum manis.Evan yang berada di posisi depan pun sontak terhempas ke belakang karena kaget. Begitu pun dengan bundanya dan Zahra. Segera ia memegang erat tangan Zahra dan meraih tangan bundanya lalu mereka pun mundur perlahan."Tetap tenang, aku tidak akan membiarkan siapapun menyakiti kalian." Ucap Evan menenangkan dua wanita yang berada di belakangnya, meskipun ia sendiri merasa takut. Namun ia tak mau memperlihatkan ketakutannya pada dua wanita yang sangat ia sayangi itu."Ups, maaf ya kalau sudah membuat kalian kaget." Ucap Rini santai."Mau apa kamu Rin ? Apa selama ini kamu tidak puas menyakiti Zahra ?" Tanya Evan tanpa basa-basi."Santai dong sayang, jangan marah-marah dulu, kita ini kan baru bertemu lagi, apa kamu tidak merindukanku ?" Ucap Rini sambil mendekati Evan.Perlahan ia meraba wajah Evan dengan pisau yang ia bawa kemudian ia mencium bibir Evan dengan lembut berharap Zahra akan marah melih
Sesampainya di parkiran Rini bergegas memperbaiki posisi mobilnya lalu kembali duduk di kursi samping pengemudi, takut jika mamanya curiga jika melihatnya."Untung saja mama belum datang, hhmm ternyata begini rasanya jika kita berhasil melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain, rasanya sangat menyenangkan hahaha." Ucap Rini sambil tertawa puas."Rini !" Panggil mamanya dari samping mobilnya."Mama, sejak kapan mama berada di situ ?" Tanya Rini panik, ia takut jika mamanya mendengar ucapannya barusan."Baru saja sayang, kamu kenapa, kok wajahnya ceria sekali ?" Tanya wanita paruh baya itu penasaran."Hhmm tidak apa-apa kok mah, Rini cuma senang saja akhirnya bisa keluar dari rumah sakit dan tinggal bareng mama lagi." Ucap Rini beralasan."Oh gitu sayang, ya sudah ayo kita pulang, kamu harus banyak istirahat." Ucap mamanya sambil duduk di kursi kemudi. Kali ini wanita paruh baya itu yang membawa mobil karena keadaan Rini belum terlalu puli
Rini tampak tenang berada di pelukan mamanya. Hanya wanita paruh baya itu yang mengerti akan dirinya. Meskipun sekarang ia bagaikan singa yang kelaparan tapi ia tetap tenang ketika bersama dengan mamanya agar wanita paruh baya itu tidak merasa takut saat dekat dengannya."Ma, maafkan Rini ya, selama ini Rini telah menyusahkan mama." Ucap Rini lembut. Hati kecilnya bergetar melihat mamanya yang begitu tegar. Kali ini ia benar-benar tulus meminta maaf pada mamanya karena ia baru tahu jika yang di alami mamanya sama halnya yang ia alami beberapa tahun yang lalu."Tidak apa-apa kok sayang." Ucap wanita paruh baya itu sambil menahan air matanya."Setelah ini kita mau kemana mah ? Apa kita akan kembali ke rumah lagi, Rini tidak mau tinggal serumah dengan papa." Ucap Rini tegas.Dari awal wanita paruh baya itu memang sudah menduga, jika akhirnya Rini akan membenci papanya setelah ia tahu semuanya. Namun apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur, semua telah terja
Hampir satu jam dr.Linda menunggu dr.Rayan sadar dan akhirnya lelaki yang ada di depannya itu mulai membuka matanya perlahan. Memegang kepalanya yang terasa sakit kemudian mengarahkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Dr.Linda yang melihatnya pun merasa senang."Dokter, kamu sudah bangun ?" Tanya dr.Linda pelan sambil tersenyum.Bukannya menjawab pertanyaan dr.Linda, dr.Rayan malah bertanya kembali karena ia bingung kenapa tiba-tiba ia berada di ruangan dr.Linda."Dr.Linda, kenapa aku bisa ada di ruanganmu ?" Tanya dr.Rayan sambil mencoba duduk.Segera dr.Linda membantunya untuk duduk dan menjelaskan apa penyebabnya sehingga ia bisa berada di ruangannya."Terima kasih dr.Linda, kamu memang sahabatku yang paling baik, semalam aku sudah tidak bisa lagi mengendalikan diriku hingga mengkonsumsi berbagai macam obat." Ucap dr.Rayan sambil menundukkan kepalanya.Ada rasa nyeri di hati dr.Linda saat mendengar ucapan lelaki yang berada di depannya.
Hampir semalaman Evan tak bisa memejamkan matanya. Ia selalu kepikiran dengan kejadian tadi."Bodohnya aku, aarrhh... Maafkan aku Ra, aku hampir saja menghancurkan masa depanmu." Batin Evan sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.Segera ia berbaring kembali di sofa, memejamkan matanya namun hasilnya tetap nihil, ia tak bisa terlelap hingga pukul lima pagi. Setelah itu barulah ia bisa memejamkan matanya namun baru sebentar ia tertidur tiba-tiba ia terbangun kembali saat mendengar ponselnya berdering berulang kali. Sebuah panggilan masuk dari bundanya."Assalamualaikum bunda." Ucapnya Evan sopan."Wa'alaikum salam sayang, bagaimana kabar kalian, apa kalian baik-baik saja ?" Tanya bundanya."Alhamdulillah kami baik bund, cuma...Evan tak melanjutkan kata-katanya, ia takut jika bundanya mengetahui kejadian semalam ia pasti akan sangat kecewa karena dari dulu wanita paruh baya itu selalu mewanti-wanti anaknya agar ia tidak melakukan hal yang belu