"Kamu rupanya?".
Mendengar ucapan Zahra yang memanggilnya dengan sebutan KAMU membuat darah Evan mendidih. Bagaimana tidak, wanita yang saat ini berada di depannya selalu memanggilnya dengan sebutan KAKAK kini memanggilnya dengan sebutan berbeda. Tapi ia tetap mencoba menahan emosinya, meskipun akhirnya meledak juga.
"Ternyata ini asli kamu Ra?" Betapa bodohnya aku dulu, Bisa tertipu dengan wajah polosmu. Kamu tidak ada bedanya dengan Kirana, sama saja, sama-sama pengkhianat.
Mendengar dirinya di sebut pengkhianat, Zahra sudah tak bisa lagi membendung emosinya. Entah kekuatan dari mana, ia bisa menjawab semua pertanyaan dari Evan bahkan terkadang ia membentak lelaki itu.
"Kamu bilang apa? Aku pengkhianat hahahaha, lalu dirimu apa? Bertahun-tahun aku menunggumu dengan kesetiaan tapi apa yang aku dapat tak ada kepastian, bahkan berakhir dengan pengkhianatan, kamu kemana saat aku butuh? kamu kemana saat aku rindu? Kamu bahkan tidak lebih dari seorang pengecut, memutuskan hubungan hanya dari sebelah pihak bahkan melalui perantara lewat sepupumu, kenapa tidak menghubungiku langsung? Kenapa?".
Bagaikan kesetanan, Zahra tak lagi memperdulikan orang yang melihatnya di taman. Ia mengeluarkan semua beban yang ada di hatinya. Beban yang selama ini menyiksanya.
"Kamu bilang aku yang pengkhianat, kamu yang pengkhianat Ra." Dengan tak kalah emosi Evan menjawab pertanyaan Zahra.
"Kita sudah berjanji tidak akan menggunakan F******k tapi apa, kamu malah menggunakannya, bahkan Kamu selalu memposting foto-fotomu dengan lelaki tidak hanya satu orang tapi banyak lelaki, Kamu tak pernah membalas pesanku bahkan setiap kali aku menelfonmu kamu selalu merijeknya. Kamu bilang aku memutuskan hubungan sepihak? Kamu yang memutuskannya." Kembali Evan mengeluarkan kata-kata dengan wajah yang memerah akibat terlalu emosi.
Mereka bertengkar hebat saling menyalahkan satu sama lain, tanpa mereka sadari di sudut taman ada seseorang yang memperhatikan mereka dengan rasa puas. "Baguslah, memang itu yang aku harapkan." ucap seseorang itu sambil tersenyum manis.
Hening... Seketika hening, tak ada lagi suara. Emosi yang tadinya membuat Zahra bagai orang kesetanan kini perlahan menghilang mendengar penjelasan dari Evan.
Ia kembali melemah, mengatur nafasnya lalu mencoba mengingat sesuatu. Ya dia ingat. Dulu memang ada teman sekelasnya yang selalu memotretnya tanpa sepengetahuannya. Ia hanya mengetahui dari sahabatnya, Susan. Ketika pemotret itu di tanya ia tak pernah mengaku jika sedang memotretnya.
Susan memang pernah bertanya padanya apakah ia memiliki akun F******k karena semalam akun Zahra lewat di berandanya tapi saat hendak memperlihatkan akun itu pada Zahra ternyata akunnya sudah hilang mungkin pemilik akun itu memblokirnya sehingga Susan tak bisa lagi melihatnya.
"Astaga jadi itu penyebabnya?" Zahra pun akhirnya menyadari sesuatu jika ada yang tidak beres dengan semua ini.
"Kenapa diam saja, apa lagi mencari alasan untuk mengelak?" Tiba-tiba saja pertanyaan Evan mengagetkannya.
"Aku tak pernah memiliki akun F******k kak." Kembali kata KAKAK ia panggilkan pada lelaki itu. Ia mencoba mendekati Evan. Mencoba berbicara memakai hati bukan emosi. Ia tak ingin hubungannya hancur begitu saja. Emosi yang sesaat membuatnya membenci lelaki itu tapi jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam jika ia sangat menyayanginya bahkan tak mau kehilangannya.
Tapi sayang Evan yang sudah terlanjur emosi tak bisa lagi membendung amarahnya "Tidak ada maling yang mau mengakui kesalahannya, jika mereka mengakuinya maka penjara akan penuh." Kata Evan dengan nada kasar.
Zahra pun memberikan pembelaan atas tuduhan yang tidak pernah ia lakukan, saat hendak memperbaiki posisi berdirinya refleks tangan Evan menamparnya, Plak.
"Kamu menamparku kak?" ucap Zahra sambil memegangi pipinya.
Lelaki itu hanya bungkam, ia terdiam kaku menyaksikan orang yang sangat ia kasihi menangis di depan matanya karena perbuatannya sendiri.
Bersambung...
Wanita paruh baya itu segera mengambil handphonenya yang berada di tasnya. Bergegas ia menghubungi putrinya untuk memastikan keberadaannya saat ini. Sudah berapa kali ia menelfonnya namun Rini sama sekali tak menjawabnya. "Ya Allah Rini, Kamu di mana nak ?". Batinnya sambil memegangi dadanya yang terasa sakit. Ia sangat mencemaskan putrinya itu. Bagaimana jika ada seseorang yang menangkapnya lalu menghakimi putrinya ? "Ah tidak-tidak." Segera ia membuang jauh fikirannya itu. Iapun kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas kemudian menuju ke ruangan di mana suaminya di rawat. Fikirannya hari ini benar-benar kacau. Terlalu banyak kejadian yang membuat ia ingin menyerah saja. Belum sampai di tujuan, ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari nomor yang ia tunggu-tunggu, yaitu nomor Rini. "Halo sayang, kamu di mana nak?", Ucapnya lembut. Ia tak ingin mengasari anak gadisnya itu karena jika ia melakukannya, resikon
"Hay !" Ucap Rini sambil tersenyum manis.Evan yang berada di posisi depan pun sontak terhempas ke belakang karena kaget. Begitu pun dengan bundanya dan Zahra. Segera ia memegang erat tangan Zahra dan meraih tangan bundanya lalu mereka pun mundur perlahan."Tetap tenang, aku tidak akan membiarkan siapapun menyakiti kalian." Ucap Evan menenangkan dua wanita yang berada di belakangnya, meskipun ia sendiri merasa takut. Namun ia tak mau memperlihatkan ketakutannya pada dua wanita yang sangat ia sayangi itu."Ups, maaf ya kalau sudah membuat kalian kaget." Ucap Rini santai."Mau apa kamu Rin ? Apa selama ini kamu tidak puas menyakiti Zahra ?" Tanya Evan tanpa basa-basi."Santai dong sayang, jangan marah-marah dulu, kita ini kan baru bertemu lagi, apa kamu tidak merindukanku ?" Ucap Rini sambil mendekati Evan.Perlahan ia meraba wajah Evan dengan pisau yang ia bawa kemudian ia mencium bibir Evan dengan lembut berharap Zahra akan marah melih
Sesampainya di parkiran Rini bergegas memperbaiki posisi mobilnya lalu kembali duduk di kursi samping pengemudi, takut jika mamanya curiga jika melihatnya."Untung saja mama belum datang, hhmm ternyata begini rasanya jika kita berhasil melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain, rasanya sangat menyenangkan hahaha." Ucap Rini sambil tertawa puas."Rini !" Panggil mamanya dari samping mobilnya."Mama, sejak kapan mama berada di situ ?" Tanya Rini panik, ia takut jika mamanya mendengar ucapannya barusan."Baru saja sayang, kamu kenapa, kok wajahnya ceria sekali ?" Tanya wanita paruh baya itu penasaran."Hhmm tidak apa-apa kok mah, Rini cuma senang saja akhirnya bisa keluar dari rumah sakit dan tinggal bareng mama lagi." Ucap Rini beralasan."Oh gitu sayang, ya sudah ayo kita pulang, kamu harus banyak istirahat." Ucap mamanya sambil duduk di kursi kemudi. Kali ini wanita paruh baya itu yang membawa mobil karena keadaan Rini belum terlalu puli
Rini tampak tenang berada di pelukan mamanya. Hanya wanita paruh baya itu yang mengerti akan dirinya. Meskipun sekarang ia bagaikan singa yang kelaparan tapi ia tetap tenang ketika bersama dengan mamanya agar wanita paruh baya itu tidak merasa takut saat dekat dengannya."Ma, maafkan Rini ya, selama ini Rini telah menyusahkan mama." Ucap Rini lembut. Hati kecilnya bergetar melihat mamanya yang begitu tegar. Kali ini ia benar-benar tulus meminta maaf pada mamanya karena ia baru tahu jika yang di alami mamanya sama halnya yang ia alami beberapa tahun yang lalu."Tidak apa-apa kok sayang." Ucap wanita paruh baya itu sambil menahan air matanya."Setelah ini kita mau kemana mah ? Apa kita akan kembali ke rumah lagi, Rini tidak mau tinggal serumah dengan papa." Ucap Rini tegas.Dari awal wanita paruh baya itu memang sudah menduga, jika akhirnya Rini akan membenci papanya setelah ia tahu semuanya. Namun apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur, semua telah terja
Hampir satu jam dr.Linda menunggu dr.Rayan sadar dan akhirnya lelaki yang ada di depannya itu mulai membuka matanya perlahan. Memegang kepalanya yang terasa sakit kemudian mengarahkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Dr.Linda yang melihatnya pun merasa senang."Dokter, kamu sudah bangun ?" Tanya dr.Linda pelan sambil tersenyum.Bukannya menjawab pertanyaan dr.Linda, dr.Rayan malah bertanya kembali karena ia bingung kenapa tiba-tiba ia berada di ruangan dr.Linda."Dr.Linda, kenapa aku bisa ada di ruanganmu ?" Tanya dr.Rayan sambil mencoba duduk.Segera dr.Linda membantunya untuk duduk dan menjelaskan apa penyebabnya sehingga ia bisa berada di ruangannya."Terima kasih dr.Linda, kamu memang sahabatku yang paling baik, semalam aku sudah tidak bisa lagi mengendalikan diriku hingga mengkonsumsi berbagai macam obat." Ucap dr.Rayan sambil menundukkan kepalanya.Ada rasa nyeri di hati dr.Linda saat mendengar ucapan lelaki yang berada di depannya.
Hampir semalaman Evan tak bisa memejamkan matanya. Ia selalu kepikiran dengan kejadian tadi."Bodohnya aku, aarrhh... Maafkan aku Ra, aku hampir saja menghancurkan masa depanmu." Batin Evan sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.Segera ia berbaring kembali di sofa, memejamkan matanya namun hasilnya tetap nihil, ia tak bisa terlelap hingga pukul lima pagi. Setelah itu barulah ia bisa memejamkan matanya namun baru sebentar ia tertidur tiba-tiba ia terbangun kembali saat mendengar ponselnya berdering berulang kali. Sebuah panggilan masuk dari bundanya."Assalamualaikum bunda." Ucapnya Evan sopan."Wa'alaikum salam sayang, bagaimana kabar kalian, apa kalian baik-baik saja ?" Tanya bundanya."Alhamdulillah kami baik bund, cuma...Evan tak melanjutkan kata-katanya, ia takut jika bundanya mengetahui kejadian semalam ia pasti akan sangat kecewa karena dari dulu wanita paruh baya itu selalu mewanti-wanti anaknya agar ia tidak melakukan hal yang belu