Share

Episode Empat : Sebuah Pertemuan di Bawah Hujan

Pukul lima senja, ia belum melayangkan tekad pulang. Hujan membasahi aspal. Ribuan air mengguyur tubuhnya. Baju dan selendang basah kuyub. Titik-titik air meresap ke dalam kepala. Bibirnya membiru pucat. Raganya bergetar. Kedinginan. Namun ia tetap mengangsur langkah. Menggendong beban, berjalan ke arah tuan menunjukkan. Tak peduli kepala langsung mencium reruntuhan air hujan. Tidak sempat meneduhkannya menggunakan payung. Yang penting baginya adalah uang ribuan di kantongnya bertambah. 

Hujan membuat pelanggannya kabur. Tiga jam lamanya ia duduk di emperan toko. Mengadu harap pada pencipta langit agar ada yang menggunakan punggungngnya. Malang, tak seorang pun. Membeli beras dan sayuran menjadi momok mustahil beberapa waktu. Getir. Tak lagi hendak dibayangkan. 

Mobil melaju cepat, sepeda motor saling menyalib. Tukang parkir meringkuk di bawah ruko-ruko, menutup jog sepeda motornya menggunakan mantel. Angkutan umum melangkah perlahan, menjauhi hujan, memohon penumpang lebih memilihnya, berasalan hujan. Sia-sia. Mobil lebih mewah hilir-mudik mengklakson jalanan, hendak lebih awal. 

Ia baru memperkerjakan punggungnya tiga kali dengan upah dua ribu dikali tiga, enam ribu! Beras satu kilo saja tidak dapat ditebusnya. Membayangkan anak yang kesepian di balik tirai jendela. Kelu saat mata bulat Caca tergambar berkaca-kaca. Ia tidak akan membiarkan tiga putrinya esok pagi kelaparan. Ia juga tidak rela memberi harapan kosong, pulang tanpa jajan, anak-anaknya menunggu jajan!

 “Ibu bawakan dagangan saya ke kampung dekat pasar!”

 Seorang memberinya tugas saat pasukan hujan masih menghajar beringas. Ia sigap berdiri dengan senyum. “Nanti saja jika sudah reda hujannya,” sang tuan sepertinya berhati mutiara. 

 “Tidak papa, saya sanggup membawanya sekarang!”

 “Tapi hujan,”

 “Tidak papa, Mbak!” Lensanya berbinar. Ia menatap sayuran satu karung, isinya kubis dan wortel, ditafsir 10 kilogram. Satu keranjang berisi tempe dan buah-buahan. Ada bunga meja yang terselip. Sementara beras karung ditafsirnya berisi 30 kilogram. 

 “ Yasudah, saya akan menunjukkan jalannya.”

 Ia jongkok. Menumpukan lutut untuk menahan beban. Meminta tuannya membantu meletakkan beban di atas punggung. Keranjang dijinjingnya. Melangkah di belakang wanita yang masih muda darinya. Wanita dengan kulit putih merona, bibir merah delima, memakai sweater tebal, menyelematkan kepalanya dari hujan dengan payung transparan.

Kabut hitam belum mampu terpejam. Hujan masih berserakan. Selokan muntah, air keruh menyembur sampai ke trotoar. Jalan raya digenangi air kotor. Kendaraan membelahnya menjadi dua, hingga terpecik ke wajah ibu. Ia acuh, mengusap sejenak, kembali melanjutkan perjalanan. 

 Di bawah langit Tuhan. Seorang wanita mendekati tua digiring payung transparan, pemiliknya melenggok anggun seraya memoles layar ponsel. Berjalan tak memperhatikan permukaan medan. Warung mulai menutup pintu. Toko-toko hening. Banyak pemilik kendaraan yang berhenti di depan toko kelontong, tak niat membeli, hanya menumpang berteduh, pemiliknya sangsi, berdoa mereka lekas pergi. Pasar kelelahan. Pedagang sayur satu jam lalu mengemas dagangan. Pedagang buah meninggalkan kulit buahnya. Komplek beras tertutup rapat. Ikan asin sudah masuk ke dalam karung. Waktu mulai hening, namun tak sesungguhnya hening, hujan membuat asbes pertokoan bergemeletak. 

 Lima menit menjejak aspal. Memasuki gang-gang kampung. Rumah penduduk laksana kuburan. Tidak ada tawa bocah mungil yang berlarian di halaman. Tidak ada dengung ayat suci Al-Quran seperti senja biasanya. Waktu benar menenggelamkan kehampaan. Ruh meringkuk hangat di dalam rumah masing-masing, meneduh teh manis, bercengkrama dengan kekasih kehidupan. 

Ibu melirik masjid besar yang dilaluinya. Sepi. Satu sendal jepit terdampar di halaman. Seperti tak bernyawa ditinggalkan tuan. Beranda tidak diduduki remaja yang melagukan Al-Quran. Hujan memadamkan pengajian. Aktivitas berpindah nikmat di ruang keluarga. 

 Ia berhenti sejenak. Menyeimbangkan beban. Napas mulai tersengal. Hujan menambah kesengsaraan. Baru dirasa tubuhnya bergetar lebih hebat. Dingin! Ya! Ia merasakan gigil. Bukan hanya bibir yang membiru, kini jemarinya membiru, wajahnya membiru. Tubuhnya sukses disetubuhi air langit. Dagangannya telah ditutupi plastik besar di atasnya. Butiran air luruh ke bawah saat ia kembali berdiri. Tempe dibungkus plastik keresek hitam. Bunga dibiarkan bermesraan dengan hujan. Kelopaknya tak merunduk, justru semakin mendongak segar. Bertambah menggairahkan pandang. 

 Lima belas menit, tak kunjung sampai. Jika senja itu mentari bertengger di atas kekuasaannya, tentu peluh akan menghujani keningnya, ketiaknya pun memeras keringat. Bau tak sedap mampu menusuk hidung tuan. Beruntung hujan menyamarkan bau asam tersebut. Awan hitam sepertinya sedang baik hati. 

 “Lelah, Bu?”

 “Tidak, Mbak!” Berbohong. Ia tak mau mengecewakan tuannya. Melangkah lebih bersemangat. 

 "Rumah saya agak jauh, di ujung kampung. Perbatasan akhir!” 

 “Tidak papa,”

 “Saya sudah menghubungi suami saya untuk menjemput menggunakan mobil, tapi suami saya tidak bisa, anak saya sedang sakit dan tidak mau ditinggal!” kisahnya pilu. 

 Mendadak jiwanya getir. Hujan, orang kaya tak membiarkan buah hatinya bersungkur sendirian di dalam rumah. Ia merasa menjadi Ibu terbejat yang tega meninggalkan puttrinya. Mereka tentu ketakutan. Fira akan mendapatkan beban jika ke dua adiknya menangis. Hari sudah sangat sore, sementara tubuhnya masih terkapar di dekat pasar. Tiga intannya bukan hanya kesepian, namun khawatir ia tak pulang. Ia telan getir. Matanya berkaca-kaca. Satu bening jatuh di pipi, lantas dibasuh butiran hujan. 

 “Ibu punya anak?”

 “Punya, tiga di rumah. Mereka gadis yang cantik-cantik!”

 “Wah! Hebat ya? Mereka bersama ayah di rumah?”

 Diam. Ia mengunci bibir. Hujan mereda. Butiran air menjadi serbuk gerimis. Dingin bertambah tajam. Tetes air jatuh dari tubuhnya. Pura-pura tidak mendengar. “Anak Mbak ada berapa?” 

 “Satu, dia lelaki yang sangat tampan, umurnya menginjak remaja, duduk di kelas 1 SMP.”

 “Sudah besar ya? Padahal Anda masih muda, atau mungkin karena cantik, maka umur disamarkan?”

 “Ah, ibu jangan membuat pipi saya bersemu merah!”

 Mereka beradu pandang sejenak. Payung didekatkan untuk menaungi ibu. Mendadak ada keakraban yang dipotret alam. Hari itu ia merasa menemukan kawan. Dari puluhan orang kaya yang menghina, masih ada yang mau mengajaknya berbicara menyenangkan. Tak ada umpatan meski langkahnya sedikit lamban. Membawa beban di bawah guyuran hujan tak terlalu mudah. Benda dipunggung seakan bertambah berat, ia membutuhkan kosentrasi kuadrat agar tidak terpelanting jika tanah dan gang kampug licin. Kawan! Ia tak hanya menyusuri trotoar atau aspal. Namun jalan rusak yang kerikilnya bertebaran. Tuannya mencari jarak yang lebih dekat. 

 “Ibu, kenapa bekerja menjadi kuli gendong? Bukankah itu sangat melelahkan?”

 Adakah kata lelah yang pantas dilesatkan mengingat tiga putrinya menunggu di rumah tanpa kasih sayang? Lelah adalah pengorbanannya demi membuat isi perut mereka tidak menderita. Apa pun akan dilakukannya, bahkan tak hirau harga diri diacuhkan banyak insan. Ia menginginkan kebutuhan anaknya tercukupi, tak sampai kehabisan jajan, tak mau anaknya melihat dengan tatapan iri ke anak lain yang lebih banyak menenteng jajanan. Tertawa riang di beranda rumah melahabnya. Ia menginginkan hal yang serupa saat waktu tak mengizinkannya berkumpul. Lantas ingatan menjebaknya pada buah apel merah. Kelu.

 “Nama saya Sabrila, ibu bisa memanggil Bila.”

Bibirnya digigit. Senja telah merayap. Burung-burung tak ada yang bersantai di kabel-kabel listrik. Bunga hias di teras rumah warga melayu, pasar hening, tentu toko buah menggulung dagangan. Kali ini ia sungguh terisak. Merasa selain tak berguna, juga tak mampu memberikan kesenangan untuk putrinya. Berhenti. Ia menangis. Tidak malu, meski tuan memerhatikan heran. 

 “Ibu kenapa?” Membelai bahunya. Lembut. “Ibu lelah?” Wanita itu jelita dan berhati bunga. Tak ada intan di pergelangan tangan. Tentu hidupnya sederhana, kekayaan tidak disombongkan. Hanya cincin melingkar di jari manisnya. Itu adalah cincin pernikahan. “Saya bantu membawa ranjang sayurnya!”

 “Anak saya ingin apel merah! Tapi dari kemarin saya belum bisa membelikannya!” Hujan kembali mengguyur ganas. 

***

 “Ibu!” Adik kecil. Lala menangis. ‘Ibu!’ Memekik, membuat mega di barat malas menatap. Fira duduk memeluk. Mengusap ubun. ‘Ibu di mana? Ibuuu!’ Setengah jam lalu adiknya terbangun meraung-raung menanyakan ibu. Caca ikut menggenangkan bening. 

Kabut hitam menyelimuti kampung. Hujan masih deras menakutkan. Lampu padam. Listrik sekarat. Petir menyambar. Hujan lebih menegangkan di pedesaan yang datarannya tinggi. Petir berkilat-kilat meretakkan langit. Pelangi bahkan tak berani memberikan hiburan. 

 “Ibu!” Caca ikut menjerit. Ia tak mampu menahan rindu. Takdir memahami di usia mereka yang mungil, pelukan ibu memang masih sangat dibutuhkan. Cinta dan ketenangan akan terlahir jika ibu berada di sisi. 

Rumah yang semula temaram menggelap. Listrik tak mau menyala. Petir beringas menyambar. Angin mengundang badai. Di luar daun-daun bambu kering berterbangan. Beberapa sampah terangkut. Tanaman miring dihempas angin. Tak seorang pun yang menjejakkan kaki di luar. Semuanya meringkuk di dalam rumah. 

 “Caca. Kamu sudah besar, jangan cengeng!”

 “Ibu!” Gadis mungil itu memukul perut Fira. Ia menjerit tak menghiraukan perasaan kakaknya terluka. Tanpa disadari senja, ia pun menahan hangat di sudut mata. Demi kedua adik, ia tak mau terlihat lemah di depan mereka. 

 “Ada kakak di sini!” Berbisik lembut. Merangkul tubuh Caca . Boneka panda memandang iba. Selimut dan bantal tak tertata rapi. Jendela kamar berdecit. Tirai diombang-ambingkan angin. Fira bahkan tak berani berdiri mengunci engselnya. Ia mempunyai perasaan sama dengan kedua adiknya. Takut! Meski tidak paham untuk apa mereka takut, sementara Tuhan telah berjanji menjaganya? Bukankah sejak dalam kandungan, rizki dan kehidupan anak adam telah ditentukan? Sementara mereka tetap meringkuk ketakutan. Ibu tak pulang-pulang, entah di mana berteduh, yang diharapkan senja, malam tak segera tenggelam, maka cahaya akan menutup jalan, sebab mulai siang tadi rembulan telah ditafsirkan akan lelap tak mau membuka matanya jika petir masih menyambar. 

 “Ibu di mana?” Lala meronta. Ia melirik jam dinding, merapalkan doa agar jarumnya berhenti di angka lima lebih beberapa menit. 

 “Lihat sayang? Boneka pandanya sedih kalau adik menangis, ia ingin bermain, coba ambil, Caca!” Kedewasaan Fira tumbuh. Caca menatap boneka kesayangannya. Lala mulai tidak tertarik. Ia tetap merengek. Tembok dengan cat sewarna langit itu merasakan kepedihan. Waktu menghujat alam yang menangis. Almari tidak tega melihat tiga nyawa terduduk merapat di atas ranjang. Sungguh kejam gelap yang menciderai senyum mereka. Lukisan gunung tertempel di tubuh dinging, diwarnai dengan krayon pun ikut serta mengharap ibu segera datang, membawakan oleh-oleh untuk meredamkan ketakutan. 

 “Lala mau ibu! Bukan Boneka!” Wajah Fira dipukul dengan kepalan. Ia meringis di bawah gelap. Plafon menjadi saksi. Caca bungkam meraih boneka. Sementara anak itu lepas dari pelukan. Menangis sesenggukan. Mengamuk guling dan bantal. Mengacak selimut. “Ibu!” Ia yang paling membutuhkan pelukan. Caca yang semula diam kembali menangis. 

 Kawan! Apa yang harus Fira lakukan? Ia takut! Bahkan tak berani melangkah ke dapur di lantai bawah, mengambil lilin, menyalakannya! Ah, kelu, dada Fira sesak. Satu butir mengalir. Ia usap perlahan sebelum dua adiknya mengetahui. Suasana akan bertambah kacau jika ke tiga gadis kecil itu merintih dalam tangis bersamaan. Tetangga tak ada yang mendengar. Bahkan enggan memedulikan rumah berlantai dua itu. Mereka sibuk mengurus buah hati di rumah masing-masing. 

 “Jangan menangis Caca, Jangan menangis Lala, nanti ibu tidak pulang jika kalian berdua terus menangis!” Strategi yang membuat jantung berdesir. “Ibu pasti akan pulang jika hujan reda,” Fira meyakinkan. “Adik sudah ya menangisnya?”

 Si kecil akhirnya diam. Anak yang belum tahu apa-apa itu merasa kelelahan. Berhenti menendang kasur yang tidak bersalah. Membiarkan selimut dan bantal yang sudah terjatuh dari ranjang. Menghadap kakaknya. Menatap bulat. Bibirnya mulai menganga. Fira berharap bukan keluhan menanyakan ibu lagi, namun kata lain. Alam mengamini. Si mungil mengucapkan kata yang mengurangi getir. “Lala lapal.”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
kayaknya bakal menarik nih,btw author bakal update tiap berapa hari yah..? author ada sosmed engga?
goodnovel comment avatar
Arya Nanda
ada typo pada kata "puttrinya" mengganggu!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status