Share

Episode Lima : Senyuman yang Hilang di Masa Depan

Tangisan tumpah di mana-mana, membuat penyaksinya menelan bulir demi bulir perih tanpa kejelasan. Sebaris kalimat membuat air liur tak tertelan. Mereka merupakan kata-kata terkutuk yang dibenci waktu. Angin senja menggiring kesengsaraan tajam yang menyusup ke relung jiwa keluarga Fira. Meski ia berdiri tegak tanpa tetes berarti di pipi, makhluk langit dapat menyaksikan betapa terlunta-lunta perasaannya. Caca tak kuasa menahan sesak dadanya, Lala menjerit meronta. Ibu pasrah dengan sungai-sungai yang membanjir di dagunya. Sebuah mobil plat A datang menjemput mereka. Keluarga Fira pergi tanpa salam perpisahan. 

Akhtar masih belum mengerti dengan apa yang terjadi, ia hanya menunaikan tugas mengantar Caca pulang. 

Fira mengacuhkan Aldi, ia bahkan belum sempat mengucap terima kasih, namun langkahnya telah pergi, hanya punggung mobil yang menyampaikan lambaian juga permintaan maaf karena telah merepotkan. Lelaki itu memahami, ia bukanlah bocah yang segalanya harus diterangkan melalui perkataan. Cukup ia membaca binar mata Fira, ia paham dengan bibirnya yang hendak berucap. 

“Hati-hati Fira, aku harap kita bisa bertemu lagi di tempat kerja,” kata Aldi sembari melambaikan tangannya. 

Mobil tertelan tikungan jalan, ia berpamitan dengan tetangga Fira yang berdiri di halaman rumah Fira, adat penduduk jika ada di antara mereka yang sedang dilanda susah, tentu mereka akan langsung berbondong-bondong datang, mendampingi tuan rumah, seolah-olah ikut memikul beban yang ditanggung. Meski tidak mengurangi, namun keberadaan mereka mengusir sepi. 

Aldi menghampiri sepeda motornya yang terparkir malang di depan gerbang rumah, ia hendak kembali ke kotanya, Akhtar mengekor di belakang. Ia bermaksud menanyakan sesuatu tentang Fira. 

“Mampirlah ke rumahku, pulanglah esok usai ayam-ayam membangunkan tidur.”

“Maaf, aku tidak bisa tinggal bersama orang asing.” Aldi membalas dingin, ia lantas menghidupkan sepeda motornya. 

“Aku kawan Fira dari kecil, jika kau mengenal Fira, maka aku bukan orang asing untukmu, apakah dia baik-baik saja di sana? Kau rekan kerjanya bukan?”

Aldi menghela napas, ia mematikan sepeda motornya, mengurungkan keinginannya untuk segera pulang. Segala hal tentang Fira adalah berharga baginya. Fira tak akan pernah tahu seberapa besar harapan yang ia tambatkan pada kolom-kolom perasaannya, ia berharap gadis itu memahami lantas menutup ruang kolom yang kosong dengan perhatiannya. Meski belum pernah tersampaikan, ia tetaplah menjadi sosok setia pendengar hal yang bersangkutan dengan Fira, mau berkorban demi keinginan-keinginan Fira, baginya berjuang demi Fira adalah indah, sebagaimana waktu itu yang memaksanya izin pulang awal dari restoran demi singgah ke kota Fira menerbangkan pedihnya. Ia merasa sedikit dibutuhkan dan bangga karena padanyalah Fira memohon pertolongan, bukan kepada orang lain, meski punggungnya terasa letih, dan matanya merengek hendak dipejamkan. Maka bukan hal berat mematikan mesin sepeda motornya demi menghargai kalimat yang diucapkan pemuda di hadapannya itu. 

“Dia tidak dalam keadaan baik, meski selalu tampil baik-baik saja. Dia terlihat sedingin es batu, keras namun mudah cair. Aku merangkum hal-hal pedih dari gurat wajahnya setiap melihatnya tersenyum, manis namun menyakitkan, seperti ada hal yang ia sembunyikan dan ingin dilupakan. Aku sering mengajaknya keliling kota Yogyakarta untuk melalaikan kepedihan-kepedihannya, tapi ia justru membuka seluruh ruang pedihnya, menampilkannya dan menerbangkan ke langit. Ya, Fira yang kukenal gemar sekali melihat langit dan menghitung bintang, katanya bintang-bintang adalah sahabatnya yang rela menampung seluruh pedih.” Aldi berkata panjang lebar, bukan lebih tepatnya ia berkisah sembari bernostalgia bersama Fira yang manis, ketika berjalan menyusuri keramaian Marlioboro, mendengar riak-riak suara angklung, melihatnya bertepuk tangan, lalu rebah di alun-alun utara Yogyakarta, ia yang terus berkicau tanpa henti, mengungkap sejarah-sejarah yang berkecamuk di dada, lantas memangkas semua paragraf yang telah disusun sedramatis mungkin dengan kalimat, “maka dari itu kau harusnya bersyukur karena hidup dengan kedua orang tua dan saudara-saudara yang dekat.”

Menyadari hal pahit yang kembali menimpa Fira ia tak kuasa menahan luka yang entah dari mana datangnya, maka alam bawah sadarnya reflek mengungkap semuanya tentang Fira. Termasuk ketika mereka menikmati es kelapa muda bersama di bibir pantai selatan, bercerita mengenai kehidupan yang sering memuakkan. Oh, Fira! Dialah sosok gadis yang banyak cerita menyedihkan namun disampaikan dengan menggemaskan. Fira tak melulu terlihat sengsara, kalian paham bukan, ia gadis yang tegar dan kokoh saat berdiri menantang hari esok, sebelum ayah dan kakeknya meninggal, ia gemar sekali membuat orang lain tersenyum. Ia berubah drastis karena memang ditinggalkan orang yang berharga sangat menyakitkan. 

“Ah rupanya kau orang yang banyak bicara, mungkin akan lebih nikmat jika ada kopi di antara kita!” Akhtar memberi saran. 

“Lupakan! Aku hanya bersemangat mengenai Fira, pedih melihatnya terpukul seperti itu, baru saja ayahnya pamit pulang kini disusul kakeknya!” 

“Kakek? Maksudmu kakeknya meninggal?”

“Kau bilang sahabat kecilnya, tapi tidak tahu jika hari ini kakeknya meninggal?” Aldi sangsi, ia sedikit menyesal karena sudah banyak bicara dengannya. 

Itulah alasan Caca buru-buru ingin pulang. 

“Aku salah mengiramu, kau benar-benar orang asing. Aku pulang dulu! Semoga kita tidak bertemu lagi atas nama Fira.”

“Eh,” 

Aldi bergegas pergi. Langit gelap. Akhtar masih mematung dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepalanya. 

“Semua orang membela Fira. Apakah hanya aku yang tidak menyukainya?” 

***

“Fir, Kalau saja kau mau mendengarkanku, aku tidak ingin melihatmu menangis, aku paham rasanya sakit, tapi jangan mempersulit dengan tangisan, ia hanya melegakan bukan? Tetap saja perasaanmu tersiksa, orang lain akan menyuruhmu menangis agar lega, tapi tidak denganku, Fir!” 

Restoran baru saja tutup. Tak ada mobil tamu yang terparkir. Daun-daun tanaman penghias tempat itu diraup cahaya rembulan. Sebagaian karyawan telah angkat kaki dari ballrom, melepas seragam kerja mereka, sebagaian yang lain masih bercengkrama dengan waktu, meniarapkan akal pikiran dalam dasar gelas-gelas alkohol. 

Hari pedih banyak berlalu, minggu berjalan cepat dan terus maju, bulan masehi baru merangkap menjadi sepasang. Fira telah kembali di meja bar. Jari-jarinya terus bergelut dengan lembar-lembar rupiah, tak pernah alfa sebab wajah Ibu terngiang setiap detik di hadapan cakrawala. Ia ingin mengakhiri semua kisah hidup yang pernah membekap hingga membuatnya sesak. Berlama-lama dalam kesusahan adalah hal bodoh, lagi pula hidup telah digariskan oleh Tuhan, tak selamanya kepedihan akan diraupkan pada manusia, pasti akan ada cahaya putih walau seringkali gelap menutup sinar. 

Fira dan Aldi duduk di parkiran yang lengang, menatap bintang-bintang. Gadis itu tersenyum, meski beningnya pecah. 

“Di, dahulu aku anak yang selalu bahagia meski malamku tak pernah dipeluk Ayah dan Ibu, aku tak menyangka jika kesadaran menjadi dewasa akan menyakitkan seperti ini, rasa-rasanya masa kecil itu terlalu percuma hadir di ingatan.” Fira meluapkan perasaannya. Ia masukkan hatinya yang dingin pada ruang keibaan Aldi, mengharap hanya malam itu saja, Aldi mampu memberikan kehangatan yang entah diharapkan sebagai apa. 

Aldi mengisap rokoknya, temaram malam membuat asap yang mengepul tak begitu jelas dalam pandangan. 

“Ayahku gila, aku seperti dikucilkan para tetangga, ke sana kemari dipenuhi dengan ketakutan, dan baru bulan lalu ia meninggal dalam pasungan keluarganya sendiri. Tragis benar, belum usai penderitaan disusul kakekku meninggal, tidak hanya selesai pada itu saja. Semenjak aku kecil, aku menyaksikan penderitaan Ibu yang membawa beban-beban orang yang berpura-pura mengaku kaya di pasar. Demi tiga putrinya, Ibu rela menyerahkan harga dirinya digendong selendang murahan, menjadi babu kuli gendong. Kau pasti mampu membayangkan betapa melelahkannya bukan?”

Aldi tak lagi berkata-kata, ia memandang wajah Fira yang utuh dihujani temaramnya neon jalan. Malam semakin memuramkan raut pedihnya. Beberapa helai rambut terbang menutup wajahnya, angin yang berdesis malu-malu ingin ikut mendinginkan suasana batin Fira. 

“Kisah hidup ini sepertinya tidak mungkin terjadi jika Ayah tidak ditaksir oleh wanita memuakkan dulu itu, harusnya Ibu tidak sakit, bukan lebih tepatnya harusnya wanita itu tidak pernah dilahirkan ke dunia.”

“Jadi ada orang yang sengaja menghancurkan keharmonisan keluargamu, Fir?”

“Entahlah, itu kisah klasik novel-novel, yang jelas semuanya adalah takdir Tuhan. Meski itu kuanggap takdir, sekali lagi ini rasanya tidak mungkin!” 

Air mata Fira tumpah ruah, ia menangis sesenggukan, sakit batinnya tak mampu ditahannya lagi. “Apa ini adil, Di?”

“Apa ini yang dinamakan kasih sayang Tuhan?”

“Apakah ini cobaan hidup yang harus dihadapi dengan tegar?”

“Kupikir ia penderitaan tiada ujung!” 

Fira memukuli lututnya, tangannya mengepal, seperti ada hal yang ingin dihancurkan. Raut wajahnya amat nanar, seluruh rambutnya maju ke depan, diembus angin lalu ditarik bulir-bulir air mata. Ia benar-benar lelah dengan kehidupan. Ia tidak ingin berlama-lama dalam kesusahan, namun menghilangkannya bukan hal mudah. Perlu proses dan tahapan. 

“Fira,” setelah sekian lama diam, akhirnya Aldi angkat bicara, ia membuang putung rokoknya di tempat sampah, kemudian kembali duduk di sisi Fira, ikut menerawang ruang langit yang penuh taburan bintang-bintang. “Menyesali hidup sendiri itu tidak ada gunanya, kau mungkin memandang bahwa kehidupan keluarga lain lebih beruntung dan membahagiakan, itu di matamu, Fir! Tentunya ada masalah besar pula yang mereka alami. Kau bukan orang yang paling menderita di dunia ini. Terima saja apa yang telah menjadi hidupmu, terima dan hadapi, jangan pernah berpikir untuk kabur dari kenyataan apalagi meratap-ratap di hadapan Tuhan.” 

“Aku bisa berbicara seperti itu juga, Di. Apakah kau bisa menerapkan itu jika kini kau berada di posisiku?”

“Itu pertanyaan yang tidak masuk akal! Selamat malam, Fir! Cepatlah rebah ke kos-kosan.” Aldi beranjak, ia menghampiri sepeda motornya yang terparkir sendirian. Ia pulang. Fira bangkit, ia ayunkan langkah kakinya yang malas-malasan. Jalan raya waktu itu benar-benar dikerubungi sunyi. Detik berhenti pada titik tiga pagi. Fira rangkul keputus asaannya sendirian. Esok ia putuskan untuk mengakhiri kesengsaraan. Ia ingin menyambut mentari, seperti Ibu menyambutnya lahir. Demi Ibu, pedih ini harus cepat ditinggalkan. Ia sudah puas membagi kisah hidupnya dengan Aldi, meski tidak mampu mengubah ketentuan takdir, Fira sadar itu amat melegakan. Adakalanya manusia perlu membagi kisah hidup perihnya kepada orang lain. Jika beruntung itu akan menjadi pelajaran bagi mereka, atau setidaknya cukup untuk mengurangi kesengsaraan batin. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status