Share

Episode Tiga : Pulang ke Rumah Akhir

Gadis dengan rambut terurai sebahu itu memperlihatkan karya baru. Ia keluar dari kampus seni. Hari itu senja menampilkan keanggunannya. Senyum langit merekah cerah meskipun deru kendaraan di jalan raya tak pernah menampilkan kesunyian. Kabut terbang ke tempat asing yang tak tampak. Alam riang menyenangkan sepadan bibir Caca yang menyudut. Ia raba lukisan seorang gadis sedang menangis, digambarkan meratap-ratap, dalam imajinasi kuasnya, gadis itu memeluk lutut, rambut panjangnya awut-awutan amat berantakan, gaun abu-abu dikenakan sang tokoh, lukisan sedikit diperciki noda berwarna cokelat, bigronnya dinding putih kusam pelengkap kesenduan. 

“Itu pasti kakakmu lagi,” kata Akhtar sembari menarik kursi. 

Mereka berdua sedang menikmati sore di depan toko Indomaret. Parkiran lengang. Beberapa lampu jalan mulai dihidupkan. Angkringan di seberang jalan mengepulkan asap. Pengamen memetik gitar. Pelancong berjalan hilir mudik bergandengan tangan, ada pula yang sendirian sembari memelototi gadged. Dua botol mineral berdiri tegak di atas meja. Indomaret di dekat kampus memang memfasilitasi kursi santai untuk pengunjung beristirahat, atau menunggu di luar. 

“Tebakanmu belum pernah salah,” Caca menjawab mantap. Lukisannya diletakkan di atas meja. “Karya ini terpilih untuk dipamerkan, kau mau datang ke acaraku, Kak?”

“Kau memberiku undangan atau menyuruhku mengantarkanmu ke sana?” Akhtar tahu isi kepala Caca. Gadis itu cerdas dan pintar mengelabuhi orang. 

“Aahh, aku tak perlu banyak waktu untuk menjelaskan. Awal bulan depan, pukul tujuh pagi jemput diriku.”

“Kenapa harus Fira yang kau pamerkan, Ca? Aku yakin, imajinasimu bisa berpikir lebih liar lagi dari pada gadis itu,”

Caca tertawa, ia menatap wajah Akhtar sejenak sebelum menanggapi pertanyaan lelaki itu. Wajah bersih yang di matanya sendu penuh kepiluan. Sorot mata tajam yang indah namun terkadang menegangkan. Suara datar yang jarang bergelombang, penuh teka-teki kebencian terhadap kakaknya. Tampan sayang auranya tertutup kedengkian. 

Sejak dulu... Caca mulai berkisah. 

Fira yang memandikan Caca dan Lala, menyuapi mereka, mengelus ubun-ubun ketika waktu tidur menjemput. Siap berjaga malam saat Ibu pergi ke pasar. Menyiapkan sarapan pagi sampai ia sendiri lupa mandi. Menyetrikakan pakaiannya. Menggendong Lala dan Caca kecil, mengajak bermain hingga mereka berdua tersenyum lupa dengan tangis. 

Baginya Fira adalah ayah sekaligus ibu yang lebih layak dihormati juga dicintai. Ia kuliah tidak berniat menimba ilmu. Sungguh! Barangkali waktu berdecak ia gadis amat bodoh! Namun ia tidak peduli, ia hanya ingin mengabadikan nama abadi dengan layak, melukis segala ekspresi kakaknya pada kanvas yang suci, memamerkan karakter kakaknya dengan elegan, tidak sembrono cerita ke sana sini tanpa bingkai, sungguh! Sekali lagi sungguh, itu semua bentuk kasih dan sayang tak terhingga juga ucap terima serta kasih tak terbatas untuk sang kakak yang belum memahaminya. Jika tidak ada kakak seperti sosok Fira, gadis kecil yang dulu menggendongnya berangkat ke sekolah, menuntunnya berangkat mengaji, tentu tidak akan tercipta pelukis bernama Caca. 

Akhtar diam. Ia memerhatikan bola mata Caca yang dipenuhi dengan ketulusan. 

“Kau sangat mengaguminya?”

Leher Caca mengangguk. “Lebih dari itu, maka jangan sekali-kali menyakitinya lagi, apalagi sampai aku bisa melihat dengan mata kepalaku.”

“Tapi aku sangat membencinya, aku kurang yakin jika kakakmu sehebat itu. Di mataku ia gadis konyol menyebalkan, bicara semau diri tak tahu sopan santun dan...”

“Karena kau laki-laki.” Kata Caca seketika, membiarkan kalimat Akhtar terpotong. 

“Apa hubungannya?”

Caca hendak menjawab, sayang perhatiannya teralihkan pada dering ponselnya. Jemarinya dengan gesit menjawab. Suara serak terdengar jelas. Ada air mata tak kasap, ada ketakutan bercampur dengan kesepian. Ada hilang yang tak akan pernah ketemu. Ada gulungan rindu yang mendadak terburai. Senja itu dilinangi pertanyaan-pertanyaan sangsi kepada Tuhan. Jiwa Caca nanar, cairan hangat muntah, membasahi pipinya, menghamburkan keceriaannya. 

“Antarkan aku pulang, Kak!” Ungkap Caca setengah terisak dan sangat buru-buru.

“Pameran lukisannya dibatalkan?”

Hening tak ada balasan. 

***

 Lima hari berlalu semenjak kepergian ayahnya. Ia menjalani aktivitas tak lagi dengan senyuman, melainkan dengan ribuan diam dan kesedihan yang ia bungkam rapat-rapat. Tatapan mata kawan-kawannya seringkali berontak ingin tahu tentang apa yang ia pendam, namun bahunya yang tidak mau diusap menjelaskan bahwa ia sedang tak ingin diganggu oleh siapa pun. 

Pagi itu, langit cerah, awan gemawan menggantung indah, mereka mengusir mendung. Jalan raya sesak dengan kendaraan. Orang-orang yang berangkat ke kantor meninggalkan parfume mereka di trotoar. Membuat beberapa pengamen malas-malasan membuka mata untuk menyambut esok. Fira melangkah lunglai dari kos-kosannya. Ia tak menggagas tawa penghuni kos yang sedang asyik menceritakan pacar mereka masing-masing di koridor kos-kosan. Ia melaju lurus, fokus menuju tempat kerja. 

 “Sarapan dulu, Fir!” ajak Karin sambil menyodorkan sepiring bubur ayam. 

 Ia diam dan terus menggerakkan kakinya. 

 “Suasana hatinya belum pulih, Rin!” Anggun memberi pembelaan agar Karin tidak kecewa. Mereka melupakan sikap Fira, melanjutkan cerita yang dibarengi dengan sarapan bubur ayam. 

 Ia tak menoleh kanan dan kiri, kakinya terus melaju, tidak ada rem yang dikeluarkan, jejak-jejak menapak tanpa kepedulian. Begitupun tatkala menyebrangi jalan aspal, lima meter di hadapannya adalah restoran besar tempatnya mengumpulkan rupiah, di belakangnya kamar-kamar mungil yang dijadikan rebah.

 Klakson berbunyi nyaring, wajah-wajah sopir geram. Pagi-pagi itu orang berburu-buru, dan Fira mengacaukan semuanya, kaki-kaki dipaksa mengingjak rem secara mendadak, mau tak mau mereka mengurangi laju kecepatan. 

 Tiiiinnnn… 

 Hal itu membuat perhatian Aldi yang baru saja mematikan kendaraannya di tempat parkir restoran menuju jalan raya. Riuh dan tegang. Tangan sopir melambai-lambai, menginstruksikan kepada Fira agar hati-hati jika menyebrang. Yang diberi arahan justru diam saja dan terus berjalan, bus umum yang mengangkut orang-orang mau belanja dan beberapa mahasiswa nyaris oleng dibuatnya. 

 Aldi bergegas menghampirinya. Ia menyuruh beberapa mobil dan sepeda motor untuk berhenti, membiarkan Fira berjalan maju. 

 “Kau sudah gila? Habis berapa bir? Mabuk, Hah?”

 Fira mendorong dada Aldi, ia memberi tatapan garang, tentang dirinya yang sedang malas diganggu oleh siapa pun. Ia merasa Aldi telah mengusik perasaannya yang sedang tidak bersahabat dengan kehidupan. 

 ‘Andaikan saja mati itu menyelesaikan masalah dan tak membutuhkan pertanggungjawaban, aku ingin menghabisi hidupku!’ Ucap batinnya seraya melengang pergi. 

 Meja kasir hening. Ballroom menyisakan pesta semalam suntuk. Sementara di luar sana bunga-bunga kertas berguguran di atas kolam di dekat gazebo-gazebo taman yang dihuni ikan Aparaima. Aldi kesal, ia menendang udara dan mengepalkan tinju di garis celananya sebelum mengambil kain lap dan sabun untuk membersihkan meja makan. Waiter lain sudah sedari tadi beraksi dengan tanggungjawab masing-masing. Ada yang membersihkan kamar mandi, ada yang mengepel, menyiram tanaman, dan menjaring sampah bunga maupun daun di atas permukaan kolam. 

 Koki dapur menari-nari dengan panci dan sayur-sayuran. Aroma masakan tercium sampai ke hidung pekerja. Meja kasir hening masih berusia pagi— dirayapi kesunyian. Fira duduk menatap layar komputer. Ia bahkan tak memeriksa buku laporan pemasukan semalam. Ia juga tak menata minuman dingin yang berjajar di kulkas. Ia khidmat dengan posisi dan pikirannya yang diterbangkan ke masa kanak-kanak. 

 “Fir, minta stok daftar minuman dan rokok yang habis, biar aku ambilkan di gudang!” pinta Roni. Ia menyandarkan tangannya di atas bar. Mulutnya menyemburkan asap ke wajah Fira. Wanita itu mendadak melotot, jika saja perasaannya sedang dalam keadaan baik, tentu saja ia sudah melayangkan telunjuknya ke jidad Roni. Waktu itu, ia konsisten diam. Tangannya bergerak menarik pintu meja kasir yang terletak tepat di bawah laci kasir. 

 Ia memberikan data yang diminta. 

 “Kau tahu Fir, kenapa kupu-kupu diberi sayap yang indah?”

 Roni geram karena pertanyaannya tak mendapatkan jawaban. 

 “Karena ulat paham betul pentingnya sabar dan ikhlas!”

 “Kau tahu Ron? Aku manusia bukan ulat” Pada akhirnya Fira kalah. Ia reflek mengeluarkan suaranya. Membuat Aldi yang sedang mengelap meja di ruangan Ballroom tersenyum sinis. 

 “Pikir saja sendiri!” Roni pergi. 

 Ia melangkah konyol, sengaja menggoyang-goyangkan pantatnya yang kerempeng. Berusaha menghibur kepedihan Fira. Usahanya tak menghasilkan apa pun, Aldi berpikir picik, ia mengambil peralatan untuk mengepel lantai. Segera mungkin lantai dilap bersih hingga licin. Roni tergelincir, pantatnya mencium lantai yang basah. Beberapa karyawan yang melihat kejadian itu tertawa terbahak-bahak. Sementara Fira diam, ia hanya melenguh dan memberikan ekspresi datar. Kembali duduk menatap layar komputer. 

Aldi, terus memerhatikannya dari kejauhan. 

Ketika itu Tuhan sangat menyayanginya. Ia memang sedang jatuh dan sangat terpuruk. Tak ada alasan yang membuatnya bahagia, juga ia kubur rindu beratnya kepada ayah dan keluarga. Perasaannya dipaksa buta, ia membunuh semua sesal dan menyisakan segala bentuk luka nanar di palung hidupnya. Kepedulian Tuhan diberikan langsung kepadanya beberapa jam, setelah kepergian ayah. 84 jam yang lalu laki-laki yang paling berharga bagi hidupnya pergi tanpa pamit dari kehidupan duniawi. Satu menit setelahnya, kabar menegangkan itu tiba. Ponsel Fira berdenging-denging. Ia tak pernah berniat mengangkat, namun penelpon tak berputus asa mengganggunya. 

Aldi, masih setia memerhatikan dari kejauhan, baru saja ia selesai mengepel lantai. Peralatan kebersihan ia kembalikan ke tempatnya semula. Kali ini ia berdiri di muka pintu Ballroom, pura-pura menunggu tamu datang, padahal hanya ingin memastikan raut wajah Fira yang bertambah suram. 

“Fira? Kenapa susah sekali menghubungimu?”

Fira diam, hanya desahan napas yang keluar pasrah dari hidungnya. 

“Sekarang kau di mana? Pulang ke kota ibumu, kakek meninggal!”

Jaringan telepon dimatikan. Fira membiarkan teleponnya jatuh ke permukaan lantai. Batrai dan casingnya terpisah. Air mata yang dirasanya telah mengering semalam lalu, mendadak kembali cair. Tak ada yang mengundang kesedihan itu, tak ada pula yang menghendaki ia datang secara bersamaan. Fira terpuruk kemudian dileburkan oleh waktu. Fira tak bisa menjelaskan perasaanya yang hancur bukan sekadar berkabung namun menjadi abu. Fira yang jarang menangis di muka umum, mendadak membuat tatapan orang-orang bingung. 

Aldi langsung menghampirinya. Menurutnya ada hal buruk yang kembali menimpa rekan kerjanya tersebut. Fira harus segera ditolong!

“Ada apa, Fir?”

Fira berusaha sekuat tenaga agar tubuhnya tetap mampu berdiri tegak. Ia tidak ingin merobohkannya meskipun sekujur organ hidupnya terasa lemas. Ia merasa sedang ditidurkan oleh Tuhan kemudian diberi mimpi buruk dengan paksa. Bagaimana mungkin, berita itu datang tanpa jeda masuk akal? 

Roni meletakkan minuman-minuman di bar kasir. Ia melemparkan sedikit banyolan. Tak tahu dengan permasalahan baru yang dihadapi oleh Fira. 

“Kau menangis? Ada nyamuk yang merampas kehormatanmu, Fir? Kemarilah aku akan menjadi pangeran baja hitam untukmu dengan senang hati!” bibir Roni merekah. Aldi menjitak kepala Roni dengan kasar. 

“Situasi sedang tidak mendukung.” Aldi menegaskan. 

“Aldi, kau izin kerja hari ini lantas antarkan aku pulang, sekarang! Secepatnya!” 

“Apa? Pu—pulang?” Aldi tidak yakin dengan kalimat yang baru saja didengarnya. Ia mendongakkan alis tebalnya. Wajahnya berkerut-kerut heran. “Kalau kau sekarang minta pulang lalu untuk apa kemarin kau kembali kemari, Fir?”

“Baiklah jika memang tidak mau, aku bisa pulang sendiri!”

“Kau mau pulang untuk lamaran, Fir?” Roni kembali nyeletuk. 

“Roniii!!!” Aldi menghardik. 

Satu rombongan tamu yang ingin makan datang, mereka melambaikan tangan memanggil waiter yang bekerja. Aldi siap bertugas. 

“Aku layani mereka dulu baru aku ijin pulang, Fir! Sementara itu absen dan siap-siaplah, tunggu aku di depan pintu gerbang kosmu! Tapi sebelumnya kau harus memberitahuku, apa alasanmu pulang, Fir?”

“Kakekku meninggal!”

“Apa?” Roni dan Aldi kompak tak percaya. “Aku tidak salah dengar?”

“Fir, yang sabar!” Roni menabahkan. Ia memperlihatkan mimik wajah menyesalnya sebab beberapa detik lampau mengajak Fira bercanda. “Semua ujian ini diberikan kepadamu sebab kau mampu melaluinya, Fir!” ungkapnya bijaksana. 

Aldi tak mengucapkan apa-apa. Ia menghampiri tamu yang datang. Jawaban Fira membuatnya buru-buru ingin menyelesaikan pekerjaan melayani tamu-tamu tak diharapkan itu. Dalam kondisi seperti itu, ia menghendaki restoran tempatnya bekerja tutup, biarlah waktu ikut berduka cita atas kepedihan yang sedang menimpa Fira. 

 ***

Berjam-jam lamanya ia menangis, menelan segala pedih sendirian, meringkuk di dalam gigil yang curam, jiwanya bergetar hebat karena tak tahan membendung siksa. Matanya lembab dan bengkak. Roda sepeda motor terus melaju, mengiringi riak tangisnya yang mengabu-abu. 

Langit hari itu cerah, namun di matanya semuanya terlihat samar-samar kemudian kabur. Ia belum bisa menyikapi musibah yang menimpanya dengan bijaksana. Uluh hatinya dirasa seperti baru saja disayati dengan pisau. Ia sesak sampai sesenggukannya tak berhenti. Hidungnya merah. Pipinya basah penuh kesengsaraan. 

Aldi, tak mampu berkata-kata lagi. Berpuluh-puluh kali ia berusaha mendiamkan isaknya, namun tak dihiraukan. Ia fokus dengan sepeda motornya. Mereka berdua pulang ke Magelang, membawa berita nanar. 

‘Kenapa Tuhan tidak pernah adil pada hidupku? Aku tak pernah diberi hal indah sejak kecil, sejak ayahku pergi, sejak hidupku sendiri hanya dengan Caca dan Lala, sejak ibu berangkat ke pasar sendirian, bahkan sejak ayah kembali dari perantauan, hal yang selama ini selalu aku bungkus rapat, tak pernah ingin aku ingat, hal yang membuat air mata ibu berderai-derai, dan bahkan tak akan pernah niat diingatkan namun selalu terbayang lekat-lekat! Ayah, begitu pun aku mencintai AYAH! Sangat menyayanginya, TUHAN! Kau dengar? Lalu— belum selesai luka sepeninggalan Ayah diobati, Engkau ambil kakekku? Di mana bisa kuterjemahkan kata adil dalam kehidupanku? Sementara anak-anak yang lain masih memiliki orang tua utuh sampai mereka ikrarkan akad dan mencetak akta lahir cucu-cucu mereka?’ 

Fira menatap awan gemawan, ia menerawang kekuasaan di luar angkasa, ia menciptakan hening saat klakson kendaraan saling bersiul merebutkan jalan, ia memasang wajah agar dibelai sinar matahari, kaca helmnya tak ditutup, angin masuk ke lubang hidung dengan rileks. 

Langit mendadak terbelah, menyembul wajah yang tak asing, ruang angkasa terlihat dengan jelas, sayang dalam pandangnya saat itu hanya kegelapan yang dipenuhi dengan wajah-wajah kabur ayah dan ibu, juga tetangga-tetangganya. Air matanya berderai-derai. Aldi berhenti di lampu merah, ia menawarinya agar istirahat terlebih dahulu, namun dirinya hanya menggeleng tanpa sepatah kata apa pun. 

Wajah itu tampak payah, kantung matanya menyimpan lelah, senyumnya tidak merekah, gigi-giginya kuning dan pucat, rambutnya awut-awutan, ia datang dari negeri yang di mata kecilnya saat itu amat jauh. Ia membuka pintu rumah lalu duduk. 

Fira ada di depannya, Caca dan Lala pun demikian, ia hanya menatap kosong, seolah tak mengenal siapa-siapa, seolah tak tahu jika yang ada di hadapannya adalah anak-anaknya. Mungkinkah ia amnesia? Fira bermuka senang, Caca berisak sedu- sedan, Lala bertepuk tangan meminta jajan. 

“Aku pikir, ayah telah lupa jalan pulang.” Ungkap Caca lugu, lantas minta dipangku. Namun tangan yang dirindukan, senyum yang diharapkan, gurauan yang diimpi-impikan, kebersamaan yang lama dikubur dalam ingatan kemudian ingin digali untuk dimunculkan di permukaan hilang, dengan sebaris kalimat yang saat itu belum dimengerti oleh Fira dan adik-adiknya. 

“Mereka adalah harta berharga yang tidak dapat aku tinggalkan, kau mengerti?” Kata lelaki itu tiba-tiba. 

Kemudian sebuah hardikan datang. Fira mundur, Caca menatap heran, Lala menangis karena kaget. 

“Jika kau berani mengusik ketenangan hidupku, aku akan membunuhmu!” kalimat asing itu kembali terdengar dengan jelas. Caca membopong Lala, ia mengajak Fira naik ke lantai atas, masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat-rapat. 

Sayangnya Fira masih berdiri kokoh, ia tak bergerak sama sekali, membiarkan kedua adiknya merangkaki tangga rumah. 

Ayah tertawa, semula pelan kemudian terbahak-bahak. “Aku sangat mencintainya?” 

Apakah itu anak orang lain? Apakah itu keluarga lain? 

Bermula dari hari itu, rumah tangga Maryam, ibu Fira hancur lebur, kehidupan selanjutnya dipenuhi dengan riak-riak tangis yang selalu memunculkan ombak kepedihan. Ibu berselisih dengan ayah di dalam kamar ketika senja datang. Ibu mengumpat hal-hal yang tidak baik. Ibu marah-marah. Ibu libur tidak bekerja. Tiga hari ibu tidak memasak, hingga Fira masak sendirian kemudian tidak sengaja menumpahkan kuah panas sehingga kakinya melepuh, tiga hari ibu tidak mencuci baju, ibu tidak memberi uang saku, yang ibu lakukan tiga hari hanya menangis dan menangis, saat sadar orang yang dinanti dan dihormati juga disayangi selama ini sama sekali tidak mengerti perkataannya. 

Ayah lupa! Lupa yang mengerikan! Lupa yang pantas dirawat di Rumah Sakit Gila, lupa yang memilukan perasaan, lupa yang menghadirkan milyaran sakit bertubi-tubi melalui kalimat barunya. 

“Sebenarnya selama ini kau pergi ke mana, Mas Rudi? Kau ini tidak ingat aku dan anak-anakmu yang aku kandung?” 

Ayah tidak menghiraukan. Fira kecil melihat ayah keluar dari rumah, lari pontang-panting, tunggang-langgang, orang yang ada di depannya ditabrak sembarang, ia tertawa, berteriak, mengacung-acungkan tangan ke langit, melompat-lompat, kemudian pergi di telan tikungan. Ayah lupa, akalnya sedang dipermainkan alam. 

Ia berbisik pada dedaunan mawar yang tumbuh di halaman rumah, ‘Aku ingin ayah kembali pergi.’ 

Orang-orang mulai berkasak-kusuk. Ibu mendapatkan gunjingan dan belas kasihan yang tidak wajar. Fira menjadi omongan di kelas. Membuatnya malas sekolah, malas mengaji, malas bertemu Pak Guru, malas bermain bersama teman dekatnya, malas bermain sepeda, dan malas apa saja, yang ia sukai hanyalah mengkhayal, mengkhayal bisa terbang ke negeri antah berantah, untuk mengungsikan ibu dan adik-adiknya dari malapetaka yang datang. 

Fira sering mendapat gertakan dan kalimat tidak menyenangkan karena beum bisa membaca, kini ia harus menerima omongan pahit tentang kondisi ayahnya yang berbeda. 

Ibu telah putus asa dalam menghadapi kenyataan, tapi ibu tidak ingin menyerah bertanggungjawab menghidupi Fira dan kedua adiknya. Ibu kembali berangkat malam, pulang sore menjadi kuli gendong. 

Sementara ayah pulang pergi membawa kenangan perih. Ayah kadang mengamuk orang, memecahkan piring, melempar obyek yang ada di depannya, bahkan pisau pernah nyaris mengenai wajah Lala. 

Hari itu, Fira ketakutan, mereka sering mengunci diri di dalam kamar, membiarkan suara-suara gaduh dari luar ruangan. Pura-pura abai, padahal mereka bertiga berpelukan, menangis diam-diam. Merintih memanggil ibu, dan hanya kelabu yang tergambar di balik pintu. Ibu sedang berjuang mencari nafkah, sebab jika tidak mendapatkan uang, meja makan akan kosong dengan harapan, tak ada makanan yang dapat digunakan untuk mengganjal perut, jajan-jajan jarang terbelikan seperti dulu. Ayah sering meracau tidak jelas dan membuat suasana ruangan menjadi mencekam. Orang-orang bertanya apa yang membuat ayah menjadi seperti itu? 

Ibu tak pernah berani mengusir ayah, meskipun ayah lupa, tapi ada seberkas cinta yang masih tertinggal. Fira melihat ibu saat malam datang, diam-diam mengelus ubun ayah ketika ia tertidur di lantai. Fira paham, ada sebuah nama yang lahir diam-diam, nama itu adalah ‘rindu.’ 

Di suatu pagi yang tenang ketika ayah tertidur di halaman rumah. Ada seorang wanita cantik datang, ia berpakaian seksi dan membawa jajan yang sangat banyak. Hari itu ibu tidak ada di rumah, hanya Fira, Lala dan Caca yang menyambut wanita itu. Mereka bertiga tampak semringah dan merasa mendapatkan teman baru. Sayangnya usai wanita yang entah siapa namanya itu pergi, ayah mengamuk lebih histeris, kaca-kaca rumah bertingkat itu dipecah, dipukuli dengan tangannya sendiri, darah dan serpihan kaca menyatu menjadi satu di atas lantai. Tetangga menyelamatkan Fira, Caca, dan Lala. Rumah tingkat yang megah itu kini berlubang, di malam yang gigil penghuninya akan bertambah gigil. 

“Ayah kau kenapa?”

‘Ayah seperti berandalan sedang mabuk. Ayah tidak ingat apa-apa. Ayah tidak menyayangi Caca lagi.’ Gumam Caca sembari menahan tangis. 

Cobaan Fira dan kedua adiknya bertambah saat mendapati ibunya yang pingsan sepulang dari pasar. 

Mereka tidur di rumah saudara. Saudara dekat yang terasa sangat jauh. Di malam yang larut, Fira menangis sesenggukan. Sendirian. Ia menyadari sebuah pelajaran hidup, bahwa kehidupannya tidak indah, tidak seperti kehidupan teman-temannya di sekolah yang penuh perhatian dari kedua orangtuanya. 

‘Ya Allah, apa salah Fira?’ rintih Fira, wajahnya menatap langit-langit kamarnya yang asing. Ibu terbaring lemah di sisi kanannya, sementara Caca dan Lala ada di sebelah kirinya. 

***

“Sebentar lagi kau sampai, Fir! Tapi sebelum sampai rumahmu aku ingin kau makan dulu, pasti sampai di sana kau tidak sempat makan, kau mau makan apa?” tanya Aldi. Entah sejak kapan laju sepeda motor Aldi telah berhenti di depan kedai makan. 

“Aku ingin mati menyusul kakek,” Fira asal bicara, ia belum sadar dari alam masa lalunya. 

Fira ingat dengan benar, wanita itu tidak disambut dengan baik oleh ayah. Wanita itu, wanita pembuat onar keluarganya, ia yang menyebabkan kekacauan dan keperihan keluarga mereka melanda. Sosok jelita tak tahu malu yang mengganggu kehidupan utuh Fira, sosok mengerikan seperti nenek sihir yang meramukan racun supaya atap kebahagiaan Fira dan adik-adiknya porak-poranda. Hari itu ia belum paham, namun sudah mencium aroma asing yang membingungkan, aroma penuh dengki ketidaksukaan, aroma yang membuat wanita itu terusir dari hatinya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status