Share

Episode Sembilan : Kesempatan Emas

Ibu gesit meracik bumbu, memasukkan ke dalam wajan. Mengingat kekasih dalam setiap adukan. Membayangkan senyum menawan saat yang dicinta merasakan masakan. Peluh tak lagi dipikirkan, bau badan menjadi aroma yang menyempurnakan. Butiran keringat menetes di kening. Ia usap, lantas merapikan rambut yang berantakan. Hari ini ia ingin memberikan perhatian lebih kepada buah kasih sayangnya. Tak rela jika waktu terus memanjakannya hidup susah di sudut-sudut pasar, memohon receh dengan mengorbankan punggung menjadi bengkok. Ada waktu yang memang disenggangkan untuk beristirahat di rumah bersama anak-anak. Sebuah kebebasan direngkuh oleh Fira. 

 Hari ini ibu tidak memanggul beban di pasar. Fira melonjat histeris. Gadis periang dua kali lebih senang. Esok, tak dipersibuk meracik sarapan. Ia juga cuti sejenak dari membersihkan badan Lala. Malam tak bangun menciderai raga dengan gigil. Ia beristirahat melototi jalanan menanti obor melintas. Layaknya seorang PNS yang kegirangan dengan hari libur. Anak itu salah satu nyawa yang ditakdirkan kalah perang di dunia kanak-kanaknya. Kedewasaan dimunculkan perlahan tanpa melukai jati dirinya sebagai buah hati yang ranum.

 “Ibu masak apa?” Fira yang baru selesai memakai seragam berdiri di ambang pintu dapur. Mengamati gerak lengan ibu mencicip karya perasaan lidahnya. Paras ibu berminyak-minyak. Ruangan terasa lebih hangat dari ruangan di luar. Api kompor menggeliat, memanggang pantat wajan yang tidak pernah bersalah. Ia mengganti edaran mata menuju rak piring, puluhan tertata rapi dengan sahabat karibnya gelas-gelas yang mengkilab. Meja dapur sudah dilap. Bersih, lantainya disapu sebelum subuh. Ibu memang rajin. 

 “Sambal terong, Fira!” 

Ke semua cinta ibu duduk di meja makan. Menyendok suap yang sudah disediakan. Caca lahab. Lala manja tak mau menyendok dengan jemarinya. Maka ibu yang perhatian, lembut dengan kasihnya memberikan kenyamanan dalam suapan. 

Tetangga-tetangga sebelah sedang merajuk memohon usus anak dimasuki nasi. Memasakkan lauk yang paling disukai. Memberikannya dengan lembut penuh rayuan agar jerih payah dihargai. Namun, anak yang terlahir dengan kasih sayang cukup, saat di beranda rumah ayah menyesap kopi dengan rebusan singkong, mereka justru bertingkah semau diri. Sukar menelan jerih masakan orangtuanya. Ayah pun angkat tanggapan sebelum melayangkan langkah untuk mencari nafkah. “Adik Sayang!” Sebuah panggilan mesra yang jarang didendangkan ibu kepada Fira dan adik-adiknya. “Ayo makan dulu, nanti kalau makannya habis ayah belikan mainan!” Sebuah janji yang di masa datang akan menghilangkan kesungguhan dan ketulusan dalam mengerjakan sesuatu. Anak itu akan menjadi sosok yang mengharapkan imbalan dalam melaksanakan tugas. Kasih sayang memang diberikan dengan lengkap, perhatian dan kepedulian menyatu dalam ruangan yang padu, sayang jika ia tak ditempatkan pada cawan yang tepat, maka justru kan menciderai mental buah hati. 

“Fira kan tidak suka terong, Bu!”

“Fira! Sukai semua jenis makanan, kamu kan tinggal memakannya tidak susah payah mencarinya terlebih dahulu,”

“Ibu,” panggil Caca, ia memamah nasi. Mulutnya belepotan, suaranya terdengar tidak jelas. Jemari kanan memegang sendok, jemari kiri kekasihnya garpu. “Kapan, Caca makan ayam goreng?”

Ibu tersedak, buru-buru mengambil minum. “Sekarang dimakan dulu ya? Besok jika ada rejeki pasti Ibu berikan,”

“Apel merahnya belum dibelikan!” Fira merajuk. Ia membawa piring kotor ke dapur, mencucinya, kemudian mengambil ransel. Gadis bertubuh kecil menyadari kemandiriannya. Bagaimana dengan dirimu kala itu? 

 Fira kecup punggung tangan ibu, disusul Caca. Mereka melangkah keluar rumah, menuju sekolah. Riang langkahnya, sesekali Fira mengejar Caca. Tawa mereka meramaikan jalanan. Anak sekolah yang lain ikut bergabung. Berkisah sinetron petualang, Fira acuh, ia tak tahu apa-apa, di rumahnya bukannya tidak ada TV, namun tidak ada kesempatan untuk memelototinya. 

Ibu terpaku di ruang makan. Tatapannya melipu, sesak dadanya, perlahan ia rengkuh Lala mungil yang masih duduk di pangkuannya, belajar keras menyendok nasi dengan garpu. Bunyinya gaduh. Dan anak itu tak pernah menyerah, meskipun yang masuk ke dalam lubang mulut hanya lima butir nasi. Segera ia tepis bayangan perih. Menatap tubuh anak kecilnya. Membelai kepalanya. “Lala sekolah, Bu?” 

“Tidak, hari ini Lala libur.”

“Kak Fira sekolah?”

“Iya, kakak tidak libur,” 

“Lala mau ikut!” Ia membanting garpunya. Menghentikan kunyahan. Benda tak berdosa itu terkapar di atas lantai. “Lala mau sekolaahh!!”

“Lala libur, di rumah sama ibu ya?”

“Lala mau ikut Kak Fira!” 

Sabtu bertutur. Taman Kanak-kanak libur. Anak itu merengek sewaktu pagi. Embusan napas berat keluar. Ia gendong anaknya, mengajak keluar ruangan. Menatap birunya langit dan burung-burung yang terbang menyambut hari. Mentari cerah. Warga meraih langkah menuju ladang. Cangkul disampirkan di bahu. Tudung anyaman bambu numpang di kepala. Pemiliknya melirik ibu yang sedang merayu tangis Lala. Ia melambaikan tangan, tersenyum ramah. 

“Tidak ke pasar, Bu?”

“Tidak, mau istirahat dulu!” 

Hanya basa-basi kemudian melanjutkan perjalanan. Ranjang pupuk bertengger di punggung. Kulit hitam alami ciptaan alam. 

“Lihat Lala! Burungnya terbang indah!”

“Burung?”

 “Iya itu!” Menunjuk langit luas. Lima burung berjajar rapi. Sayapnya dikepakkan menuju ke Timur. 

“Lala mau terbang, Bu!” Isaknya padam. Seperkian detik anak itu tak lagi meronta. Begitulah buah hati mungil, cepat melupakan emosi.

***

Suasana ramai dirasanya sepi. Tangannya memangku dagu. Pandangannya lurus. Hampa. Biasanya ia akan tersenyum manis, melihat atraksi adiknya merobek buku di atas meja. Ia tak pernah marah meskipun kertas dihambur-hamburkan sementara guru melotot protes. Ia tabah. Kebahagiaan adik adalah hal yang akan selalu diutamakan. Hening mencekam, meskipun dirinya sempat riang sebab tak mengajak Lala. 

Catatan buku tetaplah kosong. Ia acuh dengan kebaikan waktu yang memberinya kesempatan untuk belajar. Berkali-kali melirik jam di atas papan tulis. Mengharap keajaiban dapat memutar jarumnya lebih cepat. Tak sabar langkahnya hendak melesat. Keluar dari ruangan yang dipenuhi lembaran kertas dan anak-anak yang jarang mengajaknya bermain. Ia ingin bersama Lala. Si mungil yang sering tertawa.  

 Guru menangkap basahnya. Satu kapur meluncur di kening. Lamunannya buyar. Menatap wajah guru berkaca mata tebal yang sudah di sisi bangkunya. “Fira! Baca materinya!”

 Ia melenguh. Segera membuka buku pelajaran. Lantas berkerut, berkali-kali mengeja namun tak mendapatkan kalimat yang sempurna, teman-teman mentertawakan, guru geram. Ia merunduk pilu. Wajahnya sendu. 

 “Perhatikan! Jangan melamun terus!”

 Ia sungguh bosan. Guru kembali ke singgasananya. Murid-murid diberi soal. Ditunggui untuk dikerjakan. Dirinya justru mencoret-coret gambar bunga. Mewarnai dengan spidol. Bel berdering nyaring, ia melonjat menang. Segera memasukkan buku dan pensil ke dalam ransel. Teman-teman mengumpulkan tugas, ia mengumpulkan lukisan bunga dengan warna kacau. Membaliknya supaya tak ketahuan. Gadis itu memang cerdik. Doa bersama. Sekolah bubar. Caca sudah pulang sendirian.

 Devi meraih lengannya, mengajaknya pulang bersama. Rumah mereka tidak berdekatan, namun arahnya serupa. Dalam perjalanan saling bercengkrama. Gadis kecil dengan perawakan gempal itu adalah sahabat setianya. “Ayo main ke rumahku, Fir! Ayahku kemarin membelikanku sepeda baru!”

 Ibu bahkan belum membelikannya apel merah. Jika ia cemburu Devi mempunyai sepeda, itu tak masuk akal. Kamu sudah bisa naik sepedanya?” gadis itu menggeleng.

 “Aku mau belajar naik sepeda denganmu!”

 Memikunkan Lala. Ibu di rumah, sebuah kesempatan emas bermain di luar rumah. Keduanya lari menuju arah yang sama. Fira yang polos. Ia bermain tanpa restu ibu. Seragamnya bahkan belum ditanggalkan. Ia mendorong sepeda kawan. Membantu menyeimbangkan langkah, berkali-kali Devi terjatuh, perih kaki mencium aspal dijadikannya sebagai bahan tawa yang menyenangkan. Ia ikut menaiki. Satu gayuhan lancar, dua gayuhan sedikit oleng, tiga gayuhan terjungkal, kembali keduanya tertawa. 

Waktu memotret kebahagiaan semu anak itu. Takdir mengelus dadanya yang abstrak. Ikut bahagia. Tak menghiraukan petani yang memanggul kayu ketakutan nyaris ditabrak sepedanya. Abai dengan teriakan ibu-ibu yang sedang menyuapi anaknya di beranda rumah. 

 “Hati-hati!”

 Lugunya kedua gadis itu latihan naik sepeda di jalan umum desa, tidak memilih lapangan luas yang kesepian.  

***

“Kamu senang melihat ibu resah menunggumu?” 

Senja di Barat tersenyum, menyambut malam yang selalu menggoda. Kunang-kunang yang bersembunyi di balik semak, siap-siap memancarkan lenteranya. Malam nanti mereka ingin bercinta dengan gumintang di langit. Kemilau mega waktu itu adalah sambutan tercantik yang dibingkiskan alam untuk kado kepulangan anak bermata bulat. Seragam pramukanya kusut. Wajahnya tak ditaburi perasaan takut. Kepala diserupakan dengan tanaman padi yang merunduk. Lensanya menatap lantai rumah. Jemari-jemari tangan dikaitkan di hadapan pusar. “Kemana saja? Jam berapa ini?” hardikan tanda perhatian yang dibungkam merah di dalam amarah.

 “Kamu dari mana, Fira?”

 “Dari rumah Devi, Bu!”

 “Apa yang kamu lakukan di sana?”

 Diam. Anak itu mengunci mulutnya. “Kenapa bajumu sampai kotor seperti itu?” Ia jatuh berkali-kali, terkadang mencium aspal, juga sampai terpelanting ke dalam selokan. 

 Ibu mengelus dada. Kepalanya menggeleng-geleng. Airmatanya ditahan. Ia paham, anaknya iri dengan keceriaan dan waktu luang bermain kawan-kawannya. Ia menyadari bahwa buah hatinya juga berhak mendapatkan kesenangan berpetualang dengan canda tawa bersama kawan-kawan. 

Selama satu minggu, hanya satu hari ia diberi kesempatan bebas dari pekerjaan menjaga adik-adiknya, masa kecilnya direngut ketidakadilan takdir yang membuatnya harus menjadi orang tua untuk kedua adiknya. Namun, walaupun perasaan bersalah tumbuh subur di dada ibu, tetap saja ia tak mungkin membiarkannya pulang sampai selarut itu. Ia khawatir, jika ada hal buruk yang mencengkeram kelincahannya. Ia tidak ingin ada malapetaka kecil yang merampas keriangan putrinya. Bahkan ia tidak rela jika anak pertamanya kelelahan. 

 “Fira, ibu sayang sama kamu, ibu paham kamu ingin bermain dengan teman-temanmu, tapi lain kali jangan sampai sesore ini ya? Ibu khawatir!”

 Fira membisu. 

 “Jangan membuat ibu dipandang oleh tetangga tidak mampu merawat dan memperhatikanmu!” Jiwa ibu terluka. Ia membayangkan sebuah ucap dari bibir pahit yang melayang di emperan petang. Angin terkadang menggiring berita samar namun jelas menyakitkan. Senyum bertubi-tubi menyembunyikan kesengsaraan. Untuk kali ini, ia tidak tahan. 

 “Gurumu juga akan protes dengan ibu, jika ia tahu kamu pulang selarut ini, sementara ibu membiarkanmu mengajak adikmu ke sekolah, ibu akan dikira sangat tidak memperhatikanmu!” 

 Kau harus tahu dan mengingat suatu hal dalam sejarah, tentangnya yang beratus-ratus jam mundur dikubur senja, seorang dengan berkacamata tebal, mengetuk pintu lembut. Mengembuskan napas berat saat duduk di ruang tamu. Menyapu sekitar ruangan mewah itu, menggelengkan kepala heran, mengapa yang tampak dicukupi namun tutur mulut realita amat menderita? 

 “Jangan banyak menimbun harta! Perhatikan anakmu!” Pedih. Seketika air mata mengendap di sudut. Panas cairan itu tertahan agar tidak meluncur di hadapan guru yang senantiasa berjuang mencerdaskan anak bangsa. “Rumahmu bagus, tapi anakmu tidak terurus!” Petir menyambar. Tak ada lelaki di dalam rumah itu. Tinggallah bangunan besar dengan tirai anggun yang setiap malam kusennya dicumbui angin kelam. Lindungan ayah hampa, ibu mengais nafkah dengan menjual jasa punggung ringkihnya. 

 “Saya selalu mengurus anak saya, mereka adalah kebahagiaan bagi saya, bahkan jika bukan karena saya sangat menyayanginya, maka saya tidak mungkin meninggalkan mereka setiap malam. Saya pergi karena saya sangat menyayanginya! Ini semua demi kehidupan mereka, Pak!”

 “Di mana suamimu?”

 Jantung menggigil. Pita suara bisu. Waktu menenggelamkan ruang lalu, mengembalikan pada paras mungil yang masih diam menatap lantai. 

 Beranda rumah menjadi dramatis. Dedaunan flamboyan menari dihempas angin. Pohon kersen yang tumbuh di halaman rumah menggugurkan buahnya. Semilir mengantarkan pesan romantis di pinggiran senja. Burung-burung pulang ke sangkar. Pepohonan mengurangi embusan oksigen. Hawa dingin mulai mengalir. Penduduk sibuk membersihkan badan, siap-siap mengangsur langkah menuju surau yang paling dekat dengan rumah. Anak-anak belia menyenandungkan firman Tuhan di beranda surau, sementara Fira, gadis yang tadi mendapat kecupan kapur di kening, baru saja pulang, membawakan oleh-oleh kekecewaan di jiwa ibu. 

Anak-anak mengeja Iqro’, ia bahkan belum sempurna mengeja alvabet, hafal pun tidak. Bayangkan nasibnya kelak nanti, akan menjadi apakah dirinya yang kini takzim menundukkan pandangan itu? 

 Anak itu tak berniat mengucapkan kalimat pembelaan. Ia belum mengerti maknanya. Ia lugu. Apa yang ia katakan serupa dengan apa yang ia perhatikan. “Ibu, kenapa Devi dan teman-teman yang lain tidak pernah dimarahi oleh orangtuanya meskipun mereka setiap hari bermain? Bukankah Fira hanya satu hari saja?”

 Jika kau berada di posisi ibu. Kalimat apakah yang akan terucap? Ketahuilah, Kawan. Waktu itu jiwanya menggigil. Peluhnya menetas. Secepat kilat jemarinya membendung. Pikirannya mengajaknya terbang ke masa silam, tentang nyawa yang memberikannya benih di rahim. Sosok tampan pemilik perasaan utuhnya. Bukan menghilang dengan istri orang, bukan meninggalkan anak dalam kesendirian, juga bukan dihidupkan di dalam ranah kuburan. Takdir menyembunyikan kenangan indah yang dipaksa luber dalam masa depan. 

 “Fira, ibu khawatir sama kamu!” Merengkuh tubuh putrinya. Jongkok menyeimbangkan tinggi tubuh Fira. Tangannya membelai lembut pipinya. “Ibu hanya tidak ingin terjadi apa-apa dengan dirimu, kau pasti kelelahan seharian bermain di luar sana!”

 “Alah! Ibu nyebelin!” Ia mendorong tubuh ibu. Masuk ke dalam rumah. Naik ke lantai dua. Caca sedang bermain boneka kesayangannya. Televisi menyala, suaranya nyaring di gendang telinga, benda mati itu menonton gadis kecil yang duduk manis, mencoret-coret buku kosong. 

 “Kak Fira! Kak Fira! Lihat! Lala bisa menulis!” dengan nada cadelnya ia merajuk. Berdiri menghampiri Fira, memperlihatkan karyanya yang dianggap pandangan pribadinya dengan sempurna, namun di matamu itu hanya sebuah coretan garis yang membingungkan. “Bagus kan?”

 “Iya, adek memang pintar!” pujinya. Lala bertepuk tangan kegirangan. “Kakak mandi dulu ya?” Si kecil mengangguk. Kembali duduk melanjutkan imajinasinya. 

 Ibu meratap dengan senja. Menelan bulir perihnya. Mengumpat harapan dalam doa. Ia merangkak perlahan menaiki tangga rumah menuju lantai dua. Menatap punggung Fira yang malang. Menyadari perlakuan tak adil yang diberikannya. Di umurnya yang ranum, tak seharusnya ia menjabat menjadi ibu dan ayah pengganti, hal yang merampas tawa kanaknya saat bola api melintas di atas ubun. “Anakku, boleh saja hari ini kau menderita, namun suatu saat nanti kau akan menjadi anak yang paling cerdas."

 Baik! Waktu bergumam. Mungkinkah itu bukanlah sebuah ilusi yang terlalu tinggi? Bukankah kau tahu sendiri, hari itu, dalam tingkatan ke tiga di sekolah dasar, ia tak mampu membaca dengan lancar? Dari manakah cerdas itu akan mampir ke dalam akalnya yang sengaja ditumpulkan? 

 Langit mendesah sendu. Senja terbenam. 

 ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status