RINDU YANG TERLUKA
- Ancaman Siapa orang yang menginginkan dirinya hancur? Kekasih gelap suaminya kah? Rinjani selama ini merasa tidak punya musuh, kecuali wanita itu. Saran dokter Ratih tepat. Lebih cepat lebih baik ia segera menulis surat pengunduran diri. Sekarang saja mumpung Noval belum pulang sekolah. Rinjani berbalik arah dan kaget saat tubuhnya menabrak sang suami. Keduanya saling pandang. Kenapa suaminya tidak ke kantor setelah mengantarkan sang anak ke sekolah? Malas bertegur sapa, Rinjani melangkah keluar. Hendak mengambil laptop di ruang kerja suaminya untuk membuat surat pengunduran diri sebelum terlambat. Daffa tersenyum. "Mas ingin mengajakmu jalan pagi ini sambil nunggu jam Noval pulang sekolah. Nanti kita jemput dia. Noval pasti seneng banget." Rinjani tidak menjawab. "Rin." Daffa menahan sang istri ketika wanita itu hendak melangkah. Menarik raga ramping Rinjani hingga merapat tubuhnya. Dan wanita itu masih tetap diam meski tangannya berusaha melepaskan diri. "Please, Rin." "Kamu ingin bicara apa lagi, Mas." Rinjani mengendur. Sudah lelah jika terus berontak dan menghindar. Sejak kejadian di rumah perempuan itu hingga dirinya di tahan, Daffa tak henti meminta maaf dan menjelaskan. Namun semua terasa memuakkan. Mereka duduk berhadapan di ranjang kamar. Tatapan Rinjani terbuang pada hari yang beranjak siang. Surabaya kering di musim kemarau. "Mas mencintaimu dan akan selalu begitu. Abila bukan apa-apa bagiku. Percayalah!" Wajah putus asa terlihat saat Daffa bicara. Entah dengan cara bagaimana lagi ia meyakinkan Rinjani. Meski Abila masih terus menerornya minta perhatian dan mengajak ketemuan. "Bagaimana caranya agar mas bisa membuatmu yakin, Rin? Katakan. Akan mas lakukan apapun supaya kita tetap bisa bersama. Beri mas waktu untuk menyelesaikan Abila. Dia ...." "Nggak usah Mas ceritakan tentang dia. Aku sudah tahu. Apapun mengenai dia, yang pasti Mas sudah menanggapi dan masuk ke dalam kehidupannya. Mas, telah membuatnya jatuh cinta. Silakan urus gundikmu, biar aku mengurus hidupku dan Noval." Daffa terkesiap. Apa ini berarti Rinjani mengisyaratkan perceraian? "Honey, kita nggak akan berpisah." Daffa menatap lekat wajah istrinya dengan mata memerah. Honey. Rinjani memandang sekilas lelaki yang memberinya panggilan baru. Jika tidak ada pengkhianatan, tentu dia bahagia mendengarnya. Namun sekarang geli terdengar di telinga. Dan Rinjani tidak merespon. Diam masih menatap ke arah yang sama. Semua chat yang dibacanya masih teringat jelas di kepala. Sangat menyakitkan. Apa yang mereka lakukan? Sejauh itu kah? Daffa meraih jemari dan Rinjani menolak. "Aku ingin sendirian, Mas." Pada saat yang bersamaan ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Desy. Wanita itu turun dari pembaringan lalu melangkah keluar. Ia masuk ke kamar Noval dan menguncinya dari dalam. Daffa yang menyusul tidak bisa membukanya. "Hallo, Des." Rinjani duduk di lantai dekat tempat tidur berbentuk mobil milik putranya. "Alhamdulillah. Kamu sudah di rumah, Rin. Kulihat nomermu barusan aktif dan aku langsung menelepon. Aku sempat ragu, kupikir suamimu yang mengaktifkan ponselmu. Kapan kamu pulang?" "Kemarin pagi." Rinjani menceritakan bebas bersyaratnya. "Syukurlah. Yang penting kamu bisa ke luar dan bertemu Noval. Rencanamu apa sekarang?" "Aku ingin mengurus pengunduran diri dari rumah sakit. Dokter Ratih memberiku saran supaya aku mengundurkan diri daripada diberhentikan." "Kenapa diberhentikan? Nggak mungkin pihak rumah sakit seenaknya memecatmu dengan kesalahan yang kurasa bisa dimaklumi. Lagian record kamu cukup baik di rumah sakit. Pihak RS pasti akan mempertimbangkannya." "Ada pihak yang mempengaruhi supaya aku di pecat, Des." "Hmm, pasti perempuan simpanan Daffa. Gadis gila yang terobsesi sama suamimu. Kakeknya kan cukup terpandang dan koneksinya sangat banyak. Mereka punya kuasa dan bisa melakukan apapun dengan uang. Kalau gitu, resign saja. Kamu masih bisa berkarir di tempat lain." "Iya. Hari ini aku bikin surat pengunduran diri. Aku juga ingin mengajukan gugatan cerai, Des." "Aku sudah menduga kalau kamu akan mengambil keputusan itu." "Setelah masa habis laporku selesai aku akan mengurus semuanya. Sekarang aku belum menemukan buku nikahku yang disembunyikan Mas Daffa." "Rin, kalau kamu cerai. Pasti seneng banget si binal itu. Dia bakalan merasa menang dan bisa mendapatkan Daffa." "Lalu, apa aku harus bertahan. Aku nggak sanggup, Des. Hubungan mereka sudah terlanjur gila. Sekalipun Mas Daffa bilang menyesal atau apalah itu, hatiku sudah sakit. Terserah mereka mau apa setelah kami berpisah. Aku sudah nggak peduli, Des." "Tapi untuk mengajukan gugatan cerai, kamu juga harus punya bukti perselingkuhannya." Rinjani mengatur nafas yang tersengal karena dadanya begitu terasa sesak. Dia tidak punya bukti. Karena tidak sempat menyimpan bukti chat suaminya dan perempuan itu. Bodoh memang. Kenapa dia tidak kepikiran untuk menyimpannya. Malah sibuk menyelidiki tanpa mendokumentasikan. "Rin, kamu masih di situ, kan?" tanya Desy setelah Rinjani diam cukup lama. "Aku nggak menyimpan chat itu, Des." "Jadi selama kita mencari tahu, kamu nggak nyimpen apapun?" "Nggak. Aku terbawa emosi sampai nggak kepikiran untuk menyimpan bukti." "Subhanallah, Rin. Aku nggak ngingetin karena kupikir kamu sudah tahu sendiri. Ya ampun, terus gimana kamu mau menggugat cerai Daffa." "Pasti bisa. Aku tinggal menemukan buku nikahku saja. Aku akan berusaha." "Tapi ya itu. Si pelakor itu bakalan jingkrak-jingkrak kalau tahu kamu memilih pergi. Dia akan merasa menang." "Terserah. Aku nggak peduli. Yang penting aku bisa mendapatkan hak asuhnya Noval." "Oke. Nanti kita lanjutkan lagi. Aku mau meeting. Esok atau lusa aku akan datang ke rumahmu. Udah dulu, ya. Bye." Tergesa Desy bicara dan menyudahi panggilan. Desy bekerja di perusahaan properti. Berteman dengan Rinjani sejak mereka sama-sama masih SMP. Namun ketika kuliah, minat mereka berbeda. Desi kuliah di fakultas ekonomi sedangkan Rinjani meraih mimpinya di fakultas kedokteran. Untuk beberapa saat Rinjani terdiam. Menata hati dan pikiran. Menyesali keteledorannya kenapa tidak menyimpan bukti perselingkuhan suaminya. Tentu ini akan mempersulit ia mengajukan gugatan cerai. Rinjani menatap jam dinding berbentuk bola di tembok kamar. Ingin menelepon dokter Ratih. Semoga dokter yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu dalam keadaan longgar. Sekali panggilannya tidak dijawab. Pada panggilan kedua, baru di angkat. "Halo, Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." "Dokter Rin," suara di seberang tampak tak yakin. "Iya, saya, Dok." "Saya pikir Mas Daffa yang menelepon. Alhamdulillah, dokter sudah di rumah." Rinjani menceritakan hal yang sama seperti yang diberitahukan pada Desy tadi. Alasan yang membuatnya bisa bebas bersyarat. "Dokter Ratih, saya sudah membaca pesan yang dokter kirimkan. Terima kasih banyak atas sarannya. Hari ini saya akan membuat surat pengunduran diri."Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j
Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz
RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap
"Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola
"Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi
RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak
Netra Bu Murti berkaca-kaca saat diberitahu kalau Ika sedang hamil. Bibirnya yang bergetar mengucap syukur berulang kali. Reza, Ika, dan anak-anak sampai di Pujon sudah jam sembilan malam. Reza langsung ke kamar sang mama untuk membagikan kabar gembira."Jaga Ika baik-baik. Jangan biarkan dia melakukan pekerjaan rumah. Biar anak-anak di urus ART. Kamu juga harus tirakat."Kata terakhir yang diucapkan Bu Murti, bagi Reza tidak menjadi masalah. Dia sudah terbiasa mengatasi kesendiriannya hampir lima tahun setelah mamanya Nasya meninggal. "Ika akan bekerja dari rumah, Ma. Jadi dia nggak akan ngantor lagi.""Syukurlah. Segera ajak Ika periksa ke dokter.""Besok kami pergi periksa. Jadwalku ke kampus kebetulan siang.""Ya sudah. Kamu istirahat sana."Reza mengusap punggung mamanya. Kemudian beranjak meninggalkan kamar itu.***L***Satu bulan kemudian ...."Tri, tinggalin aja. Kamu ke depan sana. Kamu ini pengantin baru, nggak usah ikutan beres-beres," tegur Mak Sum menghampiri Lastri yan
Usai makan siang, Daffa mengajak istri dan anaknya pulang ke Malang. Sedangkan Ika dan Reza memutuskan pulang sorenya. Sebab Reza masih ada acara ketemuan dengan temannya di Surabaya.Daffa singgah di Batu. Bertemu Bre di sebuah kafe. Kehadiran Noval agak mengobati kerinduannya pada Alvian. Sudah lama dia tidak bertemu dengan anak Alan dan Livia itu.Bre juga mengendong baby Rachel."Nggak pengen kamu punya boneka hidup seperti ini?" tanya Daffa menghampiri Bre yang membopong Rachel di balkon kafe.Bre tersenyum. "Aku sudah cukup bahagia melihat kamu bisa kembali bersama dengan Rin. Memiliki anak-anak yang tampan dan cantik. Aku juga bahagia melihat Livia bahagia. Biar aku menjalani hidup yang aku pilih.""Sebeku itu hatimu?"Bre diam. Daffa juga diam. Mereka memperhatikan pemandangan di kejauhan yang mulai berselimut kabut. Entah sudah berapa kali Daffa memberikan semangat pada sahabatnya, tapi tampaknya sia-sia. Bre keukeh dengan keputusannya."Mbak Ika juga lagi hamil." "Oh ya?""
RINDU YANG TERLUKA - Romantis "Tekanan darah Mbak Ika menurun, detak jantung meningkat. Ini salah satu tanda stres. Tapi aku yakin Mbak Ika nggak sedang dalam tekanan. Mbak dan Pak Reza sangat bahagia. Kata Mas Daffa pekerjaan juga baik-baik saja. Jadi aku yakin kalau Mbak Ika pasti sedang hamil ini," kata Rinjani setelah melakukan pemeriksaan pada kakak iparnya. Meski sebagai dokter umum, Rinjani memiliki kompetensi ANC (Antenatal Care). Pemeriksaan kehamilan secara umum.Ika bangun dari pembaringan. "Mbak emang udah telat datang bulan, Rin. Sudah sepuluh hari ini.""Kenapa Mbak nggak melakukan testpack?""Nggak, karena mbak takut kecewa lagi. Bulan-bulan kemarin kalau telat haid Mbak langsung test tapi hasilnya negatif. Makanya kali ini Mbak biarin.""Coba cek, Mbak. Aku yakin Mbak Ika lagi hamil ini.""Nanti Mbak beli testpack. Yuk, kita keluar."Ika dan Rinjani melangkah keluar kamar. Di depan pintu sudah ada Reza yang menunggu. Dia tadi khawatir kenapa istri dan iparnya masuk k