Share

11. Ancaman 2

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-28 16:05:39

"Iya, Dok. Lebih cepat lebih baik sebelum keduluan pihak rumah sakit memberhentikan, Dokter. Tampaknya ada satu kekuatan yang mempengaruhi pimpinan kita untuk melakukan pemberhentian tidak hormat pada, Dokter Rin. Kebetulan suami saya yang mendengar pembicaraan itu. Dia ngasih tahu saya, terus saya sampaikan ke Anda. Walaupun saya mikirnya, mungkin tidak akan dokter baca karena Dokter masih di tahanan. Tapi syukurlah Dokter Rin sudah di rumah.

"Sebenarnya, rekan-rekan kita di sini bisa memaklumi apa yang Dokter Rin lakukan. Namun kami tidak punya kuasa untuk membela. Keputusan tetap ada pada pihak direktur kita. Percayalah, Dok. Nggak ada yang menyalahkan tindakan spontanmu. Kami sangat paham situasimu saat itu."

"Makasih banyak, Dok." Rinjani terharu. Rupanya mereka bisa mengerti posisinya.

"Yang sabar, Dok. Anda masih muda. Tetap semangat dan lanjutkan karir Anda di tempat lain. Semoga lebih sukses."

"Aamiin. Makasih, Dok."

"Sama-sama. Nanti ada waktu kita ketemuan, ya."

"Baik, Dok."

"Maaf, ini ada pasien masuk. Saya tutup dulu teleponnya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Rinjani memeriksa akun m-banking. Seminggu yang lalu Daffa sudah mentransfer uang nafkah bulanannya. Gajinya juga sudah masuk seminggu setelah dirinya di tahan. Dia memiliki tabungan yang lumayan untuk memulai hidup baru bersama putranya.

Sementara di luar kamar, Daffa duduk dengan perasaan cemas di sofa sambil memperhatikan pintu kamar putranya yang terkunci. Pikirannya entah ke mana-mana. Dia tidak khawatir Rinjani akan menyakiti dirinya sendiri, meski semalam sempat menodongkan gunting padanya. Rinjani tidak selabil Abila yang selalu mengancam hendak mengakhiri hidup jika Daffa meninggalkannya.

Daffa benar-benar terjebak oleh perempuan seperti Abila.

Ponsel berdering. Asistennya menelepon.

"Ya, Din."

"Maaf, Pak. Cuman hendak mengingatkan kalau setengah jam lagi ada meeting dengan pihak Wigati Grup. Terus jadwal makan siang dengan Pak Ginting dilanjutkan meeting. Sore nanti ada pertemuan dengan supplier."

"Cancel semua jadwal saya untuk hari ini dan empat hari ke depan. Saya ngambil cuti empat hari dari sekarang. Untuk meeting dengan Wigati Grup, minta Pak Singgih untuk menghandelnya. Selain itu tolong cancel semuanya."

"B-baik, Pak," jawab Dinda. Suara asistennya tampak gugup. Dia pasti bingung mengatasi segala jadwal yang sudah tersusun rapi, tapi harus dibatalkan dan di atur ulang.

Bukan itu saja, pasti papa, omnya, bakalan mengamuk kalau semua jadwal di cancel dadakan. Daffa tidak peduli. Dia tidak akan meninggalkan rumah dalam beberapa hari ini.

Ponsel yang baru diletakkan di meja kembali berpendar. Daffa berdecak melihat nama Abila tertera di layar. Jika tidak di angkat, khawatir gadis itu akan nekat mendatangi rumahnya.

Daffa beranjak dari sofa ke balkon. Rinjani tidak boleh mendengar percakapannya. Keadaan akan semakin rumit nantinya.

"Hallo." Suara Daffa lirih.

"Kamu di mana sih, Mas. Kenapa nggak balas pesanku, nggak nerima teleponku."

"Bil, aku sudah menjelaskan beberapa waktu yang lalu. Kita sudah selesai. Kita nggak ada komitmen apapun dalam hubungan ini selain ...."

"Just for fun. Begitu," sahut Abila. "Nggak bisa, Mas. Kamu nggak bisa ninggalin aku begitu saja," teriak gadis itu di seberang.

"Bila, sejak awal kamu tahu kalau aku punya istri."

"Tapi aku mencintaimu, Mas. Aku nggak peduli." Tangis gadis itu pecah. Daffa terpaku sambil bersandar pada pagar pembatas balkon. Tatapan matanya tidak beralih dari pintu kamar Noval. Rinjani tidak boleh memergokinya melayani telepon gadis labil di ujung sana.

"Bila, please. Aku sudah jelasin kalau di antara kita nggak akan ada kesepakatan apa-apa. Aku punya istri dan anak."

"I don't care," teriak Abila. "Kamu lupa kebersamaan kita, Mas. Aku nggak terima kalau hanya sebatas selingan bagimu. Akan kubuat istrimu itu mengerti tentang hubungan aku dan kamu."

Daffa menghela nafas berat. Ingin rasanya membanting ponsel biar ambyar sekalian dengan suara Abila yang terus mengancam. Bagaimana caranya ia mengatasi gadis itu. Daffa benar-benar terjebak dalam permainan yang awalnya memang sekedar hanya untuk main-main. Mengisi kejenuhan karena rutinitas pekerjaan.

"Temui aku malam ini, Mas. Kalau tidak, aku akan datang ke rumahmu." Ponsel dimatikan seketika.

Daffa mengumpat lirih. Kenapa dia sampai terbelit ular berbisa. Gadis itu tidak boleh tahu kalau Rinjani sudah dibebaskan bersyarat. Abila bisa nekat menemui istrinya dan membuat keadaan kian runyam.

Pria itu memandang ke arah pintu kamar Noval yang terkuak perlahan. Rinjani keluar tanpa memandang ke arahnya. Daffa mengikuti sang istri yang masuk ruang kerjanya dan duduk membuka laptop.

"Kamu ingin mengundurkan diri?" tanya Daffa membaca kalimat yang terketik di layar laptop.

"Hmm."

"Kenapa? Pihak rumah sakit nggak akan memecatmu. Mas sudah menemui Dokter Heru. Permasalahanmu bisa dimaklumi, Rin."

Rinjani terus mengetik tanpa mempedulikan suaminya.

Setelah vonis hakim, Daffa memang sengaja menemui direktur rumah sakit tempat istrinya bekerja. Supaya Rinjani tidak diberhentikan secara tidak hormat karena kasusnya. Daffa tidak ingin cita-cita istrinya hancur karena perbuatannya. Bahkan dengan gamblang ia mengakui bahwa dirinya yang bersalah.

"Rin, kita bisa membicarakan ini dengan Dokter Heru."

Apa bisa? Sudahlah lebih baik dia melanjutkan karirnya di tempat yang baru. Membawa Noval pergi dari kota ini. Menjauh dari seorang Daffa. Tapi bagaimana dengan Noval? Apa dia bisa berpisah dari papanya.

Next ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (10)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
sukurin km Daffa pusing2 km..
goodnovel comment avatar
Tri Widayanti
Kamu pasti bisa Rin,semoga Noval nanti mengerti
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
heleh Daffa gk bisa gitu ngurusin Bila? diancem dikit gitu ae gk berkutik.. laki apa bukan sih?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Rindu yang Terluka    174. Sehari di Surabaya 3

    Rasa bahagia sekaligus haru menyelimuti ruang perawatan mamanya Bobby. Pria dengan seragam lapas itu memeluk erat dua putrinya. Air mata tumpah tak terkira. Karena isaknya, sampai menyulitkan untuk bicara.Sang mama yang tergolek di atas brankar tak bisa bergerak selain menangis. Adik Bobby sibuk menghapus air matanya sendiri. Begitu juga dengan Ika. Tidak menyangka jika jalan kehidupan putri-putrinya seperti ini. Reza merangkul sambil mengusap-usap lengan istrinya untuk menenangkan. Ika bukan menangisi Bobby, tapi menangis untuk kedua anaknya.Sedangkan Nasya yang tidak seberapa mengerti, duduk diam di sebelah papanya."Terima kasih banyak, Pak Reza. Sudah menjaga dan membimbing anak-anak saya. Terima kasih. Saya titip mereka." Bobby yang sudah mulai tenang, bicara pada Reza."Jangan khawatir, Pak Bobby. Saya akan menyayangi dan menjaga mereka dengan baik," jawab Reza dengan penuturan sopan dan ramah. Bobby ganti memandang mantan istrinya. "Maafkan kesalahanku. Maafkan keluargaku j

  • Rindu yang Terluka    173. Sehari di Surabaya 2

    Ika menghela nafas panjang. Pantaslah suara mantan adik iparnya terdengar cemas. Perempuan yang beberapa bulan lalu sempat mencak-mencak dan marah karena sang kakak mendapatkan hukuman lumayan lama, kini melunak. Mungkin sekarang benar-benar merasakan bagaimana kehilangan support dan ATM berjalannya.Selama ini Bobby dan Ika yang mensupport pengobatan wanita itu. Makanya kesehatannya terjaga. Namun mulai drop setelah Bobby masuk penjara dan tidak ada dukungan finansial lagi.Sudah hidup enak karena Ika tidak sayang uang buat mereka, tapi mereka diam-diam malah memberikan dukungan pada Bobby bermain serong. Apa mereka pikir, hidupnya akan jauh lebih baik lagi? Orang tamak akan terperosok pada ketamakannya sendiri."Bagaimana, Ma?" Reza menyentuh pundak sang istri yang masih berdiri di teras rumah.Ika mengajak suaminya duduk. Kemudian menceritakan tentang percakapannya dengan mantan ipar."Sebenarnya ini solusi, Ma. Kalau pihak keluarga Bobby mau mengajukan permohonan supaya Bobby diiz

  • Rindu yang Terluka    172. Sehari di Surabaya 1

    RINDU YANG TERLUKA- Sehari di Surabaya "Ma, papa nggak ngelarang kamu membawa anak-anak menjenguk papanya. Apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa memisahkan darah yang mengalir sama di tubuh mereka. Tapi papa ngasih saran, bisakah diusahakan bertemu selain di penjara?"Malam itu Ika memberitahu sang suami perihal pesan yang dikirim mantan adik iparnya. Tentu Ika harus mendiskusikan bersama Reza untuk mengambil keputusan. "Pikirkan psikologis anak-anak. Selama ini mereka hanya mendengar papanya di penjara dari cerita. Tidak menyaksikan secara langsung. Kalau mereka melihat sendiri, pasti akan menjadi beban mental dan mengusik ketenangan jiwa anak-anak. Terutama Zahra yang sudah besar."Ika mengangguk. Benar yang dikatakan sang suami. Karena dia pun memikirkan hal yang sama."Bobby baru setahun menjalani hukumannya, Pa. Mana mungkin diizinkan keluar sebentar dengan alasan tertentu.""Ada beberapa alasan yang bisa membuat pihak berwenang memberi izin untuk Bobby keluar dalam beberap

  • Rindu yang Terluka    171. Biarlah Berlalu 3

    "Sudah. Tadi malam Iren ngasih tahu kalau Mas Yansa diopname. Livernya kambuh lagi. Kamu mau nyambangi?""Kayaknya nggak, Mbak. Rin juga lagi sakit.""Sakit apa?""Masuk angin.""Jangan-jangan istrimu hamil lagi?""Nggak. Hanya masuk angin. Beberapa hari ini memang sibuk di klinik sampai malam karena rekannya ada yang cuti. Minggu kemarin, tiga hari Rin juga bolak-balik ke Batu untuk seminar.""Nanti mbak ke rumahmu.""Oke. Kalau gitu aku berangkat dulu, Mbak.""Kamu nyetir sendiri?""Iya. Ibnu sudah berangkat pagi tadi ngantar proposal ke Surabaya."Daffa bangkit dari duduknya. Menyapa sebentar pada Bu Murti yang sedang memetik sayuran di halaman samping, lantas masuk mobil dan pergi.Ika masuk ke dalam rumah dan langsung ke dapur. Sebelum mulai sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu menyempatkan untuk membantu memasak. Sambil memotong sayuran, ia teringat dengan sepupunya. Mereka pernah membesar bersama di dalam keluarga besar Joyo Winoto. Itu nama kakek mereka. Disaat masih sekola

  • Rindu yang Terluka    170. Biarlah Berlalu 2

    "Noval sudah berani tidur sendiri di kamarnya, Mas. Asal sebelum tidur ditemani dulu. Kalau Rachel biar tidur di kamar kita untuk sementara. Setelah dia bisa jalan biar ditemani oleh Mak Sum di kamarnya. Gimana?""Oke," jawab Daffa seraya merapatkan pelukannya. Mereka berdua sedang duduk menyaksikan hujan di luar dari balik jendela kaca."Terima kasih untuk hadiahnya, Mas. Tadi pagi kita buru-buru sampai aku nggak sempat bilang terima kasih." Rinjani berkata sambil menyentuh kalung di lehernya."Apa yang mas berikan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu berikan dalam hidup mas, Rin. Kamu menyempurnakan hidup lelaki yang tidak sempurna ini. "Kamu memberikan gelar lelaki br*ngsek ini sebagai seorang ayah. Memberikan kesempatan disaat kesalahan mas teramat fatal. Maaf, untuk semua kesalahan kemarin. Mas bangga memilikimu.""Nggak usah diingat lagi. Kita sudah melangkah sejauh ini. Yang lalu biarlah berlalu. Kita berjuang untuk masa depan keluarga kecil kita. Tapi sekali lagi

  • Rindu yang Terluka    169. Biarlah Berlalu 1

    RINDU YANG TERLUKA - Biarlah Berlalu Kejutan macam apa ini. Daffa malah sukses membuat Rinjani kelabakan dan tergesa-gesa ke klinik dengan rambut yang belum kering. Dan jadi pusat perhatian, karena belum pernah ia datang ke klinik dengan rambut seperti ini.Mau marah, tapi ini hari ulang tahunnya. Mau marah, tapi Daffa seromantis itu. Ah, sejak dulu sebenarnya Daffa memang sangat romantis meski kemauannya tidak bisa dibantah. Bahkan di tengah perselingkuhannya, Daffa tetap romantis plus egois.Rinjani menghela nafas lalu duduk di kursinya. Meraba kalung berlian di balik kerah bajunya. Daffa yang memakaikannya sesaat sebelum pria itu membawanya terbang ke nirwana."Ini harus dipakai. Nggak mengganggu aktivitasmu, kan?"Sekarang hadiah istimewa itu melingkar dan di sembunyikan di balik kerah baju. Rinjani selalu memakai baju dengan kerah yang menutupi leher jenjangnya."Nanti malam kita dinner dan nginap di Batu," kata Daffa sebelum Rinjani turun dari mobil saat di antar tadi. Jarak

  • Rindu yang Terluka    168. Romantis 3

    Netra Bu Murti berkaca-kaca saat diberitahu kalau Ika sedang hamil. Bibirnya yang bergetar mengucap syukur berulang kali. Reza, Ika, dan anak-anak sampai di Pujon sudah jam sembilan malam. Reza langsung ke kamar sang mama untuk membagikan kabar gembira."Jaga Ika baik-baik. Jangan biarkan dia melakukan pekerjaan rumah. Biar anak-anak di urus ART. Kamu juga harus tirakat."Kata terakhir yang diucapkan Bu Murti, bagi Reza tidak menjadi masalah. Dia sudah terbiasa mengatasi kesendiriannya hampir lima tahun setelah mamanya Nasya meninggal. "Ika akan bekerja dari rumah, Ma. Jadi dia nggak akan ngantor lagi.""Syukurlah. Segera ajak Ika periksa ke dokter.""Besok kami pergi periksa. Jadwalku ke kampus kebetulan siang.""Ya sudah. Kamu istirahat sana."Reza mengusap punggung mamanya. Kemudian beranjak meninggalkan kamar itu.***L***Satu bulan kemudian ...."Tri, tinggalin aja. Kamu ke depan sana. Kamu ini pengantin baru, nggak usah ikutan beres-beres," tegur Mak Sum menghampiri Lastri yan

  • Rindu yang Terluka    167. Romantis 2

    Usai makan siang, Daffa mengajak istri dan anaknya pulang ke Malang. Sedangkan Ika dan Reza memutuskan pulang sorenya. Sebab Reza masih ada acara ketemuan dengan temannya di Surabaya.Daffa singgah di Batu. Bertemu Bre di sebuah kafe. Kehadiran Noval agak mengobati kerinduannya pada Alvian. Sudah lama dia tidak bertemu dengan anak Alan dan Livia itu.Bre juga mengendong baby Rachel."Nggak pengen kamu punya boneka hidup seperti ini?" tanya Daffa menghampiri Bre yang membopong Rachel di balkon kafe.Bre tersenyum. "Aku sudah cukup bahagia melihat kamu bisa kembali bersama dengan Rin. Memiliki anak-anak yang tampan dan cantik. Aku juga bahagia melihat Livia bahagia. Biar aku menjalani hidup yang aku pilih.""Sebeku itu hatimu?"Bre diam. Daffa juga diam. Mereka memperhatikan pemandangan di kejauhan yang mulai berselimut kabut. Entah sudah berapa kali Daffa memberikan semangat pada sahabatnya, tapi tampaknya sia-sia. Bre keukeh dengan keputusannya."Mbak Ika juga lagi hamil." "Oh ya?""

  • Rindu yang Terluka    166. Romantis 1

    RINDU YANG TERLUKA - Romantis "Tekanan darah Mbak Ika menurun, detak jantung meningkat. Ini salah satu tanda stres. Tapi aku yakin Mbak Ika nggak sedang dalam tekanan. Mbak dan Pak Reza sangat bahagia. Kata Mas Daffa pekerjaan juga baik-baik saja. Jadi aku yakin kalau Mbak Ika pasti sedang hamil ini," kata Rinjani setelah melakukan pemeriksaan pada kakak iparnya. Meski sebagai dokter umum, Rinjani memiliki kompetensi ANC (Antenatal Care). Pemeriksaan kehamilan secara umum.Ika bangun dari pembaringan. "Mbak emang udah telat datang bulan, Rin. Sudah sepuluh hari ini.""Kenapa Mbak nggak melakukan testpack?""Nggak, karena mbak takut kecewa lagi. Bulan-bulan kemarin kalau telat haid Mbak langsung test tapi hasilnya negatif. Makanya kali ini Mbak biarin.""Coba cek, Mbak. Aku yakin Mbak Ika lagi hamil ini.""Nanti Mbak beli testpack. Yuk, kita keluar."Ika dan Rinjani melangkah keluar kamar. Di depan pintu sudah ada Reza yang menunggu. Dia tadi khawatir kenapa istri dan iparnya masuk k

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status