Share

Rintihan Menggoda di Kamar Adikku
Rintihan Menggoda di Kamar Adikku
Penulis: Meisya Jasmine

1. Suara Rintihan Erotis

Bagian 1: Suara Rintihan

              “Apa? Kamu tega nyuruh adikmu sendiri tinggal di kost-kostan? Maya, di mana perasaanmu? Kamu memang nggak pernah nganggap Navita itu sebagai adikmu!” Suara Bunda Lisa meninggi. Membuat gendang telingaku rasanya mau pecah. Refleks ponsel yang sempat menempel di telinga itu langsung kujauhkan.

              Sambil menghela napas panjang aku menjawab salah pahamnya ibu tiriku, “Bun, maaf. Bukan aku tega atau sampai tidak menganggap Navita adikku sendiri atau bagaimana. Bukan begitu—”

              “Lantas apa, May? Navita itu darah dagingmu sendiri! Kalian itu satu bapak! Sedarah! Apa yang membuatmu enggan menampung saudara sedarah sendiri di rumahmu? Adik satu-satumu itu mau kuliah dengan baik, apa kamu tidak khawatir kalau dia tinggal mengekost? Astaga! Kamu bikin hatiku sakit rasanya, May!” Bunda histeris di seberang sana. Membuatku jadi serba salah dan tidak enak hati.

              “Bun, begini. Aku kan, sudah menikah. Apalagi … aku dan Mas Refal baru saja menikah. K-kami butuh eksklusifitas di rumah.”

              “Ya Tuhan! Eksklusifitas katamu? Baiklah, Maya. Ternyata kamu bukan kakak yang baik. Aku sudah salah duga kepadamu selama ini. Dua puluh tahun aku nikah sama ayahmu, dua puluh tahun juga aku merawat kamu seperti darah dagingku sendiri. Sekarang, giliran sudah sukses dan punya rumah sendiri di kota besar, kamu ternyata sudah melupakan jasa-jasaku sebagai seorang ibu.”

              Aku terhenyak dengan kemarahannya Bunda yang sangat berlebihan. Bukan begitu maksudku! Aku sudah niat baik untuk mengajak Navita tinggal di kota ini dan membiayakannya penuh kamar kostan yang nyaman lagi lengkap fasilitasnya. Namun, kenapa Bunda malah salah paham begini?

              “Bun, bukan begitu. Demi Allah, bukan begitu maksudku, Bun.”

              Klik!

              Sambungan telepon pun diputuskan secara sepihak oleh Bunda. Aku kaget. Merasa bersalah dan sedih luar biasa.

              Sambil duduk di bibir ranjang, aku menghela napas dalam. Ya Allah, aku salah bicara lagi. Padahal, setengah mati aku menjelaskan kepada Bunda agar dia tidak salah paham.

              Aku ini sudah menikah. Mana mungkin kubiarkan ada perempuan lain tinggal satu atap denganku di sini? Bukan karena aku tidak percaya kepada suamiku sendiri. Bukan juga karena aku terlalu cemburu buta kepada Mas Refal. Namun, apa salahnya bagiku untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

              Belum tuntas gemuruh galau di dalam dadaku, kini sudah masuk lagi sebuah panggilan ke ponsel. Saat kulihat layar, aku makin bimbang dan cemas. Telepon dari Ayah. Pria penyabar yang selalu memberikan kasih sayangnya kepadaku, meskipun aku tak lagi memiliki ibu kandung sejak berusia 5 tahun.

              Agak berat, kuangkat telepon dari Ayah. Diam-diam aku berdoa agar tidak ada salah paham lagi. Aku ingin menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik.

              “Halo, Yah,” ucapku manis sambil menahan sesaknya dada akibat dimarahi Bunda barusan.

              “Maya, kamu lagi apa, Nak? Lagi di mana sekarang?” Ayah bertanya lembut. Pria paruh baya pensiunan bank milik BUMN itu selalu bertanya dengan nada yang santun kepada anak-anaknya.

              “Lagi santai aja, Yah. Ini lagi di rumah sendirian. Mas Refal keluar nyervis mobil sekalian belanja alat pertukangan. Ayah sendiri lagi apa?” Aku menggigit bibir bawahku. Bertanya-tanya, apa yang akan Ayah lontarkan setelah ini. Mungkinkah beliau juga akan memarahiku seperti Bunda?

              “Ayah lagi di rumah juga sama Bunda dan Navita. Oh, ya, May. Ayah dengar … Maya tidak mau kalau Navita tinggal di rumahnya Maya sama Refal, ya? Kenapa itu Nak, kalau Ayah boleh tahu?”

              Aku menarik napas dalam. Tebakanku benar. Ayah akhirnya bertanya juga tentang hal yang sama dengan Bunda.

              “B-begini, Yah …. Aku kan, baru nikah. Belum juga setahun. Rasanya masih ingin mesra-mesraan sama suami sendiri. Takutnya, kalau ada Navita di sini bikin aku dan Mas Refal canggung.” Hati-hati sekali aku menjelaskan. Supaya Ayah tidak tersinggung dan lekas marah seperti Bunda.

              “Oh, jadi begitu, ya? Tapi, Ayah yakin kok, kalau Navita itu tidak akan mengganggu kemesraan Maya dan Refal. Ayah jamin itu, Nak. Ayah sama Bunda tidak percaya kalau Navita tinggal di kost-kostan. Zaman sekarang, kan, semuanya serba jadi edan. Kamu saja dulu waktu kuliah tinggalnya di asrama. Boleh ya, Nak?”

              Aku pun memejamkan mataku rapat-rapat. Aku sebenarnya tidak mau mengalah dengan permintaannya Ayah. Namun, aku juga tidak tega buat menolak keinginannya mentah-mentah. Bagaimana ini?

              “Gimana, Nak?” Ayah mengulangi.

              “Aku diskusikan sama Mas Refal dulu ya, Yah,” ucapku mencari alasan.

              “Ayah sudah telepon Refal kok, kemarin. Refal bilang oke-oke saja. Dia tidak keberatan. Makanya Ayah berani meminta ke kamu begini, May. Tinggal dari Mayanya saja yang belum oke.”

              Ulu hatiku terasa seperti dihunjam pisau belati. Tidak kusangka kalau Ayah dan Bunda malah sudah berbicara kepada Mas Refal tanpa sepengetahuanku. Mas Refal juga tidak ada cerita-cerita padahal sepanjang malam Minggu tadi, kami banyak bercengkerama sejak dia pulang dari kantornya.

              “B-baik, Yah.”

              “Kalau begitu, kamu setuju kan, May?”

              “S-setuju ….”

              “Alhamdulillah. Makasih ya, May. Lusa, Navita akan Ayah antar plus barang-barangnya.  Tolong antar ke mana pun dia perlu ya, May. Daftarkan ke kampus yang terbaik menurutmu. Ayah percaya sama Maya.”

              Semenolak apa pun aku, tetap saja yang terbayang di pelupuk mata ini hanyalah sosok Ayah semata. Mana mungkin aku membuat beliau kecewa. Sedangkan kedua tangan beliau sudah lelah bekerja untuk membesarkanku sejak lahir.

***

              “Mas Refal … jangan lakukan itu, Mas! Kumohon … j-jangan ….”

              Suara itu sangat jelas di telingaku. Seperti sebuah rintihan yang umumnya diperdengarkan seorang perempuan kala mendapat sentuhan spesial dari pasangannya. Suara itu … mirip sekali dengan miliknya Navita—adik satu ayahku.

              Tubuhku gemetar. Kelopak mataku langsung membuka lebar-lebar. Aku menoleh ke samping tempat tidurku, tak ada Mas Refal di sana. Sementara itu, sprei ranjang kami yang putih sudah berantakan.

              Napasku pun terengah. Navita tadi sore baru saja tiba di rumah kami. Dia menginap persis di kamar sebelah kiri dari kamarku. Dan … terdengar lagi sebuah suara dari arah kamar sebelah. Bedanya, kali ini suara itu adalah miliknya lelaki. Persis dengan suara Mas Refal—suamiku.

              “Ssst … j-jangan keras-keras. Nanti kakakmu dengar, Sayang ….”

              Aku langsung bangkit dari rebahku. Kakiku lemah untuk sekadar melangkah turun dari ranjang. Lidahku pun kelu. Namun, akhirnya aku mampu untuk berteriak kencang.

              “Mas Refal!”

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status