Share

3. Caper

Bagian 3: Caper

              “Refal, Ayah bangga sama kamu. Kariermu bagus sekali. Sudah karyawan tetap di bank BUMN. Ayah doakan, semoga kelak Refal bisa jadi kepala cabang seperti Ayah dulu, ya. Kalau ingat masa-masa itu, rasanya indah sekali.” Ayah menatap langit-langit. Beliau berbicara seolah tengah mengenang masa kejayaannya.

              Ya, Ayah memang sudah pensiun tiga tahun yang lalu. Setelah pensiun, uang pesangonnya langsung Bunda gunakan untuk kami berangkat umroh sekeluarga. Aku, Ayah, Bunda, Navita, nenek dan kakek dari pihak Bunda, bahkan kedua adik-adiknya Bunda yang sudah punya suami. Bayangkan, betapa besarnya biaya yang digelontorkan saat itu! Dulu, aku ingin sekali memberikan masukan agar uang pesangon Ayah disimpan saja untuk biaya pendidikan adikku yang kala itu baru masuk SMA. Akan tetapi, aku tidak punya keberanian lebih karena aku paham betul bahwa aku hanyalah seorang anak yang tidak perlu banyak ikut campur urusan orangtua.

              Makanya, sekarang aku berinisiatif untuk ikut membiayai kuliahnya Navita. Demi apa? Demi meringankan beban Ayah yang sudah tua. Apalagi Bunda bukan seorang pekerja yang menghasilkan uang. Pikirku, penghasilanku sebagai seorang editor freelance masih jauh lebih dari cukup untuk membayar separuh uang semesteran Navita dan biaya kost-kostannya. Eh, dia malah ogah ngekost.

              “Amin, Yah. Semoga saja ya, Yah. Semoga bisa jadi direktur sekalian.” Suamiku langsung merangkul pundak Ayah yang duduk di sebelahnya.

              Makan malam kali ini memanglah ramai. Suasananya juga lumayan hangat sebab keberadaan Ayah yang selalu kurindukan setiap harinya. Namun, tiba-tiba celetukan dari Navita yang duduk di sebelah kananku membuat kuping ini agak panas.

              “Wah, kalau jadi direktur, pasti banyak yang ngefans sama kamu, Mas Refal! Sudah cakep, punya jabatan tinggi pula. Siap-siap yang di rumah bakalan ketar ketir.” Navita berkata dengan suaranya yang keras. Di akhir kalimat, dia menoleh ke arahku dan tertawa kecil. Dia jelas mengejekku. Gadis dengan tinggi 172 sentimeter dan body berisi di bagian dada serta bokong itu entah kenapa semakin menjadi-jadi saja.

              “Iya, betul itu! Makanya Maya, kamu rawat muka kamu, dong! Jangan sampai suamimu berpaling! Itu muka udah kusam banget kaya pantat kuali!” Bunda berkata-kata sengit. Dia yang duduk di sebelah kiriku itu menoleh sambil menyuap nasi dan sop.

              Aku hanya senyum kecut saja mendengar ucapan mereka. Hatiku agak-agak panas sebenarnya. Namun, aku coba menahan diri karena menghormati sosok Ayah di depan sana.

              “Ah, nggak, kok! Maya nggak kusam wajahnya. Dia itu cantik banget. Cuma, kemarin pas banyak orderan dari penerbit. Ada dua puluh naskah yang harus dia editori bulan lalu. Makanya agak kelihatan capek karena banyak begadang. Iya kan, May?” Mas Refal membelaku. Membuatku sontak tersenyum lebar dan puas ke arahnya.

              “Iya, Sayang. Alhamdulillah kemarin banyak rejeki. Besok aku perawatan deh, kalau begitu. Suntik DNA salmon di klinik kecantikan.”

              “Suntik DNA berang-berang sekalian!” Navita seakan keki dengan ucapanku. Dia lagi-lagi menceletuk dan mukanya langsung berubah jengkel.

              “Kamu mau juga, Nav?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya.

              “Nggak, ah. Nggak perlu perawatan, mukaku juga udah cantik, Mbak!” ujar Navita sambil menyuap cepat makanan di piringnya.

              “Oh, Alhamdulillah kalau begitu. Uangku jadinya tidak perlu dibuang buat kamu. Sayang juga kalau dikasih buat kamu perawatan, Nav.” Aku membalas keketusan Navita dengan senyuman cantik.

              Gadis belia itu langsung mengerucut bibirnya. Dia makan semakin cepat dan sepertinya sedang full emosi.

              “Bunda salut sih, sama kamu, May. Capek-capek dikuliahkan sama Ayah sampai jenjang sarjana. Mana dulu biaya semesterannya mahal pula. Terus, abis kuliah juga kerja di perusahaan finance besar dengan gaji lumayan. Eh, pas nikah malah berhenti kerja. Malah jadi editor yang nggak sesuai sama pendidikan sarjana ekonomimu itu. Sebenarnya Ayah itu kecewa lho, kamu berhenti bekerja dan cuma di rumah aja. Duit ngeditmu juga toh, belum bisa beli mobil atau perhiasan segede gaban!”

              Kali ini ucapan Bunda membuat nafsu makanku hilang seketika. Aku diam. Sendok yang semula mau kusuapkan ke mulut, lekas kukembalikan ke atas piring.

              “Mendingan aku nggak sih, Bun? Di rumah tapi tetap menghasilkan duit. Ketimbang Bunda, di rumah doang, bisanya ngabisin pesangon Ayah doang. Betul kan, yang kubilang?”

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status