Bagian 9: Tak Percaya “Mas, kamu itu kenapa, sih? Kenapa kamu tiba-tiba marah besar untuk hal sepele kaya begini? Aku memangnya salah apa sama kamu?!” Aku yang sudah kehabisan sabar pun akhirnya memuntahkan kemarahanku juga. Tidak bisa dibiarkan, pikirku. Mas Refal seperti orang yang kesetanan kalau menyangkut masalah keluarga dan adikku. Kenapa, sih? Kaya aku ini orang yang paling salah sedunia saja. Hanya karena makan malam, reaksi dia bisa seperti orang yang kebakaran bokong! “May, kamu masih tanya aku kenapa? Astaga, May! Kamu seharusnya mikirlah, May! Aku ini menantu laki-laki pertama dan satu-satunya dari orangtuamu! Apa kamu nggak mikir tanggapan dari orangtuamu ke aku bagaimana? Aku hanya nggak mau dibilang mantu durhaka yang membuat istriku jadi tidak bakti ke orangtua kandungnya sendiri. Come on, Maya! Aku begini karena aku sayang sama kamu. Aku susah untuk meyakinkan ayahmu dulu pas meminang kamu. Beliau kasih restu dengan catata
Bunda, Ayah, dan Navita pun tiga puluh menit kemudian tiba di rumah kami. Begitu girangnya Mas Refal kulihat. Dia yang tadinya murung seperti orang menahan rindu satu ton, akhirnya berseri-seri seakan tengah jatuh cinta. Terlebih saat Navita memberikan oleh-oleh yang dia pinta. “Mas Refal, ini kopi pesanannya. Mau dimasukin ke kulkas dulu apa mau langsung minum?” Adikku yang tinggi semampai dengan pinggang ramping dan bagian bokong berisi itu menawarakan. Tubuhnya yang seksi malam ini dia bungkus dengan sebuah kaus hitam ketat lengan pendek dan celana jins cutbray yang tak kalah ketatnya. Aku yang sesak melihat penampilan Navita. Apa dia tidak risih melihat cetakan bodinya yang begitu ‘nyeplak’? “Mas langsung minum aja. Makasih ya, Nav. Makasih Bun, Ayah, udah kasih oleh-oleh.” Mas Refal langsung menyambar kopi tersebut. Suamiku pun lalu berjalan menuju kursi makan yang berada di seberang tempatku duduk. Dia duduk pas di sebelah Ayah. Tersen
“Kalau aku pribadi tidak sanggup, Mas. Upahku sebagai editor tidak begitu besar. Aku tidak mampu kalau harus membiayai kuliah Navita di kedokteran. Kalau hanya memberinya uang saku bulanan senilai satu juta atau membantu per enam bulan paling banyak sepuluh juta sudah termasuk uang saku dan biaya semesteran, yah akan kuusahakan. Cuma, kalau harus membiayai penuh dan menanggung semua-semuanya, aku tidak mau. Aku juga punya kebutuhan. Kamu juga kan, harus rutin memberi ibumu uang, Mas. Jangan sampai Ibu protes jatahnya berkurang gara-gara membiayai adikku.” Aku berkata dengan nada yang lantang. Semua orang langsung terdiam. Termasuk Bunda yang mulutnya paling cerewet sejak tadi. Muka Mas Refal langsung merah padam. Biar saja orangtuaku tahu kalau suamiku ternyata rutin mengirimkan orangtuanya uang setiap bulan. Ibu memang sudah janda. Anaknya ada tiga dan Mas Refal yang paling kecil. Kakak Mas Refal semuanya laki-laki. Dua-duanya mana ada yang mau peduli untuk masal
Bagian 11: Tidak Ada Ampun “Astaghfirullah, Maya! Kenapa kamu jadi sangat kasar begini, sih?” Bunda terlihat tercengang dengan perubahan drastis pada sikapku. Aku hanya mengecimus sebal. Siapa pun yang telah diinjak-injak, mana mungkin tetap bersifat malaikat? Aku ini hanya manusia biasa! Bukan nabi atau rasul yang memiliki sabar lebih serta hati bersih nan mulia. Ada kalanya aku akan naik pitam, terlebih jika terus menerus ditekan oleh keluargaku sendiri. “Bun, tolong jangan playing victim! Sekali lagi aku tegaskan Bun, aku memberikan masukan kepada Navita untuk kuliah di sini karena aku sayang kepada dia! Apa pun yang pernah Bunda lakukan kepadaku termasuk bersikap cuek dan dingin di saat aku masih kecil, aku tidak mempermasalahkan itu! Aku tidak pernah dendam. Aku malah ingin semakin berbakti kepada kalian dan membahagiakan adikku satu-satunya. Namun, kalau begini caranya, aku minta maaf ya, Bun. Aku tidak sanggup! Apalagi kalau harus membiayai Navita de
Bagian 12POV Author: Rencana Busuk “Bun, kayanya kita harus waspada, deh. Itu Mbak Maya kayanya mulai mengendus niat kita,” bisik Navita kepada Lisa yang tidak lain dan tidak bukanlah adalah ibu kandungnya. Ibu dan anak itu kini tengah berduaan di kamar tamu yang berada tepat di sebelah timurnya kamar Maya. Sedangkan Pambudi—suami Lisa yang juga ayah dari Navita maupun Maya—sekarang sedang tidur di kamar lantai dua sana. “Iya, Nav. Kamu tenang aja pokoknya! Semua biar Bunda yang handle. Dukunnya Bunda kan, ilmunya topcer banget. Dijamin, walaupun si Maya koar-koar, yang penting si Refalnya taat dan tunduk terus sama kita. Kamu lihat kan, Nav, kalau si Refal manut terus sama apa yang Bunda dan Ayah bilang? Semua itu atas bantuan dukun Bunda, Nav! Pak Trisno memang juaranya kalau urusan pelet memelet dan ilmu pengasihan. Kamu nggak usah khawatir, ya,” lirih Lisa kepada Navita sambil tangannya merangkul bahu sang putri. Navita meng
“Tidak hanya itu, Nav! Kamu juga harus membuat mertuanya Maya berubah membenci perempuan itu. Kamu harus rebut hatinya Bu Rini. Buat Bu Rini suka kepadamu dan merestui hubungan kalian nantinya. Namun, kamu harus main cantik sepertinya, Nav. Jangan terlalu agresif dulu, deh.” Lisa menimbang-nimbang. Dia berpikir kalau beberapa waktu ini sepertinya mereka berdua agak terlalu gegabah sehingga membuat Maya keburu sadar dengan tindak tanduk keduanya. “Sebenarnya, agresif itu nggak apa-apa sih, Bun. Asalkan, dukunnya Bunda bisa ngeguna-guna Mbak Maya sekalian. Bikin dia sakit, kek. Atau bikin dia jadi dibenci sama suaminya. Jangan melet Mas Refal doang, Bun. Sekalian kita hancurkan Mbak Maya pakai ilmu hitam biar mereka buru-buru bercerai. Aku juga udah nggak sabar pengen nikah sama Mas Refal, Bun. Kuliah sambil nikah kan, nggak masalah. Malah enak. Nanti pulangnya bisa diantar jemput pakai mobilnya Mas Refal yang bagus.” Navita penuh percaya diri. Dia yakin seribu persen ba
Bagian 13 Berubah Manis “Maya, Ayah dan Bunda pulang dulu, ya. Tolong jaga adikmu baik-baik, Sayang. Ayah sama Bunda minta maaf kalau ada omongan kami yang tidak berkenan di hatinya Maya.” Setelah sarapan bersama, Ayah memeluk tubuhku erat-erat. Kurasakan aroma ketulusan yang begitu kental melekat dari Ayah. Ucapan Ayah yang lembut seketika membuat hati ini luluh dan terenyuh. Sesaat aku melupakan kekesalanku kepada Ayah, Bunda, dan Navita. Sekarang, hanya rindu yang membuncah. Rasanya aku berat sekali untuk melepas kepulangan Ayah. Ingin kusuruh saja beliau yang sudah pensiun itu untuk tinggal bersama di sini. Namun, sepertinya hal itu tidak mungkin. “Iya, Ayah. Aku juga minta maaf kalau ada kata-kataku yang membuat Ayah atau Bunda tidak senang. Insyaallah Navita akan aman bersama kami di sini,” jawabku penuh kasih sayang kepada Ayah. Ayah mengusap-usap puncak kepala dan punggungku beberapa kali.
Bagian 14: Ponsel Rahasia “Mbak biar aku yang cuci piring dan beres-beres dapur. Mbak istirahat aja.” Navita berujar ketika semua orang sudah pergi dari rumah. Aku cukup kaget mendengarkan ucapan Navita. Dia benar-benar menjadi seorang gadis baik yang manis kepada kakaknya. Pertolongan cuma-cuma ini tentu saja tidak akan kusia-siakan. “Ya, sudah. Silakan. Aku tidak menyuruhmu lho, ya. Terus, tesmu bagaimana? Sudah belajar, kan?” tanyaku sambil melirik Navita dengan setengah menyelidik. “Aman, Mbak. Aku sudah belajar jauh-jauh hari.” “Jangan karena kamu kepengen masuk swasta bonafide, kamu jadi sengaja nggak belajar supaya gagal tes, lho!” Aku sengaja menyindir Navita. Gadis itu malah senyum semringah. “Nggak, dong. Usaha belajarku sudah maksimal. Aku juga sekarang udah ngertiin posisi Mbak Maya, kok. Kalau memang aku gagal masuk negri dan akhirnya masuk swasta, masalah biaya nanti aku akan pikirkan, Mb