Liora tahu, membawa Kael dan naga kecil itu bukanlah pilihan yang bijak. Energi naga kecil itu belum stabil dan mudah terdeteksi. Keberadaannya di luar rumah Aelric harus tetap menjadi rahasia. Perjalanan ini harus ia lakukan seorang diri.
Semakin dalam ia menembus hutan, suara-suara asing mulai terdengar. Awalnya samar, lalu semakin jelas sekelompok orang. Liora memperlambat langkahnya dan bersembunyi di balik semak lebat, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat.
“Apa yang mereka lakukan di sini?” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hutan.
Di hadapannya, bunga raksasa berdiri megah di tengah lingkaran para penyihir berjubah hitam dan bertopeng. Cahaya bulan memantul di kelopak-kelopaknya yang bercahaya, seolah hidup. Namun, Liora tahu keindahan itu palsu, menyimpan kengerian di baliknya.
Ketika bunga itu membuka kelopaknya, ia berubah menjadi makhluk mengerikan. Gigi-gigi tajam menyeringai di dalamnya, menghisap energi dari seorang pria dan seorang anak kecil yang terikat akar hitam. Wajah mereka pucat, tubuh gemetar, sekarat.
““Tanaman ini lebih mengerikan dibandingkan di game,” bisiknya, mengepalkan tangan, amarah membara dalam dadanya.
Krak!Suara ranting patah di bawah kakinya membuyarkan segalanya. Semua kepala langsung menoleh ke arahnya.
“Siapa di sana?” teriak salah satu penyihir, suaranya menggema di antara pepohonan.
Sial.
Tak ada waktu untuk berpikir. Dua pria bertopeng dengan tubuh besar mulai mendekat dengan langkah berat, bayangan mereka menutupi cahaya bulan.
Di kanan, tebing curam. Di kiri, hutan lebat dipenuhi akar berduri, mengarah ke tempat yang dituju, tetapi disana ada seekor beast ular menjaga area itu. Namun, lebih baik menembus ancaman daripada jatuh ke tangan mereka.
Tanpa ragu, Liora berlari.
Teriakan menggema di belakangnya. Anak panah melesat nyaris mengenai lehernya. Ia menunduk, menarik artefak bola sihir dari kantongnya dan melemparkannya ke udara.
Boom!
Kabut putih menyelimuti area, menutupi jejaknya.
“Tch! Artefak kabut!” teriak salah satu pria bertopeng, suaranya penuh frustrasi.
Liora memanfaatkan kekacauan itu untuk melesat di antara pepohonan. Namun, belum sempat jauh, sesuatu mencengkram lengannya dengan keras. Ia terbanting ke batu besar, terengah-engah, dada perih.
Di depannya, mata merah menyala menatap tajam dari balik topeng hitam berukir merah.
“Diam,” suaranya dalam dan dingin, membuat bulu kuduk Liora merinding.
Langkah kaki para pengejar masih terdengar, tetapi mereka melewati tempat itu tanpa menyadarinya.
Liora gemetar. Bukan karena ketakutan, melainkan karena jarak yang terlalu dekat, hingga detak jantung pria itu nyaris menyatu dengannya.
“Mereka sudah pergi,” bisik pria itu, suaranya rendah dan tenang.
Liora langsung mendorong. “Siapa kau?”
Ia mencabut pedang dan mengarahkan ke leher pria itu. Jika dia bertopeng seperti mereka, berarti dia bagian dari mereka.
Pria itu hanya tersenyum, senyuman yang tidak menunjukkan niat jahat.
“Kalau kau ingin bertahan hidup, turunkan pedangmu.”
“Tidak,” jawab Liora tegas, meski hatinya berdebar.
Senyumnya tak pudar.
“Lyara Blackthorn.”Dunia Liora berhenti.
Darahnya membeku. Tidak mungkin. Nama itu… penyamaran yang sudah ia sembunyikan dengan sempurna. Bahkan sihir ini tidak dimiliki siapapun di Mystic Horizon.
Tak ada satupun makhluk yang bisa menebak dirinya… kecuali…
“Bagaimana kau tahu?” bisik Liora, suaranya nyaris tak terdengar, penuh ketegangan.
Pria itu tak menjawab. Ia hanya menghela nafas pelan, seolah mengumpulkan pikirannya.
“Akhirnya kau menurunkan juga,” katanya, melihat Liora yang tanpa sadar menurunkan pedangnya, terjebak dalam kebingungan.
“Aku tidak tahu maksudmu!” jawabnya, berusaha mempertahankan ketegasan.
“Terserah apa yang kau pikirkan. Tapi kau harus tahu… jalan yang kau pilih akan membawamu ke lubang yang tidak bisa kau tinggalkan.”
Mata merahnya berkilau dingin, menembus kegelapan malam.
“Dan kau, Lyara… sebaiknya berhati-hati.”
Nada suaranya seperti peringatan, namun ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat bulu kuduk Liora berdiri.
“Bukankah seharusnya kau yang berhati-hati?” balasnya, suaranya tajam, berusaha menunjukkan keberanian meski hatinya bergetar.
Pria itu melangkah mendekat, aura dingin menyelimuti udara disekitarnya, membuat Liora merasa terjepit.
“Kita akan bertemu lagi,” bisiknya di telinga Liora, suaranya seperti angin malam yang menusuk.
Dan sebelum ia sempat bereaksi, pria itu berbalik.
Liora tak tinggal diam. Ia menghunus belati, melemparkannya tepat ke arah punggung pria itu.
Wussh!
Api hitam menyala, membakar belatinya menjadi abu dalam sekejap.
“Api hitam?”
Liora terkejut, jantungnya berdetak liar.
Itu… tidak mungkin. Tidak ada sihir seperti itu di dalam game Mystic Horizon!
Cahaya biru muncul di sudut penglihatannya, mengingatkannya pada sistem yang biasa ia andalkan.
Sistem
[Situasi berbahaya terdeteksi.]
Pria itu menoleh sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah menikmati kekacauan yang terjadi.
“Kau bisa memanggilku Red.” katanya, suaranya tenang meski situasi semakin mencekam.
Dan dalam sekejap, api hitam menyelubunginya, membentuk pusaran hingga tubuhnya menghilang sepenuhnya, meninggalkan Liora dalam kebingungan.
Liora berdiri terpaku, napasnya memburu. Dunia yang ia kenal berupa game, sistem, kekuatan, bahkan identitasnya sekarang semua dipertanyakan
Dengan sisa tenaga, ia memutuskan untuk kembali ke rumah Aelric. Langkahnya terasa berat, pikirannya kacau. Ketika ia memasuki rumah, Kael menunggunya di kursi, pandangan penuh tanya menghiasi wajah kecilnya.
Ia tidak berkata apa pun. Hanya masuk, mengganti pakaian, dan merebahkan diri di tempat tidur, merasakan kelelahan yang mendalam.
Kael memilih ikut naik ke tempat tidur, menyelipkan tubuh kecilnya di samping Liora, memberikan sedikit kenyamanan di tengah kekacauan.
“Tuan.. baik-baik saja?” tanya Kael, suaranya lembut dan penuh kekhawatiran.
Liora tidak menjawab. Matanya terpejam, tetapi pikirannya jauh dari tenang.
Red. Api hitam. Namanya diketahui.
Siapa dia sebenarnya?
Dan mengapa… rasanya seperti ini baru permulaan?
To be Continue.....
Perlahan, angin kencang dengan salju menjadi badai ganas, menggulung langit kelabu dan membekukan nafas siapapun yang berdiri disini. Ini bukan sekedar badai biasa tapi kemarahan dari Fronstntra.Dua matanya yang membara membelah kabut, menatap tajam ke arah mereka yang berdiri di hadapannya.“Kemurahan hatimu, Cael…. telah membawa kehancuran ini! Sudah kuperingatkan kau!”Cael mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Dia tahu, semua ini adalah buah dari keputusannya sendiri. “Saya… akan bertanggung jawab, Sang Naga.”Ysirth mengeluarkan tawa panjang, bergema hingga puncak gunung yang jauh. Suaranya mengguncang salju.“Ha..Ha…Ha.. Tanggung jawab?”Badai makin menggila. Liora yang berdiri di sisi Cael menatap sosok naga itu dengan tajam. Namun, saat matanya bertemu dengan tatapan biru Ysirth, sejenak waktu terasa seperti terhenti.“Zuko…” suara naga itu menggelegar, menyebut nama yang membuat mereka menegang.“Kau akan menerima hukuman atas kematian Lore.”Cael membatu.Lore yang menjag
Happy Reading ❄️Aelric berteriak, “Lioraaa!!”Tanpa sadar, Liora mengalirkan elemen Electro dari dalam tubuhnya. Pedangnya berubah memancarkan cahaya ungu menyala.Dalam satu tebasan cepat, ia membelah serangan es yang meluncur ganas ke arahnya. Retakan es menyebar di udara menjadi serpihan debu putih.Dari kejauhan, Cael menyipitkan mata, terkekeh. “Huh, keren juga. Tapi aku tidak akan kalah.”Ia melompat turun dari punggung Row dengan kelincahan khasnya, elemen icy mulai berputar di sekelilingnya.Liora melirik ke arahnya, senyum tipis muncul di bibirnya. “Kalau begitu, waktunya kita tunjukkan siapa yang sebenarnya berkuasa di medan ini.”Tanpa aba-aba, Blizzenok melolong dan meluncurkan serangan es ke arahnya. Bongkahan es sebesar manusia ditembakkan, memecah tanah. Liora melesat ke kanan, lalu ke kiri, menghindari setiap serangan dengan gerakan yang lincah dan berani. Saat satu serangan nyaris mengenainya, ia meloncat tinggi, mengalirkan elemen Electro ke pedangnya hingga bilahny
Cael dengan hati-hati memasukkan bunga Cryzale ke dalam ramuan yang sedang mendidih. Aroma manisnya menyebar di gubuk kecilnya, mengisi udara dingin dengan harapan yang hangat. Dengan cepat, ia melumuri ramuan itu ke seluruh tubuh ayah Erdo, yang terbaring membeku dalam keheningan. Seketika, cahaya biru berkilau memancar dari tubuh Erdo yang pucat, dan perlahan-lahan, warna kehidupannya kembali pulih.“Ughh... Aku di mana?” suara ayah Erdo terdengar lemah, tetapi penuh kebingungan.“Ayah..”Erdo memeluk ayahnya dengan penuh kebahagiaan, air mata mengalir di pipinya. Ramuan yang Cael berikan telah menghapus kutukan yang mengikat ayahnya, mengembalikan harapan yang hilang.“Terima kasih, Tuan Cael.” ucap Erdo, suaranya bergetar penuh rasa syukur.Namun, Cael hanya mengangguk acuh, wajahnya kembali dingin dan tak terbaca. “Kalian harus pergi dari sini, Liora,” katanya, nada suaranya tegas.“Tuan Cael, Anda harus kembali ke desa,” pinta ayah Erdo, gelisah, matanya penuh harap.“Tidak. Ram
Di puncak tebing berselimut salju, seorang pria bertopeng berdiri membisu, menatap ke bawah. Di bawah sana, kawanan Blizzenok bersorak liar, menikmati pesta dingin mereka dengan raungan yang menggema di udara. Angin membawa tawa dan teriakan mereka, tetapi Maltherio hanya menatap, muak karena harus tetap diam.“Berapa lama lagi kita hanya akan menonton?” gumamnya kesal, suaranya penuh ketidakpuasan. “Ayolah, Zuko. Sudah waktunya membuat sedikit kekacauan, bukan?”Anak laki-laki berjubah dengan kepala tanduk rusa perlahan menatap Maltherio. Ia melepas penutup kepalanya, memperlihatkan mata emas yang menyala di tengah badai salju, seolah menyimpan kekuatan yang tak terduga.“Diam,” ucap Zuko dingin, suaranya seperti salju yang jatuh perlahan, menambah ketegangan di antara mereka.Maltherio mendengus, topeng di wajahnya menyembunyikan senyum miring. “Kau tahu aku tak suka dipaksa menunggu. Kekacauan... adalah permainan yang lebih mengasyikkan daripada hanya diam melihat kawanan Blizzenok
Happy Reading ❄️Liora menghentikan langkahnya. Matanya menyipit, berusaha menangkap suara itu.“Aelric… kau dengar itu?”Aelric menoleh. Ekspresinya menegang.“Ya, aku mendengarnya.”Di kejauhan, bayangan gelap mulai terlihat di balik kabut. Para monster sedang mengelilingi sesuatu, gerakan mereka lincah dan penuh ancaman. Liora menahan nafas, jantungnya berdegup kencang.Lima monster kristal salju berdiri mengelilingi sesuatu di tengah lingkaran mereka. Tubuh mereka transparan, berkilau seperti pecahan kaca, memantulkan cahaya bulan yang redup.“Aertherwing, lihat dari atas!” perintah Aelric tegas, suaranya penuh otoritas.Burung besar itu langsung mengepakkan sayap emasnya dan terbang menembus hawa dingin, menghilang ke dalam kabut.Beberapa detik kemudian, Aertherwing kembali turun, wajahnya serius. “Ada anak laki-laki di sana. Ia terjebak... oleh Blizzenok.”Liora menegang. “Blizzenok?”Aelric tidak menjawab. Ia sudah menarik tombaknya, melempar dengan kekuatan mana penuh ke arah
Liora menatap kastil megah di halaman belakang Duke, dikelilingi oleh rimbunnya pepohonan yang menjulang tinggi. Saat gerbang besi perlahan terbuka dengan derit berat, hawa dingin dan misterius menyambut mereka. Langkah kaki mereka menggema di halaman belakang yang luas, menciptakan suasana yang penuh harapan dan ketegangan.“Jika ini dunia nyata,” pikir Liora, “kastil ini sudah pasti aku jadikan latar utama dalam novel.”Baginya semua terasa terlalu sempurna untuk dianggap nyata, terutama sosok karakter game Aelric, Roderick, dan sang Duke sendiri. Mereka bukan hanya berkarisma, tetapi juga tampak menakjubkan dalam kenyataannya.Di depan pintu belakang kastil, Aelric berdiri dengan Aertherwing, burung itu bertengger tenang di pundaknya. Di sebelahnya, Duke Vireon dan Theo menyambut mereka dengan senyum tipis.“Selamat datang, Liora,” ucap Duke Vireon, suaranya dalam dan penuh wibawa.“Terima kasih, Yang Mulia,” balas Liora, sedikit membungkuk dengan rasa hormat.Ia membalas senyum Ael