Di depan mata mereka, sebuah gudang makanan dikepung oleh gerombolan monster yang mengamuk. Suara jeritan dan denting senjata memenuhi udara malam. Beberapa warga tampak terluka parah, sementara sisanya bertahan dengan alat seadanya, tangan mereka gemetar, namun tekad mereka tak runtuh.
“Sial, jumlahnya makin banyak!” desis Aelric, matanya menyipit saat menatap pusat kekacauan.
Di antara kerumunan itu, muncul sosok raksasa Gravetrail, bos berbentuk bison berotot dengan tanduk tanduk bercahaya yang memancarkan aura kegelapan pekat. Senjata kayu berduri yang diayunkannya bisa menghancurkan batu dalam sekali tebas.
Tiga ksatria pelindung sudah nyaris tumbang. Penduduk desa makin terdesak.
“Aertherwing!” panggil Aelric. “Sembuhkan mereka.”
Makhluk bersayap perak muncul dari langit, mengepak anggun, lalu melesat ke arah korban terluka. Cahaya dari tubuhnya memancar lembut, menyembuhkan mereka satu per satu.
“Kean, bersiap!” seru Liora, menggenggam pedang biru bercahaya.
Matanya tajam, penuh tekad. Dari balik asap, gerombolan Gravestamp, monster menengah berbadan bison dengan tanduk dan kulit kerasnya mendekat, seperti predator yang mencium darah.
Aelric melesat ke depan. Tombaknya bersinar terang di bawah cahaya bulan. Ia menebas Gravetrail, namun monster itu menghindar gesit, senjatanya menghantam tanah dan menciptakan gelombang kejut yang mengguncang tanah.
“Monster ini… lebih kuat dari sebelumnya,” gumam Aelric. Nafasnya berat. Ia harus mencari celah. Satu kesalahan, tamat.
Sementara itu, Liora menyerang dengan gesit di medan tempur. Ayunan pedangnya menghantam Gravestamp satu demi satu, tetapi mereka terus berdatangan. Nafasnya mulai terengah, peluh membasahi dahinya.
“Kaen! Sekarang!” teriaknya.
Keal, dari kejauhan, mengangkat artefak bola kristal dan menyalurkan energi sihir. Bola itu menyala biru, membeku, lalu dilemparkan ke tengah kerumunan. Ledakan es membekukan udara. Gravestamp terhenti, membeku dalam sekejap.
“Liora, waktunya!” serunya lantang.
Liora melompat tinggi. Pedangnya bersinar semakin terang dijiwai kekuatan mana dari sihir Kael.
Ia menebas ke bawah, serangan itu menghancurkan es dan monster sekaligus.
Gravetrail masih bertahan. Aelric tahu ini saatnya. Ia terus menunggu momen hingga monster itu mengangkat tubuhnya, ia melihatnya. Titik lemahnya Gravetrail di bagian perut.
Aelric mengeluarkan seluruh kekuatannya. Memunculkan Vortex Edge berputar di ujung tombaknya. Dengan teriakan penuh tekad, ia melompat dan melemparkan tombaknya lurus ke arah titik itu.
Tusukannya tepat sasaran.
Gravetrail mengaum. Cahaya dari tanduknya meredup. Tubuh raksasa itu runtuh dan dalam sekejap, menghilang menjadi debu yang terbawa angin malam.
Gerombolan Gravestamp yang tersisa panik. Tanpa pemimpin, mereka menjadi mangsa. Liora dan para ksatria yang tersisa menyerang mereka tanpa ampun. Dalam hitungan menit, pertempuran berakhir.
Aelric terengah, berdiri dengan tubuh nyaris roboh. Ia menatap Liora, Keal dan Aertherwing yang datang menghampiri. Sorot mata mereka lelah, tapi kemenangan itu terasa nyata.
“Kita menang…” gumam Aelric.
Sorak sorai warga pecah dari kejauhan. Gudang makanan, sumber utama untuk musim dingin dan festival telah diselamatkan.
Liora tersenyum tipis. “Kerja bagus, Aelric.”
“Kau juga,”
Warga berdatangan, mengucapkan terima kasih dengan mata berkaca-kaca. Namun, di tengah kegembiraan itu.. Liora merasa hampa. Senyuman warga tak bisa mengusir pikirannya mengenai yang terjadi selanjutnya. Tatapannya tertuju ke hutan gelap, sumber dari datangnya para monster.
“Aku tak yakin ini akan berakhir mudah malam ini,” gumamnya.
Aelric menoleh. Ia melihat kecemasan di wajah Liora.
“Liora, pulanglah bersama Aertherwing. Kau perlu istirahat.”
“Tapi kalau mereka kembali…”
“Kami akan berjaga,” potong salah satu ksatria. “Patroli akan diperketat.”
Aelric meletakan tangannya di bahu Liora. “Kau sudah cukup banyak membantu. Percayakan sisanya pada kami.”
Liora akhirnya mengangguk, meski enggan. Akhirnya mereka kembali pulang berempat meninggalkan Aelric yang tetap di sana.
Setibanya di kamar, Liora membuka jubahnya. Keheningan menyelimuti ruangan…
hingga sosok kecil menampilkan wujudnya.
“Aku..aku harusnya ikut bertarung bersama kalian,” ujar naga kecil itu, nada suaranya penuh penyesalan.
Liora mengusap kepalanya. “Terlalu berbahaya jika mereka mengetahui dirimu. Tapi, dengarkan baik-baik, pelajari pola serangan mereka. Kita tak boleh lengah dan terus berlatih.”
Naga itu mengangguk, mata kecilnya bersinar dengan tekad.
“Aku akan pergi kalian tetap di sini.” perintah Liora.
Liora cepat mengganti pakaian. Mengambil Jubah hitam bertudung yang telah di sihir Kael menutupi tubuhnya. Ia menatap Kael, yang duduk di kasur menatap dirinya.
“Jika sesuatu terjadi, hubungi aku. Jangan bertindak sendiri.”
“Baik, Tuan.”
Tanpa suara, Liora melompat keluar jendela, menghilang dalam bayang-bayang malam. Di kejauhan, suara angin hutan menyambutnya. Gelap. Sunyi. Ancaman masih bersembunyi.
Dan di antara pepohonan… sepasang mata menyala merah. Mengawasinya.
Perlahan, angin kencang dengan salju menjadi badai ganas, menggulung langit kelabu dan membekukan nafas siapapun yang berdiri disini. Ini bukan sekedar badai biasa tapi kemarahan dari Fronstntra.Dua matanya yang membara membelah kabut, menatap tajam ke arah mereka yang berdiri di hadapannya.“Kemurahan hatimu, Cael…. telah membawa kehancuran ini! Sudah kuperingatkan kau!”Cael mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Dia tahu, semua ini adalah buah dari keputusannya sendiri. “Saya… akan bertanggung jawab, Sang Naga.”Ysirth mengeluarkan tawa panjang, bergema hingga puncak gunung yang jauh. Suaranya mengguncang salju.“Ha..Ha…Ha.. Tanggung jawab?”Badai makin menggila. Liora yang berdiri di sisi Cael menatap sosok naga itu dengan tajam. Namun, saat matanya bertemu dengan tatapan biru Ysirth, sejenak waktu terasa seperti terhenti.“Zuko…” suara naga itu menggelegar, menyebut nama yang membuat mereka menegang.“Kau akan menerima hukuman atas kematian Lore.”Cael membatu.Lore yang menjag
Happy Reading ❄️Aelric berteriak, “Lioraaa!!”Tanpa sadar, Liora mengalirkan elemen Electro dari dalam tubuhnya. Pedangnya berubah memancarkan cahaya ungu menyala.Dalam satu tebasan cepat, ia membelah serangan es yang meluncur ganas ke arahnya. Retakan es menyebar di udara menjadi serpihan debu putih.Dari kejauhan, Cael menyipitkan mata, terkekeh. “Huh, keren juga. Tapi aku tidak akan kalah.”Ia melompat turun dari punggung Row dengan kelincahan khasnya, elemen icy mulai berputar di sekelilingnya.Liora melirik ke arahnya, senyum tipis muncul di bibirnya. “Kalau begitu, waktunya kita tunjukkan siapa yang sebenarnya berkuasa di medan ini.”Tanpa aba-aba, Blizzenok melolong dan meluncurkan serangan es ke arahnya. Bongkahan es sebesar manusia ditembakkan, memecah tanah. Liora melesat ke kanan, lalu ke kiri, menghindari setiap serangan dengan gerakan yang lincah dan berani. Saat satu serangan nyaris mengenainya, ia meloncat tinggi, mengalirkan elemen Electro ke pedangnya hingga bilahny
Cael dengan hati-hati memasukkan bunga Cryzale ke dalam ramuan yang sedang mendidih. Aroma manisnya menyebar di gubuk kecilnya, mengisi udara dingin dengan harapan yang hangat. Dengan cepat, ia melumuri ramuan itu ke seluruh tubuh ayah Erdo, yang terbaring membeku dalam keheningan. Seketika, cahaya biru berkilau memancar dari tubuh Erdo yang pucat, dan perlahan-lahan, warna kehidupannya kembali pulih.“Ughh... Aku di mana?” suara ayah Erdo terdengar lemah, tetapi penuh kebingungan.“Ayah..”Erdo memeluk ayahnya dengan penuh kebahagiaan, air mata mengalir di pipinya. Ramuan yang Cael berikan telah menghapus kutukan yang mengikat ayahnya, mengembalikan harapan yang hilang.“Terima kasih, Tuan Cael.” ucap Erdo, suaranya bergetar penuh rasa syukur.Namun, Cael hanya mengangguk acuh, wajahnya kembali dingin dan tak terbaca. “Kalian harus pergi dari sini, Liora,” katanya, nada suaranya tegas.“Tuan Cael, Anda harus kembali ke desa,” pinta ayah Erdo, gelisah, matanya penuh harap.“Tidak. Ram
Di puncak tebing berselimut salju, seorang pria bertopeng berdiri membisu, menatap ke bawah. Di bawah sana, kawanan Blizzenok bersorak liar, menikmati pesta dingin mereka dengan raungan yang menggema di udara. Angin membawa tawa dan teriakan mereka, tetapi Maltherio hanya menatap, muak karena harus tetap diam.“Berapa lama lagi kita hanya akan menonton?” gumamnya kesal, suaranya penuh ketidakpuasan. “Ayolah, Zuko. Sudah waktunya membuat sedikit kekacauan, bukan?”Anak laki-laki berjubah dengan kepala tanduk rusa perlahan menatap Maltherio. Ia melepas penutup kepalanya, memperlihatkan mata emas yang menyala di tengah badai salju, seolah menyimpan kekuatan yang tak terduga.“Diam,” ucap Zuko dingin, suaranya seperti salju yang jatuh perlahan, menambah ketegangan di antara mereka.Maltherio mendengus, topeng di wajahnya menyembunyikan senyum miring. “Kau tahu aku tak suka dipaksa menunggu. Kekacauan... adalah permainan yang lebih mengasyikkan daripada hanya diam melihat kawanan Blizzenok
Happy Reading ❄️Liora menghentikan langkahnya. Matanya menyipit, berusaha menangkap suara itu.“Aelric… kau dengar itu?”Aelric menoleh. Ekspresinya menegang.“Ya, aku mendengarnya.”Di kejauhan, bayangan gelap mulai terlihat di balik kabut. Para monster sedang mengelilingi sesuatu, gerakan mereka lincah dan penuh ancaman. Liora menahan nafas, jantungnya berdegup kencang.Lima monster kristal salju berdiri mengelilingi sesuatu di tengah lingkaran mereka. Tubuh mereka transparan, berkilau seperti pecahan kaca, memantulkan cahaya bulan yang redup.“Aertherwing, lihat dari atas!” perintah Aelric tegas, suaranya penuh otoritas.Burung besar itu langsung mengepakkan sayap emasnya dan terbang menembus hawa dingin, menghilang ke dalam kabut.Beberapa detik kemudian, Aertherwing kembali turun, wajahnya serius. “Ada anak laki-laki di sana. Ia terjebak... oleh Blizzenok.”Liora menegang. “Blizzenok?”Aelric tidak menjawab. Ia sudah menarik tombaknya, melempar dengan kekuatan mana penuh ke arah
Liora menatap kastil megah di halaman belakang Duke, dikelilingi oleh rimbunnya pepohonan yang menjulang tinggi. Saat gerbang besi perlahan terbuka dengan derit berat, hawa dingin dan misterius menyambut mereka. Langkah kaki mereka menggema di halaman belakang yang luas, menciptakan suasana yang penuh harapan dan ketegangan.“Jika ini dunia nyata,” pikir Liora, “kastil ini sudah pasti aku jadikan latar utama dalam novel.”Baginya semua terasa terlalu sempurna untuk dianggap nyata, terutama sosok karakter game Aelric, Roderick, dan sang Duke sendiri. Mereka bukan hanya berkarisma, tetapi juga tampak menakjubkan dalam kenyataannya.Di depan pintu belakang kastil, Aelric berdiri dengan Aertherwing, burung itu bertengger tenang di pundaknya. Di sebelahnya, Duke Vireon dan Theo menyambut mereka dengan senyum tipis.“Selamat datang, Liora,” ucap Duke Vireon, suaranya dalam dan penuh wibawa.“Terima kasih, Yang Mulia,” balas Liora, sedikit membungkuk dengan rasa hormat.Ia membalas senyum Ael