Share

Road 4 KM

Jiyeon berbalik arah menuju kantor presedir yang sebelumnya ia hendak ke cafeteria—beristirahat bersama Hyena.

Sepanjang perjalanan ia mengusap keningnya. Sakit yang ia rasakan kalah banding dengan seribu kata yang digunakan mengekspresikan rasa malunya. Hari ini benar-benar hari yang sial bagi Jiyeon, sudah jatuh disambar pertir pula. 

Dari kejauhan Seungjoo berjalan di depan Jiyeon. Ia tak sengaja melihat Jiyeon yang merintih kesakitan hingga lupa keberadaan Seungjoo yang sebentar lagi berpapasan dengannya.

Seungjoo sudah bersiap-siap memasang senyuman di wajahnya dan menyapa Jiyeon—yang sebentar lagi akan berkerjasama dalam satu tim dengannya.

Seungjoo berhenti berniat menyapa Jiyeon saat Jiyeon jalan terus sampai keningnya menabrak pundak Seungjoo, duk~! 

Jiyeon terpental pelan mundur ke belakang. Tiba-tiba emosinya naik seketika, tapi disisi lain Jiyeon tau ini salahnya sendiri yang seharusnya berjalan memperhatikan ke depan bukannya menundukan kepala dan tak memperdulikan apapun.

“Ashh, gimana sih!” Jiyeon terus mengumpat tanpa menyadari di depannya Seungjoo. 

Seungjoo tersenyum menyasikan Jiyeon mengumpat kepadanya, baru pertama kali dia diperlakukan kasar oleh wanita biasanya mendapatkan ribuan pujian dari wanita lain tapi kali ini berbeda. 

Sensasi baru bagi Seungjoo, dan Seungjoo tak sabar menunggu reaksi Jiyeon saat Jiyeon tau yang ia tabrak adalah dirinya.

“Maaf,” ujar Seungjoo dengan senyuman. 

Jiyeon mendongak dan melihat orang yang dia umpat adalah atasannya sendiri.

Jiyeon kembali mengumpat didalam hatinya, menghukum dirinya yang telah beprilaku buruk pada Seungjoo,

“Mohon maaf, dokter Lee, bukan maksud saya mengumpat pada dokter,” ujarnya memelas.

“Gapapa,”

“Maaf, hari ini saya bernasip buruk. Saya menyiram dokter Kim dengan kopi panas dan kening saya terbentur pintu. Saya kehilangan kewarasan, tidak tau harus berbuat apalagi semua yang saya lakukan selalu salah dimata orang,” 

“Iya, saya maklumi itu,” Seungjoo memandang Jiyeon seperti menonton pemandangan lucu.

“Terimakasih, saya permisi,” Jiyeon menundukan kepala dang berjalan meninggalkan Seungjoo.

Jiyeon tepat di depan pintu ruangan presedir. Ia mengetuknya dan terdengar suara presedir menyuruhnya masuk.

Perlahan ia membuka pintu. Saat pintu itu terbuka sedikit, ia mendapati Kim Taehyung duduk di depan presedir. Selintas kejadian di bandara tadi terulang di otaknya. Dalam sekejap mental Jiyeon turun. Ia dapat merasakan aura Taehyung yang mengintimidasinya.

Ia mana berani masuk ke dalam tapi mustahil ia menghindari atasannya yang esokan hari akan bertemu setiap hari. Terpaksa ia menghadapai masalahnya, bagaimanapun juga kejadian tadi seratu persen kesalahannya sendiri.

Sekarang Jiyeon terpaksa harus menjadi satu tim. Dengan pasti ia berjalan menuju sofa yang Taehyung duduki lalu ia membungkuk kepada presedir dan Taehyung. Untung saja Taehyung menghiraukan Jiyeon.

“Duduk,” Jiyeon pun menuruti presedir, ia duduk di sebelah Taehyung dengan jarak cukup jauh.

“Suster Park, terimakasih sudah menjemput dokter Kim,”

“A-ah bukan masalah presedir,” ujarnya gugup.

“Ada satu hal lagi yang saya sampaikan, mulai hari ini anda menjadi assistent dokter Kim selama 3 bulan,”

Mendengar perkataan presedir membuat Jiyeon bahagia mendapat kehormatan menjadi assistent dokter muda, sisi lain Jiyeon merasa tertekan harus bekerja dengan Taehyung setelah apa yang ia perbuat kepada Taehyung.

Berharap Taehyung akan menuntun dengan baik dan lancar.

Taehyung sendiri tak menampakan wajah keberatan bila Jiyeon ditunjuk sebagai assistent, sedikit melegakan untuk Jiyeon.

“Baik, saya akan bekerja sungguh-sungguh, maaf,”

“Kalian boleh pergi sekarang, tolong suster Park antar dokter Kim ke ruangannya,”

“Baik,” tegur Taehyung dan Jiyeon serempak.

Taehyung berjalan ke depan sementara Jiyeon mengekor.

Dari belakang, Jiyeon terkesima melihat Taehyung. Baru kali ini Jiyeon melihat dokter muda secara nyata bukan didrama TV saja. Ditambah nilai penampilan dan wajah yang tampan.

Taehyung begitu sempurna untuk menjadi nyata.

Tiba-tiba Taehyung berhenti dan membalikan badan ke arah Jiyeon. 

Jiyeon sedikit terkejut dan salah tingkah.

Jiyeon berpikir, apa ia berbuat salah? Kenapa? Apa yang terjadi? Pertanyaan itu terus berputar di otaknya. Raut wajah

Taehyung terkesan datar— pandangannya dingin, Jiyeon dibuatnya semakin tak karuan.

“Di-mana ruanganku, dari tadi kau mengikutiku di belakang. Percepat langkahmu, lambat sekali,” gerutunya.

“Saya kira dokter Kim sudah tau tempatnya jadi saya mengikuti dokter, maafkan saya.”

Jiyeon berjalan cepat, sekarang ia memimpin Taehyung ke ruangan kerja mereka. Mereka menggunakan lift.

Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka, keduannya masuk. Jiyeon menekan angka dua, sekarang suasana menjadi sepi. Baik Taehyung dan Jiyeon tak mengeluarkan sepatah kata, mereka memilih diam sambil mendengarkan iringan musik di dalam lift.

Keadaan seperti ini memotivasi Jiyeon untuk kembali memohon maaf pada Taehyung. Jiyeon mana bisa hidup dengan rasa bersalah, itu sangat mengganggu kejiwaannya.

Ia meremas ujung bajunnya seperti anak kecil, menunduk memandang lantai.

“Yang tadi pagi,” ujarnya perlahan berharap Taehyung tidak mendengarnya dan mendengar sedikit tapi Taehyung menangkap jelas suara Jiyeon dan memandang Jiyeon.

Jiyeon yang menyadarinya menjadi gugup.

“Saya benar-benar menyesal telah menyiram anda kopi dan mengatai anda kabur dari rumah karena bertengkar dengan orangtua. Seandainya karton saya tidak jatuh dan seandainya saya tak terjepit, saya tidak akan menumpahkan kopi anda apalagi meledek anda tentang kabur dari rumah. Saya menyesal, mohon maafkan saya dokter Kim,” kata terakhir membuatnya merengek seperti anak kecil.

Taehyung memalingkan wajahnya ke depan pintu lift dan menghela nafas.

“Lupakan, aku sudah memaafkanmu,” ungkapnya rada jengkel.

Jiyeon memberanikan diri menoleh ke arah Taehyung.

“Saya benar-ben-“ untuk kesekian kalinya Jiyeon mengulang perkataannya tadi dan dengan cepat Taehyung berdecak jengkel, Jiyeon pun menciut.

“Iya, aku paham! Kau pikir aku tak tau maksudmu, aku bukan orang bodoh apalagi tuli, aku dengar jelas kau meminta maaf dan tadi aku sudah memaafkanmu. Kenapa kau terus mengulang-ulang kembali! Hah!” sembur Taehyung sampai geregetan.

“Maa-“ belum selesai Taehyung kembali memotong.

“Assh!! Berhenti meminta maaf! Harus bilang berapa kali supaya kau paham, kau benar-benar wanita ajaib!” rutuknya penuh tekanan pada kata ajaib.

Amukan Taehyung membuat Jiyeon mengkerut. Suasana kembali sunyi, Taehyung berusaha membuat dirinya tenang dan ia mengendorkan dasi sambil membuka kancing kerah. 

Sampai di lantai dua, dengan cepat Jiyeon keluar dan menuntun Taehyung ke ruangan. Sepanjang perjalanan Jiyeon mengumpat pada dirinya sendiri, merasa dirinya bodoh dan ceroboh, ia mengetuk keningnya tak sengaja menyentuh luka memar bekas terbentur pintu dan membuatnya meringis kesakitan.

10 langkah ke depan pintu ruangan kerja mereka. Sekarang Jiyeon dapat bernafas lega. Ingin sekali ia mengakhir pertemuannya dengan Taehyung, gundah berada di sekitarnya saat ini.

Taehyung berdiri di depan pintu dan menatap Jiyeon santai, walaupun begitu Jiyeon mengagap tatapannya tetap menyeramkan.

“Sudah sampai di ruangan anda, jika ada sesuatu anda bisa menghubungi saya,” Jiyeon memberikan kartu nomor ponselnya pada Taehyung.

“Kau boleh pergi sekarang,”

“Baik, semoga hari anda menyenangkan,” buru-buru Jiyeon melangkah tapi Taehyung kembali mencegahnya.

“Besok datang jam setengah 6 pagi, aku tunggu, jangan sampai terlambat.”

“Baik, saya permisi,”

Di-bangsal 19 terdapat berbagai karangan bunga tertata rapi di sudut ruangan dan tumpukan surat berwarna-warni ia biarkan berserakan di ranjang. 

Sebaliknya tanpa sengaja surat berwarna-warni tersebut menghiasi ranjangnya bukannya memberi kesan berantakan. 

Bukan hanya dari fans-nya saja melainkan dari perusahaan sponsor dan pejabat negara mengirimnya ucapan. Berbagai kata semangat dan doa untuk kesembuahan Jiah. Membaca surat fans membuat suasana hatinya tenang, senang mendapatkan kasih sayang yang melimpah.

Jiah membuka surat dari  fans satu persatu sejak ia menghabiskan sarapannya hingga malam tiba. Sudah terhitung 25 surat dari kiriman surat yang baru terbaca dan masih puluhan surat lainnya yang menganggur menunggu dibaca.

Biasanya Jiah dapat membaca lebih dari 25 surat perhari namun keadaannya memaksanya untuk tidur, jadi Jiah membaca surat saat ia bangun tidur dan setelah meminum obat.

Tiba-tiba suara pintu terbuka membuyarkan konsentrasinya.

Seseorang masuk ke dalam ruangannya tanpa permisi, ia kira pasti suster yang akan memeriksa tapi hidungnya mencium bau parfum dan dia tau siapa yang datang karena hanya satu orang yang memakai parfum yang baunya menyengak. 

Jiah berpura-pura acuh dengan kedatangan pria dan tetap fokus membaca suratnya.

Pria itu mendekat namun Jiah tetap mengabaikan kehadirannya. Pria itu tak tinggal diam ia menutup surat yang Jiah baca dengan seikat mawar merah. 

Segaris senyuman tergaris, Jiah melepas suratnya dan menangkap bouquet mawar tapi belum lama ia memegang bouquet itu ditarik kembali. Jiah menoleh ke arah pria yang berdiri di sampingnya.

Menatap dengan tatapan yang mengisyaratkan kekecewaannya.

“Kau mengabaikanku, why,” ucap pria itu.

“Kemarin aku menunggumu sampai 5 jam dan aku tertidur di ruangan saat aku bangun kau belum juga datang, siapa yang tak marah!”

“Song Jiah,” Junsu hendak beralasan namun terpotong oleh Jiah.

“Lee Junsu!” Jiah menatap pedas Junsu, menghentikan alasan Junsu sebab ia enggan mendengar apapun itu.

Pria yang ia tunggu kemarin adalah Junsu, Junsu berjanji kepada Jiah akan datang membawakan roti tar coklat kesukaannya tapi Junsu melanggar janji. 

Jiah masih merasa kecewa kepadanya, bila belum bisa menetapati perkataan yang dibuat seharusnya Junsu jangan mengucap janji. Padahal Jiah sangat mengidam-idamkan memakan makanan kesukaannya dan Junsu menghancurkan impiannya.

“Kemarin ada urusan mendadak,” Jiah tetap memasang raut wajah kecewa, “lain kali aku bawakan, sebagai jaminan aku bawakan bunga!”

“Kau menyogokku dengan bouquet mawar,” keluhnya.

“Bukan yang ini tapi yang ini,” Junsu memberi Jiah satu tangkai bunga mawar putih.

“Kenapa aku cuma dapat satu tangkai, bouquet itu buat siapa, kenapa kau membawanya kemari kalau bukan untukku!” protesnya.

“Bouquet mawar ini untuk Miyoung,” raut wajah Junsu berubah raut nakal.

“Dasar playboy, sampai kapan kau akan menyakiti hati wanita, apa kau tidak lelah,” gerutu Jiah.

“Aku tidak pernah memutuskan mereka tapi mereka sendiri yang memutuskanku,” belanya.

“Itu pantas untuk pria sepertimu, kenapa mereka tak menamparmu sekalian,”

“Aku pernah ditampar, kau senang,” ungkapnya kesal.

“Belum, sampai kau babak belur,”

“Tapi sayangnya Miyoung beda, dia cantik dan sangat seksi,” ejeknya yang membandingkan Jiah dengan Miyoung.

“Dasar otak mesum,” dengusnya.

Jiah, wanita cantik ini menyukai pria bernama Junsu, partner se-agensi. Entah sejak kapan, mungkin waktu mereka sering berlatih bersama, Jiah jatuh cinta pada pandangan pertama. 

Jiah tidak ingin Junsu mengetahuinya. Jangankan mengetahui isi perasaan Jiah kepadanya, Jiah selalu mengalihkan topik tersebut saat Junsu membahasnya.

Karena sebaiknya yang Jiah rasakan dipendam. Jiah nyaman dengan hubungan pertemanan dengan Junsu, ya meskipun hubungan pertemanan antara wanita dan pria cepat punah. 

Namun yang Junsu dan Jiah alami harus merasakan hubungan seperti memiliki tapi bukan sepasang kekasih. Hubungan rumit yang sulit untuk dijelaskan lewat kalimat.

Jiah berharap hubungannya dengan Junsu tetap berada di zona teman, walaupun hati harus menahan semua perasaannya.

“Ah-keterlaluan, bau menyengakmu sampai di koridor belum hilang,” decak Taehyung yang datang dari belakang. 

Ia datang bermaksud berkunjung melihat keadaan Jiah setelah selesai menata barangnya di kantor.

“Taehyung,” Jiah terkejut dan senang melihat Taehyung.

“Jam jenguk pasien sudah habis, keluarlah sebelum parfum-mu meracuni pasien yang lain,”

“Aku baru saja mau keluar, jaga baik-baik Jiah,” Junsu langsung meninggalkan kamar Jiah, tinggal Jiah dan Taehyung di dalamnya.

“Untung kau datang tepat waktu, aku sudah tidak tahan lagi melihat dia di sini,”

“Maka dari itu berhentilah menyukai Junsu, seperti hanya dia saja dipikiranmu,”

“Ah, kenapa kau membuatku semakin tidak nyaman,” gerutunya.

Jiah dan Taehyung sudah berteman semenjak satu sekolah China High School. Jiah satu-satunya teman wanita yang dekat dengannya, bukan karena Taehyung tidak terkenal dengan muka tampannya melainkan Taehyung sulit untuk bersosialisasi dengan orang lain. 

Jiah satu dari ratusan siswi di sekolahannya yang berani mendekati Taehyung, yang lainnya lebih memilih memandang dari jauh dan sekedar memberikan sesuatu seperti penggemar lakukan. 

Jiah mengajarkan Taehyung untuk berani bersosialisasi dengan siswa lain tapi Taehyung terlalu kaku dan kurang baik menanggapi candaan ataupun topik pembicaraan. 

Dengan usaha keras Jiah, Taehyung dapat beradaptasi.

Terbokarngnya tentang berita bahwa Jiah mengidap penyakit anemia kronis, membuat Taehyung menyadari bahwa hidup saling membutuhkan orang lain. 

Taehyung kian yakin melanjutkan pendidikannya di China sebagai dokter, tinggal bersama pamannya yang juga dokter. Taehyung berjanji akan menyembuhkan Jiah sahabatnya, dan janjinya kepada Jiah membuatnya memperoleh penghargaan sebagai dokter termuda.

Jiyeon kembali ke tempat tujuannya semula yaitu cafeteria, Hyena menunggunya. Mungkin 10 menit Hyena masih sabar menunggunya.

Sesampai di cafeteria Jiyeon mengambil makan malamnya dan yoghurt, selesai dengan masalah makanan ia mencari Hyena, meja nomor 9. 

Jiyeon menemukannya, Hyena memakan makanannya tanpa menunggu Jiyeon.

Jiyeon meletakan makanannya dan duduk, ia menaruh kepalanya di atas meja seraya mendesah kesal sembari tangannya memukul meja berulang kali.

Hyena berniat meninggalkan Jiyeon secara diam-diam, sebelum Hyena sendiri terkena imbas amarah Jiyeon.

Sayang niatnya gagal, Jiyeon mendongakkan kepalanya langsung menatap Hyena dengan raut muka yang acak-acakkan.

 “Ya, apa yang harus aku lakukan?” keluh Jiyeon lemas.

“Ada apa?” tanya Hyena takut.

“Aku jadi assistent dokter Kim, orang yang aku siram kopi panas,” rengek Jiyeon, ia ingin sekali menangis tapi airmata tak keluar, “tamatlah hidupku,” imbuhnya.

“Ya~ kau harusnya senang mendapat promosi, ayo, bersemangatlah, bagaimanapun juga aku minta maaf, harusnya aku saja yang menjemput dokter Kim.” mendengar ucapan –minta maaf- Jiyeon berdecak.

“Dia juga menyuruhku tak mengatakan –minta maaf-, semua yang kulakukan selalu salah,” keluhnya.

“Strong!”

“Aaaa~” rengeknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status