Share

Bukan Hara

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2023-06-12 09:05:34

“Lalu kau pikir setelah sampai di langit mereka akan membiarkan kalian hidup bahagia begitu saja? Dan tubuh istrimu itu terbagi menjadi tujuh. Bagaimana kiranya kau akan membawa ketujuhnya ke langit?” Ucapan Dewa Rama membuat Arsa terdiam dan menenangkan diri sejenak.

Sang dewa perang merendahkan diri pada dewa kebijaksanaan. Ia memberi hormat tanda membutuhkan bantuan untuk membawa istrinya kembali ke langit.

“Duduklah dulu agar kau tenang. Sekalipun ini neraka, tapi aku sudah meredamnya dengan esku.” Dewa Rama duduk begitu juga dengan Dewa Arsa.

“Aku sangat mencintainya, Dewa Rama. Sejak dulu aku melihatnya dan menahan diri. Saat itu Hara masih sangat kecil dan belum cukup umur untuk menikah. Setelah besar aku membantunya naik menjadi dewi kebaikan karena dia memang baik dan layak, lalu kami menikah sampai jadi begini.” Arsa melihat tangannya yang akan digenggam Hara ketika tidur di malam hari, atau ketika membutuhkan pertolongan.

“Aku tahu, karena itu aku ingin menolongmu. Kalau tidak akan kubiarkan saja Hara bersama Kuwara. Dia memang raja iblis, tapi hatinya lebih murni daripada raja langit.”

“Tidak akan kubiarkan, meskipun Hara lahir ribuan kali sebagai orang lain, akan aku bawa dia ke langit menjadi istriku!” Tangan Arsa terkepal kuat.

“Bagaimana kalau langit menolak kalian?”

“Aku dewa perang, jangan menantangku atau aku porak-porandakan langit beserta kerajaannya!” ancam Arsa.

“Baiklah, aku hanya bertanya. Aku tahu kalau hatimu itu teguh, karena itu tak butuh tubuhmu yang turun ke bumi, cukup arwahmu saja, biarkah tubuhmu terikat di neraka. Jadi tidak akan ada kecurigaan atau pengejaran. Ingat, Arsa, kau butuh ketenangan dan kekuatan untuk menemukan tujuh pecahan arwah istrimu. Mereka semua lahir dengan karakter, nama, dan zaman yang berbeda. Mereka nanti bukanlah Hara yang lemah lembut lagi. Panjang sekali perjalananmu, apa kau siap?” tanya dewa kebijaksanaan.

“Tentu saja aku siap, tapi kala—”

Belum selesai dewa perang yang gagah itu bicara, api neraka telah kembali berkobar dan menggelegak. Dewa Rama melepaskan mantranya. Arsa didorong sangat kuat hingga tubuhnya kembali terikat dengan rantai besi yang sangat besar.

“Apa-apaan ini?” Arsa memberontak, tapi saat itu juga titik tengah dahinya ditekan oleh Dewa Rama. Dewa perang itu membeku sesaat dan lelaki berambut putih tersebut menarik arwahnya keluar dari raga kasar Arsa. Sang dewa perang melihat tubuhnya sendiri yang agak halus.

“Ayo, kita keluar dari sini, sekarang juga!” Dewa Rama menarik terbang arwah Dewa Arsa.

Pelayan dewa kebijaksanaan juga turut pergi. Mereka melesat dengan cepat dan tepat waktu ketika para penjaga langit telah kembali kesadarannya. Pendek kata, Arsa masih ada di istana langit tanpa membawa apa pun.

“Dewa Rama, bagaimana kalau kita ketahuan?” tanya pelayannya.

“Tugasmu berjaga di luar. Dan curikan untukku satu pil ragawi, untuknya, sekarang!” pinta lelaki itu.

“Apa? Mana mungkin?”

“Sekarang!” desak dewa kebijaksanaan. Arsa masih memandang dirinya yang tak punya pantulan bayangan di cermin.

“Pada saatnya nanti kalau kau bertemu dengan pecahan jiwa istrimu, mereka tak akan punya ingatan sama sekali dengan kehidupan di langit. Hara lupa denganmu, bahkan dia lupa dirinya sendiri. Dia menjadi putri orang lain, bahkan menjadi istri orang lain. Tolong kau ingat itu dan jangan marah karenanya. Saat dia menerima cintamu sepenuh hati meski ingatannya tak kunjung kembali, maka tugasmu selesai, kau harus mencari Hara-Hara yang lain.” Dewa Rama duduk di kursinya. Dewa Arsa memperhatikan penjelasan seniornya.

“Lalu saat ketujuh pecahan arwah istrimu telah menerimamu apa adanya, satukan mereka menggunakan kalung rasi bintang. Kalung tersebut yang akan membimbingku ke arah mana harus melangkah. Kau tak boleh berpisah darinya. Benda kuno itu mudah rapuh, bahkan kau harus menjaganya lebih daripada Hara. Dia hilang, selesai sudah harapan kalian untuk hidup bersama.”

“Baik, Dewa Rama aku mendengarkan penjelasanmu. Jadi kapan aku bisa pergi?” tanya Arsa.

“Sabarlah, kau harus meminum pil ragawi. Kalau kau turun ke bumi seperti ini, kau hanya akan menjadi arwah gentayangan saja. Masalahnya pil ragawi dijaga oleh …” Dewa Rama mengembuskan napas panjang.

“Dewi bunga Ambaramurni. Di sebelah pil bunga untuk musim semi. Di sana, dia pernah memberitahukan padaku, entah untuk apa.” Arsa duduk di depan Dewa Rama.

“Dia menyukaimu, jangan bilang kau tak sadar. Bahkan dia itu lebih cantik daripada Hara, namanya juga dewi yang mengatur bunga bermekaran.”

“Aku tahu, tapi aku tak cinta dengannya. Hara adalah segalanya bagiku.” Arsa memegang kepalanya. Tusuk konde milik Hara ada di sana, tapi bisa tidak ada. Mungkin terjatuh saat perang atau berada di tempat yang tidak aman.

“Tungg saja. Siapa tahu pelayanku bisa mencurinya.”

Waktu terus berlalu di kediaman Dewa Rama. Sang pelayan berhasil memasuki tempat tinggal dewi bunga yang sedang sibuk mengatur pesta bunga dan buah untuk esok hari. Kediaman yang amat sangat penuh dengan bunga bermekaran. Aroma semerbak yang menguar bisa membuat lelaki lupa diri.

Dengan kekuatannya, pelayan Dewa Ram mencari di mana pil ragawi disimpan. Salah satu laci yang terbuat dari kayu cendana dan wangi luar biasa bergetar kuat. Di sana benda itu disimpan, tepat berada di sebelah pil warna-warni sesuai musimnya.

Pelayan Dewa Rama mencuri pil ragawi sebutir kemudian membawanya pergi. Ia tak sadar dari tadi ada bunga melati yang memperhatikan dan memberitahukan pada Dewi Ambar.

Dewi bunga yang memendam perasaan begitu lama pada Dewa Arsa memiliki firasat tak baik. Ia letakkan semua pil yang bisa membuat bunga bermekaran dengan indah dan pergi mengendap-endap menuju kediaman Dewa yang sudah seratus tahun tak pernah terlihat.

Dewi Ambar sampai dan terbang melayang hingga kain suteranya berkibar dengan indah. Seharusnya alasan itu cukup membuat Arsa menggilainya. Nyatanya beda mata beda cita rasa. Rasa cinta Arsa jatuh keada sosok dewi yang sederhana.

“Kanda Arsa, aku tidak salah lihat, bukan?” Dewi Ambar memejam dan membuka mata berkali-kali. Iya, di depannya ada sosok yang seharusnya menjalani hukuman di jurang neraka.

“Bagaimana bisa?” Dewi bunga bertanya-tanya. Ia masih tak habis pikir. Kalaulah Dewa Arsa lari dari jurang neraka tentu akan tertangkap basah.

“Terima kasih Dewa Rama. Akan aku ingat selalu kebaikanmu. Aku akan pergi mengumpulkan pecahan arwah istriku.” Suara Arsa terdengar oleh Ambar.

“Pecahan Arwah,” gumam Ambar. “Hah, jadi, mereka, tidak, tidak boleh, masih ada aku di sini untuk apa harus mencari Hara lagi.” Ambar tak terima kalau Hara naik lagi ke langit.

“Eh, aku belum selesai.” Dewa Rama mencegah kepergian Dewa Arsa. Sayangnya ada seorang wanita cantik yang menghadangnya.

“Kalian tak akan bisa keluar dari sini.” Dewi bunga membuka dua tangannya lebar-lebar.

“Minggir!” gertak Dewa Arsa. Terluka hati Ambar dibentak seperti itu. Tak pernah ada dewa yang berani kasar dengannya, sekalipun raja langit.

“Akan aku laporkan perbuatan kalian pada raja dan ratu, kau tak akan bisa menghalangiku.” Ambar masih tak mau menurunkan tangannya.

“Aku tak segan melawan siapa saja di depanku.” Arsa memunculkan pedang petirnya. Sekali tebas juga Dewi Ambar akan jatuh dan tersungkur.

“Kecuali, Kanda Arsa mau melakukan satu hal untukku, bagaimana? Akan aku biarkan kau pergi dengan aman dan damai untuk mencari arwah Dewi Hara.” Dewi bunga cukup lihai seperti bibinya Ratu Langit Dewi Senandika.

Bersambung …

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Roh Dewa Perang   117. Bisikan Kegelapan

    Langit terlihat semakin terluka. Bintang tua bersinar redup, sedangkan bintang-bintang muda pengkhianat bersinar terang dengan warna keunguan, dan memancarkan gema kegelapan yang mengganggu keseimbangan siang dan malam.Di tengah kekacauan itu, langit lapis kedua menjadi medan tempur, tempat di mana kesetiaan diuji dan kepercayaan direnggut oleh tipu daya.Dewi Hara, kini menjelma menjadi nyala api merah. Ia menatap tajam ke arah Ukrat dan Amara yang mulai menyusup ke dalam dan kesadaran Banu serta Indurasmi.“Aku tak akan membiarkan kalian mempengaruhi anak-anakku,” ucap Hara.Ia berubah menjadi rubah ekor tujuh yang masing-masing menyala dengan zodiak yang berbeda.Rubah ekor tujuh itu menggeram. Suaranya menggetarkan pilar yang menopang langit. Dewi Hara dalam wujud aslinya membaca jalan takdir lewat indra hewannya yang tajam.Amara tersenyum penuh siasat. “Kau pikir kekuatan kuno bisa menahan kegelapan ini?”Ukrat mendesis, sayap kristalnya terbuka lebar. “Rubah terlalu banyak ek

  • Roh Dewa Perang    116 Jiwa yang Terkurung

    Ranjang megah berlapis tirai-tirai halus dari benang bintang tampak bergetar pelan, bukan oleh badai atau gempa langit, tapi oleh energi magis yang berasal dari tubuh sang ratu.Mahadewi Sahasika, dengan jubah ungu muda dan mahkota cahaya palsunya, membaringkan tubuhnya di atas Wanudara, raja langit yang matanya kini kosong dan dingin, seperti cermin tanpa pantulan.Di bawah tirai bintang itu, Arsa bersembunyi, tubuhnya berubah menjadi debu perang yang melekat di serat sutra angin. Ia menyaksikan tanpa suara, tanpa bisa berbuat apa-apa.Hatinya berkata-kata tetapi ia tahu, setiap satu gerakan gegabah akan membangunkan sihir pemutus waktu yang diletakkan Sahasika di setiap sudut kamar kerajaan.“Sayangku, ” bisik Sahasika lembut, sembari mencium pelipis Wanudara. “Kau pernah berkata langit ini akan runtuh tanpamu. Tapi lihat, aku bisa membuat langit bersinar dengan warna yang kupilih.”Tangan Sahasika menyusuri dada Wanudara, bukan dengan kelembutan cinta, melainkan dengan mantra kegel

  • Roh Dewa Perang   115 Kenangan Dalam Lukisan

    Di antara lorong-lorong yang bergetar, terdapat dinding tempat lukisan para dewa dipajang dan memancarkan detak kehidupan dari peristiwa yang telah dilupakan. Lukisan-lukisan di sana bukan sekadar gambar. Mereka hidup, dan bernafas bersama kenangan para dewa.Hara berjalan mendampingi Senandika yang masih lemah, tangannya sesekali menyentuh tiang langit yang berdiri dengan kokoh. Banu dan Indurasmi mengikuti dari belakang, dua dewa kembar itu merasakan aura yang membungkus jiwa mereka dengan kenangan masa lalu.“Tempat ini tahu siapa kau, bahkan jika kau lupa, Mahadewi,” bisik Hara.Senandika berhenti di depan satu lukisan. Di dalamnya tampak seorang gadis berambut hitam legam, berlari di antara hujan meteor untuk menyelamatkan seekor rubah yang terluka.Gadis itu memeluk rubah dengan erat, lalu memanggil penjaga langit yang akhirnya membawa kisahnya menjadi mahadewi.“Aku ingat.” Senandika menyentuh lukisan itu, dan gadis di dalam lukisan menoleh padanya sejenak. Mata mereka bertaut,

  • Roh Dewa Perang   114. Bintang Tua

    Langit tidak bersinar seperti biasa. Bintang-bintang tampak letih, sinarnya redup seolah mereka enggan menyaksikan ketidakadilan yang menggantung di takhta langit.Kabut tipis menggulung perlahan, menyelimuti menara-menara awan tempat para penjaga bintang biasa bermeditasi.Di antara mereka, Hara berdiri di tepi jurang langit, matanya menatap ke arah cakrawala yang pernah menjanjikan kedamaian.Tiba-tiba, udara bergetar perlahan. Sebuah simbol kuno terbentuk di udara, nyaris tak terlihat oleh mata biasa. Hanya jiwa yang pernah kembali dari kematian yang bisa membacanya.Hara membuka telapak tangannya, dan aksara itu menyatu dengan cahaya jiwanya.“Aksara Senandika,” bisiknya. Matanya mulai memerah oleh rasa haru yang tak bisa ia tunjukkan. Ia pernah berjanji untuk menyelamatkan sang mahadewi.Tanar, bintang tua yang tergantung di langit timur juga mengenali aksara Senandika.“Kau mengenali panggilannya, kau dewi yang terlahir dari keberanian?” Bintang tua Tanar mengeluarkan suara.“Ak

  • Roh Dewa Perang   113. Ramalan yang Membingungkan

    Kitab-kitab beterbangan seperti burung yang tahu sejarah, lalu bersiul pelan saat Arsa melangkah masuk ke dalam ruangan tempat Rogu meneliti silsilah para dewa.Arsa melangkah pelan di lantai cahaya yang berdetak seiring pikirannya yang simpang siur. Jubahnya menyentuh kelopak-kelopak cahaya yang jatuh seperti embun dari langit-langit.Di depan sebuah meja marmer berukiran emas, Rogu pelayan Dewa Rama itu terlihat seperti pelupa tapi menyimpan ribuan rahasia, sedang membuka gulungan yang bersinar.“Kau tahu kenapa aku datang.” Arsa datang mengganggu konsentrasi Rogu. Suaranya menggetarkan rak-rak yang menggantung, beberapa kitab bergetar lalu diam kembali.“Aku hanya tahu bahwa saat ramalan berpindah tangan, takdir mulai mencari pemilik baru,” jawab Rogu tanpa menoleh.“Aku membaca tulisan itu dan membuatku berpikir begitu keras. Dewa Rama menyebutku sebagai calon raja langit. Tapi tak ada penjelasan. Apakah kau yang menulisnya?”“Aku? Tidak. Gulungan itu datang padaku dalam kotak seg

  • Roh Dewa Perang    112 Bara yang Belum Padam

    Jurang neraka itu menganga seperti luka lama yang tak pernah sembuh. Api berkobar dari celah-celah batu hitam dan menyemburkan lidah-lidah merah yang menari dengan erotis di antara udara beracun. Asap pekat menggulung langit neraka, menyembunyikan bintang-bintang yang bahkan tak berani menatap ke bawah.Di dasar jurang itu, tubuh Kuwara tergeletak tak berdaya. Kulitnya yang dulu bersinar seperti logam kini retak dan menghitam. Taring iblisnya patah, dan tulangnya retak di bagian ujung. Ia telah lama tak sadarkan diri dan terperangkap dalam kehampaan antara hidup dan mati.Tak ada lagi Reksi. Tak ada lagi suara yang memanggilnya tuanku dengan kesetiaan tanpa bayaran. Hanya sunyi dan gelegak magma neraka yang menyambutnya.Sesosok makhluk dari balik kabut api datang dengan langkah ringan serta membawa harapan. Bukan langkah manusia, bukan pula langkah siluman. Langkah yang membawa aroma belerang dan bunga kematian.Dewi dengan jubah merah darah muncul. Jubahnya menjuntai seperti asap, d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status