Share

Bukan Hara

“Lalu kau pikir setelah sampai di langit mereka akan membiarkan kalian hidup bahagia begitu saja? Dan tubuh istrimu itu terbagi menjadi tujuh. Bagaimana kiranya kau akan membawa ketujuhnya ke langit?” Ucapan Dewa Rama membuat Arsa terdiam dan menenangkan diri sejenak.

Sang dewa perang merendahkan diri pada dewa kebijaksanaan. Ia memberi hormat tanda membutuhkan bantuan untuk membawa istrinya kembali ke langit.

“Duduklah dulu agar kau tenang. Sekalipun ini neraka, tapi aku sudah meredamnya dengan esku.” Dewa Rama duduk begitu juga dengan Dewa Arsa.

“Aku sangat mencintainya, Dewa Rama. Sejak dulu aku melihatnya dan menahan diri. Saat itu Hara masih sangat kecil dan belum cukup umur untuk menikah. Setelah besar aku membantunya naik menjadi dewi kebaikan karena dia memang baik dan layak, lalu kami menikah sampai jadi begini.” Arsa melihat tangannya yang akan digenggam Hara ketika tidur di malam hari, atau ketika membutuhkan pertolongan.

“Aku tahu, karena itu aku ingin menolongmu. Kalau tidak akan kubiarkan saja Hara bersama Kuwara. Dia memang raja iblis, tapi hatinya lebih murni daripada raja langit.”

“Tidak akan kubiarkan, meskipun Hara lahir ribuan kali sebagai orang lain, akan aku bawa dia ke langit menjadi istriku!” Tangan Arsa terkepal kuat.

“Bagaimana kalau langit menolak kalian?”

“Aku dewa perang, jangan menantangku atau aku porak-porandakan langit beserta kerajaannya!” ancam Arsa.

“Baiklah, aku hanya bertanya. Aku tahu kalau hatimu itu teguh, karena itu tak butuh tubuhmu yang turun ke bumi, cukup arwahmu saja, biarkah tubuhmu terikat di neraka. Jadi tidak akan ada kecurigaan atau pengejaran. Ingat, Arsa, kau butuh ketenangan dan kekuatan untuk menemukan tujuh pecahan arwah istrimu. Mereka semua lahir dengan karakter, nama, dan zaman yang berbeda. Mereka nanti bukanlah Hara yang lemah lembut lagi. Panjang sekali perjalananmu, apa kau siap?” tanya dewa kebijaksanaan.

“Tentu saja aku siap, tapi kala—”

Belum selesai dewa perang yang gagah itu bicara, api neraka telah kembali berkobar dan menggelegak. Dewa Rama melepaskan mantranya. Arsa didorong sangat kuat hingga tubuhnya kembali terikat dengan rantai besi yang sangat besar.

“Apa-apaan ini?” Arsa memberontak, tapi saat itu juga titik tengah dahinya ditekan oleh Dewa Rama. Dewa perang itu membeku sesaat dan lelaki berambut putih tersebut menarik arwahnya keluar dari raga kasar Arsa. Sang dewa perang melihat tubuhnya sendiri yang agak halus.

“Ayo, kita keluar dari sini, sekarang juga!” Dewa Rama menarik terbang arwah Dewa Arsa.

Pelayan dewa kebijaksanaan juga turut pergi. Mereka melesat dengan cepat dan tepat waktu ketika para penjaga langit telah kembali kesadarannya. Pendek kata, Arsa masih ada di istana langit tanpa membawa apa pun.

“Dewa Rama, bagaimana kalau kita ketahuan?” tanya pelayannya.

“Tugasmu berjaga di luar. Dan curikan untukku satu pil ragawi, untuknya, sekarang!” pinta lelaki itu.

“Apa? Mana mungkin?”

“Sekarang!” desak dewa kebijaksanaan. Arsa masih memandang dirinya yang tak punya pantulan bayangan di cermin.

“Pada saatnya nanti kalau kau bertemu dengan pecahan jiwa istrimu, mereka tak akan punya ingatan sama sekali dengan kehidupan di langit. Hara lupa denganmu, bahkan dia lupa dirinya sendiri. Dia menjadi putri orang lain, bahkan menjadi istri orang lain. Tolong kau ingat itu dan jangan marah karenanya. Saat dia menerima cintamu sepenuh hati meski ingatannya tak kunjung kembali, maka tugasmu selesai, kau harus mencari Hara-Hara yang lain.” Dewa Rama duduk di kursinya. Dewa Arsa memperhatikan penjelasan seniornya.

“Lalu saat ketujuh pecahan arwah istrimu telah menerimamu apa adanya, satukan mereka menggunakan kalung rasi bintang. Kalung tersebut yang akan membimbingku ke arah mana harus melangkah. Kau tak boleh berpisah darinya. Benda kuno itu mudah rapuh, bahkan kau harus menjaganya lebih daripada Hara. Dia hilang, selesai sudah harapan kalian untuk hidup bersama.”

“Baik, Dewa Rama aku mendengarkan penjelasanmu. Jadi kapan aku bisa pergi?” tanya Arsa.

“Sabarlah, kau harus meminum pil ragawi. Kalau kau turun ke bumi seperti ini, kau hanya akan menjadi arwah gentayangan saja. Masalahnya pil ragawi dijaga oleh …” Dewa Rama mengembuskan napas panjang.

“Dewi bunga Ambaramurni. Di sebelah pil bunga untuk musim semi. Di sana, dia pernah memberitahukan padaku, entah untuk apa.” Arsa duduk di depan Dewa Rama.

“Dia menyukaimu, jangan bilang kau tak sadar. Bahkan dia itu lebih cantik daripada Hara, namanya juga dewi yang mengatur bunga bermekaran.”

“Aku tahu, tapi aku tak cinta dengannya. Hara adalah segalanya bagiku.” Arsa memegang kepalanya. Tusuk konde milik Hara ada di sana, tapi bisa tidak ada. Mungkin terjatuh saat perang atau berada di tempat yang tidak aman.

“Tungg saja. Siapa tahu pelayanku bisa mencurinya.”

Waktu terus berlalu di kediaman Dewa Rama. Sang pelayan berhasil memasuki tempat tinggal dewi bunga yang sedang sibuk mengatur pesta bunga dan buah untuk esok hari. Kediaman yang amat sangat penuh dengan bunga bermekaran. Aroma semerbak yang menguar bisa membuat lelaki lupa diri.

Dengan kekuatannya, pelayan Dewa Ram mencari di mana pil ragawi disimpan. Salah satu laci yang terbuat dari kayu cendana dan wangi luar biasa bergetar kuat. Di sana benda itu disimpan, tepat berada di sebelah pil warna-warni sesuai musimnya.

Pelayan Dewa Rama mencuri pil ragawi sebutir kemudian membawanya pergi. Ia tak sadar dari tadi ada bunga melati yang memperhatikan dan memberitahukan pada Dewi Ambar.

Dewi bunga yang memendam perasaan begitu lama pada Dewa Arsa memiliki firasat tak baik. Ia letakkan semua pil yang bisa membuat bunga bermekaran dengan indah dan pergi mengendap-endap menuju kediaman Dewa yang sudah seratus tahun tak pernah terlihat.

Dewi Ambar sampai dan terbang melayang hingga kain suteranya berkibar dengan indah. Seharusnya alasan itu cukup membuat Arsa menggilainya. Nyatanya beda mata beda cita rasa. Rasa cinta Arsa jatuh keada sosok dewi yang sederhana.

“Kanda Arsa, aku tidak salah lihat, bukan?” Dewi Ambar memejam dan membuka mata berkali-kali. Iya, di depannya ada sosok yang seharusnya menjalani hukuman di jurang neraka.

“Bagaimana bisa?” Dewi bunga bertanya-tanya. Ia masih tak habis pikir. Kalaulah Dewa Arsa lari dari jurang neraka tentu akan tertangkap basah.

“Terima kasih Dewa Rama. Akan aku ingat selalu kebaikanmu. Aku akan pergi mengumpulkan pecahan arwah istriku.” Suara Arsa terdengar oleh Ambar.

“Pecahan Arwah,” gumam Ambar. “Hah, jadi, mereka, tidak, tidak boleh, masih ada aku di sini untuk apa harus mencari Hara lagi.” Ambar tak terima kalau Hara naik lagi ke langit.

“Eh, aku belum selesai.” Dewa Rama mencegah kepergian Dewa Arsa. Sayangnya ada seorang wanita cantik yang menghadangnya.

“Kalian tak akan bisa keluar dari sini.” Dewi bunga membuka dua tangannya lebar-lebar.

“Minggir!” gertak Dewa Arsa. Terluka hati Ambar dibentak seperti itu. Tak pernah ada dewa yang berani kasar dengannya, sekalipun raja langit.

“Akan aku laporkan perbuatan kalian pada raja dan ratu, kau tak akan bisa menghalangiku.” Ambar masih tak mau menurunkan tangannya.

“Aku tak segan melawan siapa saja di depanku.” Arsa memunculkan pedang petirnya. Sekali tebas juga Dewi Ambar akan jatuh dan tersungkur.

“Kecuali, Kanda Arsa mau melakukan satu hal untukku, bagaimana? Akan aku biarkan kau pergi dengan aman dan damai untuk mencari arwah Dewi Hara.” Dewi bunga cukup lihai seperti bibinya Ratu Langit Dewi Senandika.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status