Home / Fantasi / Roh Dewa Perang / Tujuh Rasi Bintang

Share

Tujuh Rasi Bintang

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2023-04-27 16:52:28

Dewa Parasurama—dewa yang paling tua di kerajaan langit. Rambutnya sudah memutih semua, sekilas terlihat seperti orang tua lemah. Namun, nyatanya dia masihlah yang paling sakti bahkan mengalahkan raja langit.

Dewa Rama, begitu dia kerap dipanggil oleh para dewa yang lain. Ia memang paling jarang menampakkan diri. Dewa Rama lebih suka bersemedi.

Terakhir ia bertapa demi menyempurnakan kalung dengan tujuh rasi bintang yang paling kuat. Saat bangun ia dikejutkan oleh pertempuran antara dewa perang serta dewa yang lain.

“Sebuah trik adu domba yang sangat dahysat,” ucap Dewa Rama di dalam kediamannya.

Kalung tujuh rasi bintang itu ia pandang di atas mejanya. Yang ia lakukan tadi adalah menyelamatkan Dewi Hara. Agar hidup sang dewi tak hanya berakhir menjadi butiran bintang di langit.

“Dewa Rama.” Seorang dewa pelayan datang dan membawakan lelaki itu beberapa kitab lama dari pustaka langit. Kitab yang sangat kuno dan usianya sudah ratusan ribu tahun. Memuat berbagai transkrip kejadian masa lalu.

“Di mana Dewa Arsa sekarang?” tanya Dewa Rama.

“Di penjara, di dekat jurang neraka, Dewa Rama,” jawab pelayannya.

“Kau boleh pergi dan persiapkan diri. Kita akan pergi ke jurang neraka.” Dewa Rama membalikkan kitab. Ia temukan hal yang ia perlukan, petunjuk tentang tujuh rasi bintang yang paling kuat.

“Tapi, Dewa Rama, bukankah hal itu melanggar aturan langit?”

“Aku sudah melakukan pelanggaran sejak sadar dari semedi tadi.” Dewa Rama menunjukkan kalung tujuh rasi bintang yang simbolnya telah kosong dan masuk ke dalam jiwa Dewi Hara. Pelayan Dewa Rama menundukkan pandangan melihat simbol kuno itu.

“Baiklah, Dewa Rama, apakah kita akan membawa pasuan diam-diam?”

“Tidak, kita berdua saja. Tugasmu menutup pandangan semua dewa termasuk penjaga langit agar kita tidak tertangkap basah. Pergilah!” Perintah Dewa Rama yang dahulunya dia menjabat sebagai dewa kebijaksanaan.

Dewa Rama membaca kitab lama sambil memegang kalung tujuh rasi bintang. Apabila jiwa seorang manusia dirasuki oleh rasi bintang itu maka manusia bisa naik ke langit dan melesat menjadi seorang dewa atau dewi. Apabila yang dirasuki oleh kalung itu seorang dewa atau dewi maka …

“Taurus, pisces, scorpio, virgo, sagitarius, gemini, aries. Mereka punya keunikan masing-masing. Arsa, kalau kau ingin istrimu hidup kembali, kau harus bekerja kerjas mengumpulkan jiwanya yang terperangkap di dalam tubuh manusia.” Dewa Rama menutup kitab tersebut. Tak lama setelah itu pelayannya datang.

“Dewa Rama, sudah hamba lakukan, tapi kita tidak bisa lama berada di bibir jurang neraka.” Pelayan itu datang dengan terburu-buru. Dewa Rama mengembalikan kitab itu dengan kemampuan gaibnya. Lalu ia berdiri dan berjalan cepat diikuti pelayan di belakangnya.

Dewa kebijaksanaan itu turun dari gerbang langit setelah membuka segel dengan lencana miliknya. Tidak ada yang mencegah karena pendangan para dewa yang lain sudah ditutup. Pun aula sedang berkemas atas pesta buah dan bunga yang akan diselenggarakan oleh Ratu Langit.

Keduanya turun ke bibir jurang neraka dengan menggunakan awan. Tempat yang mereka berdua jajaki amat sangat panas. Dewa Rama menggunakan jubah anti api agar bisa masuk, pelayannya ia perintahkan untuk menunggu di luar. Letak jurang neraka berada di antara langit dan bumi, di tengah-tengah tempat tinggal siluman dan iblis yang kerap membuat bencana alam.

Api yang menyambar tubuh Dewa Rama tidak sanggup menghanguskan sang dewa. Ia terus berjalan dan membuka tabir-tabir neraka, hingga para penjaga terpukul mundur dan sang dewa kebijaksanaan sampai di depan Arsa yang terikat rantai besi.

Dewa Rama mengembuskan angin dingin dari mulutnya. Tempat yang tadinya api begitu bergelora hingga melepuh dan mendidih, langsung dingin dan membeku. Arsa membuka matanya ketika merasakan perubahan suhu yang begitu kentara.

“Kau siapa?” tanya Dewa Arsa.

“Seorang dewa perang sepertimu mustahil tidak bisa mengobrak-abrik jurang neraka.” Dewa kebijaksanaan melepastkan rantai yang mengikat tangan dan kaki Dewa Arsa.

“Aku tanya kau siapa!” Dewa Arsa terjatuh di atas es.

Bunga salju itu begitu dingin hingga tangan Arsa lengket di sana. Sebegitu besar kekutan Dewa Rama hingga sanggup meredam jurang neraka yang membara.

“Tidak penting aku siapa, yang paling penting aku membawa kabar baik tentang istrimu, Dewi Hara, sekaligus kabar buruknya. Kau ingin dengar yang mana dulu?” Dewa Rama duduk di atas batu es buatannya. Dewa Arsa masih kepayahan bahkan ia rela menyeret-nyeret tubuhnay karena mendengar kabar Dewi Hara.

“Lemah!” hardik Dewa Rama.

“Aku dewa perang, aku tidak lemah!” Dewa Arsa berusaha bangkit, tapi dia jatuh lagi.

“Hanya karena seorang perempuan, kau jadi tak berdaya. Tolol!” umpat dewa kebijaksanaan itu.

“Dia istriku, bukan perempuan biasa.”

“Lemah, karena kau lemah, kau tidak bisa melindunginya. Hanya ada satu kesempatan untuk membawanya kembali, Dewa Arsa.”

Arsa bersimpuh di depan dewa kebijaksanaan, mendengar satu kesempatan yang ada membuat rasa di dalam hatinya bercampur aduk.

“Aku ingin dengar kabar buruknya terlebih dahulu.” Arsa menahan gigil yang begitu dingin di tubuhnya. Dari sana saja ia bisa tahu kalau Dewa Rama bukan dewa sembarangan. Hanya saja mengapa selama ini ia tak pernah bertemu?

“Kabar buruknya, Dewa Kuwara mengutus anjing peliharannya untuk mencari istrimu.” Ucapan Dewa Rama barusan membuat Arsa berdiri tegak.

“Bagaimana mungkin. Aku sudah mengurungnya di dalam kubah!”

“Semuanya mungkin saat kau melemah. Kau kalah cepat, saat kau meratapi kematian istrimu. Dewa Kuwara mengambil kesempatan.”

“Baik, lalu kabar baiknya apa?” tanya Arsa lagi.

Penjaga neraka bangkit, ia mencoba menyerang Arsa. Dewa perang itu mengambil batu es dan membentuknya menjadi pedang tajam. Batu es itu menancap di dada penjaga neraka dan seketika saja penjagat tersebut membeku.

Dewa Rama mengeluarkan kalung tujuh rasi bintang dan membuatnya melayang di udara. Pada dinding penjara langit memantul simbol kuno masing-masing rasi bintang yang diwakili oleh gambar dewi cantik di atas binatang peliharannya.

“Rasi bintang kuno. Apa maksudnya?” Sungguh, Arsa tidak mengetahui ilmu lama berusia puluhan ribu tahun itu.

“Sebelum istrimu disambar oleh petir, aku sempat memasukkan simbol rasi bintang di dalam jiwanya. Tujuh simbol itu menarik setiap jiwa hingga roh istrimu terikat erat dengan rasi bintang. Saat raga istrimu melemah, tujuh rasi bintang itu berpendar di udara membawa pecahan roh milik istrimu. Dalam artian istrimu masih bisa diselamatkan, hanya saja akan memakan waktu yang sangat lama bagimu untuk mengumpulkan tujuh pecahan arwah tersebut. Kau paham sampai di sini?” Dewa Rama menurunkan kalung rasi bintang itu dan memberikannya pada Dewa Arsa.

“Aku akan turun ke bumi dan mengumpulkan pecahan arwah istriku.” Dewa Arsa mengganti zirah perangnya yang telah robek dengan baju dewanya.

“Setelah tujuh pecahan arwah istrimu terkumpul, apa yang akan kau lakukan?” tanya Dewa Rama. Arsa tidak pernah tahu tentang ilmu kuno itu.

“Akan aku bawa ke langit.” Dewa Arsa bersiap untuk turun ke bumi, tetapi …

Bersambung …

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Roh Dewa Perang    116 Jiwa yang Terkurung

    Ranjang megah berlapis tirai-tirai halus dari benang bintang tampak bergetar pelan, bukan oleh badai atau gempa langit, tapi oleh energi magis yang berasal dari tubuh sang ratu.Mahadewi Sahasika, dengan jubah ungu muda dan mahkota cahaya palsunya, membaringkan tubuhnya di atas Wanudara, raja langit yang matanya kini kosong dan dingin, seperti cermin tanpa pantulan.Di bawah tirai bintang itu, Arsa bersembunyi, tubuhnya berubah menjadi debu perang yang melekat di serat sutra angin. Ia menyaksikan tanpa suara, tanpa bisa berbuat apa-apa.Hatinya berkata-kata tetapi ia tahu, setiap satu gerakan gegabah akan membangunkan sihir pemutus waktu yang diletakkan Sahasika di setiap sudut kamar kerajaan.“Sayangku, ” bisik Sahasika lembut, sembari mencium pelipis Wanudara. “Kau pernah berkata langit ini akan runtuh tanpamu. Tapi lihat, aku bisa membuat langit bersinar dengan warna yang kupilih.”Tangan Sahasika menyusuri dada Wanudara, bukan dengan kelembutan cinta, melainkan dengan mantra kegel

  • Roh Dewa Perang   115 Kenangan Dalam Lukisan

    Di antara lorong-lorong yang bergetar, terdapat dinding tempat lukisan para dewa dipajang dan memancarkan detak kehidupan dari peristiwa yang telah dilupakan. Lukisan-lukisan di sana bukan sekadar gambar. Mereka hidup, dan bernafas bersama kenangan para dewa.Hara berjalan mendampingi Senandika yang masih lemah, tangannya sesekali menyentuh tiang langit yang berdiri dengan kokoh. Banu dan Indurasmi mengikuti dari belakang, dua dewa kembar itu merasakan aura yang membungkus jiwa mereka dengan kenangan masa lalu.“Tempat ini tahu siapa kau, bahkan jika kau lupa, Mahadewi,” bisik Hara.Senandika berhenti di depan satu lukisan. Di dalamnya tampak seorang gadis berambut hitam legam, berlari di antara hujan meteor untuk menyelamatkan seekor rubah yang terluka.Gadis itu memeluk rubah dengan erat, lalu memanggil penjaga langit yang akhirnya membawa kisahnya menjadi mahadewi.“Aku ingat.” Senandika menyentuh lukisan itu, dan gadis di dalam lukisan menoleh padanya sejenak. Mata mereka bertaut,

  • Roh Dewa Perang   114. Bintang Tua

    Langit tidak bersinar seperti biasa. Bintang-bintang tampak letih, sinarnya redup seolah mereka enggan menyaksikan ketidakadilan yang menggantung di takhta langit.Kabut tipis menggulung perlahan, menyelimuti menara-menara awan tempat para penjaga bintang biasa bermeditasi.Di antara mereka, Hara berdiri di tepi jurang langit, matanya menatap ke arah cakrawala yang pernah menjanjikan kedamaian.Tiba-tiba, udara bergetar perlahan. Sebuah simbol kuno terbentuk di udara, nyaris tak terlihat oleh mata biasa. Hanya jiwa yang pernah kembali dari kematian yang bisa membacanya.Hara membuka telapak tangannya, dan aksara itu menyatu dengan cahaya jiwanya.“Aksara Senandika,” bisiknya. Matanya mulai memerah oleh rasa haru yang tak bisa ia tunjukkan. Ia pernah berjanji untuk menyelamatkan sang mahadewi.Tanar, bintang tua yang tergantung di langit timur juga mengenali aksara Senandika.“Kau mengenali panggilannya, kau dewi yang terlahir dari keberanian?” Bintang tua Tanar mengeluarkan suara.“Ak

  • Roh Dewa Perang   113. Ramalan yang Membingungkan

    Kitab-kitab beterbangan seperti burung yang tahu sejarah, lalu bersiul pelan saat Arsa melangkah masuk ke dalam ruangan tempat Rogu meneliti silsilah para dewa.Arsa melangkah pelan di lantai cahaya yang berdetak seiring pikirannya yang simpang siur. Jubahnya menyentuh kelopak-kelopak cahaya yang jatuh seperti embun dari langit-langit.Di depan sebuah meja marmer berukiran emas, Rogu pelayan Dewa Rama itu terlihat seperti pelupa tapi menyimpan ribuan rahasia, sedang membuka gulungan yang bersinar.“Kau tahu kenapa aku datang.” Arsa datang mengganggu konsentrasi Rogu. Suaranya menggetarkan rak-rak yang menggantung, beberapa kitab bergetar lalu diam kembali.“Aku hanya tahu bahwa saat ramalan berpindah tangan, takdir mulai mencari pemilik baru,” jawab Rogu tanpa menoleh.“Aku membaca tulisan itu dan membuatku berpikir begitu keras. Dewa Rama menyebutku sebagai calon raja langit. Tapi tak ada penjelasan. Apakah kau yang menulisnya?”“Aku? Tidak. Gulungan itu datang padaku dalam kotak seg

  • Roh Dewa Perang    112 Bara yang Belum Padam

    Jurang neraka itu menganga seperti luka lama yang tak pernah sembuh. Api berkobar dari celah-celah batu hitam dan menyemburkan lidah-lidah merah yang menari dengan erotis di antara udara beracun. Asap pekat menggulung langit neraka, menyembunyikan bintang-bintang yang bahkan tak berani menatap ke bawah.Di dasar jurang itu, tubuh Kuwara tergeletak tak berdaya. Kulitnya yang dulu bersinar seperti logam kini retak dan menghitam. Taring iblisnya patah, dan tulangnya retak di bagian ujung. Ia telah lama tak sadarkan diri dan terperangkap dalam kehampaan antara hidup dan mati.Tak ada lagi Reksi. Tak ada lagi suara yang memanggilnya tuanku dengan kesetiaan tanpa bayaran. Hanya sunyi dan gelegak magma neraka yang menyambutnya.Sesosok makhluk dari balik kabut api datang dengan langkah ringan serta membawa harapan. Bukan langkah manusia, bukan pula langkah siluman. Langkah yang membawa aroma belerang dan bunga kematian.Dewi dengan jubah merah darah muncul. Jubahnya menjuntai seperti asap, d

  • Roh Dewa Perang   111. Warisan Kutukan

    Malam menyelimuti langit tempat Dewa Rama tinggal. Di balik bintang-bintang, semesta seperti menahan napas. Indurasmi tertidur di dekat ibunya, sementara Hara memandang wajah sang putri dengan mata waspada. Namun, ia tidak melakukan itu dengan Banu.Anak laki-laki tersebut berdiri di tepi aula. Ia menatap langit yang samar memantulkan sorot merah dari bawah tanah.Di balik matanya, pola cahaya seperti benang halus terus berpendar. Perjumpaan singkat dengan mata siluman purba tadi, seperti memberinya isyarat akan sesuatu yang tidak pernah selesai."Kami belum sepenuhnya mati."Banu menggeleng pelan, seperti menepis suara itu dari pikirannya. Tapi tangannya gemetar. Ia masih ingat suara jantung ibunya saat memeluk Dewi Anjas ketika jatuh tadi. Hara bergerak begitu cepat, lincah, tapi tetap berusaha melindungi.Banu tahu, ada sesuatu sedang tumbuh dalam dirinya. Tapi bukan kekuatan biasa. Sesuatu yang mirip nyala api tapi dingin. Bukan dari api ibunya. Bukan pula dari petir ayahnya.“Apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status