Share

Bab 11

Setelah berdiri sebentar di depan pintu masuk perusahaan, Briella menyimpan kembali kenangan masa lalunya dan kembali ke perusahaan.

Begitu kembali ke meja kerjanya, rekan kerja di samping menarik kursi di dekatnya dan mulai menggerutu.

"Bu Briella, kamu nggak lihat kalau hari ini Davira bersikap sangat menyebalkan. Dia nggak bekerja dan cuma bisa pamer."

Briella melihat sekeliling dan berbicara pelan mengingatkan rekan kerjanya, "Jangan bicara begitu. Bu Davira baru kembali dari kuliah di luar negeri. Mungkin belum beradaptasi dengan lingkungan baru."

Rekannya menimpali kesal, "Hah, pada akhirnya dia akan menjadi istrinya Pak Valerio! Aku nggak bisa berkata-kata lagi."

Briella tersenyum tenang dan menepuk pundak rekannya.

"Pak Valerio memintaku ke ruangannya. Kalian lanjutkan pekerjaan kalian."

Briella mengeluarkan salep dari laci dan melangkahkan kakinya yang mengenakan sepatu hak setinggi lima sentimeter masuk ke ruang presdir.

Pria itu sedang bekerja, matanya tertuju pada layar komputer tanpa melirik Briella.

Briella meletakkan obat alergi yang dia bawa di samping tangan pria itu.

Pria itu melirik dan menghentikan pekerjaannya. Dia membuka kancing lengan kemejanya, memperlihatkan lengannya yang kuat. Ruam merah karena alergi makanan laut di lengannya masih belum hilang.

Briella mengambil salep dan mengoleskannya ke lengan Valerio.

Keduanya tidak mengucapkan sepatah kata pun. Valerio bahkan tidak memberi tahu Briella tentang alerginya. Namun, hal ini tidak terlepas dari kepekaan Briella.

Kepekaan seperti ini membutuhkan waktu lima tahun.

Pria itu menunduk, tatapannya jatuh ke lengannya yang tengah diobati.

Saat mengoleskan obat, tangan Briella yang halus seakan menggelitiknya. Rasanya seperti ada bulu yang menggerayangi hatinya.

Tadi malam, keduanya melakukannya sampai beberapa kali, bergumul dan saling mengejar kenikmatan mereka hingga larut malam. Namun, hasrat dalam tubuh Valerio kembali dibangunkan dengan mudah.

Jakunnya naik turun, mencoba meredam gairah yang meledak. Dia bertanya kepada Briella dengan wajah datar dan dingin, "Kapan kamu akan pergi?"

Briella menutup salep di tangannya. Dia mengerutkan kening, lalu menjawab, "Bukankah Pak Valerio yang menarik kembali keputusan pengunduran diri saya?"

"Benarkah?" Valerio menjawab seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia kembali berkata dengan enteng, "Aku lupa."

Briella mengutuk di dalam hatinya. Orang penting memang sering melupakan banyak hal.

Namun, apakah dia benar-benar lupa atau punya tujuan lain?

Saat Briella sedang melamun, tatapan Valerio jatuh pada lehernya yang putih dan ramping.

"Dari mana kamu dapat liontin yang kamu pakai?"

Briella menyentuh tali merah yang menggantung di lehernya dan menjawab datar.

"Dikasih seseorang."

Valerio mengangkat alisnya. "Seseorang? Laki-laki apa perempuan?"

Otak Briella sedikit kesulitan mencerna pertanyaan Valerio.

Valerio tidak pernah bertanya tentang masalah pribadinya. Setelah hubungan mereka berakhir, kenapa dia jadi peduli?

"Dari pacarmu?" Valerio mengepalkan kedua tangan di bawah rahangnya dan berkata dengan asal, "Ada ukiran huruf N di liontin giok itu. Apa nama pria itu?"

Briella merasa kesal saat mendengar pertanyaannya.

Pacar? Kenapa Valerio berpikir seperti ini tentangnya? Dia bukan wanita gampangan. Selama menjalin hubungan dengannya lima tahun ini, dia tidak pernah berhubungan dengan pria lainnya.

Briella menahan emosinya dan menjelaskan dengan tenang, "Pak Valerio, pemilik liontin giok ini adalah penolong saya."

"Penolong?"

Valerio tiba-tiba beranjak berdiri di depan Briella. Pria itu membungkuk dan menatap matanya dari dekat. Suaranya yang dalam terngiang di telinga Briella, membawa napas ambigu yang menyentuh bagian paling sensitif di telinga dan leher Briella

"Kamu balas pertolongannya dengan apa? Tubuhmu?"

Briella merasa tercekik oleh napas kuat pria itu yang terus menjeratnya.

Dia mundur selangkah. "Pak Valerio, lebih baik bicarakan masalah pekerjaan saja."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status