MasukTheo menuntun Alexa masuk ke ruang perawatan sekolah, lalu menepuk kursi agar gadis itu duduk. Tanpa banyak bicara, ia menyerahkan selembar tisu.
"Seka air matamu," ucapnya singkat, nada dinginnya kali ini dibalut ketenangan yang samar-samar menyerupai kepedulian. Alexa menerima tisu itu, berusaha menghapus sisa tangisnya meski suaranya masih bergetar. Ia tahu, ia tidak boleh mengatakan hal sebenarnya, bahwa baru saja ia menyaksikan Dylan, kekasihnya, mencumbu perempuan lain. Itu terlalu memalukan, dan Theo bukanlah orang yang tepat untuk mendengar rahasia itu. Akhirnya Alexa mengangkat tangan kanannya. Punggung dan telapak tangan itu masih merah, bukti tamparan keras yang tadi ia berikan pada Dylan. "Aku… terjepit pintu. Tanganku sakit," bohongnya cepat. Theo menghela nafas panjang, jelas tidak percaya. Wajah yang semula tampak khawatir kini berubah menjadi ekspresi jengah. "Sebaiknya kau lebih hati-hati, Alexa," gerutunya. Ia lalu mengambil kotak es dari lemari kecil di sudut ruangan, membungkusnya dengan kain tipis, dan dengan hati-hati menempelkan ke tangan Alexa yang kemerahan. Gerakannya tenang, penuh kendali. Alexa terdiam. Matanya menatap Theo yang tiba-tiba menunjukkan sisi peduli. Namun hatinya masih bergejolak, terluka oleh ucapan Dylan yang menusuk: “Alexa tidak semenggoda dirimu.” Kalimat itu menghantam rasa percaya dirinya. Dylan adalah orang pertama yang membuatnya mengenal asmara, mengenal cumbu dan gairah. Tapi justru Dylan pula yang menghancurkan keyakinannya. Kini, Alexa mulai meragukan dirinya sendiri. Apakah benar ia tidak cukup menggoda? Tidak cukup memuaskan? "Masih sakit?" suara Theo memecah lamunannya. Alexa mendongak, menatap wajah pria itu. Ia baru sadar jarak mereka begitu dekat. Theo, pria yang lebih tua lima belas tahun darinya, kini menyentuh tangannya dengan lembut, kompres dingin di genggamannya. Bahu lebar, otot lengan yang menonjol di balik kemeja, rahang tegas, alis tebal… dan bibir itu, bibir yang membuat Alexa menelan ludah tanpa sadar. Refleks, Alexa menarik tangannya, merebut bungkusan es dari genggaman Theo. "Aku bisa melakukannya sendiri," ucapnya buru-buru. Theo menaikkan sebelah alis, tetapi tidak memperdebatkan. Ia hanya berdiri, merapikan kacamatanya. "Setengah jam lagi, kembalilah ke kelas. Pelajaran akan segera dimulai. Jangan sia-siakan pendidikanmu, Alexa. Kau mungkin belum paham sekarang, tapi suatu saat kau akan mengerti seberapa penting itu ketika kau benar-benar menginjak kedewasaan." Selesai berkata demikian, Theo berbalik meninggalkan ruangan. Alexa terdiam, memeluk bungkusan es di tangannya. Nafas panjang meluncur dari bibirnya, berat, seakan hendak melepaskan segalanya, kesedihan, amarah, dan kegelisahan yang membelit dadanya. ___ Pelajaran berikutnya terasa bagai siksaan bagi Alexa. Meski Theo berdiri di depan kelas dengan penuh wibawa, menjelaskan materi dengan suara tenang dan tegas, pikiran Alexa tak kunjung bisa fokus. Tangannya terlipat di atas meja, dagu bertumpu di sana, sementara matanya hanya sibuk memperhatikan sosok pria itu. Setiap gerakan Theo, cara ia merapikan kacamata, menuliskan angka di papan, hingga nada suaranya yang berat, semua seakan menarik Alexa tanpa ampun. Lamunannya buyar ketika Felix menepuk pundaknya dari belakang. "Lexa, kau ingin aku mengantarmu pulang nanti?" bisiknya. Alexa menghela nafas pelan. "Tidak perlu, Felix. Kau bisa pulang duluan." Felix mengangguk cepat, lalu berbisik lagi, "Kebetulan aku juga ada urusan mendadak. Maaf tidak bisa mengantarmu." Alexa hanya memberi anggukan seadanya. Ketika bel pulang berbunyi, kelas seketika riuh. Para siswa berebut keluar bahkan sebelum Theo sempat melangkah. Dalam hitungan detik, Alexa tersisa sendirian di ruang itu bersama Theo yang tengah merapikan bukunya. Pria itu kemudian menghampirinya. "Langsung ke parkiran dan masuk mobil. Aku tidak izinkan kau pergi ke mana pun." Nada suaranya lirih, tapi mengandung perintah mutlak. Usai berkata demikian, Theo berjalan melewatinya begitu saja, seakan tak terjadi apa-apa. Alexa mendengus jengkel, namun pada akhirnya ia tetap mengikuti instruksinya. Ia lebih dulu masuk ke mobil hitam Theo, memilih duduk di kursi belakang. Ketika Theo akhirnya masuk, alis pria itu sedikit terangkat. "Kenapa duduk di belakang?" tanyanya. "Paman sebaiknya tidak banyak bertanya," sahut Alexa cepat. "Aku tidak ingin teman-temanku salah paham kalau melihatku terlalu dekat denganmu." Theo menatap sekilas melalui spion, lalu memilih diam dan mengemudi. Sesampainya di rumah, Alexa buru-buru turun, hanya untuk sadar ia tak tahu kode pin pintu. Ia berdiri di depan, memperhatikan Theo dengan seksama saat pria itu membuka kunci. 'Kalau aku hafal kodenya, aku bisa kabur kapanpun…' pikirnya. Begitu pintu terbuka, Theo memberi instruksi tanpa menoleh, "Kau punya waktu istirahat tiga jam. Setelah itu, masuk ruang baca. Kita lanjutkan pelajaran." Alexa hanya memandangi punggung Theo yang tegap hingga pria itu menerima panggilan telepon. Ia lalu naik ke kamarnya, menjatuhkan tas dan tubuh di atas ranjang. Namun lelah itu lebih banyak berasal dari hatinya. Kalimat Dylan terus terngiang. “Kau tidak cukup menggoda.” Satu kalimat sederhana, tapi mampu meruntuhkan rasa percaya dirinya. Ia bangkit menuju cermin, memperhatikan wajah dan tubuhnya dari berbagai sisi. Cantik, muda, segar, lalu apalagi yang kurang? "Apa matanya buta? Kenapa dia tak bisa lihat kalau aku lebih menarik dari jalang itu?" gerutunya pada pantulan diri sendiri. Dorongan aneh menguasainya. Ia keluar kamar, menuruni tangga, dan mendapati Theo sedang menyiapkan daging marinasi di dapur. Alexa bersandar di meja, memperhatikan setiap gerakannya. "Paman punya kekasih?" tanyanya tiba-tiba. "Tidak. Tapi ada seseorang yang sedang dekat," jawab Theo datar tanpa menoleh. Alexa menggigit bibir, menunggu lebih banyak. "Tipe wanita seperti apa yang Paman suka?" "Selama dia wanita, itu cukup," Theo menimpali dingin. Alexa mendecak kesal, tapi matanya tetap lekat pada sosok pria itu. Pertanyaan nekat pun lolos dari mulutnya. "Paman suka wanita berdada datar, atau yang berisi?" Theo sontak berbalik, alis berkerut. "Kau sedang membicarakan apa, Alexa?" "Jawab saja. Aku hanya ingin tahu." Theo menghela nafas, membasuh tangannya. "Tergantung orangnya. Bagiku, datar atau berisi sama saja. Yang penting… kepuasan bisa didapatkan." Setelah berkata demikian, ia meninggalkan dapur menuju teras belakang. Alexa terdiam, menunduk melihat kaos kebesaran dan hotpants yang melekat di tubuhnya. Tidak seksi sama sekali, pikirnya getir. 'Aku harus mengubah gaya berpakaian ini.' gumamnya. Tiba-tiba, ide gila melintas. Ia menghampiri teras, lalu berdiri tak jauh dari Theo. Tanpa ragu, Alexa menarik kaosnya hingga terlepas, hanya menyisakan underwear tipis yang ia kenakan di dalam. "Alexa! Apa yang kau lakukan?!" suara Theo terdengar kaget, nyaris gusar. Alexa berpura-pura tenang, meski jantungnya berpacu liar. "Aku hanya ingin berenang, apa itu salah?" balasnya, lalu menanggalkan hotpants dan melompat ke kolam. Air memercik, tubuhnya tenggelam lalu muncul kembali ke permukaan. Rambutnya basah menempel di wajah, mata nakalnya menatap Theo. Pria itu hanya berdiri terpaku, rahangnya mengeras. Dalam hati, ia menelan ludah. Gadis kecil ini… benar-benar berbahaya.Dengan hanya mengenakan celana renang pendek, tubuh Theo masih memancarkan kelembapan dari air kolam. Rambutnya yang basah menempel di dahi, meneteskan air yang mengalir di sepanjang lekuk tubuh atletisnya yang terpahat sempurna. Dari balik kacamata hitamnya, Alexa mengamati setiap gerakan pria itu, tubuh yang semalam mengguncang dunianya, membuatnya menjerit dalam kenikmatan yang memalukan. Meski tahu itu Theo yang sama, Alexa masih bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat pria yang selalu terkendali ini akhirnya melepas semua kendali? Apakah karena permintaannya yang blak-blakan? Ataukah Theo memang sudah mencapai batas kesabarannya? Bayangan pagi tadi di kamar mandi kembali menghantuinya. Wajah Alexa memerah. Dia tak pernah menyangka bisa begitu liar, Theo berhasil memicu adrenalinnya hingga seperti kucing yang sedang birahi. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Theo tiba-tiba, duduk di kursi santai di sebelahnya sambil mengambil segelas jus jeruk. "Paman pemain yang hebat," sahut
Ruangan yang temaram seakan menyulut api gairah di antara dua insan yang terbuai dalam dekapan hangat ranjang. Ciuman-ciuman kasar dan penuh nafsu mengubah udara di sekeliling mereka menjadi panas dan sesak, seiring dengan satu per satu helai pakaian Alexa yang terlepas dan terlempar tak beraturan di lantai. Dengan gerakan penuh kuasa, Theo membalikkan tubuh gadis itu, mengambil alih kendali sepenuhnya. Nafas Alexa tersengal-sengal, matanya berkaca-kaca menatap Theo yang terlihat begitu berbeda malam ini. Pria yang biasanya tenang dan terkendali itu kini berubah menjadi sosok liar dan agresif, seolah semua batasannya runtuh dalam gelora nafsu yang tak terbendung. Ciuman-ciumannya yang membara bergerak turun dari lekuk leher, membasahi setiap inci kulit Alexa, dari dada yang bergairah, perut yang bergetar, hingga pinggang yang meliuk-liuk, meninggalkan jejak basah yang membuat Alexa merintih lemah. "Paman..." desahnya, suara parau penuh hasrat. Tapi Theo tak peduli. Dengan gerakan pe
Nafas Alexa masih tersengal-sengal, bibirnya terasa hangat oleh bekas ciuman Theo yang baru saja terjadi. Dalam-dalam, seluruh tubuhnya berteriak untuk menyerah, untuk tenggelam lebih dalam dalam momen itu. Tapi ingatan akan malam memalukan itu menyergapnya bagai air pasang, bayangan Theo yang mendorongnya pergi tepat di puncak keintiman mereka. "Tidak," desisnya pada dirinya sendiri, suaranya gemetar. "Aku tidak akan membiarkan diriku dipermalukan untuk kedua kalinya." Dengan sekuat tenaga, dia mendorong dada Theo, memutuskan kontak yang membuatnya nyaris kehilangan akal. "Cukup, Paman," ujarnya, menunduk agar Theo tidak melihat mata yang pasti penuh kerinduan. Sebelum Theo bisa berkata-kata, Alexa sudah berbalik dan pergi dengan langkah cepat. Kali ini, Theo tidak mengejar. Sebuah senyum kecil muncul di bibirnya, dia tahu Alexa sedang melarikan diri, tapi bukan karena tidak ingin. Gadis itu hanya takut kehilangan kendali lagi. "Dia begitu... menggemaskan," gumam Theo, menyaksik
Matahari Miami bersinar tajam, memantulkan kilau emas di atas pasir putih. Pantai dipenuhi wisatawan yang ingin membakar kulit mereka menjadi coklat keemasan, dan Alexa adalah salah satu di antaranya.Hari keduanya berlibur sendirian. Tidak ada Felix, tidak ada Gio, tentu saja… tidak ada Theo. Hanya dirinya, laut biru, dan kebebasan.Alexa berbaring sambil tertawa kecil ketika menonton video lucu di ponselnya. Rambutnya sedikit berantakan karena angin pantai, tapi justru itu membuatnya terlihat semakin natural dan memikat.Hingga bayangan seorang pria menutupi cahaya matahari di wajahnya.“Hey, want to try surfing?” suara pria itu hangat, santai, jelas-jelas tipe surfer lokal yang mudah akrab dengan siapa saja.Alexa menurunkan kacamatanya, menatap pria itu sebelum tersenyum kecil. Ia bangkit, meraih rambut panjangnya dan menyibakkannya ke belakang bahu.“Ya, kebetulan aku—”Kalimat itu tidak pernah selesai.Tiba-tiba sebuah tangan kuat melingkari pinggangnya dengan posesif, membuat t
“Jujur saja, peningkatanmu dalam belajar itu melonjak drastis,” komentar Felix sambil meletakkan satu kaleng minuman di depan Alexa dan Gio. Ia lalu ikut duduk, menyandarkan punggung santai. “Dulu peringkatmu… yah, kita semua tahu kondisinya. Tapi sekarang? Kau membuktikan kalau diri sendiri tidak boleh diremehkan.” Gio mengangguk, senyumnya tulus. “Aku sempat kira aku salah lihat hasilnya. Nilaiku saja dibuat minder kalau dibandingkan lonjakanmu.” Alexa hanya tersenyum tipis, memainkan ujung kalengnya. “Aku perlu mengubah beberapa hal dalam hidupku. Kalau ingin mencapai tujuan, ya… harus serius.” Nada suaranya pelan, tapi tegas. “Selama perubahan itu ke arah yang benar, kami selalu dukung,” sahut Felix, memantapkan ucapan Gio. “Bagaimana kalau kita rayakan saja? Tidak perlu mewah,” usul Gio. Felix menatap Alexa, siap mengikuti keputusan apa pun. Namun Alexa terlebih dulu menggeleng. “Tidak perlu. Sore nanti aku harus bekerja. Tidak ada waktu.” “Kalau begitu… ulang tahunmu nanti,
Tidak ada balasan apa pun dari Alexa. Nafas gadis itu tersengal, air matanya jatuh satu per satu tanpa ia sadari. Theo yang masih memeluknya setelah ciuman singkat yang kacau barusan, perlahan menarik diri. Jemari pria itu terulur, menyapu air mata di pipi Alexa dengan lembut, terlalu lembut untuk seseorang yang selama ini menjaga jarak. Namun Alexa menepis tangannya. Tidak keras, tapi cukup tegas untuk membuat Theo membeku. “Jangan…” suara Alexa bergetar. “Jangan membuatku berharap lebih darimu, Paman.” Ia menunduk, kepalanya tertutupi rambut yang berantakan, seolah bersembunyi dari tatapan Theo. “Aku hanya seseorang yang kau anggap anak kecil. Aku tidak menarik untuk orang seperti paman.” Theo terdiam. Nafasnya terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. “Maaf,” ujar Theo akhirnya, lirih, namun jelas menusuk. “Aku tidak pernah berniat mempermainkanmu.” Alexa menegakkan kepala seketika, menatap Theo dengan mata yang masih basah. “Tidak mempermainkanku?







