Share

Bab 7

Author: SILAN
last update Last Updated: 2025-10-05 11:40:04

Alexa sempat berpikir, dengan cara ini ia bisa membuktikan kalau dirinya cukup menggoda di depan Theo. 

Tadi, pria itu memang sempat menatapnya, dan Alexa hampir saja yakin kalau Theo akan bereaksi, mungkin sekadar berkomentar atau bahkan memujinya. Namun ternyata tidak. Tatapan datar itu hanya singgah sebentar sebelum Theo bangkit dari kursinya, lalu tanpa sepatah kata pun, meninggalkan Alexa sendirian di kolam.

Rasa kecewa langsung menyelinap ke dada Alexa. Kepergian Theo begitu saja membuat kata-kata Dylan kembali bergema di kepalanya, 'Alexa tidak cukup menggoda'. Sungguh, itu menusuk jauh lebih dalam dari yang ia kira. Apa benar dirinya tidak menarik sama sekali di mata pria? Padahal, beberapa bulan lagi ia akan berusia sembilan belas tahun. Usia yang menurutnya bukan lagi masa anak-anak. Ia pantas dianggap dewasa. Ia pantas dihargai… bahkan diinginkan.

Dengan gerakan malas, Alexa naik ke permukaan. Air menetes dari ujung rambut hingga ke lekuk tubuhnya. Tepat ketika ia menapakkan kaki ke tepi kolam, Theo kembali muncul, kali ini dengan sehelai handuk di tangan. Tanpa basa-basi, pria itu meraih bahunya, lalu membungkus tubuh basahnya dengan kain hangat itu.

Refleks, Alexa menggenggam erat handuk agar tidak terlepas. Degup jantungnya mendadak melonjak saat jari-jari Theo menyentuh kulit lengannya, meski hanya sepersekian detik.

“Ganti pakaianmu yang basah itu,” ucap Theo dingin, suaranya dalam dan datar seperti biasa.

Bibir Alexa sudah terbuka untuk menanggapi, mungkin menggoda, atau malah bentuk protes, sayangnya Theo berbalik lebih cepat. Pria itu meninggalkannya lagi, berjalan santai ke dalam rumah, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

Alexa terdiam, menatap punggung lebar itu menghilang di ambang pintu. Sebuah desahan panjang lolos dari bibirnya. Ada rasa frustasi sekaligus dorongan nakal yang makin membara.

“Aku tidak mungkin menyerah begitu saja,” gumamnya pelan, menggenggam handuk lebih kuat. “Aku akan buktikan kalau aku ini bisa diandalkan… dan juga menggoda.”

Tatapan Alexa mengunci pada sosok Theo yang kini tampak berjalan di dalam rumah, membelakanginya. Sudut bibirnya terangkat tipis, menampilkan senyum nakal yang jarang ia tunjukkan.

"Sepertinya yang satu ini, boleh juga." pikirnya.

Begitu Theo menghilang dari pandangan, Alexa melangkah pelan masuk ke dalam rumah. Handuk masih melingkar di tubuhnya, namun pikirannya sudah jauh berkelana. Ia merasa seperti berperang dengan dirinya sendiri, antara rasa sakit hati yang ditinggalkan Dylan, dan rasa penasaran yang tiba-tiba tumbuh terhadap Theo.

Di ruang tengah, aroma daging marinasi yang Theo siapkan masih tercium samar. Alexa menapakkan kaki tanpa suara, matanya tak lepas dari pria itu yang sedang berdiri membelakangi, menyiapkan minuman di meja bar kecil. Bahu lebar itu bergerak ringan tiap kali Theo menuangkan cairan ke gelas.

Alexa menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu yang berbeda pada sosok ini, dingin, berjarak, tapi justru itulah yang menarik. Dylan selalu mudah ditebak, penuh gombalan murahan. Sementara Theo… pria itu hampir tidak pernah menunjukkan kelemahan.

Alexa melangkah lebih dekat, membiarkan ujung handuknya sedikit terbuka sehingga memperlihatkan pahanya yang masih basah. Ia tahu, ini bukan sekadar tentang membuktikan diri pada Dylan. Ini tentang menguji Theo, apakah pria yang jauh lebih dewasa itu benar-benar kebal terhadap pesonanya.

“Paman,” panggil Alexa dengan suara lirih namun sengaja dibuat manja.

Theo menoleh sebentar, alisnya terangkat tipis. “Kenapa belum ganti pakaian?” suaranya datar, nyaris seperti teguran.

Alexa tersenyum samar, mendekat hingga jarak mereka hanya terpaut satu langkah. “Aku tidak sempat. Lagipula… bukankah Paman sudah menolongku dengan handuk ini?” Ia menarik ujung kain, menegaskan maksudnya.

Theo terdiam. Tatapannya turun sekilas, lalu kembali menancap di mata Alexa. Ada kilatan aneh di sana, antara kesabaran yang diuji dan keengganan untuk terpancing.

“Kau bermain dengan api, Alexa,” ucapnya pelan namun tegas.

Bukannya mundur, Alexa justru tersenyum lebih lebar. Ia mencondongkan tubuh, hampir bisa merasakan hembusan nafas pria itu di wajahnya. “Mungkin aku memang suka api, Paman.”

Sekilas, ada ketegangan yang begitu nyata di antara mereka. Jantung Alexa berdegup liar, menunggu reaksi Theo. Namun alih-alih mendekat, pria itu justru mundur satu langkah, meneguk isi gelasnya sampai habis.

“Naik ke atas. Ganti pakaianmu. Sekarang.” Suaranya kali ini berat, nyaris seperti perintah yang tidak bisa dibantah.

Alexa mendengus pelan, pura-pura kecewa. Tapi di balik ekspresi itu, hatinya justru bergetar. Theo memang bukan pria sembarangan. Dan itu, justru membuatnya semakin tertarik.

"Paman mengatakan penyuka gadis di bawah umur, lantas bagaimana denganku?” goda Alexa, suaranya rendah tapi penuh tantangan.

Theo menghentikan gerakannya, gelas yang tadi ia pegang diletakkan ke meja dengan suara gedebuk kecil, cukup untuk membuat suasana seketika menegang. Alexa tidak gentar. Pandangannya tetap menancap pada wajah pria itu, wajah matang yang terlalu tampan untuk diabaikan, rahang tegas, sorot mata tajam, dan aura yang tidak bisa ditiru lelaki seumurannya.

Theo menyeringai tipis, dingin. “Kau bukan gadis di bawah umur, Alexa.”

Kalimat itu membuat Alexa refleks menelan ludah. Ada kepanikan kecil yang sempat melintas di wajahnya, tapi ia segera mengendalikan diri. Dengan cepat, ia pasang kembali senyum menantang.

Satu langkah ia dekati Theo, kepalanya mendongak karena perbedaan tinggi tubuh mereka begitu kontras. “Oh, benarkah? Lalu gadis seperti apa yang Paman suka? Jangan bilang… kau benar-benar seorang pedo?”

Tangan Theo terangkat. Alexa sempat kaget, tubuhnya refleks menegang, mata terpejam seolah bersiap menerima tamparan. Namun ternyata, bukan pukulan yang datang. Telunjuk Theo hanya menekan keningnya dengan tenang, mendorongnya mundur beberapa sentimeter.

Alexa membuka mata, setengah terkejut, setengah kesal.

“Aku tahu kau sedang mencoba menggodaku, Alexa. Kau benar-benar tidak ada takutnya… kalau aku sampai melakukan sesuatu padamu,” ucap Theo, nadanya berat, nyaris seperti peringatan.

Bukannya gentar, Alexa malah menaikkan alis, ekspresi wajahnya semakin menantang. Bibirnya membentuk senyum nakal.

“Kenapa tidak Paman lakukan saja?” ucapnya berani, nyaris berbisik. “Aku bukan anak kecil. Aku… bisa membuat Paman puas.”

Suasana seketika menegang. Udara di antara mereka seperti mengandung listrik.

Theo memiringkan kepalanya ke kiri, tatapannya menelusuri wajah Alexa dengan seksama, seolah sedang menimbang apakah ucapan gadis itu hanya gertakan atau memang sungguh-sungguh.

“Kau yakin dengan kalimatmu barusan?” suaranya tenang, tapi matanya tajam menusuk. “Yakin kau bisa membuatku puas?”

Alexa menegakkan bahunya, rasa percaya dirinya meluap. “Ya,” katanya mantap. “Tentu saja aku bisa.”

Theo menahan tawa kecil, matanya menyipit, seolah sedang menguji batas kesombongan Alexa. 

"Kalau begitu maka buktikan kau bisa membuatku puas." balas Theo dingin dan tajam.

SILAN

Bersambung...

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
SILAN
Aman kak, udah sehat kok hehe
goodnovel comment avatar
nikki mega agusstyasih
Ka silan ko baru update? Lagi sakit kah?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ruang Panas Bersama Guru Privat   Bab 49

    Dengan hanya mengenakan celana renang pendek, tubuh Theo masih memancarkan kelembapan dari air kolam. Rambutnya yang basah menempel di dahi, meneteskan air yang mengalir di sepanjang lekuk tubuh atletisnya yang terpahat sempurna. Dari balik kacamata hitamnya, Alexa mengamati setiap gerakan pria itu, tubuh yang semalam mengguncang dunianya, membuatnya menjerit dalam kenikmatan yang memalukan. Meski tahu itu Theo yang sama, Alexa masih bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat pria yang selalu terkendali ini akhirnya melepas semua kendali? Apakah karena permintaannya yang blak-blakan? Ataukah Theo memang sudah mencapai batas kesabarannya? Bayangan pagi tadi di kamar mandi kembali menghantuinya. Wajah Alexa memerah. Dia tak pernah menyangka bisa begitu liar, Theo berhasil memicu adrenalinnya hingga seperti kucing yang sedang birahi. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Theo tiba-tiba, duduk di kursi santai di sebelahnya sambil mengambil segelas jus jeruk. "Paman pemain yang hebat," sahut

  • Ruang Panas Bersama Guru Privat   Bab 48

    Ruangan yang temaram seakan menyulut api gairah di antara dua insan yang terbuai dalam dekapan hangat ranjang. Ciuman-ciuman kasar dan penuh nafsu mengubah udara di sekeliling mereka menjadi panas dan sesak, seiring dengan satu per satu helai pakaian Alexa yang terlepas dan terlempar tak beraturan di lantai. Dengan gerakan penuh kuasa, Theo membalikkan tubuh gadis itu, mengambil alih kendali sepenuhnya. Nafas Alexa tersengal-sengal, matanya berkaca-kaca menatap Theo yang terlihat begitu berbeda malam ini. Pria yang biasanya tenang dan terkendali itu kini berubah menjadi sosok liar dan agresif, seolah semua batasannya runtuh dalam gelora nafsu yang tak terbendung. Ciuman-ciumannya yang membara bergerak turun dari lekuk leher, membasahi setiap inci kulit Alexa, dari dada yang bergairah, perut yang bergetar, hingga pinggang yang meliuk-liuk, meninggalkan jejak basah yang membuat Alexa merintih lemah. "Paman..." desahnya, suara parau penuh hasrat. Tapi Theo tak peduli. Dengan gerakan pe

  • Ruang Panas Bersama Guru Privat   Bab 47

    Nafas Alexa masih tersengal-sengal, bibirnya terasa hangat oleh bekas ciuman Theo yang baru saja terjadi. Dalam-dalam, seluruh tubuhnya berteriak untuk menyerah, untuk tenggelam lebih dalam dalam momen itu. Tapi ingatan akan malam memalukan itu menyergapnya bagai air pasang, bayangan Theo yang mendorongnya pergi tepat di puncak keintiman mereka. "Tidak," desisnya pada dirinya sendiri, suaranya gemetar. "Aku tidak akan membiarkan diriku dipermalukan untuk kedua kalinya." Dengan sekuat tenaga, dia mendorong dada Theo, memutuskan kontak yang membuatnya nyaris kehilangan akal. "Cukup, Paman," ujarnya, menunduk agar Theo tidak melihat mata yang pasti penuh kerinduan. Sebelum Theo bisa berkata-kata, Alexa sudah berbalik dan pergi dengan langkah cepat. Kali ini, Theo tidak mengejar. Sebuah senyum kecil muncul di bibirnya, dia tahu Alexa sedang melarikan diri, tapi bukan karena tidak ingin. Gadis itu hanya takut kehilangan kendali lagi. "Dia begitu... menggemaskan," gumam Theo, menyaksik

  • Ruang Panas Bersama Guru Privat   Bab 46

    Matahari Miami bersinar tajam, memantulkan kilau emas di atas pasir putih. Pantai dipenuhi wisatawan yang ingin membakar kulit mereka menjadi coklat keemasan, dan Alexa adalah salah satu di antaranya.Hari keduanya berlibur sendirian. Tidak ada Felix, tidak ada Gio, tentu saja… tidak ada Theo. Hanya dirinya, laut biru, dan kebebasan.Alexa berbaring sambil tertawa kecil ketika menonton video lucu di ponselnya. Rambutnya sedikit berantakan karena angin pantai, tapi justru itu membuatnya terlihat semakin natural dan memikat.Hingga bayangan seorang pria menutupi cahaya matahari di wajahnya.“Hey, want to try surfing?” suara pria itu hangat, santai, jelas-jelas tipe surfer lokal yang mudah akrab dengan siapa saja.Alexa menurunkan kacamatanya, menatap pria itu sebelum tersenyum kecil. Ia bangkit, meraih rambut panjangnya dan menyibakkannya ke belakang bahu.“Ya, kebetulan aku—”Kalimat itu tidak pernah selesai.Tiba-tiba sebuah tangan kuat melingkari pinggangnya dengan posesif, membuat t

  • Ruang Panas Bersama Guru Privat   Bab 45

    “Jujur saja, peningkatanmu dalam belajar itu melonjak drastis,” komentar Felix sambil meletakkan satu kaleng minuman di depan Alexa dan Gio. Ia lalu ikut duduk, menyandarkan punggung santai. “Dulu peringkatmu… yah, kita semua tahu kondisinya. Tapi sekarang? Kau membuktikan kalau diri sendiri tidak boleh diremehkan.” Gio mengangguk, senyumnya tulus. “Aku sempat kira aku salah lihat hasilnya. Nilaiku saja dibuat minder kalau dibandingkan lonjakanmu.” Alexa hanya tersenyum tipis, memainkan ujung kalengnya. “Aku perlu mengubah beberapa hal dalam hidupku. Kalau ingin mencapai tujuan, ya… harus serius.” Nada suaranya pelan, tapi tegas. “Selama perubahan itu ke arah yang benar, kami selalu dukung,” sahut Felix, memantapkan ucapan Gio. “Bagaimana kalau kita rayakan saja? Tidak perlu mewah,” usul Gio. Felix menatap Alexa, siap mengikuti keputusan apa pun. Namun Alexa terlebih dulu menggeleng. “Tidak perlu. Sore nanti aku harus bekerja. Tidak ada waktu.” “Kalau begitu… ulang tahunmu nanti,

  • Ruang Panas Bersama Guru Privat   Bab 44

    Tidak ada balasan apa pun dari Alexa. Nafas gadis itu tersengal, air matanya jatuh satu per satu tanpa ia sadari. Theo yang masih memeluknya setelah ciuman singkat yang kacau barusan, perlahan menarik diri. Jemari pria itu terulur, menyapu air mata di pipi Alexa dengan lembut, terlalu lembut untuk seseorang yang selama ini menjaga jarak. Namun Alexa menepis tangannya. Tidak keras, tapi cukup tegas untuk membuat Theo membeku. “Jangan…” suara Alexa bergetar. “Jangan membuatku berharap lebih darimu, Paman.” Ia menunduk, kepalanya tertutupi rambut yang berantakan, seolah bersembunyi dari tatapan Theo. “Aku hanya seseorang yang kau anggap anak kecil. Aku tidak menarik untuk orang seperti paman.” Theo terdiam. Nafasnya terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. “Maaf,” ujar Theo akhirnya, lirih, namun jelas menusuk. “Aku tidak pernah berniat mempermainkanmu.” Alexa menegakkan kepala seketika, menatap Theo dengan mata yang masih basah. “Tidak mempermainkanku?

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status