Share

Masa Kecil : Benda Aneh

Hari yang dinanti pun tiba. Kami memanfaatkan hari libur ini dengan membersihkan rumah bersama. Aku mendapat bagian membersihkan area ruang tamu.

“Dara, kamu sapu dan pel bagian ini, ya? Cukup sampai ruang tamu saja, ruang tengah biar jadi bagian Tasya supaya dia bisa belajar beres-beres rumah.”

“Siap, Bu!” sahutku.

Aku menyapu semua sudut ruangan serta kolong meja dan kursi. Banyak sekali debu yang sudah menggumpal di sana. Ketika aku tarik sapu dari kolong kursi, aku melihat sesuatu yang cukup aneh. Seperti plastik namun rapuh, warnanya transparan dan sedikit kekuningan dengan bentuk yang panjang walaupun sudah ada beberapa bagian yang koyak karena sudah terbalut debu.

“Tasyaaa! Kalau jajan, buang sampah ke tempatnya dong! Jangan di taruh di mana saja, ini ada bekas makananmu di kolong kursi!” teriakku kesal.

“Iya, Kak. Maaf, tapi aku nggak buang sampah ke situ kok, Kak.” Tasya tertunduk menghampiriku.

“Lalu, ini apa?! Duh, sudahlah. Kamu lanjutkan saja pekerjaanmu.”

Tadinya, aku hendak membuang langsung plastik terebut. Namun, aku terdiam dan memerhatikan, plastik kok bentuknya seperti ini?

Aku coba meremas benda itu dengan tanganku yang dibalut sarung, seketika benda itu hancur. Tiba-tiba,ibu menghampiriku sambil bertanya apa yang sedang aku lakukan.

“Ada apa, Nak? Kok, berhenti menyapunya?” tanya ibu keheranan.

“Ini apa ya, Bu? Aku kira ini plastik bekas jajan Tasya, tapi kok kering dan rapuh begini.”

Ibu mendekatkan pandanganya pada sesuatu yang ada di tanganku itu dan seketika ia langsung menjauh.

“Da-Da-Dara …. Bu-bbuang sekarang! Jangan dipegang! I-itu kulit ular!” seru Ibu seraya mengibaskan tanganku dengan genggamannya.

“Ya Allah, Bu! Kok bisa ada kulit ular di sini!! Aaarghh! Dara takut, Bu!” teriakku ketakutan memeluk Ibu.

“Ibu juga kurang tau, Nak. Ta-tapi yang jelas, kalau ada bekas kulit ular seperti itu, berarti ada ular dirumah ini!”

“Aaarghh! Nggak mau, Bu! Bagaimana ini!”

“Tenang, tenang dulu, Ibu juga kaget. Nanti kita tanya Ayah bagaimana solusinya,” Ibu menenangkanku.

Meskipun aku sudah duduk di bangku kelas IV SD, aku mungkin bisa saja tau kalau itu adalah kulit ular. Namun, tak terpikir sama sekali akan ada hal semacam itu di rumah ini. Aku tak menyangka sampai detik ini, aku dan adik-adikku masih aman saat ditinggal oleh orang tuaku. Ayah memutuskan untuk memanggil tetangga dan meminta bantuan mereka untuk membersihkan area sudut rumah yang tak terjamah, berharap bisa menemukan ular pemilik kulitnya tadi, namun nihil. Mereka tidak menemukan apa pun karena rumah ini sangat luas, belum lagi banyak barang barang peninggalan yang tidak bisa sembarangan di sentuh.

“Rumah ini sudah bersih, setidaknya area yang sering kita pergunakan sudah tidak ada lagi kotoran atau debu. Baiknya, kita rutin membersihkannya. Karena jika memang benar ular itu masih di sini, ia pasti tidak akan betah di tempat yang bersih. Bahkan mungkin, bisa saja ular itu hanya singgah untuk mengganti kulit disini dan pergi lagi keluar sana entah ke mana.”

Ayah menjelaskan pada kami, namun tetap saja aku masih takut akan kehadiran ular tersebut yang tak tau kapan akan muncul.

“Lalu, bagaimana besok, Yah? Kalian kan harus pergi bekerja. Sementara kami di sini hanya bertiga, mang Danu sudah jarang pulang. Aku takut Bu, Yah. Aku tak mau ditinggal.”

Aku merengek pada orang tuaku dan tak kuasa menahan tangis karena situasi ini. Rasanya, ular itu masih ada di sekitaran rumah ini. Perasaanku berkata seperti itu.

“Iya, Nak. Kami paham. Ibu pun takut dan tidak tega meninggalkan kalian dengan kondisi seperti ini. Biarkan Ibu berdiskusi dulu dengan Ayah ya, Nak.”

Selang beberapa menit, ibu mengatakan akan memperkerjakan asisten rumah tangga khusus untuk menemani kami. Kebetulan, ada rekomendasi dari teman ibu dan bisa langsung bekerja dan datang besok.

‘Syukurlah,’ dalam hatiku lega. Minimal, aku tidak terlalu kesepian sebagai anak yang paling besar di rumah ini.

Karena jujur saja, akhir-akhir ini mau pergi tidur pun tak nyaman. Entah kenapa seperti ada seseorang yang memperhatikan di ujung pintu di balik tumpukan baju yang digantung. Aku tidak menceritakan ini pada siapa pun karena takut orang-orang tidak mempercayaiku.

Malam pun tiba, aku bersiap untuk tidur. Tiba-tiba Robi menangis kencang, dengan wajah yang memerah dan berteriak dengan histeris.

“Ituuu! Tetehhh, takut! Obi takut, sakit!!”

Teriak Robi tak begitu jelas.

Teteh? Takut? Apa yang dimaksud Robi? Di sini tak ada seorang pun yang dipanggil dengan panggilan Teteh, ia memanggil kedua kakaknya dengan panggilan Kakak.

Semakin lama tangisan Robi semakin kencang, ia mengepalkan tangannya dan menunjuk ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamar.

Karena kamar ini adalah kamar terluas di rumah ini, kakek sengaja membangun kamar mandi dalamnya yang terhubung dengan kamar cuci pakaian dan dapur.

“Ke-kenapa, Sayang?! Robi, Nak!! Kamu kenapa?!!!” ayah mencoba menyadarkan Robi yang bahkan tak sekalipun melirik kami semua.

“Dara! Pergi ke rumah Pak Haji Asep! Bilang padanya, Ibu minta bantuan, cepat!!” teriak ibu padaku.

“Ba-Baik, Bu. Tasya, ayo antar kakak!”

Aku dan Tasya bergegas menuju rumah Pak Haji Asep, rumahnya tidak jauh, hanya selisih dua rumah dari rumahku. Ia dikenal sebagai orang yang cukup paham dan ‘bisa’ menanggulangi masalah seperti ini.

“Assalamu’alaikum, Pak. Punten, kata Ibu … Robi ..., ” ucapku terbata-bata.

“Muhun, Neng Dara. Bapak tos apal. Hayu ka bumi Neng Dara sasarengan.”

Pak Asep memotong ucapanku dan langsung menuju kembali ke rumahku.

‘Apa yang ia ketahui? Bagaimana ia bisa tau?’ tanyaku dalam hati.

Sesampainya di rumah, Pak Asep meminta segelas air, lalu ia bacakan doa dan diberikan kepada Robi. Awalnya Robi menolak, namun dengan sedikit paksaan, akhirnya ia mau minum walaupun hanya tiga tegukan.

Robi pun diam dan tertidur tenang dengan pelan, matanya sembab dan kepalannya yang kuat membuat telapak tanganya sedikit terluka karena terlalu kencang menggenggam.

Pak Asep terlihat sedang berdoa sambil sesekali menngangguk dan menggeleng-gelengkan kepalanya seperti penolakan terhadap sesuatu yang aku tidak mengerti. Sesekali, ia berjalan menyusuri ruangan dengan mata tertutup. Entah apa yang dilakukanya. Namun malam itu sungguh mencekam bagiku.

“Robi teh, pernah seperti ini sebelumnya?” tanya pak Asep pada ayah.

“Belum pernah, Pak. Nembe ayeuna. Punten, putra abdi kunaon nya, Pak?”

“Bapak teu terang aya kajadian naon sateuacana di dieu. Yang pasti mah, sosok yang menghuni di sini marah karena ada sesuatu yang ia punya dan dibuang oleh salah satu dari kalian.”

Kami terdiam dan saling melempar pandangan.

“Dibuang? Maksudna, kumaha, Pak?”

“Mungkin, sapertos barang anu aneh atau barang antik. Sebaiknya kalian perbanyak beribadah dan berdoa meminta perlindungan pada Gusti Allah.”

Benda aneh? Apakah ada hubunganya dengan kejadian siang tadi? Apakah kulit ular tadi yang pak Asep maksud?

Ayah menyuruhku tidur menyusul adik-adikku sementara ia masih berbincang-bincang dengan pak Asep. Dari kamar, aku masih bisa mendengar apa yang di bicarakan Ayah dan pak Asep di ruang tamu karena suasana malam itu sangat hening.

Ada kata-kata atau kalimat yang samar-samar terdengar seperti, hawa panas, pindah rumah, setan, jin dan lain lainnya yang semakin membuatku tak kuat lagi untuk mendengarnya. Aku menutup tubuhku dengan selimut sampai kepala agar cepat tertidur dan tidak mendengar lagi hal-hal aneh itu yang tidak kumengerti.

“Kak …. Kak Dara .. bangun! Aku haus, tolong temani aku ke dapur.”

Tasya membangunkanku, aku sangat jengkel sekali karena ia mengganggu tidurku yang baru saja terlelap.

“Ah, ambil saja sendiri, Tas! Atau bangunkan Ibu, biasanya kamu berani kan,” ucapku pada Tasya.

“Ta-Tapi aku takut, ada seseorang yang memperhatikan kita.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status