Rumah Kedua Suamiku
[Lihat ini, bagus sekali kan? Kamu dapat oleh-oleh apa dari suamimu, Shanum?]"Pesan dari Eva, calon istri dari teman sekantor suamiku sekaligus sahabatku di waktu SMA dulu. Ia memperlihatkan sebuah Bros motif pintu Aceh berwarna gold, manis sekali.Dahiku mengernyit untuk beberapa saat, bukan karena memandangi keindahan Bros itu. Tapi memikirkan tentang sejak kapan Irfan--tunangan Eva sudah kembali ke Medan sementara suamiku sama sekali belum pulang.Sepanjang ingatanku, Mas Gandhi dan Irfan memang diutus ke Aceh untuk menjadi perwakilan bagi kantor mereka selama seminggu. Namun baru tiga hari di sana, kenapa Eva sudah mendapatkan oleh-oleh?[Wah bagus sekali. Memangnya Irfan sudah pulang?] balasku untuk memastikan dugaanku.[Sudah. Dia sudah tiba sejak pagi dan sekarang sedang di rumahku mengantarkan oleh-oleh untuk kami sekeluarga. Kamu dapat oleh-oleh apa dari suamimu? Suami kamu sudah di rumah 'kan?]Aku tidak lagi membalas pesan dari Eva sebab tiba-tiba hatiku diserang rasa nyeri sekaligus penasaran. Jika Irfan sudah kembali, lalu ke mana suamiku? Bukankah seharusnya mereka juga pulang bersama-sama?Tiba-tiba ponsel yang masih dalam genggaman tanganku berdering. Tertera nama Eva di layarnya dan aku pun gegas menjawab panggilannya."Kok, gak jawab chat aku, sih?" tanya wanita itu dari seberang sana. Nada suaranya tidak seperti orang bertanya, namun terkesan menyelidik."Oh, uhm, maaf. Aku baru saja mau ngetik tapi kamu sudah menelepon," jawabku berkilah."Gandhi sudah pulang, 'kan? Kamu dapat oleh-oleh apa dari Aceh? Dapat Bros seperti punyaku juga 'kan? Karena Irfan bilang, mereka berbelanja bersama-sama di toko souvenir sebelum menuju bandara. Bahkan Gandhi belikan kamu banyak oleh-oleh dan makanan khas dari sana!" cecar Eva dan seketika membuat dadaku sesak. Bukan hanya kehabisan kata-kata, aku juga kehabisan ruang bagi oksigen untuk masuk ke paru-paru."Em iya, ya, Mas Gandhi sudah pulang. Udah, ya, nelponnya, ada tamu yang datang. Daahh!" ucapku berbohong menjadikan tamu sebagai alibi sebab tiba-tiba saja area wajahku memanas namun segera kutahan agar genangannya tidak tumpah.Ke mana perginya Mas Gandhi? Padahal baru saja ia menelponku dan mengatakan jika ia akan pulang empat hari lagi. Namun sejak pagi tadi, memang ada yang berbeda dari suamiku. Mas Ghandi tidak lagi membuat panggilan video setiap kali menghubungiku seperti di hari-hari sebelumnya. Dimana lelaki itu selalu menunjukkan setiap lokasi yang ia kunjungi di sana terutama saat singgah di Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi kebanggan semua warga Aceh.Beberapa kali menelepon, ia hanya menggunakan panggilan biasa. Apa sebenarnya Mas Gandhi memang sudah pulang dan ia akan memberi kejutan padaku dan Melisa?Baiknya aku tunggu saja sampai sore ini. Barangkali Mas Gandhi masih singgah ke kantornya atau ke rumah mama dan akan tiba sebentar lagi.Akhirnya, aku lebih memilih mengalihkan pikiran buruk ini dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah dan merekap orderan yang masuk untuk beberapa hari ke depan.Selain menjadi ibu rumah tangga dan mengurus seorang putri yang sudah duduk di bangku Sekolah Dasar, aku juga memiliki usaha dekorasi atau backdrop yang aku rintis sejak dua tahun lalu. Bermula dari permintaan seorang teman yang memohon untuk dibuatkan dekorasi di pesta ulang tahun anaknya, akhirnya aku memberanikan diri untuk melebarkan sayap di bidang tersebut. Apalagi semua orang kerap memuji hasil dekorasi-ku yang memang sudah tumbuh sejak aku duduk di bangku SMA.Tidak terlalu besar memang, hanya saja sejak aku mulai merintis usaha. Jasaku sudah digunakan sampai ratusan kali. Mulai dari acara ulang tahun, pertunangan, baby shower, aqiqah dan acara lainnya. Dan dari sini juga lah, aku bisa mempertebal isi rekeningku.Kebetulan orderan yang masuk untuk lusa adalah acara baby shower sekaligus tujuh bulanan seorang wanita bernama Safira. Ia memintaku untuk mendesain backdrop di rumahnya dengan nuansa berwarna biru dan putih. Namun sebelumnya, aku harus ke rumahnya terlebih dahulu untuk meninjau lokasi sekaligus pengambilan uang muka. Begitu lah sistem yang aku terapkan selama ini, karena aku tidak ingin merugi jika tiba-tiba pelanggan membatalkan orderan secara sepihak sementara aku sudah membatalkan orderan yang lain demi memenuhi pesanannya.Aku tidak memiliki banyak pekerja untuk membantuku. Hanya seorang supir yang akan mengangkat peralatan dekorasi, sementara untuk pengerjaan di lokasi, aku lakukan secara mandiri. Hanya sesekali meminta sepupuku jika kebetulan dalam satu hari, ada lebih dari satu orderan yang aku terima.Mumpung kepulangan Melisa sekitar dua jam lagi. Aku memanfaatkan waktu ku untuk singgah sebentar ke rumah pelanggan yang bernama Safira itu. Kebetulan alamatnya sejurus dengan sekolah Melisa. Di sebuah perumahan yang lumayan elit di sana.Aku berkendara dengan sepeda motor satu-satunya milikku sebab uang yang aku kumpulkan, belum cukup untuk membeli sebuah mobil. Satu-satunya mobil mewah yang menghuni garasi hanyalah milik Mas Gandhi sementara yang aku miliki, hanya mobil bak terbuka yang digunakan untuk mengangkat pernak-pernik dekorasi.Sesampainya di perumahan bernama Bukit Sentosa itu aku langsung menuju alamat yang dituliskan Safira. Rumah bertingkat dua nomor sembilan bercat ungu."Mbak Lisya, ya?" tanya seorang wanita yang kebetulan sedang duduk ngemil di teras depan rumahnya. Aku mengangguk, sebab aku memang selalu memperkenalkan diri sebagai Lisya bagi para pelanggan baru. Kebetulan Safira menghubungiku melalui WA setelah menemukan nomorku di I*******m. Aku memang menggunakan akun bernama "Sweet Decoration"."Iya, saya Lisya. Benar ini rumah Mbak Safira?" tanyaku sekali lagi. Wanita itu mengangguk lalu meminta seorang perempuan yang sepertinya pekerja di sana untuk membukakan pagar bagiku.Setelah itu, Safira mempersilahkan aku masuk dan menjamuku dengan berbagai kudapan ringan seperti keukarah, kembang loyang, pisang salai dan manisan pala yang kesemuanya adalah makanan khas Aceh.Aku sempat tersenyum membayangkan jika mungkin Mas Gandhi sebentar lagi akan pulang dan membawa semua makanan seperti ini ke rumah."Silahkan dicicipi, Mbak. Ini makanan khas Aceh semua karena suami saya baru saja pulang dari sana! Ada banyak di dapur, kalau Mbak mau, nanti saya bungkusin untuk dibawa pulang!" ujar wanita itu ramah. Safira memang terlihat sangat supel dan mudah akrab dengan orang lain. Selain itu, dia juga cantik namun agak centil."Oh, tidak usah. Suami saya juga sedang perjalanan pulang dari Aceh dan akan membawakan saya makanan dari sana!" tolakku halus. Bukankah begitu tadi yang dikatakan Eva? Irfan dan Mas Gandhi membeli banyak oleh-oleh makanan untuk dibawa pulang ke rumah.Usai mencicipi manisan pala, aku pun mulai menyurvei tempat yang akan dijadikan lokasi backdrop untuk acara lusa. Safira bilang, acaranya hanya dilangsungkan sederhana bersama keluarga besar dan sahabat saja sekaligus anak yatim yang akan diundang dari panti asuhan sehingga lokasi yang dipakai hanya lah ruang keluarga yang cukup besar dan menyatu dengan dapur yang juga cukup luas.Wanita itu membawaku ke ruang keluarga sembari mengelus-elus perut buncitnya. Dan alangkah terkejutnya aku ketika mendapati poto Mas Gandhi berjejer rapi di sana.Dukung cerbung ini dengan tekan subscribe agar kalian dapat pemberitahuan dari kelanjutan pada bab selanjutnya. Terima kasih ,🙏🙏"Ini siapa?" tanyaku sembari menunjuk poto berukuran paling besar dan mencolok di antara yang lainnya. Aku berusaha untuk berpikir positif mungkin kebetulan saja wajah pria di poto itu memang memiliki paras yang sama dengan suamiku.Aku sadar telah melemparkan sebuah pertanyaan konyol, sebab semua orang tentu dapat menebak jika laki-laki yang mengenakan jas hitam di samping Safira itu adalah suaminya. Apalagi mereka sedang mengenakan pakaian khas pengantin. Namun jiwa penasaran ku terus meronta-ronta untuk mempertegas dugaanku bahwa pria itu bukan lah Mas Gandhi.Aku pernah dengar nenekku bilang bahwa di dunia ini ada tujuh orang yang memiliki wajah serupa, dan mungkin pria ini adalah salah satu dari enam manusia yang memiliki wajah sama dengan Mas Gandhi."Suamiku, dong, Mbak. Masa' suami Mbak Lisya," celotehnya tertawa geli. Mungkin baginya ini lucu namun bagiku ini seperti petaka.Wajah, tubuh dan gaya lelaki itu persis sekali dengan Mas Gandhi. Dan aku harap, pertanyaan terakhir i
"Iya, maksud saya Mbak sudah pernah ketemu dengan mantan istrinya itu?" ucapku ketus. Jika kuturuti nafsuku saat ini, aku ingin sekali menjambak rambut dan mencakar wajah wanita bernama Safira ini. Dia telah lancang merebut suamiku dan merampas semua yang seharusnya menjadi milikku. Rumah, mobil dan fasilitas ini seharusnya menjadi milikku, bukan dia."Oh, belum sih, Mbak!" ucapnya sembari nyengir kuda. Tangan kanannya memainkan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai begitu saja.Dari jarak sedekat ini, aku dapat melihat betapa mulusnya kulit gundik Mas Gandhi ini. Bersih, putih tak bernoda. Kukunya juga sangat terawat dan indah, menandakan bahwa ia tidak pernah sama sekali menyentuh deterjen apalagi meremas kain pel. Sangat berbeda denganku yang setiap hari harus bergelut dengan semua pekerjaan rumah tangga yang seakan tidak ada habisnya. Sungguh Mas Gandhi telah memberi fasilitas yang spesial untuk wanita ini. Salon dan juga ART. Entah berapa duit yang ia habiskan setiap bulan
Wanita itu mendengkus, ia terlihat menghela napas panjang sambil memikirkan sesuatu."Sebentar, ya, Mbak. Saya telepon suami dulu," ucapnya setelah sekian lama berpikir dalam kebisuan."Oh, iya!" Aku tersentak karena sedari tadi terus berusaha memikirkan cara-cara apa untuk membalas mereka berdua.Wanita itu mengeluarkan ponsel dari saku dress yang ia kenakan. Lalu menghubungi lelaki yang sampai saat ini masih berstatus suamiku juga.Dasar pelakor! Modal merampas jatah milik orang dan mau segala macam yang wah. Memangnya dia pikir seberapa banyak uang Mas Gandhi itu sehingga bisa seenaknya saja minta ini itu pada suami orang. Nikmati saja hari-harimu itu sampai kau tahu siapa sebenarnya Mas Gandhi."Halo, Sayang! Ada apa telepon? Mas sedang meeting di kantor!" Suara pengkhianat itu terdengar dari ponsel yang dipegang Safira.Aku harus terus menguatkan hatiku karena pemandangan yang terjadi saat ini begitu menyakitkan. Safira dan Mas Gandhi saling menyapa dengan panggilan mesra. Rupan
Aku kembali memacu motorku di jalanan menuju sekolah tempat Melisa menuntut ilmu dua tahun ini. Gadis kesayanganku itu pasti sudah menungguku di dekat pintu gerbang sekolahnya.Ah ... aku tidak bisa menjelaskan betapa hancurnya perasaan ini kala menyadari rumah tangga ini tidak baik-baik saja. Entah seperti apa reaksi Melisa nanti jika mengetahui bahwa kedua orang tuanya mungkin tidak akan bisa bersama lagi. Aku sungguh tidak sudi meneruskan pernikahan ini. Sebagai istri, aku masih bisa bertahan ketika ujian ekonomi terus menghampiri. Namun tidak pada ujian orang ketiga. Tidak ada kompensasi untuk pengkhiantan.Dulu, aku tetap setia mendampingi Mas Gandhi meski ia tidak bisa menghasilkan lebih dari tiga juta setiap bulannya karena posisinya hanya sebagai karyawan biasa, sementara kebutuhan hidup kian hari kian sulit. Melisa sudah mulai sekolah dan punya banyak keinginan. Aku sampai harus berjualan online demi menopang kehidupan di kota ini namun sering kehabisan modal demi mencukupi
"Mama ....!" Melisa melambai dari kejauhan, kemudian berlari ke arahku. Aku belum juga turun dari sepeda motorku tapi gadis berseragam batik itu sudah kelihatan tidak sabar.Aku tersenyum menanggapinya, lalu menunggunya keluar dari pagar sekolah."Mama ... ayo kita belanja!" ujarnya begitu antusias. Pasalnya, besok adalah hari ulang tahun Melisa dan aku sudah berjanji untuk membelikannya kue bolu kesukaannya. Selain itu, kami harus membeli segala pernak pernik ulang tahun seperti topi, souvenir dan Snack untuk dibagikan pada teman-teman sekelasnya besok. Aku sudah mendapat izin dari wali kelasnya untuk membuat sedikit acara sebelum pulang besok. Biasanya anak-anak akan pulang lebih awal di hari jum'at.Seharusnya hal ini pun menjadi aktivitas yang menyenangkan bagiku tapi sejak mengetahui kebusukan Mas Gandhi, aku jadi kehilangan semangat. Melisa sudah mengingatkan ayahnya dari jauh-jauh hari agar ikut merayakan hari ulang tahunnya di sekolah besok. Tetapi karena Mas Gandhi harus men
"Bisa kan ditransferkan sekarang?" ulangnya setelah tak kunjung mendapat sahutan dariku.Tidak salah lagi, uang lima juta itu pasti akan dia gunakan untuk tambahan biaya dekorasi gundiknya. Safira pasti terus merengek padanya untuk mengabulkan semua keinginan wanita yang penuh dengan gengsi itu."Uang lima juta, untuk apa, Mas?" tanyaku berpura-pura terkejut. Mas Gandhi memang terbiasa menggunakan uangku tapi tidak pernah sampai sebanyak ini. Lelaki itu kerap meminta bantuanku untuk sekedar mengisi bahan bakar mobilnya tapi tidak sampai jutaan. Paling tidak hanya dua ratus ribu dan polosnya aku karena tidak pernah pula menagih uang itu kembali. Jika aku tahu uang untuk membeli bahan bakar itu digunakannya untuk mendatangi Safira, maka akan aku bakar sekalian dia dengan mobilnya."Hhmm, untuk beli oleh-oleh buat kalian!" ujarnya setelah terdiam cukup lama. Cih, oleh-oleh apa lagi yang dia maksud jika saat ini saja dia sudah kembali dari luar kota dan berada di kota yang sama denganku
Lelaki yang tidak aku tahu asal usulnya itu lantas mendekat pada Melisa kala menyadari buah hatiku itu menangis karena benda yang sudah berserakan dan tidak lagi berbentuk itu. Semua pernak-pernik ulang tahunnya sudah tidak layak pakai."Cup cup cup anak cantik, maaf ya, Om tidak sengaja! Kamu mau ulang tahun, ya?" Lelaki itu berjongkok untuk mensejajarkan diri dengan putriku. Ia mengusap air bening yang berjatuhan dari sudut netra Melisa.Bukan hanya anak itu, aku juga merasakan kesedihan yang sama. Bahkan aku lelah. Aku dan Melisa sudah mengitari mall, mengantri dan bersusah payah membawa semuanya namun harus berakhir seperti ini. Rasanya aku pun ingin menangis tetapi malu pada pria di depanku."Iya, Om. Aku mau rayain ulang tahunku di sekolah besok. Tapi semuanya sudah rusak, huaaa!" Melisa menangis semakin kencang. Harapannya untuk merayakan ulang tahun yang berkesan bersama teman-teman sekelasnya pupus sudah. Yang tertinggal hanya kue tanpa kemeriahan yang lain."Maafin Om, ya, S
Untuk pertama kalinya aku membentak dan bicara sekeras ini pada Melisa. Ia pasti sangat terkejut dengan sikapku yang dianggap telah berubah kasar padanya.Aku sungguh dilema. Kurasa hari terberat dalam hidupku selama berumah tangga adalah hari ini. Bahkan ini lebih berat dari pada ketika aku kebingungan saat beras dan gas habis secara bersamaan. Atau ketika tak bisa beli baju lebaran.Mengetahui Mas Gandhi telah membagi cinta dan materi dengan wanita bernama Safira membuatku jadi hampir setengah gila. Sakit karena materi itu bisa digantikan. Tapi jika sakit karena patah hati rasanya tak ada ganti. Walau Mas Gandhi akan datang dan membawa seribu maaf untukku. Itu tidak akan cukup mengobati luka menganga akibat menikamku dari belakang.Sakit, benci dan sedih membaur ke dasar jiwa sehingga aku tak bisa mengendalikan emosi. Aku malah melampiaskannya pada Melisa dengan bentakan kasar dan menyakitkan. Bukannya merasa puas. Aku sungguh merasa semakin bersalah.Kulihat Melisa masih tertunduk