Share

Rumah Kedua Suamiku
Rumah Kedua Suamiku
Penulis: Arumi Nazra

Bab 1 Oleh Oleh

Rumah Kedua Suamiku

[Lihat ini, bagus sekali kan? Kamu dapat oleh-oleh apa dari suamimu, Shanum?]"

Pesan dari Eva, calon istri dari teman sekantor suamiku sekaligus sahabatku di waktu SMA dulu. Ia memperlihatkan sebuah Bros motif pintu Aceh berwarna gold, manis sekali.

Dahiku mengernyit untuk beberapa saat, bukan karena memandangi keindahan Bros itu. Tapi memikirkan tentang sejak kapan Irfan--tunangan Eva sudah kembali ke Medan sementara suamiku sama sekali belum pulang.

Sepanjang ingatanku, Mas Gandhi dan Irfan memang diutus ke Aceh untuk menjadi perwakilan bagi kantor mereka selama seminggu. Namun baru tiga hari di sana, kenapa Eva sudah mendapatkan oleh-oleh?

[Wah bagus sekali. Memangnya Irfan sudah pulang?] balasku untuk memastikan dugaanku.

[Sudah. Dia sudah tiba sejak pagi dan sekarang sedang di rumahku mengantarkan oleh-oleh untuk kami sekeluarga. Kamu dapat oleh-oleh apa dari suamimu? Suami kamu sudah di rumah 'kan?]

Aku tidak lagi membalas pesan dari Eva sebab tiba-tiba hatiku diserang rasa nyeri sekaligus penasaran. Jika Irfan sudah kembali, lalu ke mana suamiku? Bukankah seharusnya mereka juga pulang bersama-sama?

Tiba-tiba ponsel yang masih dalam genggaman tanganku berdering. Tertera nama Eva di layarnya dan aku pun gegas menjawab panggilannya.

"Kok, gak jawab chat aku, sih?" tanya wanita itu dari seberang sana. Nada suaranya tidak seperti orang bertanya, namun terkesan menyelidik.

"Oh, uhm, maaf. Aku baru saja mau ngetik tapi kamu sudah menelepon," jawabku berkilah.

"Gandhi sudah pulang, 'kan? Kamu dapat oleh-oleh apa dari Aceh? Dapat Bros seperti punyaku juga 'kan? Karena Irfan bilang, mereka berbelanja bersama-sama di toko souvenir sebelum menuju bandara. Bahkan Gandhi belikan kamu banyak oleh-oleh dan makanan khas dari sana!" cecar Eva dan seketika membuat dadaku sesak. Bukan hanya kehabisan kata-kata, aku juga kehabisan ruang bagi oksigen untuk masuk ke paru-paru.

"Em iya, ya, Mas Gandhi sudah pulang. Udah, ya, nelponnya, ada tamu yang datang. Daahh!" ucapku berbohong menjadikan tamu sebagai alibi sebab tiba-tiba saja area wajahku memanas namun segera kutahan agar genangannya tidak tumpah.

Ke mana perginya Mas Gandhi? Padahal baru saja ia menelponku dan mengatakan jika ia akan pulang empat hari lagi. Namun sejak pagi tadi, memang ada yang berbeda dari suamiku. Mas Ghandi tidak lagi membuat panggilan video setiap kali menghubungiku seperti di hari-hari sebelumnya. Dimana lelaki itu selalu menunjukkan setiap lokasi yang ia kunjungi di sana terutama saat singgah di Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi kebanggan semua warga Aceh.

Beberapa kali menelepon, ia hanya menggunakan panggilan biasa. Apa sebenarnya Mas Gandhi memang sudah pulang dan ia akan memberi kejutan padaku dan Melisa?

Baiknya aku tunggu saja sampai sore ini. Barangkali Mas Gandhi masih singgah ke kantornya atau ke rumah mama dan akan tiba sebentar lagi.

Akhirnya, aku lebih memilih mengalihkan pikiran buruk ini dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah dan merekap orderan yang masuk untuk beberapa hari ke depan.

Selain menjadi ibu rumah tangga dan mengurus seorang putri yang sudah duduk di bangku Sekolah Dasar, aku juga memiliki usaha dekorasi atau backdrop yang aku rintis sejak dua tahun lalu. Bermula dari permintaan seorang teman yang memohon untuk dibuatkan dekorasi di pesta ulang tahun anaknya, akhirnya aku memberanikan diri untuk melebarkan sayap di bidang tersebut. Apalagi semua orang kerap memuji hasil dekorasi-ku yang memang sudah tumbuh sejak aku duduk di bangku SMA.

Tidak terlalu besar memang, hanya saja sejak aku mulai merintis usaha. Jasaku sudah digunakan sampai ratusan kali. Mulai dari acara ulang tahun, pertunangan, baby shower, aqiqah dan acara lainnya. Dan dari sini juga lah, aku bisa mempertebal isi rekeningku.

Kebetulan orderan yang masuk untuk lusa adalah acara baby shower sekaligus tujuh bulanan seorang wanita bernama Safira. Ia memintaku untuk mendesain backdrop di rumahnya dengan nuansa berwarna biru dan putih. Namun sebelumnya, aku harus ke rumahnya terlebih dahulu untuk meninjau lokasi sekaligus pengambilan uang muka. Begitu lah sistem yang aku terapkan selama ini, karena aku tidak ingin merugi jika tiba-tiba pelanggan membatalkan orderan secara sepihak sementara aku sudah membatalkan orderan yang lain demi memenuhi pesanannya.

Aku tidak memiliki banyak pekerja untuk membantuku. Hanya seorang supir yang akan mengangkat peralatan dekorasi, sementara untuk pengerjaan di lokasi, aku lakukan secara mandiri. Hanya sesekali meminta sepupuku jika kebetulan dalam satu hari, ada lebih dari satu orderan yang aku terima.

Mumpung kepulangan Melisa sekitar dua jam lagi. Aku memanfaatkan waktu ku untuk singgah sebentar ke rumah pelanggan yang bernama Safira itu. Kebetulan alamatnya sejurus dengan sekolah Melisa. Di sebuah perumahan yang lumayan elit di sana.

Aku berkendara dengan sepeda motor satu-satunya milikku sebab uang yang aku kumpulkan, belum cukup untuk membeli sebuah mobil. Satu-satunya mobil mewah yang menghuni garasi hanyalah milik Mas Gandhi sementara yang aku miliki, hanya mobil bak terbuka yang digunakan untuk mengangkat pernak-pernik dekorasi.

Sesampainya di perumahan bernama Bukit Sentosa itu aku langsung menuju alamat yang dituliskan Safira. Rumah bertingkat dua nomor sembilan bercat ungu.

"Mbak Lisya, ya?" tanya seorang wanita yang kebetulan sedang duduk ngemil di teras depan rumahnya. Aku mengangguk, sebab aku memang selalu memperkenalkan diri sebagai Lisya bagi para pelanggan baru. Kebetulan Safira menghubungiku melalui WA setelah menemukan nomorku di I*******m. Aku memang menggunakan akun bernama "Sweet Decoration".

"Iya, saya Lisya. Benar ini rumah Mbak Safira?" tanyaku sekali lagi. Wanita itu mengangguk lalu meminta seorang perempuan yang sepertinya pekerja di sana untuk membukakan pagar bagiku.

Setelah itu, Safira mempersilahkan aku masuk dan menjamuku dengan berbagai kudapan ringan seperti keukarah, kembang loyang, pisang salai dan manisan pala yang kesemuanya adalah makanan khas Aceh.

Aku sempat tersenyum membayangkan jika mungkin Mas Gandhi sebentar lagi akan pulang dan membawa semua makanan seperti ini ke rumah.

"Silahkan dicicipi, Mbak. Ini makanan khas Aceh semua karena suami saya baru saja pulang dari sana! Ada banyak di dapur, kalau Mbak mau, nanti saya bungkusin untuk dibawa pulang!" ujar wanita itu ramah. Safira memang terlihat sangat supel dan mudah akrab dengan orang lain. Selain itu, dia juga cantik namun agak centil.

"Oh, tidak usah. Suami saya juga sedang perjalanan pulang dari Aceh dan akan membawakan saya makanan dari sana!" tolakku halus. Bukankah begitu tadi yang dikatakan Eva? Irfan dan Mas Gandhi membeli banyak oleh-oleh makanan untuk dibawa pulang ke rumah.

Usai mencicipi manisan pala, aku pun mulai menyurvei tempat yang akan dijadikan lokasi backdrop untuk acara lusa. Safira bilang, acaranya hanya dilangsungkan sederhana bersama keluarga besar dan sahabat saja sekaligus anak yatim yang akan diundang dari panti asuhan sehingga lokasi yang dipakai hanya lah ruang keluarga yang cukup besar dan menyatu dengan dapur yang juga cukup luas.

Wanita itu membawaku ke ruang keluarga sembari mengelus-elus perut buncitnya. Dan alangkah terkejutnya aku ketika mendapati poto Mas Gandhi berjejer rapi di sana.

Dukung cerbung ini dengan tekan subscribe agar kalian dapat pemberitahuan dari kelanjutan pada bab selanjutnya. Terima kasih ,🙏🙏

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status