"Ini siapa?" tanyaku sembari menunjuk poto berukuran paling besar dan mencolok di antara yang lainnya. Aku berusaha untuk berpikir positif mungkin kebetulan saja wajah pria di poto itu memang memiliki paras yang sama dengan suamiku.
Aku sadar telah melemparkan sebuah pertanyaan konyol, sebab semua orang tentu dapat menebak jika laki-laki yang mengenakan jas hitam di samping Safira itu adalah suaminya. Apalagi mereka sedang mengenakan pakaian khas pengantin. Namun jiwa penasaran ku terus meronta-ronta untuk mempertegas dugaanku bahwa pria itu bukan lah Mas Gandhi.Aku pernah dengar nenekku bilang bahwa di dunia ini ada tujuh orang yang memiliki wajah serupa, dan mungkin pria ini adalah salah satu dari enam manusia yang memiliki wajah sama dengan Mas Gandhi."Suamiku, dong, Mbak. Masa' suami Mbak Lisya," celotehnya tertawa geli. Mungkin baginya ini lucu namun bagiku ini seperti petaka.Wajah, tubuh dan gaya lelaki itu persis sekali dengan Mas Gandhi. Dan aku harap, pertanyaan terakhir ini tidak akan menguatkan dugaanku."Kalau boleh tahu, siapa nama suami Mbak Safira?" tanyaku berusaha tenang meski irama jantung ini sudah mulai tidak beraturan."Namanya Gandhi Adrian, memangnya kenapa, Mbak?" ucapnya masih dengan tawa khasnya yang centil.Bagai disambar sebuah peluru jantungku seakan mati saat itu juga. Aku benar-benar telah kehilangan oksigen kala wanita itu menyebut dengan lengkap nama lelaki yang juga berstatus sebagai suamiku."Kami sudah menikah setengah tahun yang lalu dan Mas Gandhi langsung membelikan aku rumah ini dan juga mobil. Memangnya Mbak kenal dengan Mas Gandhi?" sambungnya lagi dan itu semakin memperjelas semuanya.Ah ... Mas Gandhi. Pria tampan yang kupikir amat setia itu rupanya telah mendua di belakangku.Luruh sudah kepercayaan yang selama ini aku titipkan padanya. Ia bahkan bukan hanya mengkhianati ku, tapi Melisa--putrinya sendiri.Bagaimana perasaan putriku jika dia tahu bahwa ayahnya akan segera memberinya seorang adik namun bukan berasal dari rahim yang dihuninya tujuh tahun lalu?"Oh ... tidak. Saya tidak kenal!" ucapku menahan gemuruh yang meraung-raung di dada."Hanya saja, saya seperti pernah melihatnya dengan wanita lain tapi bukan Mbak Safira," lanjutku datar dengan tatapan tajam menuju Poto dua sejoli yang tersenyum bahagia di sana.Aku tidak sabar menunggu respon dari wanita ini. Bagaimana jika dia tahu bahwa suami yang dibanggakannya itu sudah memiliki wanita lain selain dia!Safira harus turut merasakan bagaimana sakitnya yang aku alami sekarang ini."Hhmm, mungkin yang Mbak Lisya lihat itu istri pertamanya, Mbak!" sahut wanita itu santai dan hal itu cukup membuatku melongo. Sungguh di luar dugaan. Istri pertama? Artinya Safira tahu jika Mas Gandhi punya istri namun tidak tahu jika aku lah orangnya."Maksudnya, suami Mbak Safira ini sudah berkeluarga dan Mbak Safira istri keduanya?" tanyaku menyelidik. Sebenarnya aku sudah tidak tahan untuk terus bersandiwara namun rasa penasaranku membuatku menahan semua emosi yang hendak tumpah.Aku ingin tahu lebih jauh tentang pernikahan mereka dan juga karakter wanita di hadapanku ini agar aku mudah melampiaskan rasa sakit hati pada Mas Gandhi nanti."Sstt ... jangan keras-keras, Mbak!" ucapnya memohon sambil meletakkan jari telunjuk di bibir sebab ada beberapa orang lain lagi di rumah itu. Entah siapa mereka, sepertinya pihak catering yang hendak memberikan sampel makanan di acara baby shower lusa.Aku mengangguk sembari mengikuti pergerakan matanya yang mengawasi sekitar, meski rasanya ingin sekali mencungkil mata yang dihiasi bulu mata palsu itu."Jadi Mbak tahu kalau suami Mbak ini sudah berkeluarga. Kenapa mau, Mbak?" tanyaku lagi dengan detak jantung yang terus berpacu semakin kuat. Tiba-tiba aku merasa jijik melihat wanita ini. Bukan hanya centil, rupanya dia juga murahan. Mungkin itu jua lah yang menjadi daya tarik untuk memikat Mas Gandhi yang ternyata mata keranjang.Padahal jika dibandingkan dengan aku, Safira tidak ada apa-apanya denganku. Kecantikannya hanya karena bedak dan make up yang dipoles tebal. Sementara aku, alami dengan riasan seadanya saja.Dan menurutku, Safira adalah perawan tua yang sudah bosan melajang dan rela menikah untuk melepas gelar itu meski dengan pria beristri sekali pun. Sepertinya maduku ini usianya jauh di atasku yang masih berusia dua puluh tujuh tahun. Dari parasnya, ia seumuran dengan Mas Gandhi yang sudah berkepala tiga."Aku memang istri kedua, Mbak. Tapi itu dulu, suamiku sudah bercerai dengan istri pertama yang jelek dan gendut itu. Wajar dong kalau Mas Gandhi lebih memilih menikah lagi karena istri pertamanya sangat tidak terawat. Pria mana coba yang betah hidup dengan perempuan gendut, jelek, bau dan kerjanya hanya menghabiskan uang suami seperti Mbak Shanum itu?" cecar Safira dengan begitu percaya diri. Ia bicara sangat pelan seolah aibnya sebagai istri kedua tidak ingin terdengar orang lain lagi. Namun bodohnya, ia tidak tahu sama sekali sedang membocorkan rahasianya pada siapa.Sungguh memalukan. Bisa-bisanya Mas Gandhi mengatakan aku jelek, gendut dan bau. Ia juga mengatakan bahwa aku hanya tahu meminta padahal hari-hari yang aku lalui tak pernah terlewat begitu saja tanpa bekerja. Meskipun tidak mengenakan seragam kantoran, tapi penghasilanku mampu menyaingi gaji mereka.Safira memang cukup polos karena mengatakan hal seperti ini pada seseorang yang baru dikenalnya sepertiku. Ah ... polos atau t*lol? Tidak apa-apa, ketol*lannya telah membantuku mengungkap kebusukan Mas Gandhi.Aku tidak menyangka jika ada wanita sint*ng seperti Safira yang rela menjadi istri kedua dari seorang pria yang jelas-jelas ia ketahui sudah berkeluarga. Awalnya, aku ingin memberi pelajaran pada Mas Gandhi saja, namun setelah mendengar penuturan langsung dari Safira, aku jadi berubah pikiran. Aku ingin memberikan pelajaran berharga bagi mereka berdua.Safira bahkan tahu namaku--istri pertama sekaligus istri sah dari pria yang telah membohongi dirinya dengan mengatakan aku jelek, gendut dan tidak terawat.Sungguh sebuah lelucon seperti apa yang sedang aku hadapi sekarang. Mas Gandhi yang kukira suami yang tidak neko-neko itu rupanya telah bermain api dengan wanita sint*ng ini di belakangku.Aku banting tulang bekerja mengurus rumah, dia dan juga anaknya, tetapi apa yang aku dapat? Hanya rasa lelah dan sebuah pengkhianatan. Aku bahkan tidak mampu membeli mobil padahal kendaraan itu sangat aku butuhkan dalam bekerja namun lelaki itu malah membelikan gundiknya sebuah mobil harga ratusan juta bahkan rumah bertingkat dua ini. Sementara untuk tempat tinggalku, ia hanya memberikan rumah tua yang kemudian direnovasi setelah aku cukup sukses dengan usaha dekorasi-ku.Rumah yang kami huni sekarang telah direnovasi bentuknya demi kenyamanan bersama karena bangunannya sudah tua dan tidak kokoh, aku takut hal itu akan membahayakan kami semua. Itu pun dengan menggunakan hasil kerja kerasku karena Mas Gandhi bilang, gajinya tidak cukup jika harus membantu biaya renovasi rumah karena saat itu ia sedang mencicil mobilnya.Tapi di balik itu semua, ia telah melakukan hal yang sama sekali tidak aku duga."Memangnya Mbak Safira sudah pernah bertemu langsung dengan istri pertama suami Mbak itu?" Aku terus menyelidikinya."Mantan istri, Mbak. Mereka sudah bercerai!" sahutnya meralat ucapanku. Semakin lama berbicara, wanita ini semakin kentara tidak warasnya. Mas Gandhi sepertinya sudah salah mencari betina, lelaki itu pandai menutup rapat semuanya dariku namun wanita ini malah membongkar semuanya.Dan sejak kapan kami bercerai? Jika pernyataan itu hanya sekedar bualan demi meluluhkan hati istri simpanannya, maka aku akan menjadikan bualan itu sebuah kenyataan. Aku akan menjadikan hubungan ini berakhir."Iya, maksud saya Mbak sudah pernah ketemu dengan mantan istrinya itu?" ucapku ketus. Jika kuturuti nafsuku saat ini, aku ingin sekali menjambak rambut dan mencakar wajah wanita bernama Safira ini. Dia telah lancang merebut suamiku dan merampas semua yang seharusnya menjadi milikku. Rumah, mobil dan fasilitas ini seharusnya menjadi milikku, bukan dia."Oh, belum sih, Mbak!" ucapnya sembari nyengir kuda. Tangan kanannya memainkan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai begitu saja.Dari jarak sedekat ini, aku dapat melihat betapa mulusnya kulit gundik Mas Gandhi ini. Bersih, putih tak bernoda. Kukunya juga sangat terawat dan indah, menandakan bahwa ia tidak pernah sama sekali menyentuh deterjen apalagi meremas kain pel. Sangat berbeda denganku yang setiap hari harus bergelut dengan semua pekerjaan rumah tangga yang seakan tidak ada habisnya. Sungguh Mas Gandhi telah memberi fasilitas yang spesial untuk wanita ini. Salon dan juga ART. Entah berapa duit yang ia habiskan setiap bulan
Wanita itu mendengkus, ia terlihat menghela napas panjang sambil memikirkan sesuatu."Sebentar, ya, Mbak. Saya telepon suami dulu," ucapnya setelah sekian lama berpikir dalam kebisuan."Oh, iya!" Aku tersentak karena sedari tadi terus berusaha memikirkan cara-cara apa untuk membalas mereka berdua.Wanita itu mengeluarkan ponsel dari saku dress yang ia kenakan. Lalu menghubungi lelaki yang sampai saat ini masih berstatus suamiku juga.Dasar pelakor! Modal merampas jatah milik orang dan mau segala macam yang wah. Memangnya dia pikir seberapa banyak uang Mas Gandhi itu sehingga bisa seenaknya saja minta ini itu pada suami orang. Nikmati saja hari-harimu itu sampai kau tahu siapa sebenarnya Mas Gandhi."Halo, Sayang! Ada apa telepon? Mas sedang meeting di kantor!" Suara pengkhianat itu terdengar dari ponsel yang dipegang Safira.Aku harus terus menguatkan hatiku karena pemandangan yang terjadi saat ini begitu menyakitkan. Safira dan Mas Gandhi saling menyapa dengan panggilan mesra. Rupan
Aku kembali memacu motorku di jalanan menuju sekolah tempat Melisa menuntut ilmu dua tahun ini. Gadis kesayanganku itu pasti sudah menungguku di dekat pintu gerbang sekolahnya.Ah ... aku tidak bisa menjelaskan betapa hancurnya perasaan ini kala menyadari rumah tangga ini tidak baik-baik saja. Entah seperti apa reaksi Melisa nanti jika mengetahui bahwa kedua orang tuanya mungkin tidak akan bisa bersama lagi. Aku sungguh tidak sudi meneruskan pernikahan ini. Sebagai istri, aku masih bisa bertahan ketika ujian ekonomi terus menghampiri. Namun tidak pada ujian orang ketiga. Tidak ada kompensasi untuk pengkhiantan.Dulu, aku tetap setia mendampingi Mas Gandhi meski ia tidak bisa menghasilkan lebih dari tiga juta setiap bulannya karena posisinya hanya sebagai karyawan biasa, sementara kebutuhan hidup kian hari kian sulit. Melisa sudah mulai sekolah dan punya banyak keinginan. Aku sampai harus berjualan online demi menopang kehidupan di kota ini namun sering kehabisan modal demi mencukupi
"Mama ....!" Melisa melambai dari kejauhan, kemudian berlari ke arahku. Aku belum juga turun dari sepeda motorku tapi gadis berseragam batik itu sudah kelihatan tidak sabar.Aku tersenyum menanggapinya, lalu menunggunya keluar dari pagar sekolah."Mama ... ayo kita belanja!" ujarnya begitu antusias. Pasalnya, besok adalah hari ulang tahun Melisa dan aku sudah berjanji untuk membelikannya kue bolu kesukaannya. Selain itu, kami harus membeli segala pernak pernik ulang tahun seperti topi, souvenir dan Snack untuk dibagikan pada teman-teman sekelasnya besok. Aku sudah mendapat izin dari wali kelasnya untuk membuat sedikit acara sebelum pulang besok. Biasanya anak-anak akan pulang lebih awal di hari jum'at.Seharusnya hal ini pun menjadi aktivitas yang menyenangkan bagiku tapi sejak mengetahui kebusukan Mas Gandhi, aku jadi kehilangan semangat. Melisa sudah mengingatkan ayahnya dari jauh-jauh hari agar ikut merayakan hari ulang tahunnya di sekolah besok. Tetapi karena Mas Gandhi harus men
"Bisa kan ditransferkan sekarang?" ulangnya setelah tak kunjung mendapat sahutan dariku.Tidak salah lagi, uang lima juta itu pasti akan dia gunakan untuk tambahan biaya dekorasi gundiknya. Safira pasti terus merengek padanya untuk mengabulkan semua keinginan wanita yang penuh dengan gengsi itu."Uang lima juta, untuk apa, Mas?" tanyaku berpura-pura terkejut. Mas Gandhi memang terbiasa menggunakan uangku tapi tidak pernah sampai sebanyak ini. Lelaki itu kerap meminta bantuanku untuk sekedar mengisi bahan bakar mobilnya tapi tidak sampai jutaan. Paling tidak hanya dua ratus ribu dan polosnya aku karena tidak pernah pula menagih uang itu kembali. Jika aku tahu uang untuk membeli bahan bakar itu digunakannya untuk mendatangi Safira, maka akan aku bakar sekalian dia dengan mobilnya."Hhmm, untuk beli oleh-oleh buat kalian!" ujarnya setelah terdiam cukup lama. Cih, oleh-oleh apa lagi yang dia maksud jika saat ini saja dia sudah kembali dari luar kota dan berada di kota yang sama denganku
Lelaki yang tidak aku tahu asal usulnya itu lantas mendekat pada Melisa kala menyadari buah hatiku itu menangis karena benda yang sudah berserakan dan tidak lagi berbentuk itu. Semua pernak-pernik ulang tahunnya sudah tidak layak pakai."Cup cup cup anak cantik, maaf ya, Om tidak sengaja! Kamu mau ulang tahun, ya?" Lelaki itu berjongkok untuk mensejajarkan diri dengan putriku. Ia mengusap air bening yang berjatuhan dari sudut netra Melisa.Bukan hanya anak itu, aku juga merasakan kesedihan yang sama. Bahkan aku lelah. Aku dan Melisa sudah mengitari mall, mengantri dan bersusah payah membawa semuanya namun harus berakhir seperti ini. Rasanya aku pun ingin menangis tetapi malu pada pria di depanku."Iya, Om. Aku mau rayain ulang tahunku di sekolah besok. Tapi semuanya sudah rusak, huaaa!" Melisa menangis semakin kencang. Harapannya untuk merayakan ulang tahun yang berkesan bersama teman-teman sekelasnya pupus sudah. Yang tertinggal hanya kue tanpa kemeriahan yang lain."Maafin Om, ya, S
Untuk pertama kalinya aku membentak dan bicara sekeras ini pada Melisa. Ia pasti sangat terkejut dengan sikapku yang dianggap telah berubah kasar padanya.Aku sungguh dilema. Kurasa hari terberat dalam hidupku selama berumah tangga adalah hari ini. Bahkan ini lebih berat dari pada ketika aku kebingungan saat beras dan gas habis secara bersamaan. Atau ketika tak bisa beli baju lebaran.Mengetahui Mas Gandhi telah membagi cinta dan materi dengan wanita bernama Safira membuatku jadi hampir setengah gila. Sakit karena materi itu bisa digantikan. Tapi jika sakit karena patah hati rasanya tak ada ganti. Walau Mas Gandhi akan datang dan membawa seribu maaf untukku. Itu tidak akan cukup mengobati luka menganga akibat menikamku dari belakang.Sakit, benci dan sedih membaur ke dasar jiwa sehingga aku tak bisa mengendalikan emosi. Aku malah melampiaskannya pada Melisa dengan bentakan kasar dan menyakitkan. Bukannya merasa puas. Aku sungguh merasa semakin bersalah.Kulihat Melisa masih tertunduk
Rumah Kedua SuamikuSetelah sedikit berbasa-basi. Akhirnya, kami pun saling memperkenalkan diri. Sesuai dugaanku. Ternyata Rozi bukan lah orang sembarangan. Dia adalah seorang direktur dari sebuah perusahaan asuransi di Jakarta dan ke sini untuk melaksanakan tugasnya, yaitu mengunjungi anak cabang dari perusahaannya untuk memeriksa kinerja para karyawan serta keuangan di sana.Apalagi ada laporan jika di beberapa anak perusahaannya mengalami ketimpangan dalam masalah keuangan.Kebetulan semalam dia memang terburu-buru. Rozi yang biasanya ke mana-mana mengendarai mobil, menjadi kaku saat harus mengendarai sepeda motor di jalanan beraspal. Tapi kali ini dia datang mengendarai mobi ditemani sang sopir.Rozi mengaku padaku bahwa dia adalah seorang duda yang ditinggal mati oleh anak dan istrinya. Istrinya meninggal ketika melahirkan anak pertama mereka sedangkan putrinya menyusul sebelas bulan setelahnya. Dan ketika melihat Melisa. Pria itu langsung teringat akan mendiang putrinya. Apa lag