Share

Bab 2 Poto Suamiku

"Ini siapa?" tanyaku sembari menunjuk poto berukuran paling besar dan mencolok di antara yang lainnya. Aku berusaha untuk berpikir positif mungkin kebetulan saja wajah pria di poto itu memang memiliki paras yang sama dengan suamiku.

Aku sadar telah melemparkan sebuah pertanyaan konyol, sebab semua orang tentu dapat menebak jika laki-laki yang mengenakan jas hitam di samping Safira itu adalah suaminya. Apalagi mereka sedang mengenakan pakaian khas pengantin. Namun jiwa penasaran ku terus meronta-ronta untuk mempertegas dugaanku bahwa pria itu bukan lah Mas Gandhi.

Aku pernah dengar nenekku bilang bahwa di dunia ini ada tujuh orang yang memiliki wajah serupa, dan mungkin pria ini adalah salah satu dari enam manusia yang memiliki wajah sama dengan Mas Gandhi.

"Suamiku, dong, Mbak. Masa' suami Mbak Lisya," celotehnya tertawa geli. Mungkin baginya ini lucu namun bagiku ini seperti petaka.

Wajah, tubuh dan gaya lelaki itu persis sekali dengan Mas Gandhi. Dan aku harap, pertanyaan terakhir ini tidak akan menguatkan dugaanku.

"Kalau boleh tahu, siapa nama suami Mbak Safira?" tanyaku berusaha tenang meski irama jantung ini sudah mulai tidak beraturan.

"Namanya Gandhi Adrian, memangnya kenapa, Mbak?" ucapnya masih dengan tawa khasnya yang centil.

Bagai disambar sebuah peluru jantungku seakan mati saat itu juga. Aku benar-benar telah kehilangan oksigen kala wanita itu menyebut dengan lengkap nama lelaki yang juga berstatus sebagai suamiku.

"Kami sudah menikah setengah tahun yang lalu dan Mas Gandhi langsung membelikan aku rumah ini dan juga mobil. Memangnya Mbak kenal dengan Mas Gandhi?" sambungnya lagi dan itu semakin memperjelas semuanya.

Ah ... Mas Gandhi. Pria tampan yang kupikir amat setia itu rupanya telah mendua di belakangku.

Luruh sudah kepercayaan yang selama ini aku titipkan padanya. Ia bahkan bukan hanya mengkhianati ku, tapi Melisa--putrinya sendiri.

Bagaimana perasaan putriku jika dia tahu bahwa ayahnya akan segera memberinya seorang adik namun bukan berasal dari rahim yang dihuninya tujuh tahun lalu?

"Oh ... tidak. Saya tidak kenal!" ucapku menahan gemuruh yang meraung-raung di dada."Hanya saja, saya seperti pernah melihatnya dengan wanita lain tapi bukan Mbak Safira," lanjutku datar dengan tatapan tajam menuju Poto dua sejoli yang tersenyum bahagia di sana.

Aku tidak sabar menunggu respon dari wanita ini. Bagaimana jika dia tahu bahwa suami yang dibanggakannya itu sudah memiliki wanita lain selain dia!

Safira harus turut merasakan bagaimana sakitnya yang aku alami sekarang ini.

"Hhmm, mungkin yang Mbak Lisya lihat itu istri pertamanya, Mbak!" sahut wanita itu santai dan hal itu cukup membuatku melongo. Sungguh di luar dugaan. Istri pertama? Artinya Safira tahu jika Mas Gandhi punya istri namun tidak tahu jika aku lah orangnya.

"Maksudnya, suami Mbak Safira ini sudah berkeluarga dan Mbak Safira istri keduanya?" tanyaku menyelidik. Sebenarnya aku sudah tidak tahan untuk terus bersandiwara namun rasa penasaranku membuatku menahan semua emosi yang hendak tumpah.

Aku ingin tahu lebih jauh tentang pernikahan mereka dan juga karakter wanita di hadapanku ini agar aku mudah melampiaskan rasa sakit hati pada Mas Gandhi nanti.

"Sstt ... jangan keras-keras, Mbak!" ucapnya memohon sambil meletakkan jari telunjuk di bibir sebab ada beberapa orang lain lagi di rumah itu. Entah siapa mereka, sepertinya pihak catering yang hendak memberikan sampel makanan di acara baby shower lusa.

Aku mengangguk sembari mengikuti pergerakan matanya yang mengawasi sekitar, meski rasanya ingin sekali mencungkil mata yang dihiasi bulu mata palsu itu.

"Jadi Mbak tahu kalau suami Mbak ini sudah berkeluarga. Kenapa mau, Mbak?" tanyaku lagi dengan detak jantung yang terus berpacu semakin kuat. Tiba-tiba aku merasa jijik melihat wanita ini. Bukan hanya centil, rupanya dia juga murahan. Mungkin itu jua lah yang menjadi daya tarik untuk memikat Mas Gandhi yang ternyata mata keranjang.

Padahal jika dibandingkan dengan aku, Safira tidak ada apa-apanya denganku. Kecantikannya hanya karena bedak dan make up yang dipoles tebal. Sementara aku, alami dengan riasan seadanya saja.

Dan menurutku, Safira adalah perawan tua yang sudah bosan melajang dan rela menikah untuk melepas gelar itu meski dengan pria beristri sekali pun. Sepertinya maduku ini usianya jauh di atasku yang masih berusia dua puluh tujuh tahun. Dari parasnya, ia seumuran dengan Mas Gandhi yang sudah berkepala tiga.

"Aku memang istri kedua, Mbak. Tapi itu dulu, suamiku sudah bercerai dengan istri pertama yang jelek dan gendut itu. Wajar dong kalau Mas Gandhi lebih memilih menikah lagi karena istri pertamanya sangat tidak terawat. Pria mana coba yang betah hidup dengan perempuan gendut, jelek, bau dan kerjanya hanya menghabiskan uang suami seperti Mbak Shanum itu?" cecar Safira dengan begitu percaya diri. Ia bicara sangat pelan seolah aibnya sebagai istri kedua tidak ingin terdengar orang lain lagi. Namun bodohnya, ia tidak tahu sama sekali sedang membocorkan rahasianya pada siapa.

Sungguh memalukan. Bisa-bisanya Mas Gandhi mengatakan aku jelek, gendut dan bau. Ia juga mengatakan bahwa aku hanya tahu meminta padahal hari-hari yang aku lalui tak pernah terlewat begitu saja tanpa bekerja. Meskipun tidak mengenakan seragam kantoran, tapi penghasilanku mampu menyaingi gaji mereka.

Safira memang cukup polos karena mengatakan hal seperti ini pada seseorang yang baru dikenalnya sepertiku. Ah ... polos atau t*lol? Tidak apa-apa, ketol*lannya telah membantuku mengungkap kebusukan Mas Gandhi.

Aku tidak menyangka jika ada wanita sint*ng seperti Safira yang rela menjadi istri kedua dari seorang pria yang jelas-jelas ia ketahui sudah berkeluarga. Awalnya, aku ingin memberi pelajaran pada Mas Gandhi saja, namun setelah mendengar penuturan langsung dari Safira, aku jadi berubah pikiran. Aku ingin memberikan pelajaran berharga bagi mereka berdua.

Safira bahkan tahu namaku--istri pertama sekaligus istri sah dari pria yang telah membohongi dirinya dengan mengatakan aku jelek, gendut dan tidak terawat.

Sungguh sebuah lelucon seperti apa yang sedang aku hadapi sekarang. Mas Gandhi yang kukira suami yang tidak neko-neko itu rupanya telah bermain api dengan wanita sint*ng ini di belakangku.

Aku banting tulang bekerja mengurus rumah, dia dan juga anaknya, tetapi apa yang aku dapat? Hanya rasa lelah dan sebuah pengkhianatan. Aku bahkan tidak mampu membeli mobil padahal kendaraan itu sangat aku butuhkan dalam bekerja namun lelaki itu malah membelikan gundiknya sebuah mobil harga ratusan juta bahkan rumah bertingkat dua ini. Sementara untuk tempat tinggalku, ia hanya memberikan rumah tua yang kemudian direnovasi setelah aku cukup sukses dengan usaha dekorasi-ku.

Rumah yang kami huni sekarang telah direnovasi bentuknya demi kenyamanan bersama karena bangunannya sudah tua dan tidak kokoh, aku takut hal itu akan membahayakan kami semua. Itu pun dengan menggunakan hasil kerja kerasku karena Mas Gandhi bilang, gajinya tidak cukup jika harus membantu biaya renovasi rumah karena saat itu ia sedang mencicil mobilnya.

Tapi di balik itu semua, ia telah melakukan hal yang sama sekali tidak aku duga.

"Memangnya Mbak Safira sudah pernah bertemu langsung dengan istri pertama suami Mbak itu?" Aku terus menyelidikinya.

"Mantan istri, Mbak. Mereka sudah bercerai!" sahutnya meralat ucapanku. Semakin lama berbicara, wanita ini semakin kentara tidak warasnya. Mas Gandhi sepertinya sudah salah mencari betina, lelaki itu pandai menutup rapat semuanya dariku namun wanita ini malah membongkar semuanya.

Dan sejak kapan kami bercerai? Jika pernyataan itu hanya sekedar bualan demi meluluhkan hati istri simpanannya, maka aku akan menjadikan bualan itu sebuah kenyataan. Aku akan menjadikan hubungan ini berakhir.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status