Untuk pertama kalinya aku membentak dan bicara sekeras ini pada Melisa. Ia pasti sangat terkejut dengan sikapku yang dianggap telah berubah kasar padanya.Aku sungguh dilema. Kurasa hari terberat dalam hidupku selama berumah tangga adalah hari ini. Bahkan ini lebih berat dari pada ketika aku kebingungan saat beras dan gas habis secara bersamaan. Atau ketika tak bisa beli baju lebaran.Mengetahui Mas Gandhi telah membagi cinta dan materi dengan wanita bernama Safira membuatku jadi hampir setengah gila. Sakit karena materi itu bisa digantikan. Tapi jika sakit karena patah hati rasanya tak ada ganti. Walau Mas Gandhi akan datang dan membawa seribu maaf untukku. Itu tidak akan cukup mengobati luka menganga akibat menikamku dari belakang.Sakit, benci dan sedih membaur ke dasar jiwa sehingga aku tak bisa mengendalikan emosi. Aku malah melampiaskannya pada Melisa dengan bentakan kasar dan menyakitkan. Bukannya merasa puas. Aku sungguh merasa semakin bersalah.Kulihat Melisa masih tertunduk
Rumah Kedua SuamikuSetelah sedikit berbasa-basi. Akhirnya, kami pun saling memperkenalkan diri. Sesuai dugaanku. Ternyata Rozi bukan lah orang sembarangan. Dia adalah seorang direktur dari sebuah perusahaan asuransi di Jakarta dan ke sini untuk melaksanakan tugasnya, yaitu mengunjungi anak cabang dari perusahaannya untuk memeriksa kinerja para karyawan serta keuangan di sana.Apalagi ada laporan jika di beberapa anak perusahaannya mengalami ketimpangan dalam masalah keuangan.Kebetulan semalam dia memang terburu-buru. Rozi yang biasanya ke mana-mana mengendarai mobil, menjadi kaku saat harus mengendarai sepeda motor di jalanan beraspal. Tapi kali ini dia datang mengendarai mobi ditemani sang sopir.Rozi mengaku padaku bahwa dia adalah seorang duda yang ditinggal mati oleh anak dan istrinya. Istrinya meninggal ketika melahirkan anak pertama mereka sedangkan putrinya menyusul sebelas bulan setelahnya. Dan ketika melihat Melisa. Pria itu langsung teringat akan mendiang putrinya. Apa lag
"Wah ... mama cantik sekali!" puji Melisa saat memindai penampilan baruku. Aku baru selesai mengambil tiga paket perawatan sekaligus. Rambut, wajah dan badan di salon terpercaya di kota ini. Walau harus merogoh kocek yang cukup dalam. Namun usahaku ini tidak sia-sia. Aku tampil glow up dengan kulit yang lebih cerah dan bersih.Rambutku yang ikal telah mendapat perawatan keratin sehingga tampil lurus dan bersinar."Beneran?" godaku lagi pada Puteri semata wayangku. Melisa kubawa juga ke salon untuk menemaniku karena aku tak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Anak itu menungguku di tempat bermain khusus anak yang memang disediakan oleh pihak salon."Benar, Ma. Mama cantik sekali," celotehnya dengan tatapan kagum melihat tampilan ibunya. Senyum merekah tak lepas dari wajahku sedari tadi, karena sejak mematut diri di cermin, aku menyadari bahwa aku masih sangat cantik dan memikat.Aku masih lebih cantik ketimbang Safira yang pandai berpoles make up itu.Setelah melakukan semua pe
Tiba lah hari yang aku tunggu-tunggu. Di mana aku telah mempersiapkan kejutan istimewa untuk Safira dan juga Mas Gandhi. Aku akan menjadikan kejutan manis ini sebagai hadiah spesial di hari bahagia mereka. Mereka tak akan bisa melupakan momen itu sampai kapan pun. Bahkan kejutan ini akan menjadi mimpi buruk di setiap malam keduanya."Belajar yang benar ya, Sayang. Mama sudah penuhi janji untuk merayakan ulang tahunmu bersama teman-teman. Jadi, kamu gak boleh bikin Mama kecewa!" ujarku pada Melisa di sela acara sarapan kami.Anak gadisku itu tersenyum riang dan mengangguk mengiyakan. Melisa terlihat sangat bahagia hari ini. Selain karena pesta ulang tahunnya yang berjalan sempurna, juga karena ia tahu bahwa papanya akan pulang dari luar kota besok. Akan tetapi, sebelum Mas Gandhi menginjakkan kaki di rumah ini. Aku akan lebih dahulu mengejutkannya sehingga kakinya itu akan merasa berat untuk datang ke rumah yang sudah ia tinggalkan selama sepekan ini. Biar saja ia tak kembali ke sini
"S-shanum!" ucap Mas Gandhi kaget. Jarak kami tidak terlalu jauh, sehingga aku masih bisa mendengar suara Mas Gandhi dan bisa melihat bagaimana raut wajah yang pias itu.Mas Ghandi melihatku seperti melihat hantu. Bibirnya bergerak ingin mengucapkan sesuatu namun urung dilakukan karena Safira telah memotong ucapannya."Shanum? Mbak Lisya?!" Safira kaget. Ia masih mengenaliku sebagai Lisya--pemilik dekorasi yang ia pakai jasanya.Mata Safira tak bisa diam, ia menatap aku dan Mas Gandhi bergantian dengan sorot tajam penuh tanda tanya."Jadi, itu istrimu, Mas?" Safira menyentak lengan Mas Gandhi, tetapi yang ditanya hanya diam tak bersuara."Ya, Safira. Aku Alisya Shanum, pemilik sweet decoration sekaligus istri dari lelaki yang kau sebut sebagai suami," ucapku karena Mas Gandhi urung berkata apapun. Lelaki pengkhianat itu pasti masih shock berat.Aku menjelaskan dengan tatapan yang lurus pada wanita itu. Safira terperangah dengan mulut yang terbuka lebar.Sama halnya Mas Gandhi, Safira
Plak, Plak!Sebagai istri yang selalu patuh, aku tak pernah berani melakukan ini sebelumnya. Sekedar memukul nyamuk di pipinya pun aku tak sanggup. Tetapi apa balasan yang ia berikan atas baktiku ini? Ia malah menghadiahi luka batin yang mungkin tak akan bisa sembuh."Shanum!" sentaknya dengan mata yang memerah. Pria itu berhasil memegangi pergelangan tanganku tetapi aku lekas menepisnya. Jijik sekali rasanya disentuh oleh pria ini lagi."Lepaskan!" Aku mendorong bahunya hingga Mas Gandhi mundur beberapa langkah ke belakang. Tak ingin menyerah begitu saja, ia berlari ke hadapanku untuk mencegah langkah kakiku. "Mau apa lagi?" hardikku. Hatiku yang panas semakin terbakar oleh tingkahnya yang terus saja menghalangi kepergianku. "Jangan pergi, Shanum. Aku akan jelaskan semuanya!" rengeknya memelas iba dariku. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, Mas. Karena semuanya sudah sangat jelas. Kau punya perempuan lain selain aku dan kau akan memiliki dua anak sebentar lagi! Jadi, urus saja istr
Rumah Kedua Suamiku[Lihat ini, bagus sekali kan? Kamu dapat oleh-oleh apa dari suamimu, Shanum?]"Pesan dari Eva, calon istri dari teman sekantor suamiku sekaligus sahabatku di waktu SMA dulu. Ia memperlihatkan sebuah Bros motif pintu Aceh berwarna gold, manis sekali.Dahiku mengernyit untuk beberapa saat, bukan karena memandangi keindahan Bros itu. Tapi memikirkan tentang sejak kapan Irfan--tunangan Eva sudah kembali ke Medan sementara suamiku sama sekali belum pulang. Sepanjang ingatanku, Mas Gandhi dan Irfan memang diutus ke Aceh untuk menjadi perwakilan bagi kantor mereka selama seminggu. Namun baru tiga hari di sana, kenapa Eva sudah mendapatkan oleh-oleh?[Wah bagus sekali. Memangnya Irfan sudah pulang?] balasku untuk memastikan dugaanku.[Sudah. Dia sudah tiba sejak pagi dan sekarang sedang di rumahku mengantarkan oleh-oleh untuk kami sekeluarga. Kamu dapat oleh-oleh apa dari suamimu? Suami kamu sudah di rumah 'kan?]Aku tidak lagi membalas pesan dari Eva sebab tiba-tiba hati
"Ini siapa?" tanyaku sembari menunjuk poto berukuran paling besar dan mencolok di antara yang lainnya. Aku berusaha untuk berpikir positif mungkin kebetulan saja wajah pria di poto itu memang memiliki paras yang sama dengan suamiku.Aku sadar telah melemparkan sebuah pertanyaan konyol, sebab semua orang tentu dapat menebak jika laki-laki yang mengenakan jas hitam di samping Safira itu adalah suaminya. Apalagi mereka sedang mengenakan pakaian khas pengantin. Namun jiwa penasaran ku terus meronta-ronta untuk mempertegas dugaanku bahwa pria itu bukan lah Mas Gandhi.Aku pernah dengar nenekku bilang bahwa di dunia ini ada tujuh orang yang memiliki wajah serupa, dan mungkin pria ini adalah salah satu dari enam manusia yang memiliki wajah sama dengan Mas Gandhi."Suamiku, dong, Mbak. Masa' suami Mbak Lisya," celotehnya tertawa geli. Mungkin baginya ini lucu namun bagiku ini seperti petaka.Wajah, tubuh dan gaya lelaki itu persis sekali dengan Mas Gandhi. Dan aku harap, pertanyaan terakhir i