Ponselku berdering ketika Bondi sedang memberikan jawaban pada Irene mengenai hal-hal apa yang harus Irene lakukan untuk menarik perhatian Maudrick. Aku permisi sebentar, pindah ke salah satu kursi di bar sambil membawa minuman.
“Hai Ram, kenapa?” Caca menelpon.
“Hai Ca, lagi dimana sekarang?” tanyaku.
“Masih di gudang nih, ngurus baju-baju. Ada Fadhil juga. Lo mau tanya apa tadi?” Suara plastik bergesekkan menjadi latar suara pembicaraan kami.
“Oh, gue ganggu engga? Lo masih sibuk ya?” Selagi menunggu jawaban Caca, aku mengecek Line, apakah ada pesan dari Maria atau tidak. Dan sekarang, pesanku hanya dibaca olehnya, namun belum dijawab.
“Engga kok, enggapapa, ini lagi masukin baju ke packaging aja,” kata Caca, diikuti suara Fadhil. “Oy Ram, ngobrol aja enggapapa, lagi engga begitu sibuk kok.”
Aku tidak percaya jika mereka sedang tidak sibuk, karena di Indonesia sekarang pukul 8 pagi dan mereka sudah bangun dari dini
Aku gugup bukan main dan minta waktu sebentar, berdiri agak jauh dari Irene yang memutuskan untuk duduk-duduk di bangku taman. “Halo, Maria?” “Iya,” katanya singkat. Tidak ada nada kesenangan yang biasanya hadir jika kami sedang berkontak lewat Line free-call. “Mar?” kataku lagi, dengan nada semanis mungkin. “Iya kenapa? Tadi katanya mau telpon,” kata Maria, kesal. “Mar, aku minta maaf ya..” “Minta maaf buat apa?” Nada bicaranya terdengar ketus. “Kemarin aku cerita tentang Sarah ke kamu, dan aku seharusnya engga ingat-ingat kembali ke masa itu.” Maria diam, tidak ada suara apapun. “Mar?” kataku lagi. “Apa sih?” katanya dengan nada bicara yang tinggi. Aku diam karena kaget. Baru pertama kali aku mendengar Maria marah. Di ujung telepon, tiba-tiba aku mendengar suara tangis terisak yang semakin lama semakin keras. Itu suara Maria. “Mar … Kamu kenapa?” tanyaku lembut.
Sabtu pagi ini aku hanya akan keluar sebentar untuk berolahraga, dan kemudian sampai siang akan kukerjakan penelitianku di apartemen. Lalu setelah itu aku akan makan siang ditemani Maria. “Irene!” sapaku, melihat Irene memakai pakaian olahraga dan sepertinya mau berlari. “Hei Ram! Mau olahraga juga? Yuk bareng!” Kami berlari di sepanjang trotoar menuju ke komplek universitas. Di dalam ada beberapa orang yang sedang berolahraga juga. Dua-tiga orang membawa serta anjing peliharaannya. Kami sedang berbincang mengenai usaha Irene untuk menarik perhatian Maudrick di taman kampus yang gagal total, karena tiba-tiba tanpa menyiapkan rencana tambahan, Irene melihat Maudrick tersenyum dan berjalan mendekati seorang wanita dengan potongan tubuh seperti model, berambut pira
Astaga, aku pacaran dengan Maria? Aku bangun dan meregangkan tubuh di atas ranjang kamar apartemenku yang berhimpit dengan dinding di ujung ruangan. Di sampingnya ada jendela yang di bawahnya kutaruh meja belajar supaya matahari dapat masuk ketika aku mengerjakan penelitian. Pintu yang menuju ke teras apartemen hampir selalu kubuka karena dengan begitu semilir angin dapat masuk dan biasanya berhasil membuatku terlelap, jika aku sedang tidak ada kerjaan. Kubeli tanaman anggrek berwarna ungu untuk menghiasi meja kecil di sudut teras, sekaligus sebagai pengingatku akan Maria. Di ujung ranjangku ada toilet sekaligus tempatku mencuci pakaian. Lemari kayu yang kuisi dengan buku-buku sekaligus pakaian berdiri diapit pintu masuk dan lorong kecil menuju area dapur. Aku membeli bahan-bahan makananku sendiri di hari Minggu, dan
Halo, ini Sepenuhnya.Manusia! Semoga kalian semua dalam keadaan sehat & bahagia. Maaf ya baru bisa update cerita lagi, dikarenakan penulis sempat sakit dua kali dan ada beberapa hal yang perlu diurus! Semoga ke depannya penulis bisa rutin upload setidaknya sekali seminggu. Mohon dukungan kalian semua ya! Kalau berkenan, bisa mampir juga ke medsos penulis @sepenuhnya.manusia. Mari kita ramaikan! HAHA Dan kalau ada kritik serta saran, boleh banget ditulis di sini atau kirim pesan ke penulis ya! Akhir kata, di akhir tahun ini juga semoga segala cita-cita baik kalian semua ke depannya mengenai hidup masing-masing dapat Tuhan wujudkan, Amin. Trims ya reader! *sending so much love*
Surya sedang main ke apartemenku karena katanya bosan di apartemennya. Ia sedang duduk-duduk di lantai, bergumam tidak jelas sementara aku sedang membuat makan siang untuk kami berdua di dapur. “Ram, ada telpon nih dari Maria.” Surya berteriak karena suaranya kalah dengan letupan minyak di atas wajan. Aku menyuruhnya menggantikanku memasak di dapur sementara kuangkat video-call dari Maria. “Hai, sayang,” kataku dulu. “Hai, sayang. Kamu lagi apa?” “Aku lagi masak, ada Surya juga di sini, dia bosen di apartemennya, katanya.&
Semakin hari rasa cintaku pada Maria semakin bertambah, dan aku merasakan hal itu terjadi juga pada Maria untukku. Beberapa kali kami mengirimkan foto masing-masing sedang tiduran dan berpesan I love you ketika sambungan telepon atau video sudah kami matikan. Jika saja manusia tidak harus melakukan apa-apa selain mencintai, mungkin hal itulah yang akan kami lakukan tanpa paksaan, karena memang kami sedang cinta-cintanya. Namun beberapa kali juga pertengkaran hadir di dalam hubungan ini. Ketika Maria sedang menstruasi lebih seringnya. Namun ada juga yang nyaris fatal dariku, ketika aku karena tidak enak dengan teman-teman Indonesia-ku yang lain, akhirnya kuputuskan untuk minum banyak sekali bir seperti mereka. Hal itu menyebabkan aku mabuk dan perangaiku dinilai gila oleh Maria. “Sayang, kamu mabok ya?” tanya Maria lewat
Foto kami berlima: aku, Bondi, Irene, Vino, dan Surya kupegang ketika pesawat yang akan membawaku pulang ke Indonesia sudah akan terbang. Di belakang kami gedung universitas yang selama ini jadi tempat kami menimba ilmu. Aku dan Bondi sudah lulus. Kulemparkan toga ke atas dan Bondi juga. Irene tertawa ceria sambil memeluk Bondi, ketika foto ini diambil. Di sampingku tidak ada Maria seperti yang kuinginkan, namun aku tau bahwa kurang lebih dalam 24 jam lagi, wajahnya pasti ada di hadapanku dan aku akan memeluknya erat. Bondi memutuskan untuk tetap tinggal di Amerika untuk bekerja, menunggu setahun lagi Irene lulus. Vino dan kekasihnya berencana tinggal menetap di sana sementara Surya pasti akan kembali ke Indonesia karena harus melanjutnya perusahaan ayahnya. Aku bersyukur luar biasa memiliki mereka semua di tiga tahun perkuliahanku. Sebe
Kurang lebih sudah dua tahun berlalu semenjak aku pulang ke Indonesia dan akhirnya menjadi dosen untuk jurusan geografi di UI. Maria dan aku masih bersama, kami semakin dekat dari hari ke hari karena tidak ada keraguan untuk membuka diri satu sama lain. Pengenalan yang menurutku paling menyenangkan selama hidupku adalah ketika aku mengenalnya. Hampir setiap hari kami bertemu jika aku sudah selesai mengajar atau ketika Maria sudah selesai bertemu dengan editornya di kantor penerbitan. Maria sudah mengeluarkan buku terbarunya yang berjudul Angsa Merah, bercerita tentang perempuan dan segala ketidakpercayaan dirinya dari ia kecil sampai dewasa. “Aku hampir selalu nulis cerita menurut pengalamanku, sayang,” katanya waktu itu, ketika kami sedang makan siang bersama. Maria bercerita bahwa tokoh utama di dalam bukunya itu a