Proses ijab qobul sudah selesai dilaksanakan. Tentu saja karena Pak Hasan memohon kepada Reza agar bisa membantunya keluar dari rasa malu ini.
Awalnya Reza menolak, dia tidak ingin melakukan hal besar seperti ini tanpa diketahui Maya. Namun, apa boleh buat, Pak Hasan meminta dengan setengah memaksa agar Reza bersedia. "Terima kasih, Za. Terima kasih kamu sudah membantu Papa keluar dari masalah ini." ucap Pak Hasan sambil menggenggam tangan Reza dengan penuh haru. Pak Fahmi dan Bu Habibah hanya bisa diam sambil beristigfar. Mereka masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi, antara percaya dan tidak percaya. Awalnya mereka datang hanya untuk menjadi tamu undangan, begitupun dengan putranya. Akan tetapi, takdir berkata lain. Reza tiba-tiba menggantikan posisi mempelai pria, tapi mempelai wanitanya tidak tahu. "Terima kasih juga Abi Fahmi, Umi Habibah. Semoga ini jalan yang terbaik!" seru Pak Hasan bahagia. Rasa panik yang tadi tiba-tiba hadir kini sudah berubah menjadi pancaran kebahagiaan. "Tidak bisa saya bayangkan kalau kalian tidak ada, mungkin kamu sudah ikut pingsan." lanjut Pak Hasan sambil memandangi wajah Maya yang masih belum sadarkan diri. Reza yang tadi sudah lebih tenang, kini kembali merasa canggung dan serba-salah ketika melihat wajah Maya. "Yah, seharusnya aku tidak ada di sini." batinnya merasa bersalah. "Kapan anak saya anak sadar, Dok? Kenapa sampai sekarang masih belum sadarkan diri?" tanya Pak Hasan tidak sabar. Sementara istrinya Bu Nina sejak tadi sudah berada di samping Maya sambil membacakan doa-doa. "Enggak akan lama lagi. Sebaiknya kau berdoa agar Maya tidak marah, bukan malah gelisah!" Dokter yang sudah memeriksa keadaan Maya itu menatap sinis ke arah Pak Hasan. "Sebagai kakakku, harusnya kau juga bantu doa." Pak Hasan tidak mau kalah. "Terserah." Daripada mendengarkan perkataan yang tidak masuk akal, Reza memilih untuk pergi ke dapur, berusaha menenangkan diri sambil menanyakan tentang hubungan Maya dengan laki-laki yang bernama Galang itu kepada orang-orang rumahnya selama ini. "Em, kami hanya tahu mereka selama ini berhubungan baik, Mas Reza." ucap salah satu anggota dapur. "Baik di mata Mbak Bela seperti apa?" tanya Reza lebih jelas. Dia tidak ingin dirinya berada di tengah-tengah masalah ini, tapi tidak mengetahui tentang apapun. "Iya, seperti yang tidak ada masalah. Minggu kemarin pun Mas Galang ke sini dan membawakan Mbak Maya banyak barang," sahut yang lainnya. Karena penilaian orang-orang dapur terhadap hubungan Maya dan juga Galang baik, Reza tidak bisa menggali informasi yang dinginkan. Reza menyangka, pasti ada sesuatu hal yang membuat hubungan mereka merenggang di detik-detik pernikahan. Akan tetapi, apa penyebabnya masih belum diketahui. Saat ini Reza belum bisa mendapatkan sedikit pun informasi yang ingin diketahuinya. Reza pun keluar dari dapur, tapi telinganya mendengar sesuatu. "Apa kamu gak dengar mereka berantem Minggu lalu?" tanya orang yang berada di samping Bella dan Reza tahu betul ini suara siapa. Sengaja menghentikan langkah, tapi juga tidak berbalik kembali ke dapur. Reza hanya diam di tempat untuk bisa mendengar dan memastikan siapa yang bicara. Rumah ini sudah seperti rumah keduanya, jadi sudah mengenali suara dari orang-orang di sini. "Bell, apa kamu tega berbohong pada Mas Reza?" tanya orang yang sama kepada kepada Bella. Reza semakin tidak mengerti, apa sebenarnya yang disaksikan Bella Minggu lalu sampai tidak mau bicara. "Aku juga tidak tahu, yang jelas, Mbak Maya seperti tidak terima kalau Mas Galang mau meminta putus." ucap Bella lirih dan itu membuat Reza kecewa. Meminta putus ketika pernikahan akan digelar seminggu lagi sama saja mencoba mempermalukan pasangan. **** "Aku tetap ingin melanjutkan pernikahan ini!" teriakan Maya mulai terdengar, pertanda kalau Maya sudah sadar. Reza langsung mengambil langkah besar untuk sampai di kamarnya. Namun, langkahnya harus terhenti ketika yang dipanggilnya adalah laki-laki lain. "Hanya dengan Mas Galang aku ingin menikah!" teriaknya lagi. Pak Fahmi yang memperhatikan semuanya hanya bisa memberikan semangat kepada putranya. "Abi yakin kamu bisa, bukankah cinta itu butuh pengorbanan dan tanpa pamrih?" Lagi, Pak Fahmi mengingatkan kalau cinta itu tanpa pamrih, tanpa syarat, dan memerlukan pengorbanan. Jangan sampai kita memaki ketika tidak mendapatkan orang yang kita cintai. Kalau sampai terjadi, tandanya cinta kita pamrih. Tidak tulus dan tidak melambangkan cinta sejati. Reza mengambil nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Berusaha untuk menyiapkan hatinya terlebih dahulu sebelum masuk ke kamar Maya. "Reza!" Maya langsung berteriak ketika melihat Reza masuk ke kamarnya dan memeluknya erat. "Reza, kenapa Mas Galang belum datang, kenapa? Dia bilang sendiri padaku kalau dia mencintaiku. Tapi kenapa dia malah tidak datang?" rentetan pertanyaan keluar dari bibirnya sambil menangis membasahi pakaian yang Reza kenakan. Karena mereka sudah terikat pernikahan, Reza membalas pelukannya, dan hal itu membuat Maya merasa heran. "Kamu Reza, kan?" "Iya." Reza menjawab singkat. "Reza!" Maya kembali memanggilnya dan memeluknya seperti orang yang sudah kehilangan arah, akal sehatnya, dan juga kehilangan kesadaran akan dirinya. Ternyata cinta bisa membuat orang sehat menjadi sakit dan menjadi tidak waras itu benar. Jika kita tidak bisa mengendalikan cinta, maka cinta itu akan meledak, hancur lebur tidak tersisa. "Galang ninggalin aku, Za." ucapnya sesenggukan. Orang tuanya Maya hanya bisa menangis tanpa suara ketika menyaksikan kondisi anak sulungnya yang sangat memperihatinkan. "Aku sungguh gak sanggup, Mas," ucap Bu Nina lirih, tubuhnya mendadak lemas tidak bertenaga. Dengan berbagai cara, Reza berhasil membuat Maya tenang. "Minum dulu, ya." Bu Nina menyerahkan segelas air putih, tapi Maya tidak merespon. Dia hanya diam sambil menggenggam tangan Reza. "Katakan padaku, Za, apa Mas Galang akan datang?" tanya Maya lagi membuat Bu Nina langsung pergi meninggalkan kamar. Pak Hasan yang juga akan ikut keluar langsung ditahan Pak Fahmi. "Jangan keluar dulu, Pak. Saya mohon Bapak segera mengatakan kepada Maya, kalau sekarang suaminya adalah Reza." bisik Pak Fahmi. Pak Hanya hanya mengangguk dan duduk di samping Maya untuk memberitahu dan Reza pun langsung menjauh. Reza tahu betul bagaimana sikap Maya yang selalu ingin mendapatkan apa yang dia inginkan dan akan marah-marah jika tidak bisa. Bahkan sampai menyimpan dendam hingga bertahun-tahun. "Maya, dengarkan Papa baik-baik, Nak." Pak Hasan menyentuh kedua pipinya. "Mulai saat ini, laki-laki yang akan selalu berada di sisimu dalam suka dan duka bukan lagi Galang." ucapnya lembut dan hati-hati. "Papa bicara apa? Aku tidak ingin menikah selain dengan Mas Galang!" Maya menjawabnya tegas. "Tapi yang tadi melakukan ijab qobul bukanlah Galang, melainkan laki-laki yang sekarang sedang ada di depan matamu." jelas Pak Hasan. Maya langsung menatap laki-laki yang ada di hadapannya. Reza. "Permainan macam apa ini? Reza, aku tahu kau punya perasaan padaku, aku bisa merasakannya. Tapi tolong, jangan memanfaatkan kesempatan ini untuk mendapatkan aku." ucap Maya membuat Reza terdiam membeku. "Aku hanya mau Mas Galang! Bukan dirimu!" teriaknya sambil menarik kemeja Reza.KEIHKLASAN CINTA Lima Puluh Enam Dengan penuh keberanian, Nia mengendarai mobil Reza dengan kecepatan tinggi. Sementara Maya hanya bisa memeluk putranya erat sambil berteriak minta tolong, dan hatinya tidak berhenti beristigfar. "Hentikan, Nisa! Tolong hentikan!" Maya terus saja berteriak dengan harapan Nia akan menghentikan kegilaannya. Sementara Nia hanya tertawa terbahak-bahak. "Tidak, aku sudah berani berbuat sejauh ini. Mana mungkin aku akan berhenti." Nia kembali tertawa. "Siapa suruh tidak juga mengikuti kata-kataku untuk meninggalkan Reza, hah? Sekarang rasakan sendiri akibatnya. Jika aku tidak bisa mendapatkan Reza, maka kamu juga gak akan bisa!" teriaknya sambil tersenyum lebar melihat Maya yang ketakutan juga Reza kecil yang ikut menangis dan menjerit. Tidak mau mengundur waktu, Nia menabrakkan mobilnya ke sebuah pohon besar, tapi tidak seluruhnya. Hanya yang di depan Maya yang ditabrakkan Nia ke arah pohon besar itu, jadi dirinya masih sadar ketika pintu mobil yang ad
Nia bukan orang yang mudah menyerah, meksipun kini hanya dirinya saja yang melakukan tindakan tercela itu, menjadi orang ketika antara Reza dan Maya. "Jika aku tidak bisa membuat mereka berpisah dengan halus, aku akan menghancurkan kepercayaan yang ada di dalam diri mereka terhadap pasangannya." Nia tersenyum menyeringai sambil melihat foto Maya yang diberi tanda 'X'. "Ya, benar. Aku akan membuat kamu sehancur-hancurnya!" teriaknya lagi, lalu tertawa terbahak-bahak. Nia sangat geram ketika tahu Tian, Galang, dan juga Tari selaku adik angkatnya sendiri ternyata sudah menyerah terhadap perasannya. Mereka tidak lagi mau berjuang untuk mendapatkan apa yang seharusnya diperjuangkan. Sekarang, Nia sudah mulai kehilangan kendali. Dia akan melakukan cara yang tidak pernah terpikir sebelumnya. "Jangan salahkan aku jika membuatmu hancur, Maya," gumamnya lagi. Sementara Maya sendiri sedang dijemput oleh Abah Farhan dan semua keluarga besarnya. Sekarang Reza dan Maya sedang berpamitan kep
Galang meremas pergelangan tangannya ketika melihat keromantisan wanita yang pernah ada di kehidupannya dengan laki-laki yang menjadi pengganti dirinya. "Perjuangkan sampai titik darah penghabisan!" Nia tiba-tiba menyahut perkataan Galang. Ternyata selama ini yang selalu memperhatikan gerak-gerik Maya dan Reza bukan hanya Tian, tapi juga Nia dan Galang. "Aku sepertinya sudah tidak ada tempat lagi di hatinya." Galang berbicara tanpa melihat lawannya. Melihat Maya memberikan seluruh cinta dan perhatian kepada suaminya membuat rasa iri hati di dalam diri Galang semakin menjadi. "Makanya perjuangkan!" Nia menjadi emosi ketika Galang terlihat mau menyerah. "Jangan jadi laki-laki yang lembek kalau mau mendapatkan apa yang diinginkan!" Sebisa mungkin Nia kembali mencoba untuk membuat semangat Galang kembali bangkit, tapi sepertinya masih belum berhasil. Walaupun rasa cinta untuk Maya masih tersimpan dalam, tapi Galang tidak mau merusak hal yang menjadi kebahagiaan Maya. "Dulu, aku per
Mata Reza menatap kertas yang dipegangnya dengan tidak percaya, tapi tatapan dari Bu Ningsih, dan keluarganya membuat dirinya yakin kalau surat keterangan ini benar. Di dalam surat itu dinyatakan kalau Maya tengah mengandung yang usianya kini sudah enam mingguan. Reza kembali memeluk Maya dengan erat. Kebahagiaan yang tertumpuk dalam dadanya sungguh tidak bisa diungkapkan lagi. Kali ini dirinya benar-benar diuji dalam kebahagiaan. "Terima kasih, Sayang. Terima kasih banyak sudah menjadi pelengkap hidupku," lirihnya membuat keluarga Bu Ningsih yang mendengarnya terharu. "Perbanyaklah bersyukur, karena Allah memberikan buah hati tanpa kalian tunggu bertahun-tahun lamanya," ucap suaminya Bu Ningsih. "Alhamdulillah Ya Allah, terima kasih banyak," ucap Reza sambil memeluk Maya kembali. Reza berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada Bu Ningsih dan keluarganya yang sudah selalu berbuat baik kepada mereka, bahkan menemani Maya selama dirinya tidak ada di rumah. "Tidak apa, Nak, i
Bu Habibah menatap suaminya dengan wajah yang biasa-biasa saja, tetapi hatinya sangat jelas menunjukkan kalau dirinya sedang tidak baik-baik saja. "Tidak apa, mungkin Mas hanya salah dengar," ucapnya sambil tersenyum lebar. Pak Fahmi yang lebih percaya dengan apa yang didengar daripada yang dikatakan istrinya itu pun langsung memeluknya erat. "Maaf jika selama ini aku lebih memilih untuk lari dari masa lalu dan hanya membuatmu seperti pajangan," lirihnya tidak tega. "Maaf jika selama ini kamu harus menjaga perasaanku dan keluarga sementara kami tidak melakukan hal yang sama," lanjutnya membuat hati Bu Habibah menjadi lebih terluka. Air mata yang sudah disembunyikan kini meronta dan ingin segera dikeluarkan. Satu nulis bening pun berhasil lolos, lalu temannya ikut turun membasahi pipi Bu Habibah. "Maafkan aku, Sayang. Maaf jika selama ini aku sudah bersikap tidak peduli dengan perasaanmu," bisiknya lagi. Bu Habibah melepaskan pelukan dan menatap suaminya lekat. "insyaAllah aku tid
Kehidupan Reza dan Maya semakin membaik dan mereka juga nyaman dengan kegiatan sehari-hari yang akhir-akhir ini mereka lakukan. Namun, ujian akan terus datang kepada cinta mereka, sampai cinta itu diakui sebagai cinta sejati. Di luar pintu kontrakan, Nia terus menggedor dengan sekuat tenaga. Sementara Maya dan Reza masih terdiam. Tidak ada sedikit pun keinginan bagi mereka untuk membuka pintu. Malah lebih kepada enggan. Entah apa alasannya. Ada rasa ragu dalam dada mereka, sehingga hanya saling melempar tatapan saja. "Biar Mas lihat lewat gorden, ya," ucap Reza pelan dengan langkah yang mengendap-endap menuju pintu. Matanya membulat sempurna ketika melihat seseorang yang berada di luar rumahnya itu. "Siapa, Mas?" tanya Maya sangat pelan. Ia juga penasaran dengan siapa yang datang malam-malam seperti ini. Reza kembali berjalan menghampiri Maya. "Kamu jangan marah kalau Mas katakan, ya," pintanya memohon dan itu malah menambah gurat penasaran di wajah Maya. "Em, soalnya yang data