"Jangan tinggalkan kita, Maya, aku mohon!" teriak Reza.
Akhir-akhir ini ada yang mengganjal dalam hati Reza dan membuatnya seringkali bermimpi kalau sosok Maya akan menghilang dari hidupnya. Meskipun Reza mencintainya dengan tulus dan ikhlas tanpa mengharapkan balasan, tapi tetap saja ia tidak ingin mimpi itu terjadi di kehidupan nyata. Reza memilih beranjak dari tempat tidur dan duduk di sofa kamar yang menghadap ke taman belakang untuk melihat bunga-bunga yang bermekaran. "Umiii! Abi! Kejutan!" teriak Maya dari luar pintu rumah keluarganya Reza membuat sepasang suami istri terkejut. Maya adalah anak tetangga, sekaligus perempuan yang menjadi teman Reza satu-satunya. Dia memang sering datang ke rumah Reza untuk meminta bantuan ataupun sekadar curhat. "Ada apa, Nak?" Bu Habibah--ibunya Reza langsung mendekat ke arah Maya dan bertanya tentang apa yang menjadi kejutannya. Namun, gadis itu memilih untuk tidak menjawab. Dia malah duduk di sofa dengan tangan ke belakang. Seperti sedang menyembunyikan sesuatunya. "Nanti dulu, Mi. Nunggu Reza keluar dulu." jawabnya. Maya tersenyum tipis sambil melihat seluruh sudut ruangan. "Kok sepi, Mi, pada ke mana?" tanyanya aneh. Pak Fahmi--bapaknya Reza yang mendengar hal itu tersenyum. "Sepi? Mana ada. Kita semua sudah di sini, kok." "Enggak, tuh. Ada yang kurang." Maya kini terlihat lesu. Menurutnya kejutan yang ia bawa sudah tidak seperti kejutan kalau semua orang tidak berkumpul. Meksipun yang tidak ada hanyalah Reza. Mendengar ada keributan di luar, Reza langsung keluar dari kamarnya. "Tara!" Maya mengeluarkan sebuah benda persegi dari tangannya ketika melihat Reza. "Apa ini?" Reza mencoba meraihnya, tapi Maya kembali berlari ke arah orang tuanya Reza. "Baca saja di sini bersama Umi dan Abi. Sini duduk!" pintanya sambil menepuk-nepuk sofa yang berada di samping Pak Fahmi. Tanpa ragu, Reza mengikuti permintaannya duduk di samping abinya, dan mendengarkan apa yang akan dia katakan. "Ini!" Maya menyerahkan surat undangan pernikahan yang akan digelar minggu depan di rumahnya Maya yang hanya beberapa langkah dari sini. Mata Pak Fahmi mengerjap ketika melihat benda yang diberikan Maya. Hatinya teriris membayangkan betapa terluka hati putra semata wayangnya itu ketika mengetahui hal ini. "Apa, sih?" Reza berusaha untuk mengambil benda itu, tapi Pak Fahmi langsung menjauhkannya. "Jangan lupa datang, ya, Mi, Bi, Reza juga. Aku, Mama, dan Papa akan sangat bahagia kalau kalian ada. Rasanya lengkap." ungkap Maya dengan senyuman manis menghiasi bibir. "Aku pergi dulu, ya, assalamu'alaikum." pamitnya langsung pergi. Dengan ragu, Pak Fahmi langsung memberikan benda tadi kepada Reza. "Siapkan hatimu. Jika memang kau mencintainya dengan ikhlas, seharusnya tidak akan menjadi masalah." ucap Pak Fahmi membuat Reza dan Bu Habibah penasaran. "Undangan pernikahan," lirih Reza. Undangan yang diberikan Maya ini memang unik, hanya ada kata 'Undangan Pernikahan'. Untuk mencari nama pengantin yang tercetak, ia harus membuka tali yang mengikatnya lebih dulu dan melepaskan sampul merah. Ada rasa kecewa ketika tahu surat undangan ini milik Maya yang akan menjadi istri laki-laki lain, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan. "Abi tahu ini sangat menyakitkan, tapi cinta yang sejati itu tanpa pamrih. Kita akan datang ke pernikahannya Minggu depan." tegas Pak Fahmi. "Tentu saja." Reza menjawabnya dengan lirih. "Aku akan datang," lanjutnya berusaha untuk tersenyum. **** Waktu yang dinantikan pun tiba, pernikahan Maya dengan laki-laki yang bernama Galang sudah siap, hanya menunggu waktu diadakannya ijab qobul. Melihat waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Maya merasa heran karena Reza belum juga mendatanginya. Saat ini, Maya sudah rapi berada di ruang rias, hanya saja ia merasa jenuh karena tidak ada yang menjemputnya. Termasuk Reza. Tidak sabar menunggu, Maya langsung keluar dari ruangan itu mencari Reza dan juga orang tuanya. "Mbak, apa Reza dan orang tuanya sudah datang?" tanyanya terburu-buru kepada asisten dapur. "Sudah, Kak. Mereka sedang berbincang-bincang dengan bapak dan ibu." jawab perempuan itu dengan cepat. "Di mana, Mbak?" "Di depan dapur." Maya langsung menuju tempat yang dimaksud. Benar saja, Reza dan orang taunya terlihat sedang membicarakan masalah yang serius dengan orang tuanya. Maya langsung menghampiri dan duduk di di depan Reza. "Kok di sini, kan aku lagi di rias?" tanyanya cemberut. "Laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak boleh berada dalam satu ruangan." Reza berusaha untuk bersikap biasa saja. "Temani aku ke depan, di sana kan banyak orang," pintanya, lalu berjalan ke depan yang dimaksud. Tanpa ada pilihan, Reza pun ikut mengejar setelah mendapatkan kode dari papanya. "Ada apa?" tanya Reza tanpa basa-basi. Maya tersenyum lebar. "Akhirnya aku menikah dengan orang yang aku sebut dalam doanya selama ini." "Aku ikut bahagia." Reza memaksakan dirinya untuk tersenyum agar Maya tidak curiga kalau hatinya sedang tersayat. "Terima kasih. Aku tahu kalau kamu juga akan ikut bahagia, karena selama ini hanya kamu yang mau berteman denganku tanpa pamrih." ucap Maya bersemangat. Kata-kata yang diucapkannya membuat Reza tersenyum getir. Andai saja Maya tahu kalau hati laki-laki yang ada di sampingnya itu sedang terluka, apa dia akan merasa kasihan? Mereka terus berbincang sambil menyaksikan para tamu undangan yang terus berdatangan, tetapi ada satu hal yang membuat Maya risau, yaitu keluarganya Galang belum juga datang. "Jam berapa ini?" tanya Maya sedikit gemetar. Reza yang merasa memakai jam di tangannya pun langsung melihatnya. "Jam sepuluh." ucapnya, lalu terdiam. Maya langsung berjalan ke arah luar gerbang yang terbuka untuk melihat menunggu datangnya keluarga Galang. Namun, jam demi jam berlalu. Galang dan keluarganya tidak juga terlihat. "Udah jam berapa ini? Bentar lagi dzuhur!" ucap seorang wanita muda. Keringat dingin mulai membasahi tubuh Maya dan juga orang tuanya. Bukan hanya rasa takut, bahkan mereka sudah bisa menebak kalau Galang mungkin tidak akan pernah datang. Tubuh Maya mulai melemas, Bu Habibah pun memapahnya untuk masuk ke dalam rumah, dan duduk di sofa. "Bagaimana ini, Ma, Pa? Bagaimana?" Maya menatap sayup kedua orang tuanya yang juga sangat syok. "Kita tunggu sebentar lagi, mungkin saja keluarganya Galang sedang berada di perjalanan." tegas Pak Fahmi kepada para aku undangan dan semua yang ada di sana. "Maaf, sepertinya tidak bisa. Saya juga harus mengisi acara di tempat lain." Seorang laki-laki muda. Dia adalah penghulu di kota ini. "Atau begin saja." Pak penghulu mengarahkan sebuah kartu nama. "Kalau pengantinnya laki-lakinya sudah datang, telpon ke nomor ini." Setelah kepergian bapak penghulu, para tamu undangan kembali riuh. Bahkan, ada beberapa orang yang merusak riasan bunga yang sudah disusun dengan sempurna. Ponsel Maya bergetar keras tapi sebenar, pertanda kalau ia baru saja menerima sebuah pesan. Karena teringat Galang, Maya langsung membuka pesannya. "Maaf, kami tidak bisa datang ke pernikahan atas suatu hal. Begitu juga dengan Galang. Maaf, Maya." Hanya beberapa kata, tapi membuat Maya tidak sadarkan diri. "Pokoknya pernikahan ini tetap harus dilaksanakan!" tegas Pak Hasan. "Dan kita bisa mencari suaminya sekarang," lanjutnya membuat Reza terkejut.Maya menatap Reza sinis. "Kalau tidak suka dengan Galang, gak usah cari-cari kesalahannya. Aku tahu ini foto editan, jadi gak usah berusaha untuk membuatku membencinya." "Ini bukan editan, aku baru saja nerima dari nomor yang tidak dikenal." Reza berucap pelan. "Itu tandanya hanya fitnah. Kan kita gak tahu siapa yang mengirimkan pesan. Kamu jangan mudah terhasut, dong. Aku gak suka." tegas Maya. Dia memang seringkali membenci orang-orang yang berusaha menjauhkan dirinya dengan Galang. Reza menatap Maya dengan sayup. Mau bagaimanpun, ia harus menepati janjinya untuk mencari Galang dengan Maya. Tanpa sepengetahuan Maya, Reza mencari media sosial milik Galang. Namun, tidak ada satupun yang ditemukan. Baik itu dari aplikasi biru, tok-tok, dan beberapa aplikasi lainnya. "Ayo kita kunjungi ke rumahnya!" seru Maya bersemangat. Mereka pun menuju ke alamat yang diberikan oleh Maya. "Jangan katakan pada mereka kalau aku adalah istrimu, anggap saja kita orang asing atau hanya teman. P
"Kita akan tidur di kamar yang terpisah, kan?" "Sebenarnya ini rumahmu yang mana? Kenapa aku tidak pernah tahu kalau kau punya rumah sendiri?" "Luas gak rumahnya? Ada berapa kamar?" "Boleh tidak kalau aku ajak teman-teman ke sana?" Maya terus saja menghujani Reza dengan pertanyaan-pertanyaan yang memutar di kepalanya. Ia tidak peduli dengan perasaan laki-laki yang sekarang berada di sampingnya itu apalagi yang ada di pikirannya. Maya hanya ingin, kalau hidupnya tetap baik-baik saja setelah menyandang status sebagai istri seorang Reza Prayuda. Dia tidak ingin dikekang, apalagi sampai harus merubah dirinya. Sudah ada tekad dalam hatinya, kalau dia harus terus membatasi diri dari Reza tanpa memikirkan bagaimana perasaan yang menjadi suaminya itu. "Kalau orang nanya itu dijawab, bukan diam saja," gerutu Maya kesal. Reza masih terus diam, ia sedang berusaha menata hatinya agar ego untuk menahan Maya di sampingnya hilang. Dia tidak mau kalau wanita yang dicintainya ada di sampingn
"Cukup, jangan buat Reza berada di dalam masalah. Bukan dia yang menginginkan menjadi pengganti, tapi Papa yang memintanya, Papa tidak mau menanggung malu atas karena Galang!" jelas Pak Hasan yang sedari tadi mencoba sabar pun sudah tidak bisa ditahan lagi. Emosinya langsung keluar ketika mendengar perkataan putrinya yang menyakitkan. Maya menatap sekilas ke arah papanya dan melepaskan kemeja Reza. "Papa sudah dikasih apa sampai berani mengatakan kebohongan seperti itu? Papa tidak usah membelanya, aku sudah tahu kalau Reza bisa melakukan apapun!" ucapnya penuh penekanan. Pak Fahmi dan istrinya memilih untuk menjauh dari kamar Maya. Mereka merasa tidak enak hati karena Pak Hasan melakukan proses ijab qobul tanpa menunggu Maya sadar lebih dulu. "Maya, sadarlah! Reza tidak memberikan apapun pada Papa. Kami memang yang meminta bahkan memohon padanya untuk menggantikan Galang, Maya!" Lagi, Pak Hasan berusaha untuk menjelaskan. "Papa mohon, lupakan Galang, dan cintai Reza. Dia laki-la
Proses ijab qobul sudah selesai dilaksanakan. Tentu saja karena Pak Hasan memohon kepada Reza agar bisa membantunya keluar dari rasa malu ini. Awalnya Reza menolak, dia tidak ingin melakukan hal besar seperti ini tanpa diketahui Maya. Namun, apa boleh buat, Pak Hasan meminta dengan setengah memaksa agar Reza bersedia. "Terima kasih, Za. Terima kasih kamu sudah membantu Papa keluar dari masalah ini." ucap Pak Hasan sambil menggenggam tangan Reza dengan penuh haru. Pak Fahmi dan Bu Habibah hanya bisa diam sambil beristigfar. Mereka masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi, antara percaya dan tidak percaya. Awalnya mereka datang hanya untuk menjadi tamu undangan, begitupun dengan putranya. Akan tetapi, takdir berkata lain. Reza tiba-tiba menggantikan posisi mempelai pria, tapi mempelai wanitanya tidak tahu. "Terima kasih juga Abi Fahmi, Umi Habibah. Semoga ini jalan yang terbaik!" seru Pak Hasan bahagia. Rasa panik yang tadi tiba-tiba hadir kini sudah berubah menjadi panc
"Jangan tinggalkan kita, Maya, aku mohon!" teriak Reza. Akhir-akhir ini ada yang mengganjal dalam hati Reza dan membuatnya seringkali bermimpi kalau sosok Maya akan menghilang dari hidupnya. Meskipun Reza mencintainya dengan tulus dan ikhlas tanpa mengharapkan balasan, tapi tetap saja ia tidak ingin mimpi itu terjadi di kehidupan nyata. Reza memilih beranjak dari tempat tidur dan duduk di sofa kamar yang menghadap ke taman belakang untuk melihat bunga-bunga yang bermekaran. "Umiii! Abi! Kejutan!" teriak Maya dari luar pintu rumah keluarganya Reza membuat sepasang suami istri terkejut. Maya adalah anak tetangga, sekaligus perempuan yang menjadi teman Reza satu-satunya. Dia memang sering datang ke rumah Reza untuk meminta bantuan ataupun sekadar curhat. "Ada apa, Nak?" Bu Habibah--ibunya Reza langsung mendekat ke arah Maya dan bertanya tentang apa yang menjadi kejutannya. Namun, gadis itu memilih untuk tidak menjawab. Dia malah duduk di sofa dengan tangan ke belakang. Seperti