"Cukup, jangan buat Reza berada di dalam masalah. Bukan dia yang menginginkan menjadi pengganti, tapi Papa yang memintanya, Papa tidak mau menanggung malu atas karena Galang!" jelas Pak Hasan yang sedari tadi mencoba sabar pun sudah tidak bisa ditahan lagi. Emosinya langsung keluar ketika mendengar perkataan putrinya yang menyakitkan.
Maya menatap sekilas ke arah papanya dan melepaskan kemeja Reza. "Papa sudah dikasih apa sampai berani mengatakan kebohongan seperti itu? Papa tidak usah membelanya, aku sudah tahu kalau Reza bisa melakukan apapun!" ucapnya penuh penekanan. Pak Fahmi dan istrinya memilih untuk menjauh dari kamar Maya. Mereka merasa tidak enak hati karena Pak Hasan melakukan proses ijab qobul tanpa menunggu Maya sadar lebih dulu. "Maya, sadarlah! Reza tidak memberikan apapun pada Papa. Kami memang yang meminta bahkan memohon padanya untuk menggantikan Galang, Maya!" Lagi, Pak Hasan berusaha untuk menjelaskan. "Papa mohon, lupakan Galang, dan cintai Reza. Dia laki-laki yang baik, kita semua tahu hal itu." tegasnya membuat Maya berdecih. "Enggak! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menerima laki-laki munafik ini sebagai suamiku!" Maya kembali berteriak, menunjukkan bahwa dirinya membenci Reza. Sementara yang dibencinya hanya tersenyum simpul. "Maya!" teriak Pak Hasan. Kali ini Maya benar-benar sudah menguji kesabarannya. Reza yang faham kalau suasana semakin panas pun langsung mendekat ke arah Maya. "Aku tahu saat ini kamu tidak mencintaiku, karena matamu hanya menunjukkan kebencian. Tapi aku mohon, jangan halangi aku untuk menunjukkan rasa cintaku," pinta Reza lembut yang membuat hati kedua orang tuanya Maya bergetar. "Nak, Reza." Bu Nina melihat Reza penuh dengan rasa iba, laki-laki ini bisa tetap tersenyum meskipun Nafisah terang-terangan menuduh dan membencinya. Pak Hasan mengajak Bu Nina untuk keluar dan memberikan ruang untuk Reza dan Maya bicara. "Kenapa? Kamu tidak perlu basa-basi, Reza. Aku sengaja merahasiakan semua ini karena Galang dan aku sudah mengetahui tentang siasat burukmu!" Maya kembali berteriak. "Jangan-jangan Galang menghilang juga disebabkan oleh dirimu? Oh, tidak. Kau tidak perlu berpura-pura lolos, mulai saat ini aku Maya, sangat, sangat, sangat membencimu." tegas Maya sambil menatap Reza dengan mata merahnya. Reza memilih tidak bicara, dia berjalan ke arah jemuran handuk dan mengambil salah satunya. "Sebaiknya kau mandi, dinginkan kepalamu, nanti kita bisa bicarakan dengan tenang." ucapnya sambil mengarahkan handuk yang diambilnya pada Maya. "Alah, jangan sok baik, kamu!" Bukannya menerima, Maya malah menepisnya. "Sekarang atau aku seret ke kamar mandi?" Reza menatap Maya dengan serius, bahkan Maya menatapnya dengan penuh ketakutan. "Iya, aku mandi sekarang!" bentaknya mengambil handuk yang tadi dilempar ke lantai dan masuk ke kamar mandi. Melihat Maya sudah lebih baik, Reza terduduk lesu di kursi depan meja rias Maya. "Apa yang sedang terjadi padaku ini? Apa iya aku sekarang sudah menjadi seorang suami? Suami dari Maya?" gumamnya sambil menatap wajahnya sendiri di cermin. "Jika memang ini takdirku, semoga aku memang bisa menghadirkan cinta di antara kita. Aku ingin berjuang, jika pada akhirnya kita tidak bersama, tidak apa. Setidaknya aku sudah melakukan pembuktian dengan cintaku." gumamnya lagi. **** Brakkk ... pintu kamar mandi dibuka dengan cara dibanting. "Jelaskan apa yang ingin kamu jelaskan tadi!" titah Maya tanpa basa-basi. Waktu mandi yang biasanya selalu setengah jam lebih kini hanya menjadi lima menit. Dia tidak bisa berlama-lama di kamar mandi sementara di kamarnya ada orang asing. "Duduklah!" pinta Reza sambil menepuk-nepuk kecil tempat tidur yang ada di depannya. "Aku tidak akan melakukan apapun. Aku janji." tegas Reza ketika melihat Maya masih saja diam di tempatnya. Setelah Reza berjanji, Maya langsung duduk di tempat yang diminta. "Cepat jelaskan, agar aku juga bisa segera menghubungi Mas Galang!" desisnya. Ketika nama Galang di sebut, hati Reza bagai tersayat pisau yang paling tajam. Sangat menyakitkan. Dia yang lebih dulu ada di dalam hidupnya, tapi ternyata posisinya dalam hati Maya tidak begitu penting. "Iya." Reza memasang wajah datarnya. "Kau boleh menganggap aku orang asing. Aku tadi terpaksa melakukan ini karena papamu memohon padaku." jelasnya membuat Maya semakin membencinya. "Jangan katakan yang tidak masuk akal, mana ada seorang laki-laki begitu tulus!" Maya menatapnya tajam. "Ada dan itu aku. Reza. Laki-laki yang ada di hadapanmu!" tegasnya tanpa basa-basi lagi. "Sebaiknya kita akting di hadapan orang tua kita agar menjadi pasangan yang sempurna. Ketika tidak sedang bersama mereka, kau boleh anggap aku tidak ada. Kita tidak akan saling mencampuri kehidupan pribadi masing-masing." jelas Reza membuat Maya terdiam. "Aku berjanji tidak akan menyentuh satu helai pun rambutmu." tegasnya lagi. "Kecuali jika kau mengizinkannya." lanjutnya dalam hati. "Untuk saat ini aku masih belum bisa mempercayaimu, tapi demi bisa bertemu dengan Mas Galang, aku akan melakukan segalanya." tegas Maya. Deg .. hati Reza kembali diuji dengan ketulusannya. "Tentu." Reza beranjak dari duduknya dan pergi menemui orang tuanya dan juga orang tua Maya untuk membicarakan beberapa hal yang penting. **** "Kini, aku sudah menikah. Alangkah baiknya kalau kami langsung pindah ke rumah timur, Bi." Reza menyampaikan pendapatnya. "Ya, Abi rasa juga itu rencana yang baik." Pak Fahmi memberikan lampu hijau. "Tidak, bagaimana kalau nanti Maya banyak berulah?" Pak Hasan menolak keras. Dia tidak ingin ketika pindah, Maya malah semakin menyusahkan Reza dan menyakiti perasaannya yang tulus. "Mana ada, Pa! Jangan bicara yang macam-macam!" protes Maya sambil berjalan ke arah mereka. Sebenarnya dia pun tidak mau jika harus bersama dengan orang yang tidak dicintainya, tetapi untuk saat ini sudah tidak ada jalan lagi. Hanya dengan memercayai Reza, maka dia bisa mencari di mana Galang berada, dan alasan di balik tindakannya yang memilih tidak datang ke pernikahannya sendiri. "Cukup, Maya. Reza adalah laki-laki yang baik. Papa yakin, dia bisa menjadi suami yang bisa menuntunmu untuk kembali ke jalan yang benar. Jalan yang diridhoi Allah." ucap Pak Hasan. Ia memang merasa ketidakhadiran Galang merupakan berkah di balik musibah. Karena selama ini, Pak Hasan sangat berat merestui anak punk itu menjadi imam untuk Maya. "Pa!" teriak Maya tidak terima. "Ingat perjanjian kita! Bersikap baiklah kalau kau ingin mencari Galang, aku janji akan membantumu!" bisik Reza di telinganya Maya. "Kapan aku berjanji? Itu hanya alasan yang kau buat sendiri!" Maya menatap Reza sengit. "Aku tidak mau!" tegasnya. "Kau tidak mau mencari Galang? Padahal selama ini kau tahu, kalau aku bisa mengerahkan banyak orang untuk mencarinya." bisik Reza lagi membuat Maya membelalakan matanya. "Jangan bodoh! Kau suaminya sekarang! Kenapa malah mencarikan dia laki-laki lain?" teriak seseorang dari belakang mereka.Maya menatap Reza sinis. "Kalau tidak suka dengan Galang, gak usah cari-cari kesalahannya. Aku tahu ini foto editan, jadi gak usah berusaha untuk membuatku membencinya." "Ini bukan editan, aku baru saja nerima dari nomor yang tidak dikenal." Reza berucap pelan. "Itu tandanya hanya fitnah. Kan kita gak tahu siapa yang mengirimkan pesan. Kamu jangan mudah terhasut, dong. Aku gak suka." tegas Maya. Dia memang seringkali membenci orang-orang yang berusaha menjauhkan dirinya dengan Galang. Reza menatap Maya dengan sayup. Mau bagaimanpun, ia harus menepati janjinya untuk mencari Galang dengan Maya. Tanpa sepengetahuan Maya, Reza mencari media sosial milik Galang. Namun, tidak ada satupun yang ditemukan. Baik itu dari aplikasi biru, tok-tok, dan beberapa aplikasi lainnya. "Ayo kita kunjungi ke rumahnya!" seru Maya bersemangat. Mereka pun menuju ke alamat yang diberikan oleh Maya. "Jangan katakan pada mereka kalau aku adalah istrimu, anggap saja kita orang asing atau hanya teman. P
"Kita akan tidur di kamar yang terpisah, kan?" "Sebenarnya ini rumahmu yang mana? Kenapa aku tidak pernah tahu kalau kau punya rumah sendiri?" "Luas gak rumahnya? Ada berapa kamar?" "Boleh tidak kalau aku ajak teman-teman ke sana?" Maya terus saja menghujani Reza dengan pertanyaan-pertanyaan yang memutar di kepalanya. Ia tidak peduli dengan perasaan laki-laki yang sekarang berada di sampingnya itu apalagi yang ada di pikirannya. Maya hanya ingin, kalau hidupnya tetap baik-baik saja setelah menyandang status sebagai istri seorang Reza Prayuda. Dia tidak ingin dikekang, apalagi sampai harus merubah dirinya. Sudah ada tekad dalam hatinya, kalau dia harus terus membatasi diri dari Reza tanpa memikirkan bagaimana perasaan yang menjadi suaminya itu. "Kalau orang nanya itu dijawab, bukan diam saja," gerutu Maya kesal. Reza masih terus diam, ia sedang berusaha menata hatinya agar ego untuk menahan Maya di sampingnya hilang. Dia tidak mau kalau wanita yang dicintainya ada di sampingn
"Cukup, jangan buat Reza berada di dalam masalah. Bukan dia yang menginginkan menjadi pengganti, tapi Papa yang memintanya, Papa tidak mau menanggung malu atas karena Galang!" jelas Pak Hasan yang sedari tadi mencoba sabar pun sudah tidak bisa ditahan lagi. Emosinya langsung keluar ketika mendengar perkataan putrinya yang menyakitkan. Maya menatap sekilas ke arah papanya dan melepaskan kemeja Reza. "Papa sudah dikasih apa sampai berani mengatakan kebohongan seperti itu? Papa tidak usah membelanya, aku sudah tahu kalau Reza bisa melakukan apapun!" ucapnya penuh penekanan. Pak Fahmi dan istrinya memilih untuk menjauh dari kamar Maya. Mereka merasa tidak enak hati karena Pak Hasan melakukan proses ijab qobul tanpa menunggu Maya sadar lebih dulu. "Maya, sadarlah! Reza tidak memberikan apapun pada Papa. Kami memang yang meminta bahkan memohon padanya untuk menggantikan Galang, Maya!" Lagi, Pak Hasan berusaha untuk menjelaskan. "Papa mohon, lupakan Galang, dan cintai Reza. Dia laki-la
Proses ijab qobul sudah selesai dilaksanakan. Tentu saja karena Pak Hasan memohon kepada Reza agar bisa membantunya keluar dari rasa malu ini. Awalnya Reza menolak, dia tidak ingin melakukan hal besar seperti ini tanpa diketahui Maya. Namun, apa boleh buat, Pak Hasan meminta dengan setengah memaksa agar Reza bersedia. "Terima kasih, Za. Terima kasih kamu sudah membantu Papa keluar dari masalah ini." ucap Pak Hasan sambil menggenggam tangan Reza dengan penuh haru. Pak Fahmi dan Bu Habibah hanya bisa diam sambil beristigfar. Mereka masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi, antara percaya dan tidak percaya. Awalnya mereka datang hanya untuk menjadi tamu undangan, begitupun dengan putranya. Akan tetapi, takdir berkata lain. Reza tiba-tiba menggantikan posisi mempelai pria, tapi mempelai wanitanya tidak tahu. "Terima kasih juga Abi Fahmi, Umi Habibah. Semoga ini jalan yang terbaik!" seru Pak Hasan bahagia. Rasa panik yang tadi tiba-tiba hadir kini sudah berubah menjadi panc
"Jangan tinggalkan kita, Maya, aku mohon!" teriak Reza. Akhir-akhir ini ada yang mengganjal dalam hati Reza dan membuatnya seringkali bermimpi kalau sosok Maya akan menghilang dari hidupnya. Meskipun Reza mencintainya dengan tulus dan ikhlas tanpa mengharapkan balasan, tapi tetap saja ia tidak ingin mimpi itu terjadi di kehidupan nyata. Reza memilih beranjak dari tempat tidur dan duduk di sofa kamar yang menghadap ke taman belakang untuk melihat bunga-bunga yang bermekaran. "Umiii! Abi! Kejutan!" teriak Maya dari luar pintu rumah keluarganya Reza membuat sepasang suami istri terkejut. Maya adalah anak tetangga, sekaligus perempuan yang menjadi teman Reza satu-satunya. Dia memang sering datang ke rumah Reza untuk meminta bantuan ataupun sekadar curhat. "Ada apa, Nak?" Bu Habibah--ibunya Reza langsung mendekat ke arah Maya dan bertanya tentang apa yang menjadi kejutannya. Namun, gadis itu memilih untuk tidak menjawab. Dia malah duduk di sofa dengan tangan ke belakang. Seperti