LOGINSetelah pulang dari rumah mertuanya, Nayra masih kesal pada suaminya yang terus menerus membela Laila. Nayra kesal karena Albian tidak sama sekali memberitahu ibunya dengan tegas, Albi selalu mengatakan jika Nayra harus memaklumi ibunya yang memang sangat menginginkan cucu darinya. Albi tidak berpikir jika semua itu menjadi beban pikiran Nayra, sampai akhirnya Nayra terus diam dan tidak berbicara sepatah katapun dengan suaminya.
“Sayang, nanti Mas sepertinya akan pulang terlambat. Ada meeting dengan perusahaan jepang sore nanti,” ucap Albi yang selalu memberitahu jika akan pulang terlambat.
“Iya,” jawab Nayra dengan singkat.
“Masih marah?” tanya Albi.
“Enggak kok, biasa aja.”
“Mas mengerti dengan apa yang kamu rasakan, tapi harus bagaimana lagi. Ibu memang seperti itu, jadi kita harus bisa memakluminya saja. Perkataan ibu jangan terlalu dimasukan ke hati, itu justru akan membuat kamu sakit.” Albian mengusap pipi Nayra dengan jari-jarinya.
“Aku bahkan sudah sangat memakluminya, Mas. Tapi tetap saja mendengar ucapan ibu yang selalu sama di depan orang banyak itu sangat menyakitkan, masih mending jika ucapan yang baik, ini malah mengatakan yang … sudahlah!”
“Lalu sekarang kamu mau apa? Kamu mau Mas melakukan apa supaya kamu tidak terus marah dan kesal seperti ini?” tanya Albian.
“Mas berangkat saja ke kantor, ini sudah siang.”
“Kalau begitu, kamu pergi belanja saja hari ini. Tapi maaf, Mas tidak bisa mengantar kamu. Bagaimana?” tawar Albian.
Nayra diam, dia memikirkan penawaran suaminya untuk pergi belanja. Nayra memang sudah lama tidak belanja, beberapa keperluannya pun sudah habis. Tapi untuk pergi sendiri, apa akan menyenangkan? pikir Nayra.
“Baiklah, nanti siang aku akan membeli beberapa keperluan yang sudah habis. Mas mau aku belikan sesuatu juga?”
Abi menggelengkan kepalanya. “Tidak, sepertinya keperluan Mas masih banyak, kamu beli saja keperluan kamu sendiri. Setelah Mas sampai di kantor, Mas akan langsung transfer uangnya. Sekarang Mas buru-buru, takut kejebak macet.”
“Hati-hati, Mas.”
“Iya, kamu juga hati-hati. Mas minta kamu jangan memikirkan apa yang dikatakan ibu, Mas yakin semua itu juga untuk kebaikan kita.”
Nayra tersenyum tipis. Setelah itu memastikan jika Albi sudah berangkat, Nayra masuk kamar dan melempar tubuhnya ke tempat tidur. Nayra lalu teringat pada ibunya yang ada di kampung halamannya. Rasanya dia ingin menangis dan mengatakan semuanya, tapi Nayra takut jika sang ibu ikut memikirkan apa yang terjadi.
“Mas Albi bilang jangan dipikirkan dan jangan terlalu dianggap, mungkin jika hanya sekali tidak masalah. Tapi ini, mengatakan hal menyakitkan setiap kali bertemu. Apa aku salah jika sakit hati karena perkataan mertuaku sendiri?” gerutu Nayra.
Di sebuah mall besar, Nayra berjalan sekarang diri tanpa sengaja dia bertemu dengan teman masa kuliahnya. Keduanya saling menyapa dan bicara bahkan saat mengingat masa kuliah yang menyenangkan, membuat keduanya tertawa lepas. Nayra seolah melupakan kesedihan di hatinya. Dia juga seolah lupa tujuan awal ke mall itu untuk berbelanja kebutuhannya.
“Nay, bukannya itu mertua kamu?” tanya Afifah.
“Eh iya, itu ibu Mas Albi. Sedang apa disini?”
“Pastinya sedang belanja, tapi tunggu, sama siapa itu?” tunjuk Afifah tepat pada Aninda yang ada di belakang Laila.
Nayra menghela nafas panjang. “Itu istri dari adik iparku.”
“Kamu gak ada niat buat samperin mereka?”
“Enggak, buat apa, coba? Nanti yang ada malah menimbulkan rasa sakit hati lagi.”
“Maksudnya?” tanya Afifah yang tidak mengerti.
“Tidak, lupakan. Kita mending pergi dari sini sebelum mereka lihat aku, yuk!” ajak Nayra dengan segera. Keduanya berdiri dan berjalan cepat supaya bisa menghindar dari Laila dan Aninda.
Tanpa diduga, niat hati ingin menghindar, Nayra justru bertemu di butik tempat dia berlangganan membeli pakaian. Amanda tersenyum sinis melihat Nayra yang sedang memilih pakaian sendirian tanpa ditemani oleh Albi. Amanda mendekat dan berdiri di samping Nayra.
“Kakak ipar, ada di sini juga ternyata. Sama siapa?” tanya Aninda basa-basi.
“Aku sendirian, kamu sama siapa?” tanya Nayra yang pura-pura tidak tahu, padahal jelas-jelas dia tadi melihat Aninda berjalan bersama dengan Laila, sang mertua.
“Aku pergi sama ibu, katanya ibu mau membelikan aku hadiah. Jadi aku diajak ibu ke butik langganannya ini,” jawab Aninda dengan terlihat sangat sombong.
Nayra tersenyum tipis, dia lupa jika butik yang sedang dia datangi adalah butik langganan keluarga Laila. Niat hati ingin menghindar malah terpaksa harus berbasa-basi. Nayra mengangguk lalu melihat ke setiap penjuru, dia yang tidak ingin bertemu dengan mertuanya bermaksud untuk segera pergi.
“Ibu sedang memilih pakaian yang pas untuk aku, katanya ibu mau aku pakai baju hamil yang tidak terlalu pas di bagian perut. Malahan ibu juga udah minta pemilik butik ini merancang baju hamil khusus untuk aku, ibu baik sekali ya, mbak?”
“Iya, ibu memang baik,” jawab Nayra.
“Aku jadi teringat sama ucapan ibu, katanya aku gak boleh menunda kehamilan aku. Kata ibu, jangan kaya mbak sama mas Albi yang awalnya menunda kehamilan dan sekarang malah susah hamil. Memangnya itu benar?” tanya Aninda yang membuat Nayra menatap tak percaya dengan apa yang dikatakan adik iparnya itu.
“Aku hamil atau belum itu sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Walaupun dulu aku tidak menunda kehamilan, jika memang Tuhan belum mengijinkan aku hamil, maka aku tidak akan hamil saat itu juga. Sepertinya kamu terlalu banyak membicarakan aku ketika bersama dengan ibu, semenarik itukah kehidupan ku?” tanya Nayra sambil tersenyum, berpura-pura seolah dia sedang bercanda ketika berbicara seperti itu.
“Aninda, apa kamu sudah menemukan baju yang cocok?” tanya Laila pada Aninda. Laila tidak tahu jika wanita yang sedang membelakanginya adalah Nayra.
“Belum, Bu. Sepertinya lebih cocok pakaian yang ibu pilihkan tadi untuk aku,” jawab Aninda.
“Kamu ambil saja semua yang tadi ibu pilihkan, kamu harus banyak pakaian yang tidak terlalu ketat. Kasihan bayimu,” ujar Laila.
“Bu, di sini juga ada mbak Nayra,” kata Aninda sambil tersenyum manis.
“Nayra, kamu di sini juga?”
“Iya, tapi Nayra sudah selesai dan sekarang mau langsung pulang,” jawab Nayra.
“Bagus kalau begitu, kasihan Albi jika dia pulang tapi kamu tidak ada di rumah.”
Nayra tidak percaya dengan apa yang dikatakan mertuanya, lantas bagaimana dengan Aninda yang masih diluar sekarang? Apakah dia juga tidak khawatir ketika Rafael pulang tapi Aninda tidak ada di rumah? Nayra hanya tersenyum menanggapi ucapan mertuanya.
“Nayra pamit dulu, Bu.”
Laila mengangguk tanpa tersenyum, “besok malam kamu datang kerumah bersama Albi. Ibu ingin kalian datang untuk makan malam, jangan ada alasan! Ibu tunggu!”
“Baik, Bu.”
Nayra segera pergi setelah membayar semua pakaian yang tadi dia bawa. Hatinya kesal, benar-benar kesal. Niat hati ingin membuat hatinya senang, tapi malah membuat bertambah tidak enak hati dengan setiap ucapan yang keluar dari mulut Aninda.
“Drama apa lagi nanti yang akan terjadi? Astaga, Tuhan … tidak bisakah Kau berikan aku keturunan segera? Aku sudah lelah terus diperlakukan seperti ini.”
“Mas!” panggil Nayra ketika suaminya baru saja keluar dari kamar mandi. “Kenapa? Apa masih kurang?” goda Albi sambil mengerling genit. “Apa sih, kamu ini kalau ngomong pasti ke situ-situ aja.” Albi tersenyum, dia berjalan menuju nakas dan mengambil air minum. “Lalu apa?” “Suami Kharisma itu siapa, sih? Bukannya kemarin kata Anin suami Kharisma itu dari keluarga Hartanto juga?” Mendengar pertanyaan Nayra membuat Albi langsung tersedak karena Albi memang sedang minum. Nayra mendekat dan mengusap punggung suaminya dengan lembut. Albi masih kaget dengan apa yang ditanyakan Nayra. “Kenapa sampai tersedak kek gitu, sih? Kaget banget aku tanya suami dari Kharisma?” “Bukan gitu, aku kaget aja tiba-tiba kamu tanya suami Kharisma. Ada apa?” tanya Albi mencoba bersikap biasa. “Aku bingung aja, Kharisma hamil tapi ibu bilang Kharisma ngidam mangga muda sama kamu. Apa hubungannya, coba?” “Masa sih?” Nayra mengangguk. “Baru saja aku liat ponsel kamu dan ada pesan dari ibu. Kharisma katany
“Mas, lagi liat apa, sih?” tanya Nayra yang berdiri di hadapan Albi. Albi yang sedang terus menatap ponselnya langsung mematikan ponsel itu dan menyimpannya. “Tidak, Mas kebetulan lagi periksa beberapa email yang masuk. Kamu udah darimana?” “Tadi habis dari tetangga sebelah, anaknya baru pulang dari luar negri. Aku yang sedang ada di halaman depan dipanggil dan berkunjung mencicipi beberapa oleh-oleh yang anaknya bawa,” jawab Nayra seraya duduk di samping suaminya. “Selama ini aku selalu diam dirumah, tanpa mengenal para tetangga. Rasanya sangat rugi sekali, ternyata tetangga kita baik-baik, Mas. Katanya mereka sebenarnya ingin mengajak aku untuk gabung ketika sedang berkumpul, tapi mereka agak segan sama kamu, Mas. Ada-ada aja,” imbuh Nayra. “Padahal mereka selalu menyapa Mas kalau Mas pulang atau pergi kerja,” jawab Albi sambil tersenyum. “Kalau sekali-sekali aku undang mereka ke rumah, boleh?” “Tentu saja boleh, kamu juga butuh teman ngobrol dan supaya tidak bosan juga di ruma
“Mas, aku hamil.” Albi terdiam, dia terkejut dengan apa yang dikatakan Kharisma, istri keduanya itu. “Mas, apakah kamu tidak bahagia mendengar kabar ini?” kata Kharisma kembali yang sontak membuat Albi tersadar. Albi menghela nafas panjang. “Apa yang kamu katakan itu benar?” “Apa Mas tidak percaya dengan apa yang aku katakan?” Kharisma berjalan menuju meja rias, dia mengambil alat yang tadi digunakan untuk mengecek kehamilan. Kharisma lalu memberikan alat itu pada Albi. Albi kembali diam, dia menatap benda yang kecil yang terlihat ada garis dua. Entah apa yang harus dia rasakan sekarang, apakah dia harus bahagia karena akan mempunyai anak? Atau dia harus bersedih karena anak yang akan lahir itu bukan dari rahim Nayra. “Kamu yakin ini adalah anakku?” “Apa maksud pertanyaan kamu itu, Mas? Apakah kamu pikir aku melakukan itu dengan pria lain?” Kharisma menatap tajam suaminya. “Apa kamu tidak sadar jika yang pertama kali melakukan itu adalah kamu? Aku tidak pernah tidak menyangka k
Anak cantik udah nyampe, sehat, sayang?” tanya Fitri menyambut kedatangan keponakan tersayang nya. “Aku sehat, tante. Aku mau main di sini, boleh?” “Kenapa tanya seperti itu? Tentu saja rumah ini terbuka lebar untuk kamu, kapan saja kamu bisa datang. Kamu mau tinggal disini juga boleh, jangan pernah bertanya seperti itu lagi. Kamu ini anak Tante, mengerti?” Nayra mengangguk sambil terlihat air matanya sudah akan jatuh, segera Fitri memeluk keponakan yang sudah dianggap sebagai anak nya itu. Albi mengusap punggung istrinya, Albi menatap Fitri seolah meminta supaya Tante dari istrinya itu menghibur istrinya. “Oh iya, sudah lama kamu tidak menginap dirumah Tante. Kamu menginap satu malam aja, boleh?” Nayra melepaskan pelukannya. “Aku gimana mas Albi saja, kalau memang diizinkan untuk tinggal disini, aku tidak masalah. Lagian aku juga kangen sih sama Tante, banyak banget yang ingin aku ceritakan ke Tante.” “Baiklah, kita akan menginap disini malam ini.” Jawaban Albi sontak membuat N
“Bu, tadi ada paket dan saya sudah simpan di ruang tamu.” kata wanita yang baru berusia lima puluh tahunan itu. “Paket apa, bi?” tanya Nayra pada wanita yang baru bekerja di rumah Nayra itu. “Sepertinya dari rumah sakit, Bu. Biar saya ambilkan dulu,” jawab Epi sambil berjalan menuju ruang tamu. Epi bekerja pada Nayra dan Albi baru dua bulan. Albi saat itu meminta Laila untuk mencari seorang art, karena art sebelumnya tidak bisa bekerja lagi. “Bu, ini suratnya.” Nayra mengangguk. Dia tahu surat yang sedang dia pegang itu adalah hasil pemeriksaan dari rumah sakit. Nayra berjalan menuju kamar, dia lalu duduk di sofa dan membuka amplop coklat dan segera membacanya. Dadanya sakit, sesak dan sepertinya dia kehabisan nafas membaca hasil pemeriksaan. Air mata mengalir begitu saja tanpa diminta, tidak percaya dengan apa yang dia baca barusan. “Apa yang akan Mas Albi katakan nanti ketika tahu hasil pemeriksaan ini? Aku yakin pasti Mas Albi akan kecewa sama aku, aku harus bagaimana?” liri
Aninda, Laila dan Rafael berjalan beriringan. Sementara Albi dan Nayra berjalan dibelakang, Albi menggenggam tangan Nayra, Albi terus melontarkan candaan pada istrinya. Albi tidak ingin Nayra bersedih, apalagi melihat Laila yang sedari tadi menggandeng Aninda dan memperlakukan Aninda sangat spesial. Tak lama Kharisma muncul dengan senyum manis pada Albi dan Nayra. “Mbak, kamu udah disini aja,” ucap Anin sambil menghampiri Kharisma. “Iya, tadi ada teman aku yang kebetulan tugas di rumah sakit ini,” jawab Kharisma. “Udah buat janji, kan?” imbuh Kharisma. “Udah, sepertinya languang masuk ruangannya aja.” Aninda mengusap perutnya yang sekarang sudah terlihat membuncit. “Mau ikut pemeriksaan juga kamu, Bi?” tanya Laila pada putranya. “Aku dan Nayra tunggu disini dulu aja, Bu. Lagian gak enak juga kalau ikut masuk ruangan pemeriksaan semua, kebanyakan,” jawab Albi sambil terkekeh. “Baiklah, sekarang kamu yang nunggu disini. Besok kamu ikut keruangan untuk memeriksa istri ka







