Nayra pulang dengan perasaan kesal dan tentu saja sedih. Nayra menyimpan barang belanjaannya dan segera masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan badannya. Nayra berdiri di bawah shower, membasahi tubuhnya dengan air dingin. Nayra bermaksud supaya otaknya bisa ikut dingin juga. Pertemuan dengan adik dan mertuanya membuat moodnya malah tidak baik.
“Mengadu apa yang terjadi hari ini pun percuma, yang ada mas Albi pasti akan membela ibunya dan meminta aku terus memakluminya. Padahal, ini sudah sangat keterlaluan.” Nayra menghela nafas panjang. “Rasanya aku ingin meminta mas Albi untuk membawa aku pindah dari kota ini. Menghayal saja dulu, toh kenyataannya itu tidak mungkin.” Nayra terkekeh.
Setelah merasa lebih baik, Nayra segera menyelesaikan mandinya dan segera berpakaian. Nayra membuka semua barang belanjaannya hari ini. Dia melihat satu pakaian yang menurutnya tidak pernah dibelinya. Membeberkan pakaian itu yang ternyata baju untuk wanita hamil.
“Astaga, kenapa baju ini ada pada tas belanjaanku? Apa pelayan itu salah menaruh pakaian? Tapi tidak mungkin, tadi hanya aku saja yang sedang membayar di meja kasir.” Nayra terus berpikir. Nayra lalu mengecek struk pembelian yang tadi diberikan kasir tersebut. Tapi memang baju itu ada dalam list pembayarannya.
“Bajunya tidak sesuai denganku, apalagi mahal banget harganya. Aku kembalikan saja nanti sore, minta antar Mas Albi sekalian jalan-jalan. Sudah lama kita tidak jalan-jalan sore berdua.”
Nayra melipat kembali pakaian itu, dia masukan kembali ke paperbag. Nayra lalu menghubungi suaminya dan minta jalan-jalan sore. Albi yang memang tidak ada jadwal penting langsung pulang. Menyenangkan hati istri memang tidaklah buruk, pikir Albi.
“Mas, kok sudah pulang?” tanya Nayra saat dia sedang berada di dapur.
Albi memeluk istrinya dari belakang. “Katanya ada yang mau jalan-jalan sore, makanya Mas pulang cepat. Tapi, apakah tadi jalan-jalan siang tidak menyenangkan sampai-sampai harus pergi jalan-jalan lagi sama suaminya?”
“Sebenarnya mau nanyain sesuatu ke pelayan butik.”
“Ada masalah?”
“Tadi pas aku belanja beberapa pakaian, aku enggak cek lagi pas di sana. Ternyata ada satu pakaian yang aku enggak beli masuk ke pembayaran aku, memang sih pakaiannya juga ada sama aku, tapi …,”
“Tapi apa?” tanya Albi memotong perkataan istrinya.
“Pakaian itu untuk ibu hamil yang sudah besar, Mas. Aku enggak tahu siapa yang punya pakaian itu. Saat tadi di kasir justru hanya aku yang ada disana. Mana mahal banget lagi bajunya, pantas saja tadi pas bayar sempat aneh.”
“Ih gitu, memangnya gak mau kamu simpan aja buat nanti jika sudah saatnya kamu hamil dan memerlukannya?”
“Mas, nanti saja jika memang aku memerlukan pakaian seperti itu. Membeli sama saja membuat aku sedih, Mas.” Nayra cemberut sambil menatap suaminya yang ternyata memang lebih tinggi darinya.
“Ya sudah, kita kembalikan nanti sore setelah Mas mandi. Sekarang, Mas ingin makan masakan kamu.”
Nayra tersenyum. “Baiklah, dengan senang hati.”
Nayra langsung mengeksekusi sayuran yang ada di dapur, Nayra begitu lihai saat memasak. Memasak memang sudah sering dia lakukan, sehingga dia cukup pintar sekarang. Masakannya juga tidak terlalu buruk, bahkan suaminya saja sangat menikmati masakan istrinya.
“Mas, besok malam kita disuruh ibu buat makan malam dirumah ibu,” ucap Nayra.
“Kapan kamu ketemu ibu? Apa ibu ada hubungi kamu?”
Nayra menggelengkan kepalanya. “Tadi pas di butik aku ketemu ibu bersama dengan Aninda. Ibu sedang membelikan Aninda pakaian banyak sekali.”
“Jadi ini alasan kamu jadi gak mood?”
“Kata-kata Aninda yang bikin aku kesal.”
Albi hanya tersenyum dan tak menjawab, mereka langsung menuju butik langganan keluarga Albi. Beberapa pelayan disana sudah mengenal Albi, mereka langsung menyambut dengan ramah.
“Mbak, saya tadi belanja beberapa pakaian. Tapi saya tidak pernah membawa ataupun berniat membeli baju ini, apakah tdi baju ini tidak sengaja masuk ke belanjaan saya?” tanya Nayra sambil menunjukan lakian hamil itu.
“Tapi sepertinya ini memang baju anda, nyonya.”
“Baju yang saya pilih? Tidak, saya benar-benar tidak memilih ataupun berniat membeli pakaian ini,” bantah Nayra.
“Sudahlah sayang, kamu ambil aja dan simpan. Siapa tahu nanti kamu membutuhkan pakaian ini,” bisik Albi.
“Maaf, nyonya. Tadi seseorang yang sedang bersama nyonya Laila yang meminta saya untuk menyimpan ini di belanjaan anda. Katanya anda sedang mencari pakaian itu karena anda sekarang tengah hamil, dan beberapa bulan lagi kehamilan anda membesar. Jadi, nyonya itu yang meminta saya memberikan kejutan untuk anda.” pelayan yang tadi membantu Nayra akhirnya angkat bicara. Mendengar penjelasan pelayan itu membuat Nayra marah.
“Mas! Adik ipar kamu itu sudah sangat keterlaluan!”
Nayra langsung meninggalkan suaminya, Nayra benar-benar kesal. Adik iparnya terus saja mengganggu dan terus mengungkit masalah kehamilan. Nayra lalu duduk dia sebuah cafe yang masih satu atap dengan butik itu. Sementara Albi menyelesaikan pengembalian baju tersebut. Nayra menangis, dia begitu cengeng ketika menyangkut dengan masalah kehamilan.
“Jangan menangis, Mas yakin jika Aninda hanya bercanda saja.”
“Bercanda? Bercandanya itu sangat tidak lucu, Mas. Bukannya lucu malah bikin orang sakit hati dan kesal!”
“Biar nanti mas yang bicara dengan ibu. Kamu tenang saja,” sahut Albi.
“Mas bicara sama ibu? Nanti yang ada ibu belain dia, Mas. Harusnya mas lngsung bicara sama orangnya aja. Kalau perlu beritahu juga adik kamu supaya bisa membuat istrinya sedikit lebih menghargai atau menjaga perasaan orang lain!”
“Iya, mas akan bicara pada Rafael juga nantinya. Sekarang kita pulang atau mau makan dulu?” tanya Albi.
“Langsung pulang aja, lagian tidak ada yang ingin aku beli lagi. Semua sudah cukup,” jawab Nayra.
*****
Keesokan harinya, Albi dan Nayra datang kerumah utama. Keduanya memang sudah berjanji akan datang makan malam dirumah Laila. Albi langsung ikut bergabung dengan ibu, adik dan kakak nya di ruang keluarga. Sementara Nayra pergi ke dapur untuk mengambil minum karena memang dia merasa kerongkongannya kering.
“Mbak Nayra, sudah sampai rupanya.” tanpa disangka Aninda sedang ada di dapur sedang membuat susu yang biasa dia minum.
“Maksud kamu apa menyimpan pakaian hamil di tas belanjaanku?” tanpa menunggu waktu lagi, Nayra langsung bertanya pada Aninda.
“Pakaian hamil apa, mbak?”
“Jangan pura-pura gak tahu! Aku sudah bertanya pada pelayan di butik itu kemarin dengan mas Albi. Salah satu pelayan itu bilang kalau semua itu kamu yang nyuruh, maksud kamu apa?”
“Maksud aku baik, mbak. Aku hanya ingin membelikan sesuatu yang pastinya kamu akan membutuhkannya suatu saat nanti. Apa salahnya.” tidak ada penyesalan yang terlihat diwajah Aninda.
“Kamu memang keterlaluan, bercandaan kamu itu tidak lucu sama sekali, Aninda!” kata Nayra dengan berusaha bicara pelan.
“Ada apa ini?”
"Mas, tadi Aninda ada hubungi aku." "Tumben, ada apa?" tanya Albi yang merasa aneh. Pasalnya adik iparnya itu jarang sekali menghubungi istrinya. "Katanya ibu nyuruh kita untuk datang makan siang. Mau kesana, gak?" Albi menatap istrinya dengan lekat. "Apa kamu mau datang?" Nayra berpikir sejenak, dia merasa sudah lama juga tidak melihat mertuanya. "Boleh deh, udah lama juga nggak ketemu sama Mbak Kartika. Aku yakin, kalau mbak Kartika pasti ada di rumah ibu." "Iya sih. tapi-" Nayra mengerutkan keningnya, Nayra seperti melihat Albi yang mempunyai kekhawatiran. "Tapi apa, Mas?" "Tidak ada, lebih baik nanti saja ke rumah ibu nya. Aku ingin istirahat dirumah hari ini, menghabiskan waktu bersama istri tercintaku ini." Nayra lalu merentangkan tangannya, Albi yang mengerti langsung memasukan Nayra dalam pelukannya. "Malam siang berdua aja, ya?" Albi mengangguk sambil mengusap rambut panjang istrinya yang masih tergerai indah. Lalu mencium lembut pucuk kepala Nayra.
Nayra masih curiga dengan sikap suaminya yang terasa janggal. Suaminya seperti menyembunyikan sesuatu, namun dia tidak ingin terlalu menunjukan rasa ingin tahunya. Terlihat jika Albi sedang kecapean, sekarang dia tertidur dengan memeluk tubuh istrinya. Jawaban atas apa yang tadi Nayra tanyakan sangat tidak memuaskan. Jawaban Albi yang mengatakan jika alerginya kambuh membuat Nayra berpikir, jika memang alerginya kambuh, tidak mungkin hanya ada di leher bagian belakang saja. Mungkin saja akan menjalar ke seluruh tubuh. "Kenapa tidak tidur?" tanya Albi dengan nada serak. "Aku belum mengantuk, Mas. Kamu lanjut aja tidurnya," jawab Nayra sambil tersenyum. "Aku tahu, pasti kamu sedang memikirkan sesuatu, kan? apa karena tanda merah di badan ku yang membuat kamu tidak bisa tidur?" tanya Albi sambil mengubah posisinya menjadi duduk. "Kamu diam berarti memang benar, kamu masih kepikiran dengan apa yang terjadi di badanku." Albi menggenggam tangan Nayra. "Aku ingin kita saling p
Albi pulang dengan terlihat lelah sekali. Dia lalu mencari keberadaan istrinya, Albi memang tidak memberitahu jika dia akan segera pulang. Sebelumnya Albi mengatakan jika dia akan pulang malam atau besok, nyatanya, dia pulang lebih awal. Albi melakukan itu semua karena rasa bersama terhadap istrinya yang dia bohongi. "Sayang ... Mas pulang!" teriak Albi saat masuk ke kamar dimana Nayra tidur. Albi memang langsung ke rumah Mira saat itu. "Mas. Kok gak bilang kalau pulangnya lebih awal?" tanya Nayra sambil memeluk suaminya. "Iya, awalnya memang akan pulang malam nanti atau besok. Tapi karena pekerjaan sudah selesai, dan memang Mas juga udah rindu sama kamu, jadi Mas langsung pulang saja." Albi memeluk istrinya dengan erat. "Terima kasih. Sekarang mas istirahat dulu, aku mau ambilkan minum." Albi mempererat pelukannya. "Tidak usah, dari tadi Mas minum terus di mobil. Mas juga sudah makan, jadi mau rebahan sebentar sebelum mandi." "Baiklah kalau begitu," Nayra langsung m
"Suara siapa itu, Mas?" "Suara apa?" balik bertanya, Albi menatap Kharisma dengan tatapan tajam. "Tadi sepertinya ada yang menawarkan kamu kopi, suara perempuan dan memanggil kamu dengan sebutan Mas." "Itu ... itu pelayan hotel. Tadi Mas minta kopi dan baru saja diantarkan, rasanya Mas rindu kopi buatan kamu," jawab Albi sambil gelagapan. "Nanti kalau sudah pulang, aku akan buatkan kamu kopi yang banyak. Makanya cepat pulang," rengek Nayra. "Malam ini Mas pulang, tunggu saja ,ya." Kharisma menatap Albi dengan tatapan tidak suka. Apalagi ketika mendengar kalau Albi akan pulang malam ini juga, sungguh Kharisma dibuat kesal. Albi segera menutup sambungan telpon setelah beralasan akan meeting. Kharisma mendekat dan menatap Albi. "Aku tidak mau kamu pulang malam ini, Mas!" "Aku tidak suka diatur!" tegas Albi. "Tidak suka diatur! Jika aku sudah memutuskan sesuatu, maka tidak akan ada yang bisa membantahnya." "Oh ya? jika ibu yang minta?" tanya Kharisma. "Aku
Albi menatap tubuh Kharisma yang tanpa sehelai benangpun. Entah kenapa wajah Kharisma berubah menjadi Nayra, istrinya. Albi yang sudah terpengaruh oleh sesuatu yang Kharisma campurkan di minumannya justru membuat Albi hasrat yang begitu memuncak. Albi tidak bisa membedakan mana Kharisma dan mana Nayra saat ini. Albi memeluk Kharisma dengan erat. "Kamu kah ini, Nay. Maafkan aku," lirih Albi yang masih terdengar oleh Kharisma. Kharisma mencoba mendorong tubuh Albi, namun kekuatan Albi lebih kuat. Kharisma akhirnya dia ketika tangan Albi sudah bergerak menyentuh tubuhnya. Kharisma lalu terbuai oleh permainan tangan Albi yang sudah tidak tinggal diam. Albi yang sudah ingin menyalurkan h4sr4tnya langsung menggendong Kharisma dan dilempar istri keduanya itu keatas ranjang.Melihat Albi yang sudah terpancing membuat Kharisma tersenyum. Walaupun Kharisma mendengar Albi menyebut nama istri pertamanya, untuk sekarang tidak apa. Menurut Kharisma yang penting sekarang Albi mau menyentuhnya.
Malam semakin larut, udara dingin membuat siapa saja ingin masuk ke rumah dan berbaring dengan menyelimuti tubuh. dengan selimut. Begitu juga yng dilakukan Nayra malam ini ketika suaminya tidak ada. Dia berbaring dengan memeluk ujung selimut, perasaannya tidak enak dan terus tertuju pada suaminya. Entah kenapa ponsel Abi sama sekali belum bisa dihubungi. Nayra selalu berpikir positif, mungkin di sana Albi kesulitan signal. "Mas, ini sudah pukul satu malam tapi kamu sangat sulit sekali dihubungi. Aku benar-benar tidak enak hati, semoga kamu baik-baik saja, Mas." Nayra menatap langit-langit kamar yang sedang dia tempati. Saat lelah menatap ponsel yang tak kunjung ada balasan, Nayra akhirnya tertidur. Pagi menjelang, Nayra terbangun dan yang pertama kali dia lihat adalah ponselnya. Nayra tersenyum ketika sang suami membalas pesan darinya. Sungguh dia lega mendapat kabar jika Albi baik-baik saja. Albi mengatakan jika ponselnya kehabisan daya, akhirnya lupa untuk mencharge karena sibuk.