Share

Bab 6

Part 6

Barana memperhatikan sosok Alice dari kejauhan. Matanya terlihat penuh harap, seolah ada yang ia inginkan dalam hatinya.

Alice tersenyum menghampiri mobil sang suami. Keduanya memang janjian untuk menjenguk keponakan Barana yang tengah terbaring sakit di rumah sakit.

"Hai Mas, sudah lama menunggu?" tanya Alice seraya mencium tangan Barana dengan takzim. 

"Aku baru saja tiba kok. Kita jalan sekarang ya, takut kemalaman." Barana mencium kening Alice dan bersiap di belakang kemudinya.

Alice hanya menganggukkan kepala, lalu mengenakan sabuk pengamannya. Mobil berwarna putih itu pun mulai melaju, meninggalkan parkiran kantor dan juga seseorang yang sejak tadi mengamati mereka berdua. 

'Syukurlah jika hubungan mereka mulai membaik. Semoga kebahagiaan menyelimuti rumah tangga mereka.' Kania membatin sambil memperhatikan mobil berwarna putih itu pergi dari hadapannya. 

Usai kejadian beberapa minggu lalu di ruang meeting, keduanya memang sudah jarang bertegur sapa. Hanya untuk urusan pekerjaan saja, keduanya terlibat percakapan.

**

Setibanya di rumah sakit, Alice dan Baram tersenyum lega. Karena jam besuk baru saja dibuka. Kebetulan jalanan ibukota sore tadi agak lengang, karena besok adalah hari libur.

"Halo Janis! Bagaimana kabarmu?" Barana menyapa keponakannya, yang sedang terbaring lemah.

Janis hanya tersenyum. Binar matanya terlihat bahagia karena melihat Barana dan juga Alice. Kepalanya menggeleng lemah, meski senyum masih terlukis di bibirnya.

"Lihatlah, apa yang om dan tante bawa untuk Janis?" Alice berjalan mendekat, menghampiri gadis kecil yang tersenyum samar. 

Sementara itu, Barana langsung duduk di sofa dan berbincang dengan kakaknya, yang merupakan ayah Janis.

"Gimana Mas? Apa kata dokter?" 

"Janis harus di operasi, Bar. Dokter bilang biayanya kurang lebih 45 juta." Bram menjawab pertanyaan sang adik, sambil menatap ke arah putrinya.

"Mahal banget! Emangnya gak bisa di cover oleh asuransi kesehatan dari pemerintah?" selidik Barana sambil mengerutkan dahinya.

"Tidak Bar. Asuransi kesehatan pemerintah tidak mengcover kondisi kesehatan Janis. Pahamilah sendirilah kamu." Bram menatap langit-langit rumah sakit.

"Aku tidak tahu lagi harus mencari kemana uang tersebut. Semua orang sudah kudatangi, namun hasilnya tetap nihil." Bram kembali menambahkan ucapannya, dengan ia buat sesedih mungkin.

Barana menghela nafasnya dengan kasar. Ia memandangi tubuh Alice yang masih asyik berbincang dengan keponakannya tersebut.

Tiba-tiba ia teringat akan ucapan Mariam, beberapa waktu lalu.

"Kasihan Janis, dia butuh biaya besar untuk operasinya. Bisakah kau membantu Bram mencarikan pinjaman?"

Barana hanya terdiam saat itu. Ia teringat akan ucapan Alice beberapa waktu silam. Bahwa istrinya itu tengah menabung untuk melakukan program kehamilan bayi tabung. 

Alice juga menceritakan tabungan yang dimilikinya sudah mendekati jumlah, yang telah dokter kandungan informasikan kepadanya. Barana teringat akan senyum manis Alice yang mengembang saat itu. 

Apalagi saat mendengar Alice berkata, bahwa semua uang fee dari klien dan juga kantornya, telah ia tabung selama beberapa bulan, dan sudah mencapai ratusan juta rupiah.

"Bar! Kamu dengar ucapan Ibu tidak sih?!" tanya Mariam kesal karena merasa diabaikan.

"Barana dengar Bu. Nanti akan aku coba tanyakan pada Alice, barangkali ia bisa membantu." Barana langsung terdiam usai mengatakan hal itu. 

Ia merutuki dirinya yang begitu bodoh karena telah menceritakan perihal istrinya, Alice. Barana paham betul sikap Alice jika berkaitan dengan uang tabungan, pasti akan sulit diutak-atik.

"Bener ya! Kamu yakinkan pada istrimu untuk bisa membantu mas Bram. Jika perlu rayulah dia, agar luluh hatinya." Mariam menegaskan ucapannya, lalu pergi meninggalkan Barana yang masih duduk terdiam.

**

Bram melirik ke arah Barana dan juga ke arah Alice. Senyum tipis mwngembang sesaat di bibirnya. Matanya kembali dibuat berkaca-kaca, seolah sangat bersedih atas kebuntuan yang ia alami.

"Aku sangat meminta tolong kepadamu, bicarakanlah kepada Alice." 

Barana menoleh ke arah kakak tertuanya tersebut. Ia terkejut mendengar ucapan Bram barusan. Tetapi ia tak kuasa menolak permintaannya, sebab sang ibu pasti telah menceritakan perihal keuangan Alice pada Bram.

"Aku tidak janji, Mas. Tetapi akan aku usahakan membujuk Alice, agar bersedia membantumu." 

"Kamu harus bisa merayunya, Bar. Masa sebagai suami tidak bisa membujuknya untuk membantu kakakmu ini." Bram kembali berkata. Kali ini nadanya terdengar menyindir kepada adik bungsunya tersebut.

Barana menghela nafas panjang. Matanya terus mengarah kepada Alice, yang masih sibuk berbincang dengan Janis.

Dalam benaknya ada rasa ragu untuk melakukan hal itu. Terlebih hubungannya baru saja membaik, pasca Alice masuk RS beberapa waktu lalu. 

Ia teringat akan ucapan Kania., sahabat istrinya, jika ia akan menyesali semuanya setelah kehilangan Alice dan ia tidak ingin hal itu terjadi.

"Bar, kok malah bengong sih! Bisa gak, kamu usahakan? Kalo gak bisa, biar Mas aja yang bicara langsung ke Alice." Bram menyenggol tubuh Barana yang masih asyik terdiam.

"Eh … aa-anu Mas, nanti aku saja yang bilang." Dengan terbata-bata Barana mengatakannya. Ia tidak ingin Alice marah terhadapnya, karena telah membocorkan perihal uang tabungan miliknya.

"Janji ya! Mas butuh uang itu tiga hari lagi loh!"

"Janji Mas. Akan aku usahakan." 

"Baiklah. Aku ke kantin dulu, ingin membeli kopi. Apa kau mau juga?" 

Barana menggelengkan kepalanya, lalu bangkit dari duduknya menghampiri sang keponakan.

"Mbak Laras sebentar lagi akan datang. Tolong katakan jika aku sedang ke kantin ya." Bram lalu keluar kamar menuju kantin rumah sakit.

**

Jalanan ibukota malam ini sedikit lengang. Angin malam menghembuskan hawanya yang dingin, sekaligus menyegarkan. 

Alice tertunduk, ia mendadak malas menikmati makan malamnya yang tertunda. Makan malam yang ia nikmati di pinggir jalan bersama suaminya.

Rasa kenyang mulai menghantui dirinya, usai mendengar ucapan Barana barusan. Padahal sebelumnya ia merengek meminta makan malam, karena didera rasa lapar yang luar biasa.

"Sayang … habiskan makananmu." Barana membujuknya untuk melanjutkan makan malamnya.

"Malas,"

Barana segera menyendokkan makanan yang berupa kwetiau goreng, kesukaan Alice. Kemudian menyodorkan ke mulut sang istri.

"Makan!"

Alice masih terdiam. Wajahnya ia palingkan ke arah lain. 

"Buruan makan." Tangan Barana masih menyodorkan makanan ke arah Alice. 

Bahkan ia mencolek pipi Alice, agar berpaling ke arahnya dan memakan kwetiau yang ia sodorkan.

Alice kegelian, ia pun menoleh ke arah suaminya dan langsung membuka mulutnya. Ia terkekeh manakala Barana menepuk-nepuk pucuk kepalanya.

"Kita bicarakan lagi hal ini di rumah ya," Barana melanjutkan makannya. 

Alice menganggukkan kepalanya. Meski ia agak sedikit kesal, namun setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya jika meminjamkan uang untuk biaya operasi Janis. 

"Memangnya butuh berapa biaya operasi Janis, Mas?" tanya Alice, sambil menikmati kwetiau goreng kesukaannya.

"Katanya sih 50 juta." 

"Uhuk … uhuk … lima puluh juta!" Tiba-tiba Alice merasa lehernya tercekik, dan makanan yang ia makan tersangkut di tenggorokan.

                      *** 

Mas Khalid

Hai, say... Ini karya pertama aku di Good Novel

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status