Share

Bab 8

Penulis: Mas Khalid
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-28 16:53:20

Part 8

Usai keributan di malam itu, Alice mendiamkan Barana. Bukannya membujuk atau meminta maaf kepada sang istri, pria itu malah tetap bersikukuh dengan pembenarannya. 

Barana tidak mengetahui jika saat itu Alice telah mengetahui semuanya. Kemarahan Alice kian memuncak, manakala operasi Janis berjalan gagal. 

Gadis kecil itu kehilangan banyak darah dan meninggal dunia pasca operasi. Bram dan juga Anisa malah menyalahkan Alice, karena tidak membantu meminjamkan uang kembali kepada mereka. Sehingga tidak dapat memberirkan pengobatan yang layak untuk Janis.

Ingin rasanya Alice berteriak dan mengeluarkan semua yang ia ketahui selama ini. Namun karena masih suasana duka, Alice pun menahan diri untuk tidak berkomentar apapun.

Saat pemakaman, Alice tidak diperbolehkan mendekati area pemakaman. Ia memilih melihat dari kejauhan dengan hati menahan perih dan juga rasa sakit hati.

Air matanya tiada henti menetes. Membasahi pipinya yang halus dan lembut, serta sedikit tirus. Ya, sejak ia selalu disindir perihal belum memiliki anak, berat badannya menjadi turun demikian drastis.

"Loh Mbak, kok gak ke sana?" tanya seorang petugas pemakaman, mengejutkan dirinya.

Alice tersenyum lalu menggeleng lemah. Hatinya menahan sakit yang tiada terperi, manakala melihat jasad gadis kecil itu masuk ke dalam liang lahat. 

"Jaaaaanis …!" teriak Alice, yang langsung pingsan, tanpa mempedulikan lagi dimana posisinya berdiri saat ini.

Para petugas pemakaman pun segera membantunya. Barana yang mendengar teriakan Alice segera menoleh dan menghampiri sang istri.

Dibantu oleh dua orang petugas pemakaman, Barana membawa Alice ke dalam mobil. Ia terus berusaha menyadarkan sang istri, namun sayang usahanya tidak berhasil.

Rasa khawatir mulai menyelimuti dirinya. Tanpa pikir panjang ia segera melajukan mobilnya menuju rumah sakit, meninggalkan pemakaman keponakannya.

Sesekali pandangannya mengarah ke samping, tempat duduk istrinya dalam keadaan setengah berbaring dan masih tak sadarkan diri.

"Alice … bangun … bangun, Sayang,"

Tangan kiri Barana menepuk-nepuk pipi Alice. Sementara tangan yang satunya mengendalikan kemudi.

Mobil pun semakin cepat dilajukannya, berulang kali ia hampir menyenggol pengendara lain. Sumpah serapah tak lagi dihiraukannya, terpenting saat ini adalah keselamatan sang istri.

Meskipun belakangan ini hubunganya dengan Alice tidak baik-baik saja, namun ia belum siap jika harus kehilangan sang istri.

Setibanya di rumah sakit, ia segera berlari menuju ke ruang UGD dan meminta petugas kesehatan untuk membantunya.

**

"Ngerepotin aja sih, Alice! Lagi berduka malah drama pingsan segala!" seru Mariam memasang wajah kesal bukan kepalang, usai mendengar kabar dari Barana barusan.

"Biasalah Bu, pasti dia cari perhatian sama Bara biar gak dimarahin." Anisa malah memperpanas suasana hati Mariam yang sedang kesal.

"Kapan dia pingsan? Aku kok gak tahu?" tanya Bram acuh.

"Kamu kan sibuk menguburkan jasad Janis, Mas." Anisa menimpali seraya membelai tangan Bram.

"Pantas Barana langsung berlari. Kupikir dia ingin buang air kecil." Bram menggelengkan kepalanya, sambil terus membalas pesan ucapan duka dari para teman-temannya.

"Kamu ngapain sih, Bram?" tanya Mariam dengan nada kesal.

"Membalas pesan dari teman-temanku, Bu. Memangnya ada apa?" Bram balik bertanya, kemudian menatap Mariam penasaran.

"Sudah kamu pikirkan untuk acara nanti malam?" 

"Acara apa?"

"Ya ampun Bram! Memangnya kamu tidak ingin, mengadakan tahlilan untuk Janis?!" Mariam bertanya dengan nada penuh emosi.

"Ooh … itu. Ya, mau sih, Bu. Tapi bingung uangnya darimana,"

"Loh, memangnya uang pinjaman dari Alice sudah habis?" Mariam melirik ke arah keduanya.

Bram hanya menganggukkan kepalanya. Sebelum mulut Mariam kembali melontarkan kata-kata, ia kembali angkat bicara, "Gimana gak habis, untuk kalian berdua 10 juta, Barana 5 juta, biaya rumah sakit 25 juta. Sisanya untuk kebutuhan sehari-hari selama di rumah sakit. Coba Ibu pikirkan sendiri." 

Mariam menghela nafas panjang. Matanya melirik tajam ke arah Anisa, menantunya.

"Gak usah melirik seperti itu, Bu. Anisa juga berhak mendapatkannya, karena dia istriku." Bram lalu berdiri dan mengajak Anisa masuk ke dalam kamarnya.

Tinggalah Mariam sendirian dan menahan kesal bukan kepalang. Tiba-tiba ponselnya berdering, ia pun segera melihat dan langsung mengangkatnya.

"Assalamualaikum, Bu. Gimana keadaan mas Bram dan mbak Anisa? Maaf aku tidak bisa pulang ke Jakarta hari ini, karena kami berdua tidak kebagian tiket." Suara halus dari putri ketiganya yang bernama Bella, mulai terdengar.

Senyum Mariam mengembang, ia segera mendapatkan ide dan langsung diutarakannya kepada sang putri.

"Waalaikumsalam, Alhamdulilah mas Bram sudah sedikit tenang. Begitu juga dengan Anisa. Iya Sayang tidak apa-apa, doakan saja semoga Janis bahagia di sana."

"Syukurlah. Bu, Mas Damar akan transfer uang belasungkawa untuk mas Bram. Semoga uang tersebut bisa bermanfaat ya."

"Suami kamu mau transfer berapa? Kebetulan mas Bram lagi bingung untuk biaya tahlilan nanti malam. Bisakah kamu membantunya, Bel?" tanya Mariam dengan nada suara dibuat sesedih mungkin.

"Oh gitu, sebentar Bella tanyakan pada mas Damar ya, Bu. Rencananya kami mau transfer 5 juta, tapi bila memang mas Bram membutuhkan lebih, akan kami coba usahakan." 

Diujung sana terdengar suara Bella tengah berdiskusi dengan Damar, suaminya. Mariam tersenyum simpul saat mendengar perkataan Damar.

"Halo Bu?"

"Iya Sayang,"

"Alhamdulilah, Mas Damar dapat membantu biaya tahlilan Janis. Nanti kami akan transfer 15 juta ya, Bu. Tapi maaf, kami jadi membatalkan kepulangan ke Jakarta." Nada suara Bella terdengar penuh rasa sesal. 

Tetapi tidak dengan Mariam, hatinya begitu gembira manakala mendengar ucapan putrinya barusan.

"Halo Bu?"

"Eeh … iya halo, Sayang,"

"Sudah di transfer oleh mas Damar ya, ke rekening Ibu. Tolong Ibu cek sekarang, sekalian sampaikan salam kami untuk mas Bram ya, Bu." Bella pun segera mengakhiri sambungan teleponnya, usai mendengar jawaban dari sang ibu.

**

Tiga hari berlalu usai pemakaman Janis. Alice yang baru saja pulang dari rumah sakit, hanya tergolek lemah. 

Matanya memandang langit-langit kamar yang dingin, hawa dingin yang berasal dari AC yang menyala, membuatnya menarik kembali selimut ke tubuhnya. 

Ia melirik ke arah Barana yang tengah tertidur pulas, tiba-tiba rasa haus menjalar ke tenggorokannya. Sungkan untuk membangunkan sang suami, maka ia pun turun dari ranjang menuju dapur.

Praaang!

Barana langsung terbangun, karena terkejut mendengar suara yang berasal dari dapur barusan. Tangannya meraba sisi ranjang di sebelahnya.

'Kemana Alice?' gumam Barana sambil menyingkap selimut, dan bergegas turun dari ranjang.

Ia pun langsung menuju dapur untuk melihat apa yang terjadi. Matanya mengelilingi dapur yang terlihat berantakan.

"Alice!" pekiknya, saat melihat sang istri tengah meringis kesakitan.

Alice terkejut saat mengetahui Barana telah berada di sampingnya. Ia pun menutupi tangannya, yang mulai mengeluarkan darah segar. 

"Apa yang kamu lakukan? Jangan gila kamu!" hardik Barana, yang langsung meraih lengan Alice untuk melihat lukanya.

"Aa–aku …." 

                    ****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rumah Tanpa Buah Hati    bab 24

    Part 24Rintihan suara kesakitan terdengar begitu jelas di telinga Barana, sehingga membuatnya penasaran ingin melihat siapakah yang baru saja masuk ke ruang UGD tersebut. Namun sayangnya, Mariam pun tengah membutuhkan dirinya."Dok … tolong anak saya, Dok!" seru suara di sebelah ranjang Mariam, yang hanya terhalang oleh tirai.Barana tersentak kaget saat mendengar suara itu. Suara yang tidak begitu asing di telinganya, yang membuat hatinya tergelitik untuk mengetahui orang tersebut."Mama Indah!" Barana tersentak kaget, saat mengetahui siapa pemilik suara tersebut."Barana?!" Indah pun tak kalah kaget saat mengetahui siapa yang memanggilnya."Siapa yang sakit, Ma?" tanya Barana khawatir."Kamu sendiri ngapain di sini?" Indah malah balik bertanya pada menantunya."Ibu terkena stroke, Ma. Tadi mendadak pingsan di rumah." Barana menoleh ke arah ranjang Mariam."Ya Allah Mariam … terus bagaimana keadaan ibumu sekarang?" tanya Indah.Barana kemudian menceritakan kepada Indah, semua ucapan

  • Rumah Tanpa Buah Hati    bab 23

    Part 23Perceraian Alice dengan Barana sudah melewati waktu hampir satu tahun. Devan yang pada akhirnya mengetahui status Alice, mencoba memberi sinyal kepada wanita itu agar mau menerimanya. Namun sayang, rasa trauma dan juga takut akan mendapatkan perlakuan yang sama, membuat Alice masih mempertimbangkan semuanya.Hingga suatu hari Kania menghubungi dirinya. Nada bicaranya seolah terdengar sedikit sedih. Namun Alice berusaha untuk tidak terpengaruh."Devan sudah cukup lama menunggu kepastianmu loh, Lice," ungkap Kania."Siapa yang menyuruhnya untuk menungguku, Nia?" Alice malah membalikkan pertanyaan."Alice … tolonglah! Jangan biarkan rasa takut itu terus menghantui dirimu seumur hidup. Dokter telah menyatakan kandunganmu sehat dan baik-baik saja. Ayolah Lice, buka matamu! Di luar sana, ada seorang pria yang masih menunggumu dengan sabar dan setia!" cetus Kania sedikit kesal.Alice terdiam. Pikiran melayang kepada pria yang dimaksud oleh sahabatnya itu. Devan, pria tampan juga mapa

  • Rumah Tanpa Buah Hati    bab 22

    Part 22Pertengkaran terus mewarnai kehidupan Barana dengan Sarah. Terlebih pasca dirinya bercerai, sikap wanita itu malah semakin menjadi. Bahkan kali ini Sarah menuntut agar ia dinikahi secara negara.Sarah yang memang berniat menuntut harta gono-gini milik Barana, mencoba mendatangi Alice ke rumahnya. Kedatangannya bersama Mariam tersebut tanpa sepengetahuan Barana, namun sayangnya wanita itu telah pindah rumah. Amarah Mariam pun meledak, saat mengetahui Alice telah menjual rumahnya tanpa memberikan uang sepeser pun kepada Barana.Wanita paruh baya itu pun mencoba mencari dimana Alice tinggal sekarang. Namun hasilnya nihil, karena tidak seorangpun yang ingin memberitahukan keberadaan Alice.Sebenarnya rumah itu dibeli oleh Devan, bukan dengan orang lain. Karena saat Alice ingin menjualnya, ia merasa kesulitan karena lama terjual. Alice pun tidak tahu, jika rumah itu dibeli oleh Devan. Karena semua urusan jual beli tersebut di urus oleh asisten pribadi pria itu. Devan memang seng

  • Rumah Tanpa Buah Hati    bab 21

    Part 21"Suami kamu?" tanya Devan singkat."Akan menjadi mantan suami," sahut Alice acuhDevan tersenyum mendengar ucapan Alice. Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan makan siang, dan mengabaikan kejadian barusan.Alice yang melihat sikap acuh Devan atas kejadian tadi hanya tersenyum. Setidaknya ia tahu bagaimana karakter Devan, jika menghadapi suatu masalah."Apakah itu istri keduanya?" tanya Devan lagi, diselimuti rasa penasaran.Alice hanya menganggukkan kepala tanpa berkata-kata. ia tetap menikmati makan siang kesukaannya tersebut. Seolah tidak terpengaruh oleh kata-kata Devan barusan."Apa kamu mengetahui pernikahannya tersebut?" selidik Devan."Tahu dan aku mengijinkannya." Alice menimpali ucapan Devan dengan santai.Sikap Alice tersebut membuat Devan terkejut, sebelum akhirnya kembali tersenyum. Ia sudah membayangkan, bagaimana sabarnya Alice dalam menjalani rumah tangganya."Hey Van, lanjutkan makanmu. Kok malah bengong?" ledek Alice melihat pria itu terus menatap

  • Rumah Tanpa Buah Hati    bab 19

    Part 19Kejadian hari itu menyisakan trauma yang mendalam bagi Alice. Sejak saat itu gerbang rumahnya di gembok, dan melarang siapapun masuk ke rumah tanpa ada janji dengannya.Kania yang sempat mendengar pertengkaran antara Alice dengan Mariam pun jadi mengetahui jika ternyata sahabatnya itu telah mengajukan gugatan cerai.Akan tetapi Kania berpura-pura tidak mengetahui sampai Alice menceritakan sendiri kepada dirinya. Devan pun sudah beberapa kali menghubungi Kania dan menanyakan perihal sahabatnya tersebut, namun ia menutupi dan meminta Devan untuk mencari tahu sendiri perihal Alice."Tega kau, Nia! Masa sama teman sendiri gak mau kasih kisi-kisi." Suara bariton Devan terdengar kecewa dari seberang sana.Kania hanya tertawa mendengar ucapan teman semasa kuliahnya itu."Lebih baik kamu cari tahu sendiri deh, Van. Kurang seru kalo dari kisi-kisi." Kania menggoda Devan."Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan dariku sih? Cukup bilang dia ada suami atau tidak, simple kan?" Devan terus

  • Rumah Tanpa Buah Hati    bab 18

    Part 18Makan malam pertama yang terjadi antara mereka, menyisakan kesan yang mendalam. Gaya Devan yang santai dan acuh, jauh dari kesan seorang CEO terkenal. Justru membuat Alice semakin tertarik untuk mengenal pria itu lebih dekat.Gelak tawa selalu terurai dari bibirnya di malam itu. Sehingga membuat Kania senang, melihat wajah sahabatnya begitu bahagia.Sebenarnya Kania tahu jika Alice akan mengajukan gugatan cerai. Namun ia sungkan untuk menanyakannya lebih jauh lagi, karena tidak ingin dianggap mempengaruhi keputusan Alice untuk bercerai dari Barana.Malam itu rona bahagia terus menggelayuti wajah cantik Alice. Bahkan saat Devan memutuskan untuk mengantarkannya pulang pun, Alice tidak menolak sama sekali. Kania yang sadar diri, menolak pulang bersama mereka. Ia beralasan di jemput oleh sang suami dan akan langsung menuju rumah orang tuanya.Devan dan Alice percaya dengan alasan Kania. Keduanya lalu pulang bersama menggunakan mobil Alice, diikuti oleh asisten pribadi Devan yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status