Beranda / Horor / Rumah nomer Tujuh / EMPAT MAHASISWA DAN RUMAH YANG DILUPAKAN

Share

EMPAT MAHASISWA DAN RUMAH YANG DILUPAKAN

Penulis: Kelaras ijo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-03 08:10:06

Empat tahun berlalu.

Waktu berjalan seperti biasa. Kota berkembang. Gang itu tetap sunyi, tapi lebih ramai dari dulu. Warung kecil mulai buka di ujung jalan. Anak-anak mulai bermain sepeda lagi.

Tapi rumah nomor tujuh tetap tak tersentuh.

Cat temboknya mulai kusam. Rumput di halamannya menjulang. Pagar berkarat. Jendela ditutupi tirai tebal yang menggantung seperti daging mati.

Warga sekitar sudah berusaha melupakan tragedi itu, tapi tidak pernah benar-benar berhasil.

Karena setiap kali hujan deras turun di tengah malam… bau amis itu seperti kembali muncul.

Dan kadang—masih terdengar bunyi langkah kecil di atas genteng, walau tak ada yang tinggal di sana.

---

Sampai suatu siang...

Pak RT Slamet sedang menyapu halaman saat suara motor matic berhenti di depan rumahnya.

Dari balik helm, turun empat anak muda. Dua cowok, dua cewek. Usia sekitar 20-an. Mereka tertawa, saling dorong, dan membawa map serta ransel.

“Permisi, Pak. Pak Slamet ya?” tanya salah satu dari mereka, cowok tinggi berkacamata.

Pak Slamet mengangguk. “Iya, ada apa?”

“Kami mau tanya soal rumah kosong yang di ujung gang, Pak. Rumah nomor tujuh.”

“Dengar-dengar bisa dikontrakkan, ya?”

Pak Slamet langsung berhenti menyapu. Senyumnya hilang. Ia menatap mereka satu per satu.

“Kalian dari mana?”

“Dari Jakarta, Pak. Kami kuliah di sini, semester lima. Lagi cari kontrakan murah. Temen kami nemu info rumah itu dari grup F******k.”

Salah satu dari mereka, cewek berjilbab, menyambung, “Iya, Pak. Katanya sih rumahnya gede dan harganya murah banget. Cocok buat rame-rame.”

Pak Slamet mendesah pelan. Ia menyandarkan sapunya ke dinding, lalu mempersilakan mereka duduk di kursi teras.

“Kalian udah tahu sejarah rumah itu?”

Empat mahasiswa itu saling pandang.

Cowok paling kecil, yang dari tadi sibuk main HP, nyeletuk sambil ketawa kecil, “Katanya sih rumah bekas pembunuhan, Pak? Hahaha... serem amat. Tapi itu tahun berapa, sih?”

Pak Slamet tak ikut tertawa.

“Kejadiannya empat tahun lalu. Waktu hujan deras, sama kayak malam tadi.”

“Satu keluarga dibantai di dalam rumah itu. Gak ada yang selamat.”

Suasana langsung berubah. Tawa mereka mereda.

“Itu... beneran, Pak?” tanya si kakak cewek, yang terlihat paling serius.

Pak Slamet mengangguk pelan. “Natasya. Kevin. Pak Pratama. Ibu mereka. Semua meninggal. Ditemukan seminggu kemudian. Mayatnya sudah membusuk.”

“Tapi kok gak ada yang tinggalin rumah itu sejak saat itu?”

“Karena rumah itu gak pernah benar-benar kosong,” jawab Pak Slamet pelan.

“Orang-orang yang coba bersihin rumah itu... ngedenger suara. Ngerasa diikutin. Ada yang mimpi buruk seminggu penuh. Akhirnya rumah itu didiemin aja.”

Suasana makin sunyi. Hanya suara ayam dari kebun belakang.

Lalu cowok berkacamata tadi nyeletuk, setengah tertawa.

“Wah... beneran cerita horor, nih. Tapi yaudah lah, Pak. Kita nggak percaya beginian. Selama rumahnya masih layak huni, air jalan, listrik nyala… kita siap kontrak.”

Yang lain ikut mengangguk. Cewek berjilbab sempat tampak ragu, tapi tetap tersenyum.

“Iya, Pak. Lagian hantu mana ngerti anak kost. Uang aja pas-pasan.”

Pak Slamet menghela napas. Dalam hati, ia ingin menolak. Tapi surat kuasa pemilik rumah jelas: rumah boleh disewakan siapa pun yang mau.

Akhirnya, ia bangkit.

“Kalau kalian yakin... besok saya antar kuncinya. Tapi satu pesan saya...”

“Kalau jam dua malam kalian denger suara langkah, atau air mengalir sendiri... jangan keluar dari kamar. Diam aja. Apa pun yang terjadi... jangan buka pintu.”

---

Empat mahasiswa itu saling lirik.

Masih setengah yakin, setengah geli.

Mereka pikir Pak Slamet hanya orang tua yang terlalu percaya cerita hantu.

Mereka tak tahu...

Rumah itu tidak menunggu untuk ditinggali. Rumah itu menunggu untuk hidup kembali.

---Keesokan harinya.

Sesuai janji, Pak Slamet datang membawa kunci.

Ia berdiri di depan pagar rumah nomor tujuh, ditemani empat mahasiswa yang kini resmi jadi penghuni baru rumah itu.

Anggi, si cewek berjilbab, tampak sedikit cemas.

Raka, kakak tertua sekaligus yang paling logis, justru sibuk ngecek teras depan dan kondisi air PAM.

Zaki, mahasiswa semester lima yang suka bercanda, dari tadi udah bawa kamera HP sambil bilang, “Bro, ini spot horor cakep banget buat vlog.”

Dan yang paling muda, Tiara, adik Raka, tampak paling antusias. “Wah rumahnya gede banget. Kamar kita pilih bebas, kan?”

Pak Slamet membuka pagar dengan bunyi “kreeekk...” yang panjang dan berkarat.

Pintu utama berdebu. Ketika dibuka, angin dari dalam langsung menyembur keluar. Dingin. Seperti ruangan yang tak pernah disentuh cahaya matahari.

Aroma apek dan tanah lembab menyeruak ke hidung.

“Bau lembabnya masih kuat, ya…” gumam Raka sambil menutup hidung.

Zaki nyengir. “Wajar lah. Rumahnya kan udah kayak jomblo tua. Gak disentuh empat tahun.”

Pak Slamet tidak tertawa. Ia menatap ruangan itu dalam-dalam, lalu menyerahkan kunci ke Raka.

“Ini. Kalau ada apa-apa... saya di rumah. Tapi jangan ketuk pintu saya lewat tengah malam.”

Lalu ia pergi tanpa pamit panjang.

Setelah Pak Slamet pergi, keempat mahasiswa itu mulai menyusuri rumah. Suara sandal yang menyeret di lantai menambah kesan rumah itu memang sudah terlalu lama tidak dihuni.

Tiara: (menepuk-nepuk sofa yang penuh debu)

“Fix! Ini rumah cocok buat sinetron. Tinggal tambahin nenek-nenek nyanyi lagu Jawa di pojokan.”

Zaki: (dari dapur, buka kulkas kosong)

“Wih, ini kulkas udah kayak museum fosil. Bisa jadi habitat baru jamur mutan.”

Anggi: (geleng-geleng, sambil mengelap kaca jendela)

“Udahlah jangan banyak gaya, bersihin tuh dapur. Aku bawa alat pel, tapi gak bawa kesabaran.”

Raka: (dari atas tangga, serius tapi nyengir dikit)

“Kamar atas lumayan. Ada lemari tua gede. Gak tau isinya apa. Semoga bukan bekas jasad.”

Zaki: (teriak dari bawah)

“Kalau mayat sih, tinggal diajak main Mobile Legends. Lumayan buat tim!”

Semua tertawa. Tiara sampe ngikik sambil batuk-batuk karena debu.

---

Sambil beres-beres...

Mereka mulai bercanda tentang “cerita hantu” rumah itu, tapi belum ada yang benar-benar percaya.

Anggi:

“Tapi serius deh, kalian gak ngerasa... kayak rumah ini tuh ngelihatin kita?”

Tiara:

“Iya, kayak... udah lama banget gak dihuni, trus tiba-tiba rame. Rumahnya kaget mungkin.”

Zaki: (bercanda sambil liat ke arah langit-langit)

“Tenang ya, rumah. Kita gak ganggu. Cuma numpang rebahan dan ngutang kuota doang.”

Raka: (menimpali sambil pel lantai)

“Kalau lo diganggu, jangan nangis ya, Zak. Lo cowok satu-satunya yang penakutnya ngalahin Tiara.”

Tiara: (teriak)

“Eh! Aku berani tau! Asal jangan sendirian ke kamar mandi.”

Zaki:

“Ya itu namanya gak berani, beb…”

---

Sore itu mereka duduk di ruang tamu yang masih polos. Belum ada TV, hanya kasur gulung dan beberapa kardus makanan. Makan mie rebus bareng-bareng.

Tiara:

“Gue penasaran, dulu keluarga yang tinggal di sini... siapa nama anak ceweknya, ya?”

Raka:

“Natasya.”

Zaki: (diam sejenak, lalu pura-pura bisik-bisik)

“Katanya, dia masih di sini... nunggu temen ngobrol…”

Anggi:

“Zaki...”

Zaki: (langsung ngakak)

“Wkwkwk bercanda anjir! Mukamu langsung putih, Nggi!”

Raka: (nada rendah, lebih serius)

“Tapi memang iya. Namanya Natasya. Umur 18. Kamar yang sekarang kalian tempatin... dulu kamarnya.”

Tiara: (langsung diam)

“...hah?”

Anggi:

“Jangan bercanda, Kak. Serius?”

Raka:

“Pak RT cerita kemarin pas kamu lagi beli bakso. Katanya dia meninggal di kamar itu.”

Zaki:

“Fix. Gue nginep di masjid.”

Sore itu mereka mulai bersih-bersih.

Lantai dilap. Debu disapu. Tirai diganti.

Suasana rumah perlahan berubah: dari menyeramkan jadi sedikit lebih hangat.

Kamar dipilih:

Raka ambil kamar atas, bekas kamar utama.

Zaki ambil kamar kecil dekat tangga.

Tiara dan Anggi sekamar di bawah, yang dulunya kamar Natasya.

Zaki sempat nyeletuk:

“Eh ini kamar yang cewek itu meninggal, ya? Yang matanya katanya masih terbuka?”

Tiara langsung melempar sandal. “ZAKI TOLOL!”

Mereka tertawa.

---

Malam pertama berlalu tanpa gangguan.

Begitu juga malam kedua.

Tapi di malam ketiga...

Sekitar pukul 01.58, Tiara terbangun.

Ia haus dan turun ke dapur diam-diam.

Di tengah langkahnya yang menginjak ubin dingin, ia dengar suara air tetes.

“Tik… tik… tik…”

Ia kira dari keran. Tapi pas dicek, keran tertutup rapat.

Lalu…

Ia dengar langkah kecil dari arah tangga. Seperti anak kecil berlari pelan.

Tiara diam.

Menoleh ke belakang.

Kosong.

---

Keesokan paginya, Tiara cerita ke Raka.

Tapi Zaki malah nyeletuk, “Duh, jangan-jangan Kevin mau ikut ngopi juga.”

Anggi menatap tajam. “Gak lucu, Zak.”

Tapi mereka tetap melanjutkan hari seperti biasa.

Yang mereka tidak tahu…

Pukul 02.00 dini hari nanti, suara itu akan terdengar lagi.

Lebih jelas.

Lebih dekat.

Dan kali ini, ada yang berdiri di pojok dapur.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rumah nomer Tujuh   meja ke enam 3

    Langkah Zaki gontai saat ia melangkah mundur, melewati lorong yang seolah makin sempit. Jantungnya berdentum tak beraturan, udara di sekeliling seperti menghisap oksigen dari paru-parunya. Tapi satu hal terus ia genggam: Kunci. Kunci itu masih ada di sakunya. Dan entah kenapa, meskipun semuanya terasa tidak nyata, besi dingin itu membuatnya tetap waras. Tetap sadar. Ia menggeret tubuhnya menuju pintu depan. Pintu itu kini terbuka sedikit—seolah rumah itu ingin memberinya kesempatan. Kesempatan terakhir. Dan Zaki, dengan seluruh tenaga terakhir yang tersisa, melangkah keluar. Begitu kakinya melewati ambang pintu—udara kembali. Suara hujan terdengar lagi. Cahaya lampu jalan menyala temaram. Dan ketika ia menoleh… rumah nomor tujuh berdiri tenang di belakangnya. Gelap. Kosong. Tak ada yang mengejar. Tak ada jeritan. Hanya keheningan… yang seperti menunggu giliran. Zaki menarik napas panjang, lalu melempar kunci itu ke selokan. > “Simpan rahasia ini, dan jangan pernah bu

  • Rumah nomer Tujuh   meja ke enam 2

    Zaki memejamkan mata. Tarikan napasnya berat. Dada seperti diikat tali yang makin lama makin kencang. Ia tahu, begitu melewati ambang ruang makan itu, tidak ada jalan mundur. Tidak akan ada pintu keluar seperti sebelumnya. Tapi langkahnya terus maju. Tangannya menyentuh kursi kosong keenam—dingin, seolah baru ditinggalkan. Bayangan Tiara seakan masih duduk di situ, tersenyum kecil, menatap ke arah sudut ruangan tempat dulu ibunya berdiri. Zaki menelan ludah. Matanya menyapu sekeliling. Dinding rumah kini penuh dengan simbol. Bukan coretan biasa. Tapi bentuk-bentuk aneh, yang terlihat berbeda tergantung dari sudut mana dilihat. Dan di langit-langit… Ada sesuatu merayap. Perlahan. Halus. Meneteskan sesuatu yang hitam dan kental seperti oli bekas. Zaki mundur satu langkah. BRAK! Pintu di belakangnya menutup sendiri. Terkunci. Tapi Zaki tidak lari. Ia tahu ini akan terjadi. Dari kantong jaketnya, ia mengeluarkan sesuatu. Kunci. Bukan kunci rumah. Tapi kunci dari kotak besi

  • Rumah nomer Tujuh   Meja Keenam

    Zaki tidak tidur sejak malam itu.Matanya sembab, tubuhnya kurus, pikirannya mulai kabur. Tapi satu hal ia jaga mati-matian: kesadaran.Setiap malam pukul 03:33, rumah itu datang. Kadang lewat mimpi. Kadang lewat suara dari balik lemari. Bahkan pernah muncul di layar mati televisi—lorong rumah nomor tujuh perlahan terbuka, memantulkan cahaya samar dan bayangan meja makan.Namun Zaki tak pernah membalas panggilan itu. Ia hanya duduk, terjaga, menatap jam dengan tubuh menggigil, menghitung detik sampai rumah itu pergi.Tapi ia tahu, rumah itu makin dekat.Makin melekat.Makin menjadi bagian dari dirinya sendiri.---Hari itu, Zaki berjalan di pasar tradisional, mencoba mengalihkan pikiran. Tapi setiap orang yang lewat menatapnya aneh. Beberapa bahkan seperti berbisik satu sama lain.Di depan sebuah kios kaca, ia terdiam.PANTULAN DIRINYA… duduk di meja makan.Padahal ia berdiri.Zaki menjerit, memukul kaca, tapi pantulan itu tetap duduk. Tetap menatapnya. Di belakangnya—Tiara berdiri de

  • Rumah nomer Tujuh   Rumah yang Lengkap

    Zaki tidak bergerak. Ia hanya berdiri mematung di tengah kontrakan yang dingin dan sunyi. Pintu terbuka setengah, lorong gelap rumah nomor tujuh menganga seperti perut makhluk yang lapar.Dan di ujung lorong itu… Tiara berdiri.Rambutnya tergerai basah, wajahnya pucat, dan matanya tak lagi membawa kehidupan yang dikenalnya. Tapi yang paling membuat jantung Zaki nyaris berhenti—senyumnya.Senyum yang dulu hangat, kini tampak asing. Dingin. Seperti seseorang yang mengingat bagaimana caranya tersenyum, tapi lupa maknanya.> “Pulang, Zak…”“Di sini gak sakit lagi. Gak ada mimpi buruk lagi. Di sini kita bisa bareng terus…”Suara itu milik Tiara—tapi juga bukan. Ada gema aneh dalam ucapannya, seperti suara yang diulang dari mulut banyak orang.Zaki mundur satu langkah, tangannya gemetar hebat. “Kau… bukan Tiara.”Tiara tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, di balik lorong. Di belakangnya, Zaki bisa melihat meja makan rumah nomor tujuh, kini lengkap. Lima kursi. Lima piring. Lima sosok d

  • Rumah nomer Tujuh   Pilihan Rumah

    Pintu itu menganga lebar, memperlihatkan lorong rumah nomor tujuh yang berdenyut seperti organ hidup. Udara yang keluar dari dalamnya dingin dan lembap, membawa aroma besi dan busuk yang langsung memenuhi seluruh kontrakan. Zaki dan Tiara berdiri mematung, saling menggenggam tangan sekuat tenaga. Tiara bisa merasakan kuku Zaki menancap di kulitnya, tapi ia tak mengeluh. Dari dalam lorong, Raka muncul perlahan, wajahnya pucat dengan mata kosong yang berkilau samar. > “Rumah sudah memilih…” Di belakangnya, Anggi merayap di dinding, gerakannya patah-patah, kepalanya miring 90 derajat, tersenyum lebar hingga pipinya robek. > “Satu untuk tinggal… satu untuk bebas…” Tiara merasakan tarikan kuat di dadanya, seperti ada kait tak terlihat yang mencengkeram jantungnya dan menariknya ke dalam lorong. Ia menjerit, berusaha bertahan, tapi tubuhnya mulai terangkat dari lantai. “Tiara! Nggak!” Zaki menariknya dengan segenap tenaga, namun udara di sekeliling mereka berubah padat, seolah rumah

  • Rumah nomer Tujuh   Harga Kebebasan

    Sejak malam mereka lolos, hidup Zaki dan Tiara tidak pernah lagi sama. Mereka mungkin sudah jauh dari gang itu, tapi bayangan rumah nomor tujuh selalu mengikuti—dalam mimpi, dalam pantulan kaca, bahkan di keramaian kota. Zaki mulai memperhatikan sesuatu yang aneh: setiap jam 03:33, ponselnya bergetar meski sudah mati total. Ketika ia menyalakannya, layar hanya menunjukkan satu pesan yang sama: > “Lengkapi rumah ini.” Tiara lebih buruk lagi. Ia sering terbangun dengan bekas tangan kecil berwarna hitam di lengan dan lehernya. Setiap kali ia mencuci bekas itu, muncul lagi di malam berikutnya. Pada hari ketiga setelah mereka lolos, Tiara duduk di ruang tamu kontrakan Zaki, wajahnya pucat. “Zak… aku nggak bisa tidur. Setiap kali merem, aku balik ke rumah itu. Raka dan Anggi ada di sana… mereka nggak pernah ngomong apa-apa, cuma nungguin aku duduk bareng mereka di meja makan.” Zaki memegang kepalanya, frustrasi. “Ini nggak mungkin terus kayak gini, Ti. Kita udah keluar. Seharusnya ini

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status