Home / Horor / Rumah nomer Tujuh / Malam Terakhir di Rumah Itu

Share

Rumah nomer Tujuh
Rumah nomer Tujuh
Author: Kelaras ijo

Malam Terakhir di Rumah Itu

Author: Kelaras ijo
last update Huling Na-update: 2025-07-02 22:14:10

Hujan deras mengguyur kota kecil itu sejak sore. Di ujung gang buntu yang sepi dan gelap, berdiri sebuah rumah besar bernomor tujuh. Tampilannya megah, pintunya kokoh, dan cat temboknya masih bersih seperti baru direnovasi.

Rumah milik keluarga Pratama.

Mereka baru dua tahun tinggal di sana. Keluarga harmonis yang datang dari Jakarta, pindah demi ketenangan. Tapi malam ini... semua berubah.

---

Di dalam kamar lantai bawah, Natasya sedang berbaring di ranjang. Umurnya delapan belas tahun, baru lulus SMA. Tubuhnya dibalut singlet dan celana pendek. Rambutnya masih lembab, bekas keramas.

Hujan di luar membuat malam terasa tenang. Ia memakai headset, mendengarkan lagu sambil melihat ponsel.

Samar, ia dengar suara "klik..."

Seperti suara gagang pintu belakang yang dibuka.

Ia melepas headset. Menoleh ke jendela. Gelap.

“Ma?” panggilnya pelan.

Tak ada jawaban.

---

Di lantai atas, Pak Pratama sedang menyimpan map kerja ke lemari. Di ranjang, istrinya sedang menidurkan Kevin, anak bungsu mereka yang baru kelas satu SD.

“Ayah, dengar suara tadi?” tanya istrinya pelan.

Pak Pratama diam sejenak. “Kayak... pintu belakang?” gumamnya.

Mereka saling tatap.

---

01.39 WIB

Tiga pria berpakaian hitam, wajah tertutup, telah masuk dari pintu dapur. Gerakan mereka cepat dan tenang, seperti sudah tahu seluk-beluk rumah ini. Salah satu dari mereka memegang linggis, satunya golok pendek.

Mereka langsung berpencar.

Satu naik ke atas.

Satu tetap di bawah, menuju kamar Natasya.

Satunya berjaga di ruang tamu.

---

Natasya membuka pintu kamarnya pelan. Lorong gelap. Lampu mati. Dia mengira listrik padam karena hujan.

Tapi suara langkah berat dari arah dapur membuatnya membeku.

Terlambat.

Pintu kamarnya didorong keras dari luar.

“BRAK!!”

Seseorang masuk. Bertopeng. Nafasnya berat. Mata mereka bertemu.

“SIAPA KAMU!?” Natasya mundur, gemetar.

Pria itu tak menjawab. Ia hanya melangkah cepat, lalu...

“DUK!!”

Natasya dipukul dengan gagang senjata. Tubuhnya ambruk ke lantai. Pingsan.

Perampok itu menatap tubuh Natasya beberapa detik. Tangannya gemetar... seperti ingin melakukan sesuatu yang lebih. Tapi...

Dari atas terdengar suara gaduh.

“Woy! Cepetan! Yang di atas ngelawan!”

Pria itu mendengus, lalu pergi meninggalkan Natasya yang tergeletak tak sadarkan diri.

---

Di kamar utama, Pak Pratama berlumuran darah. Kepalanya dipukul beberapa kali, namun ia masih sadar. Ia melindungi tubuh istrinya yang ketakutan.

“Ambil aja semuanya, jangan sakiti istri saya… anak-anak saya…” katanya lirih.

Salah satu perampok membentak, “DIEM! GAK ADA YANG SURUH NGOMONG!”

Mereka menarik Bu Pratama, membantingnya ke lantai, mengambil perhiasan, lalu membungkus barang-barang dengan tas besar.

“Anak perempuannya di bawah. Gua udah lumpuhin. Cek kamar satu lagi.”

Tujuh hari berlalu.

Gang itu mulai bertanya-tanya. Kenapa rumah nomor tujuh tak lagi terdengar suara musik, atau tawa anak kecil bermain sepeda? Tapi karena keluarga Pratama dikenal tertutup, tak ada yang berani benar-benar mengetuk.

Sampai akhirnya...

Pak Harto, petugas kebersihan keliling, lewat di depan rumah itu pagi hari. Ia menutupi hidungnya.

Ada bau busuk menyengat yang keluar dari dalam pagar rumah. Bukan bau sampah biasa. Tapi bau kematian.

“Buset... bau apaan ini…”

Ia coba mendekat. Menjenguk dari celah pagar.

Semak-semak di taman sudah mulai liar. Daun-daun kering mengotori teras. Tapi yang paling mencolok...

jendela kamar depan terbuka sedikit, dan dari dalam, ada lalat beterbangan keluar.

Pak Harto langsung lapor ke ketua RT. Polisi datang tak lama kemudian.

---

Saat pintu rumah dibuka paksa...

Bau busuk menyambut mereka seperti kabut pekat.

Polisi menutup hidung dengan masker medis. Beberapa bahkan muntah. Mereka masuk dengan hati-hati.

Di kamar bawah, mereka menemukan mayat Natasya, tergeletak membusuk di dekat ranjang. Wajahnya lebam. Matanya terbuka, seolah meninggal dalam ketakutan luar biasa.

Di kamar mandi, mayat Kevin, mengambang di bak yang airnya sudah menghitam, penuh belatung. Boneka beruangnya mengapung di sampingnya, masih utuh, tapi dipenuhi jamur.

Dan di kamar utama…

Pak Pratama dan istrinya ditemukan dalam keadaan terpeluk, di pojok ruangan.

Tubuh mereka membiru. Luka memar dan darah mengering di dinding.

Kamar berantakan, seperti medan perang kecil. Ada bercak lumpur dan sidik jari di mana-mana, tapi tidak satu pun mengarah ke identitas pelaku.

---

Berita menyebar cepat.

Media menyebutnya:

> “Pembantaian Misterius Keluarga Pratama: Rumah Nomor Tujuh Jadi TKP Mengerikan.”

Orang-orang di sekitar gang mulai menghindari rumah itu. Bahkan anak-anak kecil dilarang lewat depan gerbangnya.

Karena sejak kejadian itu, warga sering mendengar suara tangisan anak kecil dari dalam rumah saat tengah malam.

Dan kadang...

Ada bayangan berdiri di balik jendela kamar bawah.

Rumah nomor tujuh dibiarkan kosong.

Tak pernah disentuh.

Hingga bertahun-tahun kemudian...

Seseorang datang dan menyewanya..

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Rumah nomer Tujuh   Rumah yang Memilih

    Lorong yang terbuka di depan mereka tampak berdenyut, dindingnya seperti daging hidup yang mengisap cahaya dari senter Zaki. Di balik lorong, terdengar suara tangisan Kevin yang bergema panjang, bercampur bisikan-bisikan yang saling bertindihan: > “Masuklah… di sini kalian lengkap… di sini kalian pulang…” Zaki menarik Tiara mendekat, napasnya berat. “Ti, kalau kita masuk ke sana, mungkin nggak ada jalan balik.” Tiara menggenggam tangannya erat. “Zak, kalau kita tetap di sini, rumah ini bakal ngambil kita semua. Kita harus ambil risiko.” Dari belakang mereka, suara langkah kaki mendekat. Raka berdiri di ujung lorong, wajahnya pucat, mata merah berair. “Jangan lawan rumah ini. Semakin kalian melawan, semakin dia lapar…” > “Raka, ikut kami keluar!” Zaki berteriak, suaranya bergetar. Raka tersenyum samar, ada sedih di sana. “Aku nggak bisa. Aku udah jadi bagian dari rumah ini. Tapi kalian masih bisa keluar… kalau ada yang tinggal di sini sebagai gantinya.” --- Tiba-tiba, Anggi m

  • Rumah nomer Tujuh   Panggilan balik

    Sejak malam terakhir itu, hidup Zaki terasa seperti menunggu sesuatu yang tak bisa dihindari. Setiap hari seperti berjalan di pinggir jurang; setiap malam, rumah nomor tujuh memanggilnya. Ia duduk di kamar kontrakannya, dikelilingi peta dan coretan di dinding: semua tentang lokasi rumah itu, struktur lantai, bahkan catatan tentang apa yang dia ingat dari malam mengerikan tersebut. Tapi semakin ia mencoba memahami, semakin pusing kepalanya — seolah rumah itu sendiri berubah setiap kali ia mengingatnya. Di meja, ponselnya bergetar. Pesan masuk. > Tiara: “Aku nggak bisa terus begini, Zak. Semalam Anggi duduk di ujung ranjangku lagi. Dia bilang kalau kita nggak balik, mereka bakal datang jemput kita sendiri.” Zaki mengetik cepat: > “Aku juga diganggu. Kita harus balik, Ti. Nggak ada jalan lain.” Balasan datang hampir instan: > “Kapan?” Zaki terdiam sejenak, lalu menulis: > “Besok malam.” --- Hari berikutnya terasa panjang. Zaki menghabiskan waktunya membeli perlengkapan seada

  • Rumah nomer Tujuh   Bekas Luka yang Mengikut.

    Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kota baru tempat Zaki tinggal. Sudah tiga bulan sejak malam itu, tapi tidur nyenyak jadi sesuatu yang asing. Ia sering terbangun basah kuyup keringat, seolah baru saja berlari dari sesuatu yang tidak bisa dilihat. Di kamar kontrakannya, ia menatap cermin. Matanya merah, wajahnya pucat. Setiap kali ia menutup mata, ia kembali berada di ruang tengah rumah nomor tujuh. Raka berdiri di ambang pintu, memanggil namanya tanpa suara. --- Tiara menjalani terapi di rumah sakit jiwa. Psikiaternya mencatat, “Subjek sering berbicara dengan entitas yang tidak terlihat. Mengaku mendengar suara ‘Raka’ setiap malam.” Malam itu, perawat mendapati Tiara duduk di pojok kamar, menggambar. Puluhan lembar kertas memenuhi lantai — semua gambar denah rumah nomor tujuh, detail demi detail, lengkap hingga goresan kecil di dinding. “Tiara?” Tiara mengangkat kepalanya. “Dia belum selesai di sana. Dia masih butuh kita…” --- Zaki mencoba mengabaikan semuanya. I

  • Rumah nomer Tujuh   Satu untuk Bertahan

    Jam menunjukkan 03:43… tapi rasanya waktu tak bergerak.Udara makin berat, seperti paru-paru dipenuhi lumpur.Langkah mereka makin berat, bukan karena lelah —tapi karena rumah ini menolak mereka untuk tetap manusia.Raka berdiri di tengah ruang.Tapi bukan Raka lagi.Tubuhnya masih utuh. Tapi yang bicara… bukan dia.> “Rumah ini ingin ditemani.Dan kalian semua asing.Kecuali aku.”Tiara berbisik ke Zaki, “Kita harus kunci dia. Kita harus tahan dia… sebelum dia—”BRAK!!Raka melompat ke arah mereka.Mata hitamnya bersinar.Senyumnya miring.Ia bergerak seperti orang kaku — cepat, patah-patah.Zaki menarik Tiara ke dapur, mengunci pintu dari dalam.“Gimana bisa dia secepat itu?!”Tiara terduduk di lantai, gemetar.“Kita harus keluar dari rumah ini... atau kita bakal jadi kayak dia!”Anggi masih di ruang tengah. Ia berdiri membatu di pojok ruangan.Raka — atau roh yang menguasainya — tidak menyentuh Anggi.Malah... mendekat, dan berbisik ke telinganya.> “Kamu gak perlu takut. Mereka

  • Rumah nomer Tujuh   Kita Bukan Lagi Diri Kita

    Langit belum menunjukkan tanda pagi, meskipun jam dinding menunjuk pukul 03.15.Hujan masih turun, tapi kini tanpa suara.Rumah itu seperti mengurung dunia mereka dalam satu dimensi terkutuk —sunyi, hampa, dan terlalu sempurna untuk disebut dunia nyata.Zaki duduk membelakangi jendela, memeluk lutut, tubuhnya berkeringat dingin meski suhu turun drastis.Matanya terbuka lebar, tapi kosong.Tangannya terus menggambar pola-pola aneh di lantai dengan ujung pisau dapur.Melingkar. Runcing. Seperti simbol-simbol kuno yang tak ia mengerti.Tiara mulai bicara sendiri.Kalimatnya pendek, pelan, dan berulang.“Jangan buka pintunya… jangan buka pintunya… dia belum siap…”Raka berdiri terpaku di depan cermin kamar.Refleksinya... tidak bergerak bersamaan.Saat ia memiringkan kepala, bayangannya tertinggal.Matanya merah. Tapi hanya di dalam pantulan.Anggi?Sudah sejak satu jam lalu ia bicara dengan udara kosong.Katanya, sedang menemani “Kevin” bermain kartu di pojok ruang tengah.> “Dia menang

  • Rumah nomer Tujuh   Malam yang Menolak Tidur

    Jam di dinding menunjukkan pukul 11 malam.Hujan turun deras sejak magrib tadi. Suara rintiknya menghantam genteng seperti derap langkah kaki seribu orang.Di ruang tengah, mereka berempat duduk melingkar tanpa banyak bicara.TV mati. HP mati. Sinyal lenyap. Listrik kadang nyala, kadang meredup sendiri.Rumah itu terasa hidup. Tapi napasnya… berat.Tiara bersandar di tembok, memeluk bantal. Wajahnya lelah.Zaki menempelkan telinga ke lantai, katanya dia bisa dengar suara langkah dari bawah.Anggi memandangi langit-langit tanpa ekspresi.Dan Raka, duduk paling ujung, menatap pintu kamar mandi yang setengah terbuka.Lalu tiba-tiba, suara tawa kecil terdengar dari lorong.Tawa anak kecil. Lembut. Seperti sedang bermain kejar-kejaran.Tiara menutup telinganya.“Udah cukup... gue gak mau lagi denger itu...”Zaki berdiri, memegang pisau.“Kalo mereka pikir kita bakal diem aja... gue bakal tunjukin gue gak takut!”Dia melangkah ke lorong. Lampu berkedip pelan.Langkahnya menggema, padahal di

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status