Share

BAB 4 MAKAN MALAM BERSAMA

"Morning Bi ...," ucap Rania dari arah meja makan, begitu dia melihat Bryan yang baru saja pulang dan akan segera menaikki tangga yang berada tak jauh dari ruang makan keluarga.

Bryan yang agaknya sedikit terburu-buru sedikit tersentak dengan sapaan sang istri.

Bryan pun segera menghampiri Rania yang tengah menyiapkan sarapan dibantu Mbok Iyem.

"Eh, morning bi. Heuumm tumben kamu udah bangun jam segini, hmm." Ucap Bryan sambil mencium lembut kening sang istri.

"Nggak tumben kok Bi, jam segini kan biasanya aku udah bangun buat bantu Mbok Iyem bikinin sarapan pagi. Kamu ini gimana sih." Ucap Rania yang masih sibuk menata sarapan yang telah dibuatnya dan mbok Iyem di atas meja makan.

"Mbok tolong ambilkan nasi goreng kesukaan Ruby dan Bapak yang udah saya buat tadi ya." Mbok Iyem pun mengangguk. "Iya Bu."

"Ohiya saya bisa minta tolong lagi nggak mbok? Tolong bangunin Ruby ya soalnya takut dia kesiangan ke sekolahnya, hari ini kan dia ada kegiatan seni gitu di sekolah, " ucap Rania begitu Mbok Iyem datang sambil membawakan nasi goreng kesukaan Ruby dan Bryan.

"Bisa Bu, kalau begitu saya pergi bangunkan Non Ruby dulu ya. Permisi Bu, pak."

"Emang ini udah jam berapa sih bi?" Celutuk Bryan setelah beberapa saat dia terdiam menyaksikan kegiatan Rania dan Mbok Iyem.

"Jam 7.15, emang kamu nggak nyadar Bi?" tanya Rania sambil menatap Bryan yang kini duduk dihadapannya.

"Nggak bi, aku nggak nyadar sama sekali lho Bi. Aku pikir ini masih jam 6 gitu," jawab Bryan.

Rania menakutkan kedua alisnya, sambil menatap Bryan dengan berbagai pertanyaan di benaknya.

Bryan yang sadar akan hal itu pun berkata, "Ada apa sih? Kok kamu mandangin aku gitu amat hmm." Bryan menggenggam tangan Rania, walaupun dalam pikirannya ia sedang menyiapkan berbagai jawaban yang tepat agar istrinya ini tidak curiga kepadanya.

Rania menghela nafas. "Semalam kamu nggak pulang kan, kenapa?" Rania menatap manik mata Bryan.

"Kamu tidur dimana? Kantor? Atau ...," Rania masih terus manatap Bryan.

"Oh itu, a-aku semalam nggak bisa pulang karena emang banyak banget file yang harus aku periksa dan aku harus bener-bener teliti soal itu. Kamu tau kan ini tuh, proyek yang sangat amat besar Bi. Jadi ... jadi aku nggak bisa asal-asalan buat meriksanya," jelas Brya berusaha meyakinkan sang istri.

"Trus?"

"Eh trus ya itu, aku lebih milih buat nginep di kantor daripada harus pulang. Soalnya udah kemalaman juga. Kan kita nggak tau musibah Bi, kali aja pas aku pulang kemalaman itu ada begal gimana? Aku juga pengen menjaga keselamatan aku, biar aku tetap bisa buat ngebahagiain dan ngejagain kamu dan Ruby."

Rania mengangguk paham, walaupun sebenarnya ada sedikit kejanggalan di hatinya. Entah mengapa, tapi perasaan tidak tenang belakang ini selalu menghantuinya. Oh Tuhan Rania berharap semuanya akan baik-baik saja, Rania berharap kebahagiaan rumah tangganya akan selalu bisa dipertahankan hingga ajal menjemput nanti, pikir Rania.

"Trus kamu tidurnya di sofa Bi? Badan kamu pegal-pegal nggak? Sofa di ruangan kamu itu nggak terlalu besar lho Bi," khawatir Rania, karena apa yang dia ucapkan benar adanya.

Sofa di ruang kerja Bryan tidak berukuran besar dan bahkan tidak cukup untuk tubuh Bryan. Kalaupun dipaksakan untuk tidur di sana, pasti badan akan langsung pegal-pegal ketika bangun.

"Ah badan aku pegel-pegel kok Bi. Makanya aku berencana buat ngeganti Sofa di ruanganku, nanti kamu tolong carikan sofa yang tepat ya Bi. Yang sesuai dengan desain ruanganku, okey."

Rania hanya mengangguk mengiyakan ucapan suaminya.

Setelah itu, mereka sarapan bersama dengan penuh keceriaan. Tepatnya Ruby yang memberikan keceriaan itu, dengan cerita-cerita randomnya selama ia di sekolah kemarin, mampu membuat Mama dan Papanya tertawa lepas akibat kelucuan Ruby. Seketika perasaan mengganjal yang sempat dirasakan Rania tadi tentang suaminya, seolah menghilang. Digantikan dengan perasaan bahagia dan rasa syukur karena Tuhan begitu baik kepadanya.

***

Malam harinya di Restoran Drastar.

"Hai Din, Sorry ya aku telat." Ucap Rania yang baru saja datang dan langsung cipika-cipiki dengan Dinda.

"Ah santai aja kali, aku sama Daffa juga baru datang kok. Biasalah macet banget heheh," canda Dinda.

"Ohiya Nia, kenalin ini Daffa calon suami aku. Dan Daffa kenalin ini Rania, Sahabat ter the best aku heheh," ucap Dinda yang mengenalkan Daffa kepada Rania, sesuai dengan janjinya di Butik waktu itu.

"Kenalin aku Rania." Rania mengulurkan tangan dan disambut baik oleh Daffa, tak lupa senyum manis yang selalu pria itu tunjukkan. "Daffa, calon suami Dinda."

"Silahkan duduk Nia," ucap Dinda mempersilahkan Rania untuk duduk.

"Din, calon suami kamu keren banget lho. Pantesan seorang Dinda yang sangat gila kerja mau meninggalkan pekerjaannya yang lagi naik-naiknya, buat nikah heheh," goda Rania ke Dinda di hadapan Daffa.

Daffa hanya tersenyum menanggapinya. Sedangkan Dinda sudah melotot matanya, berusaha untuk memperingati Rania. Dan Rania hanya tersenyum menanggapi peringatan Dinda.

"Ohiya Bryan mana? Kok nggak bareng sama kamu?" tanya Dinda.

Rania melirik jam tangannya. "Paling bentar lagi datang, kita emang nggak sama-sama soalnya Bryan kan lagi ada meeting."

"Oh gitu, kalau gitu kita pesan duluan aja gimana? Soalnya udah laper nih heheh," Celutuk Dinda.

"Sayang kamu tuh ya, emang nggak bisa ya nahan laper dikit hmm. Bentar lagi pasti Bryan datang kok," ucap Daffa lembut.

"Kamu kaya nggak tau Dinda aja Daf, selain gila kerja dia juga suka makan. Nggak heran sih aku heheh," canda Rania.

"Aku juga setuju sih, masa 5 bungkus martabak dia habisin sendiri. Gila nggak tuh," tambah Bryan.

"Ohyah? Dia emang dari dulu kaya gitu Daff. Aku pikir dia bakal berubah, ternyata malah ...,"

"Nambah ya hahah," sambung Daffa. Rania dan Daffa pun tertawa, mereka kemudian menceritakan lagi banyak hal tentang Dinda. Lebih tepatnya Rania yang menceritakan kepada Daffa tentang kelakuan Dinda semasa sekolah dulu.

Sedangkan yang diomongin malah cemberut. "Gibahin aja terus."

"Loh kok kamu cemberut sih Yank?"

"Iya nih, aku nggak ikut-ikutan ya Din. Orang Daffa yang minta aku buat ceritain tentang kamu," jelas Rania.

"Huh!? Kali ini aku maafin deh, tapi janji jangan gibahin aku lagi," Ucap Dinda dengan wajah memelasnya.

"Kalau aku sih nggak bisa janji Yank, lagian kan aku calon suami kamu. Pengen tau lebih banyak soal calon istrinya ini. Nggak salah kan Nia?" tanya Daffa.

"Iya nggak salah dong Daf hehe."

Tringgg!! Triiinggg!!

Bunyi ponsel Rania mengalihkan perhatian ketiga orang itu. "Hmm, aku angkat telepon bentar ya."

Rania pun segera berdiri dan mencari tempat yang tepat untuk mengangkat teleponnya.

"Okey, see you." Rania menghela nafasnya perlahan, kemudian melangkah menuju tempat dimana Dinda dan Daffa berada.

"Hemm, kayanya Bryan nggak bisa datang deh. Dia minta maaf banget karena tiba-tiba harus ada rapat mendadak. Nggak apa-apa kan," jelas Rania begitu ia sampai di tempat duduknya.

"It's okey Nia. Nggak apa-apa kok, kan bisa lain kali kita makan bareng berempat. Iya kan sayang?"

"Iya. Nggak apa-apa kok. Yaudah kita langsung pesan aja ya," ucap Daffa.

***

"Sweetie, kamu kenapa sih? Kita ke rumah sakit ya." Ucap Bryan yang saat ini sangatlah khawatir dengan wanita yang kini tengah terbaring lemah dihadapannya.

"Nggak usah sweetie, aku cuma pusing aja. Mungkin karena beberapa hari ini aku terlalu sibuk, hisss,'' jelas wanita itu yang masih setia menggenggam tangan Bryan.

"Kamu yakin?"

Wanita itu mengangguk meyakinkan.

"Yaudah, kalau begitu kamu istirahat ya. Aku beliin makan dulu buat kamu sama obat juga. Kalau ada apa-apa, langsung telpon aku ya." Bryan pun langsung mengecup lembut kening wanita itu.

Melihat kepergian Bryan wanita itu tersenyum bahagia, betapa perhatiannya Bryan terhadap dirinya. Andaikan dia adalah wanita pertama di hati Bryan, tak bisa dibayangkan betapa bahagianya hidup dia.

Tetapi itu semua hanyalah mimpi, mau bagaimana pun dia tetap wanita kedua bagi seorang Bryan. Dan selalu seperti itu.

"I love you so much. Tapi aku sadar aku siapa," lirih wanita itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status