Bram meminta supirnya untuk membawa mobilku ke apartemen. Berada satu mobil dengannya, membuatku salah tingkah. Pendingin udara seolah tak mampu mengusir renjana yang meletup di dada.
Lelaki ini mampu membakar hanya dengan beradu pandang. Ingatanku melayang saat pertama kali mengenalnya. Mirip kisah sinetron, aku tak sengaja bertabrakan dengannya di eksekutif lounge. Ternyata tujuan kami sama, Bali. Bedanya dia pergi untuk urusan kantor, aku hendak menyusul kekasih hati yang merajuk karena batal berangkat liburan berdua. Pagi itu Mami tiba-tiba muncul dan berulah.
Aku suka perpaduan antara parfum musk, sandalwood dengan aroma tembakau yang menguar kuat. Rahang kokoh yang ditumbuhi bulu-bulu halus, hidung mancung dan tatapan setajam mata elang, seperti pahatan patung malaikat.
Rasa bersalah pada kekasih, menguap begitu saja. Jiwa petualang cintaku bergelora. Rasanya terlalu sayang untuk dilewatkan bisa berkenalan dengan lelaki ini. Aku minta maaf seanggun mungkin, lalu melenggang pergi tanpa berbasa-basi panjang.
Ketukan high heelsku menggema, senyum terkembang lebar, meyakini dia telah jatuh dalam perangkap. Tidak ada laki-laki yang sanggup menolak pesona seorang Zeline Zakeysha.
Hati bersorak riang saat dia meminta penumpang di sebelahku untuk bertukar tempat. Ah, terlalu mudah ditebak. Bolehlah untuk sekadar bersenang-senang.
Perbincangan hangat terjadi di sepanjang penerbangan. Aku tidak jadi mengejar kekasih yang sedang merajuk. Aku menghabiskan waktu bersama si pencuri hati.
"Babe, kita sudah sampai," tegur Bram.
Aku terkejut. Lamunan seketika buyar.
Gegas, Bram turun, membukakan pintu mobil untukku dan mengulurkan tangan. Saat aku menyambut, dia justru mengentakkan tangan dan mendekap tubuh ini erat.
"I love you, Babe."
"I know."
Aku membiarkan dia memeluk selama sekian menit. Lalu melepaskan pelukan itu seraya tersenyum manja.
Kami berjalan beriringan menuju lift. Obrolan ringan mengalir. Lelaki ini berwawasan luas. Tanya tentang apa saja, maka kau akan kagum. Aku semakin dimabuk asmara.
Bunyi pintu yang dikunci memancing tawaku. Sembari tertawa kecil, dia menghidupkan musik romantis. Lalu membuka jas, meletakkannya pada gantungan, menggulung lengan kemeja sebatas siku dan membuka dua kancing teratas.
Dua buah minuman kaleng dia letakkan di meja kecil di samping tempat tidur.
Aku memindai isi apartemennya. Cukup tertata rapi dengan design maskulin dan hangat.
"Apa yang akan kita lakukan di sini, Hon?" Aku memancing.
"Melepas rindu, Babe. Satu minggu aku menahannya dan itu tidak mudah," desahnya.
Aku melangkah ke balkon kamarnya. Berdiri dan meletakkan tangan di bibir pembatas balkon. Bram menyusul dan memelukku dari belakang. Ah, aku menggilai lelaki ini. Pikiranku mengembara entah ke mana.
"Besok ikut aku ke Singapura, Babe. Tiga hari. Meeting di hari pertama, kamu bisa bebas berbelanja sementara aku bekerja. Dua hari berikutnya, aku milikmu seutuhnya. Mau ya, Babe?"
Besok aku ada jadwal fitting baju pengantin. Harusnya itu bukan masalah yang berarti, kan? Toh, Zanna sudah setuju untuk menggantikan posisiku.
"Aku mau, Hon. Apa sih yang gak buat kamu. Iya, secinta itu aku sama kamu," jawabku dengan nada semanja mungkin.
"Ah, Babe. Kamu melengkapi semua cinta yang sedang meledak-ledak ini." Bram mulai memagut.
Aku memejamkan mata dan larut dalam suasana. Lalu dengan cepat dia menggendongku masuk ke kamar. Duduk di pinggir tempat tidur dan aku berada di atas pangkuannya.
"Aku mencintaimu, Babe. Kita menikah saja agar aku bisa memiliki kamu secara utuh."
Ah, menguap sudah semua rasa yang tadi bergelora. Gairah yang sempat meletup-letup di kepala berganti dengan rasa bosan. Kenapa lelaki tercintaku ini juga meminta pernikahan? Tak bolehkah sedikit saja bersenang-senang tanpa ikatan? Tanpa sadar, aku mendesah dan membuang muka.
"Kenapa, Babe? Terlalu cepat? Kamu meragukan kesungguhan hatiku?" tanya Bram sembari meraih daguku.
Aku diam. Tak lagi antusias dan membara menatap mata elangnya yang sempat menancapkan panah asmara itu.
"Babe, aku serius. Aku ini laki-laki normal. Melihatmu berpenampilan seperti ini, ada hasrat yang meronta. Aku tidak ingin merusak kamu."
Aku membungkamnya dengan gerakan cepat. Aku yang memagut dan menuntut. Aroma parfum maskulin itu memenuhi isi kepalaku. Jika memang dia meminta pernikahan, akan aku cari letupan cinta yang tadi sempat hilang.
Bram berhenti. Dia menahan diri. "Tidak seperti ini, Babe. Kamu sedang berusaha membuktikan apa? Aku cinta kamu, Babe. Please, trust me!"
Aku turun dari pangkuannya dan membenahi pakaian yang sudah berantakan.
"Aku pulang, Hon. Tadinya aku ingin menginap dan menghabiskan malam penuh madu bersamamu." Aku merapikan ikatan rambut yang sempat terlepas.
Bram mengejar dan mendekapku erat. "Jangan pergi, Babe. Aku terlalu mencintaimu. Bunda bahkan sudah menyetujui hubungan ini. Kita nikah ya, Babe?"
Astaga, kenapa dia mengajak menikah seperti hendak pergi tamasya saja? Aku belum siap untuk berkomitmen. Tidak terbayangkan sebelumnya untuk menikah, tinggal bersama dan mengurus segala tetek bengek kehidupan rumah tangga.
"Kamu ingin menikah hanya karena takut dosa, kan? Fine, panggil saja dua saksi dan tuan Kadi. Sekarang!" ketusku.
"Serius, Babe? Oke. Aku akan penuhi keinginan kamu. Tunggu di sini sebentar. Sekretarisku akan mengatur segalanya." Bram mengeluarkan ponsel dan mulai menelepon.
Aku duduk di sofa. Mengamati semua gerak-gerik lelaki bermata elang itu. Memesona. Harusnya aku bangga, kan? Ada lelaki yang bertekuk lutut dan menjagaku seperti kristal yang sangat berharga.
Setelah selesai menelepon, dia mendekat dan berlutut. "Aku janji akan menghadiahkan sebuah pernikahan yang megah untukmu, Babe. Beri aku waktu untuk mewujudkannya."
Aku memutar bola mata. Bosan. Aku tidak suka dijanjikan sesuatu, karena isi kepala akan merekam dan menuntutnya sampai hal itu terlaksana.
"Kamu tau, Hon, aku tidak suka harapan palsu!"
"Aku bukan lelaki pecundang, Babe. Aku ini lelaki sejati yang akan berjuang untuk kebahagiaan kamu."
Aku mencari kesungguhan di binar matanya. Dia benar, ada mata yang begitu memuja dan mendamba. Siapkah aku menjalani ikatan pernikahan bersama lelaki ini?
Bagaimana jika dia berbalik dan meninggalkan aku? Menganggapku tak lagi menarik, bosan dan mencari yang lain? Serupa balasan atas semua kelakuan burukku selama ini?
"Hon, berjanjilah satu hal padaku," pintaku seraya menggenggam tangannya.
"Ya, Babe. Apa?"
"Apa pun yang terjadi di antara kita, tolong bertahan segigih kamu meminta pernikahan ini! Bisa?"
"Ya, Babe. Aku janji!" Bram mulai merengkuh dan memagut lagi.
Kami saling merangkul dan larut dalam percikan api asmara. Aku mencari detak yang sempat meraja. Saat menemukannya, aku bersorak gembira dalam hati. Lelaki ini memang layak dinikahi. Letupan rasa yang bergelora adalah jawaban bahwa dia pemenangnya.
"I love you, Hon. I really do," desahku.
Denting bel menarik kami ke alam nyata. Aku tertawa kecil dan membenahi pakaian, lagi.
"Kamu ini suka sekali memancing huru-hara. Aku nyaris melanggar batas tadi." Bram mencubit pelan hidung bangirku lalu mengecupnya.
Perlahan Bram menuju pintu dan membukanya.
Si sekretaris masuk. Aku spontan memindai penampilannya. Ada raut gusar yang kubaca saat kami beradu pandang. Ah, ternyata wanita itu memendam rasa pada bosnya. Aku membusungkan dada, menaikkan dagu, menunjukkan level diri sebagai pemenang.
Gadis itu meletakkan beberapa pilihan gaun. "Untuk ijab kabul, Miss," ucapnya sopan.
"Terima kasih. Selera kamu bagus," balasku tulus.
Wanita itu membantuku berpakaian. Timbul rasa ingin tahu juga keinginan untuk mengujinya.
"Mba sudah berapa lama bekerja pada suami saya?"
"Delapan tahun, Miss."
"Cukup lama, ya. Apa Mba tau, selama ini dia punya pacar?"
Gadis ini menghembuskan napas kasar. "Ada, Miss. Mereka putus sejak Pak Bos mengenal Anda."
Oh, ada nada ketus yang kentara. Apa sebelumnya mereka berpacaran? Gadis ini lumayan manis, tubuhnya mungil. Not bad.
"Mba tahu kenapa mereka sampai putus? Ah ya, berapa lama mereka pacaran?"
"Bunda tidak suka pada gadis itu, Miss. Sekitar tiga bulan."
Ah, putus di saat bunga cinta sedang bermekaran di dada rupanya. Pasti sakit sekali, ya?
"Saya percaya kamu gadis yang baik, Mba. Tolong awasi suami saya. Beri tau kalau dia macam-macam dengan perempuan lain." Aku mengedipkan sebelah mata.
Gadis itu tergagap dan menunduk. Salah tingkah. Tentu saja, perempuan mana yang tak gugup jika diberi amanah untuk mengawasi dirinya sendiri. Lagipula gadis mungil ini bukan tipe petualang cinta, butuh waktu baginya untuk menghapus bunga asmara yang terlanjur bermekaran dalam dada.
"Terima kasih, Mba. Rasanya kita bisa mulai berteman. Hai, aku Zeline." Kuulurkan tangan padanya.
"Sa--saya Nadhira, Miss," jawabnya sambil menyambut uluran tanganku.
Aku memeluknya tiba-tiba. Nadhira mematung. Tentu saja reaksinya wajar.
"Selama delapan tahun, Mba sudah membantu suami saya. Terima kasih sekali lagi."
Nadhira tersenyum tulus. See? Tidak perlu kekerasan untuk menaklukkan lawan, bukan?
🌹🌹🌹
Aku menghubungi Papi, memintanya datang ke apartemen tanpa sepengetahuan Mami. Jika hanya ijab kabul, aku yakin Papi akan menyetujuinya."Aline, ini gila. Kamu meminta Papi untuk menikahkan kalian saat ini juga. Sementara tanggal pernikahan kamu sudah ditetapkan. Lelucon apa ini?""Papi, Anya mencintai Arkana sejak awal kami kuliah. Apa mungkin Aline tega melihat Anya kehilangan satu-satunya cinta, Papi?"Aku mengandalkan kemampuan merayu yang biasanya ampuh. Lelaki tersayang di hadapan ini, tidak pernah menolak apa pun yang aku inginkan. Mungkin itu sebabnya kenapa aku sering berbuat sesuka hati, karena ada Papi yang selalu membela.Papi menghela napas panjang. "Kamu ini, selalu bisa membuat Papi mengikuti keinginan sekonyol apa pun itu. Mana lelaki itu? Suruh menghadap Papi!""Ayo kita langsung naik ke atas, Pi. Mereka sudah menunggu Papi."Aku
Saat berkeliling butik, aku memilih untuk menyelinap dan memilih lingerie. Dalam imajinasi liar yang aku punya, pernah terlintas di pikiran untuk memakainya di depan lelaki yang tepat.Aku membeli dalam jumlah banyak, aneka model dan warna. Sengaja untuk kado juga, karena aku ingat Zanna.Aku merasa lucu, membayangkan Arkana melihat Zanna memakai benda kurang bahan ini di depannya. Memang, kepribadian Zanna berbanding terbalik denganku. Mungkin saja Arkana akan terkejut melihatnya, lalu lupa diri dan takluk pada pesona saudari kembarku itu.Gegas, aku beranjak ke bagian lain dalam butik. Aku melihat sepatu boots dan segera mencobanya. Setelah puas berbelanja, aku memindai sekeliling, mencari Bram. Ternyata sedang sibuk dengan ponselnya."Honey, aku sudah selesai belanja.""Wait a minute, Sir." Bram mengeluarkan dompet dan meraih sebuah kartu, "pakai ini, Babe."Aku
Aku terbangun karena merasa geli. Saat membuka mata, Bram sedang menggesekkan jambangnya ke pipiku."Morning, Sleeping Beauty. Boboknya nyenyak amat. Mandi yuk, kita harus ke bandara segera."Aku menggeliat. "Gendong.""Boleh, tapi resiko ditanggung sendiri, ya? Aku sudah mandi. Gak masalah kalau harus keramas bareng kamu lagi," goda Bram.Wajahku terasa panas, membayangkan tubuhnya berada di bawah pancuran air yang sama.Astaga, sepagi ini otakku bahkan sudah tercemar. Aku menggigit bibir bagian bawah, ciri khas kalau sedang gelisah."Hei, jangan seperti itu! Kamu terlihat sangat menggoda. Aku jadi ingin membatalkan meeting dan berbagi peluh bersamamu."Gegas, aku turun dan berlari menuju kamar mandi. Sebelum menutup pintu, aku masih bisa mendengar Bram tertawa terbahak-bahak.Konyol memang, aku yang biasanya menaklukkan hati lelaki, justru terbal
Setelah makan siang, aku kembali ke kamar, sengaja menyiapkan kejutan dan berdandan lagi. Saat sedang mematut diri di depan cermin, ponselku berdering.Aku tidak tahu harus bahagia atau bersedih karena tender itu. Bram memang memenangkannya, tapi itu artinya kami harus terpisah selama tiga bulan. Aku baru diberitahukan tentang hal ini.Tidak mungkin aku meninggalkan perusahaan dalam jangka waktu selama itu. Mami pasti akan mengamuk.Setengah jam kemudian, Bram kembali, tetapi langsung sibuk melakukan telekonfrensi dengan stafnya. Sementara aku memilih bersembunyi di balik selimut. Sia-sia rasanya menyiapkan kejutan dengan memakai lingerie berwarna merah darah dan high heels senada.Apalagi dalam waktu sebulan ke depan, mana mungkin aku menghilang. Arkana pasti curiga. Aku tidak mau Zanna terkena imbasnya. Kembaranku itu harus menikah dengan pria yang sangat dicintainya. Takkan kubiarkan lelaki itu lolos.
Tiga hari bukan waktu yang lama jika dihabiskan bersama orang yang paling kamu cintai di dunia ini. Berkeliling Sentosa Island, Orchard Road, mengunjungi tempat wisata, berbelanja dan berbagi peluh dengannya di malam hari juga keesokan paginya, membuatku jatuh sakit.Bram bilang akan membatalkan semua agenda penting demi merawatku. Hanya saja rasanya aku enggan menjadi beban, sehingga lebih memilih untuk pulang ke rumah, bukan ikut ke apartemen Bram. Aku rindu suasana kamar yang beraroma stroberi, juga Zanna."Aline, kamu kenapa?" Zanna menyerbu masuk saat aku menyeret koper ke kamar."Demam."Zanna sibuk menelepon dokter keluarga untuk segera datang ke rumah."Kamu di apain sama si Don Juan sampe demam begini? Sakit banget ya, pas belah durennya?"Astaga, ini anak. Kakaknya lagi demam, malah bahas belah duren. Otak durjanaku mulai bereaksi membayangkan
Pengaruh obat ternyata mampu membuatku tertidur sejenak, nyeri di kepala sudah berkurang drastis.Saat membuka mata, Zanna sedang berbaring di sebelahku, main game. Kebiasaan kalau salah satu dari kami ada yang jatuh sakit, pasti yang sehat menemani dan merawat. Saling menjaga, karena Mami tak pernah lagi ada."Anya, maaf ya. Aku memang sengaja memblokir nomor telepon Arkana. Ya gak mungkin di saat aku lagi ehem sama Bram, dia nelepon kayak biasa. Dih, males."Zanna memandangi aku dengan tatapan yang sedikit mengkhawatirkan. "Arkana gak pernah segetol itu nelponin aku, Sissy."Astaga, ia malah mellow. Duh, cinta bertepuk sebelah tangan mengenaskan juga ternyata.Mata Zanna langsung berkaca-kaca lagi. Sebagai kakak yang baik, hatiku serasa diiris-iris melihatnya."Maaf, Nya. Gak maksud nyakitin kamu, sih. Itu tadi niatnya cuma mo jelasin doan
"Mau ke mana, Line?""Pulang ke apartemen suami," jawabku."Yakin? Kamu masih pucat loh, Sissy. Aku anterin, ya. Sekalian aku kenalan sama Mas Bewok.""Boleh juga. Oiya, bantu aku bongkar koper bentar. Aku harus memilah pakaian yang mau dibawa ke sana.""Okey, Sissy."Zanna bersimpuh dan membantuku membongkar. Ah iya, lingerie hadiah untuknya sekalian saja aku berikan hari ini."Ini ada kado. Em ... bukanya nanti, pas udah resmi jadi istrinya Arkana. Deal?""Kok aku curiga sama isi kado ini?"Sekuat tenaga aku menahan senyum. Kami kembar, tentu ada ikatan batin yang tak bisa dijelaskan."Jangan buruk sangka. Tak baik. Hadiah ini bisa buat Arkana luluh sama kamu. Dijamin!" Gaya bicaraku sudah mirip sales panci sepertinya."Terima kasih,
Gontai, aku menyeret langkah kembali naik ke tempat tidur."Ada apa, Sissy? Kenapa wajahmu muram dari tadi? Apa yang terasa sakit?" tanya Zanna cemas."Apa kamu tidak bertemu dengan perempuan bertubuh mungil tadi? Papasan di lift?""Ada. Aku sempat melihat sepintas di koridor, sebelum dia belok ke lift. Kenapa?""Itu sekretaris pribadinya Bram. Saat aku mengetuk pintu tadi, perempuan itu yang membukakan.""Mungkin ada hal penting yang harus dibicarakan, Sissy. Jangan mikir jelek dulu! Dari pengamatanku sepintas tadi, keliatan banget kalau Bram itu cinta mati sama kamu."Aku menghembuskan napas kesal. Zanna ini memang tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain. Semua ia anggap baik dan lurus sepertinya."My twin, mereka pernah pacaran. Putus karena Bram mengenalku."Mulut Zanna membulat semp