Baru saja Esti selesai menata bantal tambahan di ruang tengah, terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Disusul suara salam yang lantang dan akrab.“Assalamu’alaikum! Pak Rusdi sudah pulang, ya?”Itu suara Bu Minah, tetangga sebelah rumah yang sejak Esti kecil selalu sibuk membagikan gosip ringan tapi penuh perhatian.“Wa’alaikumsalam. Iya, Bu. Monggo masuk,” jawab sang ibu dari dalam, tergesa menyambut.Tak lama, dua-tiga tetangga lainnya ikut berdatangan. Ada yang membawa buah tangan, ada pula yang datang hanya dengan senyum hangat dan cerita nostalgia.Di antara tamu-tamu itu, datang juga dua sosok yang cukup lama tak Esti temui, Bik Rina, adik kandung Pak Rusdi, dan suaminya, Pak Din. Esti langsung menyambut dengan senyum lebar, meski di dalam hati, ia masih canggung. Ia tidak tahu sejauh mana Bik Rina tahu tentang konflik keluarganya selama ini.“Esti… Ya Allah, kamu semakin cantik saja. Terakhir ketemu, waktu anak keduamu masih bayi?” ucap Bik Rina sambil memeluk Esti hang
“Ayah menilai Haris terlalu cepat. Hanya karena dia bukan anak orang kaya,” lanjut Esti. “Tapi Haris selalu ada buatku. Bahkan saat aku menangis di depan pintu rumah kita karena ditolak masuk, dia tetap menggenggam tanganku.”Pak Rusdi menatap Haris. Malam itu, ada pengakuan yang terpantul jelas di mata tua itu, bahwa ia keliru. Bahwa ia terlalu cepat menilai, dan terlalu lambat memahami.“Ayah tahu sekarang, kamu suami yang baik.” Suara Pak Rusdi serak, tapi tulus. “Dan kamu laki-laki yang punya keberanian untuk tetap berdiri di samping Esti, bahkan saat keluarga ini menolaknya.”Haris mengangguk pelan. “Saya tidak butuh pengakuan, Pak. Tapi Esti, dia pantas dihargai.”Pak Rusdi menatap putrinya lama. Air matanya mengalir perlahan, diam-diam.“Ayah minta maaf, Esti. Untuk semuanya. Untuk luka yang Ayah biarkan kamu tanggung sendiri.”Esti tidak langsung menjawab. Ia hanya memejamkan mata. Rasanya seperti menahan gelombang di dada. Ia tidak bisa menghapus masa lalu, tapi malam ini, me
Veni melangkah maju, berdiri tepat di hadapan Esti. Matanya tajam, dagunya terangkat sedikit, gaya yang selalu ia gunakan untuk menunjukkan bahwa dialah yang benar, bahwa dialah yang berhak.“Jangan pura-pura jadi korban, Esti. Kamu pergi dan ninggalin semuanya bertahun-tahun. Waktu Ayah kecelakaan, kamu di mana? Waktu Ibu sakit, kamu bahkan nggak kirim kabar. Tapi sekarang datang dan seolah kamu satu-satunya yang paling tersakiti?”Esti menatap adiknya. Rahangnya mengeras, tapi ia tetap berdiri tegak. “Kamu pikir aku pergi karena senang? Karena egois? Aku pergi karena aku nggak tahan terus disalahkan. Apapun yang terjadi, selalu aku yang salah.”Veni mendengus. “Kamu selalu merasa dizalimi. Selalu cari alasan. Tapi kamu tahu nggak, saat kamu pergi, semua beban jatuh ke aku. Aku yang harus jadi anak baik, anak kuat, anak yang…”“Anak pengganti?” potong Esti, nadanya tajam.Ruangan jadi hening sejenak.“Ya,” Esti melanjutkan. “Kamu marah bukan karena aku datang, tapi karena kamu takut
Esti menatap adiknya, diam. Dulu ia sering berusaha menjelaskan, membela diri, atau sekadar minta dimengerti. Tapi sekarang, ada kelelahan yang lebih dalam dari amarah.“Aku ke sini karena Ayah,” jawab Esti tenang. “Bukan untuk adu siapa yang lebih peduli.”Veni melipat tangan di dada. “Tapi jangan datang seolah kamu anak paling berbakti. Yang selama ini ada di samping Ayah dan Ibu itu aku, bukan kamu.”Ibunya mengangguk setuju, menimpali cepat, “Veni yang ngurus semuanya. Kamu nggak tahu apa-apa, Esti. Tiba-tiba datang, dan…”“Cukup!” Esti bersuara lebih keras, akhirnya meledak setelah sekian lama diam.Ruangan jadi sunyi. Bahkan mesin pemantau jantung seolah berhenti sejenak.Esti menarik napas, berusaha mengendalikan diri. Suaranya bergetar, tapi mantap.“Aku tahu, aku bukan anak yang sempurna. Tapi kalian juga nggak pernah mencoba mengerti. Setiap kesalahpahaman dibiarkan membesar. Setiap luka dibiarkan membusuk. Dan aku, aku memilih pergi karena aku ingin bertahan, bukan karena a
Perjalanan pulang kali ini bukan sekadar kembali ke rumah, melainkan kembali ke luka lama yang belum sempat benar-benar sembuh.Esti duduk diam di samping Haris, suaminya, menatap jalanan yang makin mendung. Rasanya seperti langit pun ikut merasakan badai dalam hatinya. Di matanya, rumah masa kecil bukan tempat pulang, melainkan medan tempur. Di sanalah ia pernah dicap anak durhaka oleh ayahnya, disalahkan untuk hal-hal yang bahkan tak ia pahami, dan dibanding-bandingkan dengan Veni, adik kesayangan yang selalu mendapat tempat istimewa.Kini, sang ayah terbaring lemah di rumah sakit. Panggilan dari ibunya beberapa hari lalu tak menyisakan banyak pilihan, Esti tahu, waktunya mungkin tidak panjang.“Kalau bukan karena kamu, aku nggak tahu apa aku bakal pulang,” gumam Esti lirih, hampir tak terdengar.Haris meliriknya sambil tetap fokus menyetir. Tangannya sempat menepuk lembut tangan Esti.“Jangan khawatir,” katanya pelan, penuh ketulusan. “Aku di sini. Selalu di sampingmu.”Esti menole
[Pulanglah, Mbak. Apa kamu nggak mau menjenguk Ayah? Meskipun kamu tidak merawat Ayah, tapi setidaknya kamu menemuinya saat sakit. Jangan jadi anak durhaka. Nanti kamu menyesal.]Pesan dari Veni masuk tanpa peringatan, seperti anak panah yang langsung menghujam dada Esti. Ia tertegun menatap layar ponsel, membacanya berulang kali. Kata "anak durhaka" bergaung dalam benaknya seperti kutukan yang tidak diinginkan.Tangannya gemetar. Jantungnya berdebar tidak karuan.Esti menatap ke luar jendela apartemennya yang basah oleh gerimis sore. Langit Jakarta tampak kelabu, senada dengan pikirannya yang kusut.Hubungannya dengan Veni memang rumit. Adik satu-satunya itu kadang bersikap manis, tapi tak jarang juga melontarkan sindiran yang menyakitkan. Sejak ayah mereka sakit-sakitan beberapa bulan lalu, semuanya makin keruh.Dan sebelum Esti sempat membalas, satu pesan lain masuk dari Ibu.[Kapan kamu pulang, Nak? Turunkan egomu, lihatlah Ayahmu. Hargai semua pengorbanannya.]Esti menghela napas