Share

Mencari Solusi

Auteur: YuRa
last update Dernière mise à jour: 2025-06-12 20:27:37

"Mari, silakan masuk, Bu," ujar Sandy sambil membuka pintu ruang BK, memberi jalan bagi dua wanita paruh baya yang tampak tegang. Senyumnya ramah, tapi matanya waspada, ia tahu diskusi kali ini tak akan mudah.

Esti yang tengah menyelesaikan laporan di meja pojok ruangan itu mendongak kaget. Matanya melebar saat mengenali salah satu tamu. Senyum yang semula ingin ia berikan, mendadak kaku di wajahnya. Perempuan yang berdiri di depan pintu juga tampak membeku. Keduanya saling memandang beberapa detik, seakan mencoba memastikan apa yang dilihat bukan ilusi.

Suasana ruang BK yang semula tenang berubah sedikit canggung. Sandy, tanpa menyadari ketegangan singkat itu, mempersilakan mereka duduk.

"Terima kasih sudah meluangkan waktu. Ada hal penting yang ingin kami bicarakan tentang anak Ibu," kata Sandy memulai pembicaraan dengan hati-hati.

Esti memilih tetap diam. Ia duduk sedikit menjauh, memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut Sandy.

Masalahnya bukan sepele. Kedekatan antara Amir
Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Chapitre verrouillé

Latest chapter

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Kelelahan Yang Panjang

    “Nenek?”Ais memekik kecil, matanya membesar penuh kejutan melihat Bu Siti dan Dewi masuk ke dalam kamar. Ia sedang duduk bersandar di ranjang rumah sakit, dengan Haris yang tengah menyuapkan sendok berisi bubur ke mulutnya.Bu Siti segera menghampiri, wajahnya langsung melunak. Ia menunduk dan mengelus kepala cucunya dengan penuh kasih.“Makan yang banyak ya? Biar cepat sehat, biar cepat pulang ke rumah.”Ais merengut kecil, mulutnya mengerucut.“Tapi makanannya nggak enak, Nek...” keluhnya polos.Bu Siti tersenyum, wajahnya penuh pengertian. Ia duduk di tepi ranjang dan merapikan selimut Ais dengan lembut.“Itu karena kamu lagi sakit, Sayang. Lidahnya jadi nggak enak. Tapi kamu tetap harus makan, biar cepet sembuh. Nanti kalau sudah sehat, Nenek masakin sop ayam kesukaanmu, ya?”Ais mengangguk pelan, matanya mulai berbinar. “Janji?”“Janji.” Bu Siti mencubit pipi cucunya lembut.Dewi berdiri tak jauh dari sana, menyandarkan tubuh di dinding, memperhatikan interaksi itu dengan senyum

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Dunia Tidak Buta

    "Kamu jangan merasa menang ya? Aku bisa membuatmu menangis darah."Suara itu, dingin, penuh amarah, menyusup ke telinga Esti seperti racun yang perlahan merambat.Esti menoleh cepat. Matanya membelalak sesaat melihat sosok Asri berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya. Nafas wanita itu terengah, tapi matanya menyala bukan karena lelah, tapi karena amarah yang telah lama membusuk dalam hati."Maaf," ucap Esti pelan, mencoba tetap tenang. "Aku nggak ada urusan denganmu.”Asri melangkah mendekat. Wajahnya dipenuhi kemarahan yang ditahan-tahan."Gara-gara kamu, aku dipindahkan ke tempat yang jauh. Kamu pikir aku nggak tahu? Kamu yang melaporkan ke atasan, kan?!"Esti mengerutkan dahi. "Gara-gara aku? Kok bisa kamu mikir begitu?""Jangan pura-pura polos!" bentak Asri, hampir tak mampu mengontrol suaranya. "Kamu pasti senang, kan, lihat aku dipermalukan?!"Esti menatap Asri lama. Lalu dengan suara tenang tapi tajam, ia berkata, “Asri, semua ini akibat perbuatanmu sendiri. Salah siapa k

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Merasa Jadi Korban

    Sebelum keluar ruangan, Esti menoleh sejenak ke arah Haris."Kalau Ais bangun, bilang ya kalau Ibu dan Kak Mei sebentar lagi balik," katanya pelan.Haris mengangguk, dan Esti pun melangkah keluar bersama Mei. Di lorong rumah sakit yang masih lengang, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar.Sementara itu, di dalam ruangan, Haris duduk di samping Ais. Ia menggenggam tangan mungil putrinya, menatap wajah yang masih terlelap.“Ayah di sini, Sayang. Kali ini… ayah nggak akan pergi.”Air mata Haris jatuh pelan, membasahi pipinya yang dingin. Ia terdiam di kursi di samping ranjang Ais, tangan masih menggenggam tangan mungil putrinya. Wajah Mei tadi, yang dengan tulus mencium tangannya dan berpamitan untuk sekolah, terus terbayang dalam benaknya."Maafkan Ayah, Nak… Ayah tahu, selama ini terlalu banyak mengecewakan kalian," bisiknya lirih, nyaris tercekat.Ia menunduk, membiarkan perasaan bersalah mengalir dalam sunyi."Ayah janji, meski mungkin tidak sebagai keluarga yang utuh, Ayah

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Sebuah Harapan

    Esti menatap ponselnya. Tangannya sempat ragu, tapi hatinya memaksa untuk bertindak."Aku harus hubungi Mas Haris. Bagaimanapun juga, dia ayahnya Ais. Aku nggak mau disalahkan kalau terjadi apa-apa," gumamnya dalam hati. Rasa lelah dan khawatir kini bercampur dengan rasa enggan yang selama ini ia tahan.Ia membuka daftar kontak, jari-jarinya berhenti pada nama yang sudah lama jarang ia sentuh: Haris.Nada sambung terdengar, tapi tak kunjung diangkat.Esti menunggu. Sekali. Dua kali. Masih tak ada jawaban. Di layar hanya muncul tulisan dingin: Panggilan tidak dijawab.Mei menoleh, penasaran. “Ibu telepon siapa?”“Telepon ayahmu. Ibu mau kasih kabar soal Ais,” jawab Esti singkat, berusaha menahan suaranya tetap tenang.Ia mencoba sekali lagi. Kali ini, setelah beberapa detik yang menegangkan, suara berat Haris akhirnya terdengar dari seberang.“Halo? Esti?”“Mas… Ais sakit. Sekarang dirawat. Tadi hasil darahnya menunjukkan gejala DBD. Sekarang dia sudah dipasang infus.”Terdengar keheni

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Ais Sakit

    Esti duduk di tepi ranjang, matanya tak lepas dari wajah Ais yang pucat dan gelisah. Nafas adik kecilnya tersengal pelan, dan panas di tubuhnya belum juga turun meski obat sudah diminum sejak beberapa jam lalu.Peluh membasahi dahi Esti, bukan karena panas ruangan, tapi karena cemas yang perlahan menggerogoti pikirannya.“Bu, apa nggak sebaiknya kita bawa Ais ke dokter sekarang?” tanya Mei pelan dari ambang pintu. Suaranya bergetar, dan tangan mungilnya menggenggam ujung bajunya sendiri.Sang ibu menoleh sejenak, lalu menghela napas. “Kita tunggu sampai sore, ya. Kalau demamnya masih tinggi, langsung kita bawa.”Mei mengangguk, meski jelas terlihat ia tak sepenuhnya tenang.Esti menatap wajah Ais lagi. Biasanya, setelah minum obat, keringat akan keluar dan suhu tubuhnya perlahan turun. Tapi kali ini, tak ada tanda-tanda itu. Ais hanya terbaring diam, sesekali mengerang lemah.“Kenapa belum juga berkeringat, Ais?” gumam Esti, nyaris seperti bicara pada diri sendiri. Ada rasa takut yang

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Karmamu

    Esti menunduk pelan, mencoba menenangkan degup jantungnya. Ia merasa seperti ditarik kembali ke masa lalu, masa ketika ia tahu segalanya tapi memilih diam.Sandy tidak menyadari dinamika itu. Ia hanya melanjutkan, “Saya rasa kita semua perlu waktu untuk mencerna ini. Tapi satu hal pasti, kita tidak bisa membiarkan anak-anak menanggung luka dari masalah yang belum selesai di dunia orang dewasa.”Asri menatap putrinya lagi. “Maafkan Ibu, Nak… Ibu terlalu sibuk menyembunyikan luka sendiri, sampai lupa melihat luka kamu.”Nita hanya mengangguk sambil menangis. Untuk pertama kalinya, Asri merasa benar-benar hancur, bukan karena kesalahan Nita, tapi karena ia melihat refleksi dirinya sendiri, di anak yang seharusnya ia lindungi.Akhirnya, setelah perbincangan panjang yang melelahkan hati, Asri dan Rani berpamitan. Wajah mereka masih menyimpan bekas emosi, tapi ketegangan sedikit mereda. Masalah Amir dan Nita, untuk sementara, dianggap selesai.Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, Asri

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status