Share

Ghibah

Author: YuRa
last update Last Updated: 2025-02-28 09:52:35

“Biasa, Mas. Toni sedang buntu, butuh suntikan dana untuk bertahan hidup,” kata Indah menggoda Toni.

“Jangan buka kartu dong, kan ketahuan kalau dompetku melompong.” Toni mengimbangi ucapan Indah, supaya Haris tidak curiga. Haris hanya tersenyum melihat kru dan biduannya yang saling mengeluarkan celetukan.

“Bukannya manggung kemarin sudah dapat?” tanya Haris.

“Namanya juga manusia, Bos. Banyak kebutuhan dan keinginan,” sahut Toni. Belum sempat Haris menjawab, ada seseorang memanggilnya.

“Ayah!” teriak Ais yang berlari mendekati Haris.

“Iya, sayang,” sambut Haris sambil memeluk tubuh anak bungsunya itu.

“Ayo, Yah, Ais mau nunjukin sesuatu,” ajak Ais sambil menarik tangan ayahnya.

“Oke.” Haris pun mengikuti langkah kaki Ais untuk masuk menuju rumah mereka.

Indah tampak kesal, belum sempat ia menggoda Haris, malah Haris pergi. Toni tersenyum melihat Indah yang kecewa.

“Cie…cie, ada yang kecewa,” bisik Toni menggoda Indah.

Sementara itu, di dalam rumah ada Esti dan Mei yang sedang sibuk di dapur.

“Baru pulang, Mas?” tanya Esti.

Belum sempat Haris menjawab, Ais sudah nyeletuk.

“Udah dari tadi, Bu. Ayah sedang asyik ngobrol dengan Tante Indah dan Om Toni di studio.”

“Bisa-bisanya pulang kerja nggak langsung masuk ke rumah menemui istri dan anak-anaknya. Eh kok malah menemui biduan dan krunya,” kata Esti dalam hati.

“Oh, gitu ya?” sahut Esti.

“Ayah lebih mementingkan kru orgen tunggal daripada kami.” Lagi-lagi Ais nyeletuk, membuat Haris merasa tertampar.

“Bukan begitu, Dek! Ayah pasti lebih mementingkan Ibu, Mbak Mei dan Ais. Tadi Ayah mau lewat pintu depan malah dikunci, makanya Ayah ke studio dulu,” kilah Haris.

Padahal memang ia tahu kalau pintu depan selalu dikunci, jadi lewat melalui pintu samping. Itu hanya alasan saja, supaya Ais tidak berceloteh yang enggak-enggak lagi.

“Lain kali nggak boleh gitu ya, Yah.” Ais berlagak menasehati ayahnya.

“Iya, tuan putri. Maafkan Ayah.” Haris berkata dengan wajah yang dibuat memelas.

“Ais maafkan. Ayo Yah, ada yang mau Ais tunjukkan.” Ais menarik tangan ayahnya menuju ke ruang keluarga.

“Bu, Ais kalau ngomong kayak orang dewasa ya? Tapi ucapan Ais itu ada benarnya juga,” kata Mei pada Esti.

Esti hanya tersenyum, tapi pikirannya mulai berkelana. Memikirkan hal-hal yang mungkin bisa saja terjadi.

“Sudah, nggak usah ditanggapi serius ucapan Ais tadi.”

Esti dan Mei melanjutkan pekerjaannya di dapur.

***

[Mas, memangnya penampilanku norak ya?]

Sebuah pesan masuk ke ponsel Haris. Haris yang sedang asyik menatap layar monitor di kantornya, langsung beralih ke ponsel yang ada di mejanya. Dengan perlahan ia membuka dan membaca pesan itu. Keningnya berkerut, seperti memikirkan sesuatu. tanpa menunggu lama, Haris langsung membalas pesan itu.

]Siapa bilang? Kamu cantik, kok!]

[Masa sih? Bukannya aku jelek dan kampungan?]

[Mas nggak bohong, kamu cantik dan menggoda. Yang ngomongin kamu kayak gitu berarti iri. Mungkin dia sangat jelek.]

Indah, si pengirim pesan membalas dengan emoji cinta, membuat Haris tersenyum sumringah.

[Memangnya siapa sih yang ngomongin kamu kayak gitu?] Balas Haris.

[Ada deh.]

Haris dan Indah saling berbalas pesan di ponsel, mereka berani saling berkirim pesan ketika jam kantor. Disaat Esti tidak ada disisi Haris, setelah itu mereka akan menghapus chat untuk menghilangkan jejak.

Firman dan Zahra yang ada di ruangan itu tampak memperhatikan ekspresi bosnya yang tampak bahagia.

“Pak Bos chat dengan siapa, kok terlihat sangat bahagia?” bisik Firman,”nggak mungkin kan kalau ia chat dengan istrinya?”

Zahra mengangguk, kemudian berkomentar,” Mungkin dengan selingkuhannya.”

“Hush, jangan sembarangan berbicara. Nanti malah dituduh memfitnah.”

“Kamu kan yang mulai duluan,” kilah Zahra.

“He…he…” Firman menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tertawa cengengesan.

Rupanya Haris terganggu dengan suara tawa kecil Firman, ia pun menoleh ke arah Firman.

“Ada apa Firman?” tanya Haris.

“Nggak ada apa-apa, Pak. Ini lho, pagi-pagi zahra sudah ngajak ghibah.”

“Siapa yang kalian jadikan bahan ghibah?”

“Seleb TikTok, Pak. Katanya suaminya kepergok bergandengan tangan dengan perempuan lain. Padahal istrinya itu spek bidadari, kok masih saja diselingkuhi. Kasihan ya, apa yang dicari laki-laki itu? Kalau selingkuhannya pasti yang dicari materi. Benar nggak Firman?” Zahra langsung nyerocos, tanpa henti.

“Betul itu,” sahut Firman.

“Kalau kamu tipe setia atau yang suka cari-cari selingan?” tanya Zahra pada Firman.

“Setia dong!”

“Iya, kamu setia karena nggak banyak uang. Laki-laki itu godaannya ketika sedang banyak uang, sedangkan perempuan godaannya ketika nggak banyak uang.” Zahra berkata seperti memberi nasehat pada Firman.

“Haha, betul juga. Tapi amit-amit deh, mudah-mudahan aku nggak kayak gitu. Kasihan istri dan anakku.”

“Semoga kamu tetap lurus ya?” ledek Zahra.

Firman hanya tertawa, sedangkan Haris terdiam. Dari tadi ia mengamati dan mendengarkan stafnya yang kalau ngobrol selalu seru. Apalagi kalau ada Indri, pasti semakin seru ngobrolnya. Kebetulan hari ini Indri izin karena anaknya sedang sakit.

Terdengar suara pintu diketuk, semua mata langsung tertuju ke arah pintu. Tampak wajah Dona staff sekretaris camat yang masuk ke ruangan kasubag umum dan kepegawaian, yaitu kantor Haris.

“Maaf, Pak, mau menyerahkan ini.” Dona menyerahkan setumpuk map kepada Haris.

“Oke, terima kasih Dona.”

“Sama-sama, Pak. Saya permisi,” pamit Dona sambil melambaikan tangan ke arah Firman dan Zahra. Firman dan Zahra menanggapi dengan senyuman.

“Firman, cek dulu laporan ini. Koreksi kalau ada yang perlu diperbaiki,” kata Haris. Firman pun berjalan menuju ke meja Haris, bertepatan dengan suara ponsel Haris yang berdering. Firman bisa melihat sekilas nama yang tertera di layar ponsel itu.

Haris mengambil ponsel dan menerima panggilan itu.

“Halo,” sapa Haris, ia pun beranjak dari duduknya dan berjalan keluar ruangannya. Firman dan Zahra hanya mengamati apa yang dilakukan bosnya.

Zahra memberi kode pada Firman, Firman hanya mengangkat bahunya saja pertanda kalau ia tidak tahu apa-apa.

“Siapa yang menelpon Pak Bos? Kok langsung keluar ya, kenapa nggak menerima panggilan itu disini?” tanya Zahra dengan penuh penasaran.

“Kenapa tadi kamu nggak nanya sama Bos?” ledek Firman.

“Memangnya siapa aku, kok berani mengintrogasinya. eh, kamu lihat gak gimana ekspresi wajah Pak Bos tadi ketika menerima panggilan itu? Sumringah kan? Kayak orang sedang jatuh cinta.”

“Mulai deh jiwa ghibahnya meronta-ronta.”

“Memangnya kamu nggak penasaran? Pak Haris kan sudah pernah kena kasus, mungkin saja kasus itu terulang lagi.” Zahra berkata dengan ekspresi yang meyakinkan, membuat Firman penasaran.

“Memangnya kasus apa? Aku kan baru disini, jadi tidak tahu apa-apa.” Firman mendekat ke arah Zahra dengan wajah yang penasaran.

Zahra tertawa.

“Kenapa kamu tertawa?” tanya Firman.

“Wajahmu itu lho? Kayak wartawan gosip yang siap mengupas kasus.”

“Cerita dong, jangan bikin aku penasaran.”

Meluncurlah kata demi kata dari mulut Zahra dan terangkai dalam kalimat yang membuat mata Firman membulat karena terkejut dengan informasi yang ia dengar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Affiliate Partner

    Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik ketika Indah duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan. Haikal dan Fania masih tertidur, Bu Ratna sibuk menyapu halaman, dan suasana rumah cukup tenang untuknya mencoba sesuatu yang sejak tadi malam terus ia pikirkan.Ia membuka aplikasi catatan yang semalam ditulisnya. Tangan kanannya berkeringat, dan jantungnya berdetak tak karuan."Mulai dari suara dulu. Jangan takut."Ia membaca ulang kalimat itu, seperti mantra yang menenangkan.Dengan perlahan, ia menyiapkan botol skincare yang tadi malam ia lihat banyak dijual orang-orang di media sosial.Kebetulan ia memakai produk itu. Lalu, ia letakkan botol itu di atas meja kayu yang ia bersihkan khusus pagi ini. Cahaya matahari yang masuk dari jendela membuat produk itu terlihat bersih dan segar.Ia mengatur ponselnya di atas tumpukan buku, mencoba mencari sudut terbaik. Lalu, menekan tombol rekam suara."Halo, Kak... Aku mau ngenalin produk yang bikin kulit glowing dan lembap seharian..."Suara it

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Mencari Inspirasi

    Tangis Indah pecah begitu pintu rumah tertutup kembali. Suara langkah Gina dan ibunya masih terngiang di benaknya, seperti gema yang tak mau pergi. Ia terduduk di lantai ruang tamu, wajahnya ditutupi kedua tangan yang gemetar. Air mata jatuh satu per satu, seolah mewakili rasa bersalah yang selama ini ia tekan dalam-dalam.Hari ini, Gina, istri Pratama, datang bukan sebagai tamu biasa. Ia datang membawa luka, amarah yang ditahan, dan permintaan yang mengguncang hati Indah."Tolong, jauhi suamiku. Aku mohon..."Kata-kata itu masih terngiang jelas. Lembut, tapi penuh penekanan. Tidak ada teriakan, tidak ada makian. Hanya mata yang sembab dan suara yang nyaris pecah.Tak lama setelah mereka pergi, Indah menoleh ke arah ibunya yang berdiri mematung di depan pintu kamar. Wajah Bu Ratna datar, tapi mata tuanya menyimpan kecewa yang dalam.“Begitu hinakah seorang biduan, Bu?” tanya Indah lirih, nyaris seperti bisikan di antara isaknya.Bu Ratna menarik napas panjang sebelum duduk di samping

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Berhenti Bernyanyi

    Pagi itu, matahari menembus sela tirai, menyinari ruang makan kecil yang sederhana.Indah duduk di lantai beralaskan tikar lusuh, menyuapi Haikal yang baru delapan bulan.“Ini suapan buat adek, ya… Nih, aaaa..”Haikal membuka mulut kecilnya, lalu tertawa sambil mengeluarkan suara khas bayi yang belum berbicara.“Hmmmhh… ahh… euhh…”Indah ikut tertawa, matanya berbinar. Sekejap, semua beban terasa jauh.Anak itu, meski belum bisa bicara, selalu tahu cara membuat ibunya bertahan.Tiba-tiba, Tok tok tok.Suara ketukan di pintu membuat Indah dan Bu Ratna, ibunya, saling melirik.“Biar Ibu yang buka.”Bu Ratna bangkit perlahan dari tikar, merapikan kerudung yang setengah tergeser, lalu berjalan ke arah pintu depan.Saat pintu dibuka, dua perempuan berdiri di ambang. Yang satu setengah baya, dengan sorot mata tajam dan ekspresi penuh kontrol.Yang satu lagi, lebih muda, mungkin sebaya dengan Indah. Matanya memindai isi rumah, lalu berhenti pada suara lenguhan Haikal dari dalam.“Cari siapa,

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Menolak Syarat

    "Apa yang kamu pikirkan?" tanya Bu Ratna dengan suara lembut, sambil duduk di bangku panjang taman belakang. Pandangannya jatuh pada Indah, yang duduk termenung, tak memperhatikan Fania dan Haikal yang tengah berlarian mengejar gelembung sabun.Indah menghela napas panjang, seolah beban di dadanya tak kunjung reda.Sejak pertemuan tadi siang, bayangan wajah Esti terus menghantuinya, bukan karena ketakutan, tapi karena kesadaran yang baru tumbuh di dadanya. Kata-kata Esti berulang-ulang memutar di kepalanya, "Mulailah dengan jalan yang benar…”"Aku tadi bertemu dengan Esti, Bu," ucap Indah perlahan. Suaranya seperti seseorang yang baru saja meminum kebenaran yang pahit.Bu Ratna menoleh cepat. "Esti? Istri Haris?"Indah mengangguk pelan."Terus... apa yang terjadi? Apakah ia marah-marah padamu? Berkata yang menyakitimu?" suara Bu Ratna sedikit naik, cemas sekaligus penasaran.Indah menggeleng pelan. Matanya mulai berkaca-kaca."Tidak, Bu. Dia tidak marah. Tidak berteriak. Bahkan tidak

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Minta Maaf

    "Mei, sudah dapat yang mau dibeli?"Suara Esti datang begitu saja, lembut tapi cukup mengagetkan. Ia muncul dari lorong sebelah bersama Ais yang tampak memegang gantungan kunci kelinci. Rupanya mereka berkeliling lebih jauh sementara Mei asyik sendiri.Mei terlonjak sedikit. Ia buru-buru membalikkan tubuh, menyembunyikan gelisah di balik senyum yang dipaksakan."Su… sudah, Bu," jawabnya pelan. Ada jeda dalam suaranya. Gugup.Dan saat itu juga, Indah menoleh.Mata mereka bertemu. Untuk sepersekian detik, dunia seolah berhenti berputar. Suara anak-anak, musik dari pengeras suara toko, bahkan tawa Ais, semuanya menghilang dari telinga Mei. Hanya ada sorot mata Indah, yang menatap seolah masih mencoba membaca siapa yang berdiri di hadapannya.Indah tampak terkejut. Dan Esti membeku. Napasnya tertahan ketika pandangannya bertemu dengan perempuan dari masa lalu yang tak pernah ia undang kembali.Tidak ada yang bicara. Tapi udara di antara mereka terasa berat, penuh dengan kenangan yang tak

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Merindukan Momen

    Haris baru saja memarkir motornya di depan rumah mereka yang sekarang ditempati oleh Esti. Ia membawa satu kantong besar berisi makanan, lauk kesukaan Mei, camilan untuk Ais, dan sekotak ayam bakar untuk Esti, perempuan yang telah menampung luka-lukanya, meski hatinya sendiri juga pernah tersayat oleh masa lalu Haris.Langkahnya pelan menuju pintu. Ia mengatur napas, hendak mengetuk sambil memberi salam.Namun, suara percakapan dari dalam menghentikan niatnya. Suara Esti dan Mei.Haris menajamkan telinga. Mendengar nama itu."Tante Indah.”"Pakaian kurang bahan.""Kalau memang suaminya, pasti laki-laki itu akan melarang Tante Indah."Haris terpaku. Sekujur tubuhnya menegang. Tangannya masih memegang erat plastik makanan yang perlahan mulai berembun. Matanya terpejam sejenak. Rasanya seperti dilempar kembali ke masa yang selama ini ingin ia kubur dalam-dalam.Indah. Nama yang selalu berhasil menyayat hatinya. Nama yang pernah memporak-porandakan rumah tangga mereka. Ia tidak ingin men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status