Share

Terpojok

Penulis: YuRa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-14 18:46:58

Haris terdiam sejenak, matanya kosong menatap layar ponselnya yang baru saja dimatikan. Suara Dewi yang tiba-tiba menyapanya membuatnya terbangun dari lamunannya.

"Kenapa wajahmu kusut kayak gitu?" tanya Dewi yang baru keluar dari ruangan ibunya. Dewi menatapnya dengan cemas, merasa ada sesuatu yang mengganggu Haris.

Haris menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Indah... dia makin nekat. Dia nggak mau dengar alasan, Mbak. Dia tetap bersikeras mau datang ke rumah sakit, bertemu Ibu."

Dewi mengerutkan kening, tampak terkejut. "Haris, ini bukan waktu yang tepat. Ibu baru aja, kamu nggak ingin keadaan makin parah, kan?"

Haris baru saja hendak kembali ke kamar ibunya ketika tiba-tiba suara langkah cepat terdengar di lorong rumah sakit.

"Mas Haris!"

Haris menoleh dan terkejut. Indah sudah ada di sana.

Ia berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya memburu. Matanya menyapu ruangan dengan tajam, lalu berhenti tepat pada Haris dan Dewi.

"Aku sudah bilang aku akan da
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Golongan Darah

    “Ada apa, Mia? Kenapa wajahmu tampak cemas seperti itu?” tanya Dokter Fajri, sambil melepas stetoskopnya dari leher dan menatap langsung ke arah perawat muda itu. Mia menelan ludah, lalu menyerahkan selembar kertas dari laboratorium. “Ini… hasil cek golongan darah ayah si bayi,” katanya pelan, nyaris berbisik. Dokter Fajri mengambil kertas itu, membaca sekilas. “Jadi benar, Bapak itu bergolongan darah O, seperti katanya tadi,” gumamnya. Tapi saat ia mengangkat kepala dan kembali menatap Mia, ia menangkap sorot yang tak biasa di mata perawat itu. “Terus, kenapa wajahmu cemas seperti itu?” Mia menarik napas, seolah sedang menyiapkan diri untuk mengucapkan sesuatu yang berat. “Masalahnya… bayi itu, Dok… golongan darahnya AB.” Sejenak, ruangan itu terasa membeku. Dokter Fajri diam. Matanya menatap lurus ke arah jendela, tapi pikirannya jelas berkelana jauh. Tangannya mengepal di atas meja, sementara kertas hasil labor itu masih berada di genggamannya. “Mungkin ada kesalahan input?

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Anemia Prematuritas

    Bu Ratna sudah berada di ruang perawatan Indah. Dengan situasi ini, tetapi juga merasa bingung dan tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Meski begitu, hatinya terasa sakit mendengar sindiran ibunya terhadap Bu Siti."Mertuamu itu nggak ada etika, ya? Pulang nggak pamit dulu! Bukan cuma nggak peduli dengan keadaan Indah, tapi mereka juga nggak tahu diri," kata Bu Ratna, suaranya semakin keras. Ia berjalan mondar-mandir, tampak marah besar.Indah yang sedang duduk di dekat meja makan hanya bisa diam, menahan rasa sakit. Ia merasa tertekanPak Burhan yang sejak tadi diam, mencoba menenangkan istrinya. "Sudah, sudah, Bu. Jangan tambah emosi. Kita harus berpikir rasional. Yang penting, Indah dan bayinya baik-baik saja. Urusan dengan keluarga Haris itu biar mereka selesaikan sendiri."Namun, Bu Ratna tetap merasa kesal. "Rasional apa? Lihat saja nanti, anaknya sudah terlahir prematur, siapa yang bertanggung jawab kalau nanti ada masalah lagi? Bukan cuma masalah bayi, tapi juga masalah hati!

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Saling Sindir

    Kabar kelahiran bayi Indah tersebar cepat ke telinga keluarga besar, terutama lewat pesan singkat dari Haris kepada ayah dan ibu Indah. Pagi itu, rumah keluarga Burhan dipenuhi kecemasan sekaligus rasa penasaran.Bu Ratna menangis haru sambil terus menggenggam tas tangannya. “Alhamdulillah, cucu kita lahir selamat, walaupun prematur.”Pak Burhan, yang sejak awal keras pada Indah, hanya diam. Wajahnya tegang, namun sorot matanya menyimpan kelegaan. Ia sudah tahu soal stres Indah, bahkan mendengar sebagian besar konfliknya dengan Haris dan Esti. Kini, dengan cucu prematurnya lahir, ia tidak bisa lagi hanya jadi penonton.“Kita ke rumah sakit sekarang,” katanya singkat.Di sisi lain, keluarga Haris pun ikut mendengar kabar itu, lewat Dewi yang mendapat pesan dari Haris. Bu Siti, langsung mempersiapkan diri untuk ke rumah sakit.“Gimanapun juga, dia cucuku. Lahir dari darah anakku,” ucap Bu Siti.Dewi sempat memandangi ibunya dengan heran. “Ibu nggak marah sama Indah dan Haris?”“Marah. T

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Melahirkan

    Haris terkejut, buru-buru mematikan layar ponselnya dan menoleh. “Apa?”Indah melipat tangan di dada, berdiri di hadapan Haris. “Kamu nikmatin banget ya lihat mereka. Lihatlah mereka bisa bersenang-senang tanpa kamu? Atau sebenarnya kamu pengen ada di sana, bareng Esti lagi?”Haris menarik napas panjang, mencoba menahan diri. “Indah, aku cuma lihat anak-anak…”“Ah, anak-anak!” potong Indah tajam. “Selalu anak-anak yang kamu jadikan alasan! Tapi aku lihat sendiri. Kamu nggak cuma kangen Ais atau Mei. Tatapanmu itu, masih ada rasa buat Esti, kan?”Haris berdiri, menatap Indah lurus. “Aku nggak mau debat sekarang.”“Tentu. Karena kamu lebih suka tenggelam dalam kenangan. Dalam kehidupan yang dulu. Sama istrimu yang lama,” suara Indah mulai gemetar, antara marah dan terluka.Haris mengusap wajahnya, frustasi. “Kamu mau aku bilang apa? Bahwa aku memang belum bisa benar-benar lepas dari Esti? Bahwa hatiku terbagi dua sejak hari kita menikah? Tentu saja semuanya benar, Esti masih istriku yan

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Selalu Menuntut

    Indah sedang duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya. Hari itu ia memilih untuk tetap di rumah. Pikirannya masih penuh dengan kekesalan terhadap Haris dan Esti. Meski sudah berusaha menenangkan diri, hati Indah tetap terasa panas setiap kali memikirkan keluarganya yang terpecah.Saat membuka Instagram, matanya langsung tertuju pada unggahan Mei. Foto-foto keluarga Esti di Bali, meskipun tampak bahagia, membuat dada Indah sesak. Ada foto Esti dan Ais yang duduk bersama di pantai, tertawa bahagia. Ada pula foto mereka bertiga, berpegangan tangan, seolah dunia tidak sedang berantakan.Indah menatap layar ponselnya dalam diam, bibirnya terkatup rapat. Ia tidak bisa menahan perasaan cemburu yang muncul begitu saja. Ada rasa amarah yang mengalir begitu cepat dalam dirinya,“Kenapa mereka bisa bahagia begitu? Mas Haris nggak pernah mengajakku jalan-jalan. Jangan-jangan mereka pergi dibiayai oleh Mas Haris,” gumam Indah pelan, matanya berkilat marahHaris yang baru pulang dari rumah ibun

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Liburan (2)

    Kota selanjutnya: Surabaya.Esti dan anak-anak tiba menjelang sore, disambut semilir angin laut yang hangat dan aroma khas kota pelabuhan yang sibuk. Mereka menginap di hotel dekat Tunjungan Plaza, strategis, dan cukup dekat dengan berbagai destinasi kota.Di hari pertama, mereka mengunjungi Museum Kapal Selam, tempat Ais begitu antusias menjelajah lorong-lorong sempit kapal bekas perang itu. Matanya berbinar, membayangkan dirinya jadi kapten kapal.“Kalau Ais jadi komandan kapal, siapa yang jadi krunya?” canda Esti.“Kak Mei, dong! Tapi Kak Mei cuma bagian dokumentasi!” sahut Ais sambil tertawa.Mei hanya menggeleng sambil tersenyum kecil, tapi tawa Ais akhirnya menular juga, Mei tertawa cukup lepas. Esti memperhatikan ekspresi anak sulungnya itu, dan merasa harapannya perlahan terkabul, dinding Mei mulai runtuh.Malamnya, mereka mencicipi rujak cingur dan sate klopo di salah satu tempat makan legendaris. Meski Ais mengernyit karena rasa cingur yang unik, Esti dan Mei tampak menikmat

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Liburan

    Liburan sekolah telah tiba, dan suasana di rumah Esti terasa berbeda. Untuk pertama kalinya sejak lama, Esti merasakan semangat yang hangat saat membicarakan rencana liburan. Ia sengaja mengambil cuti kerja, bukan hanya untuk mengisi waktu luang, tapi juga untuk mempererat kembali hubungan dengan Mei dan Ais.“Ais mau ke mana dulu?” tanya Esti sambil menyiapkan koper-koper di ruang tamu.“Bandung!” seru Ais semangat. “Mau lihat kebun stroberi!”Mei yang duduk di sudut sofa hanya mengangguk pelan. Meskipun ekspresinya masih datar, ada cahaya kecil di matanya, sebuah tanda bahwa ia tak sepenuhnya menolak perjalanan ini.Esti tersenyum kecil. Ia tahu, ini bukan hanya sekadar liburan. Ini adalah usaha untuk menyembuhkan luka, membangun kembali rasa aman yang dulu pernah hilang.Mereka merencanakan perjalanan ke beberapa kota besar: Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Esti sudah menyusun rencana sederhana, lengkap dengan tempat-tempat edukatif, kuliner khas, dan waktu santai bersama.

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Ketakutan Berlebihan

    Indah duduk di ruang tamu, matanya kosong menatap keluar jendela. Semua yang direncanakannya hancur begitu saja. Haris tidak lagi menanggapi perasaannya dengan cara yang ia harapkan. Bahkan, perceraian yang ia harapkan segera selesai dengan cara yang cepat, kini menjadi semakin rumit dan jauh dari jangkauan.Perasaannya mulai kacau. Tak ada yang lebih mengganggu selain kenyataan bahwa dia kini benar-benar terpojok. Semua yang ia lakukan tampaknya hanya memperburuk keadaan.Keesokan harinya, Indah memutuskan untuk menghubungi ibunya. Ia ingin mencari penghiburan, sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih kuat. Setelah beberapa kali mencoba, ibunya belum juga mengangkat telepon.Akhirnya Indah ke rumah ibunya, ia tahu kalau ayahnya masih bekerja.“Indah, kamu sama siapa? Ada apa?” suara Bu Ratna khawatir, kemudian memeluk Indah.Indah menghela napas panjang, kemudian melepaskan pelukan ibunya. “Bu, aku benar-benar terpojok. Haris udah gak peduli sama aku lagi. Aku udah coba segala cara

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Cara Kotor

    Beberapa hari setelah kunjungannya ke sekolah Ais, Haris mencoba menghindari konflik. Tapi Indah makin mendesak.Pagi itu, saat Haris baru saja selesai mandi dan hendak bersiap ke kantor, Indah menaruh secarik kertas di meja makan.“Apa ini?” tanya Haris tanpa melihat.“Formulir pengajuan cerai PNS. Lengkap, tinggal kamu isi dan tanda tangani,” jawab Indah tajam.Haris menatapnya dalam. “Kamu nyari ini dari mana?”“Dari internet. Aku udah tanya temanku yang di BKD juga. Kamu tinggal ajukan ke atasanmu.”“Indah, aku sudah bilang prosesnya nggak sesederhana itu.”Indah menyilangkan tangan, wajahnya dingin. “Bukan nggak sederhana, kamu aja yang nggak serius. Masih nempel sama mantan istri dan anak-anakmu. Kamu janji sama aku mau bercerai. Aku ini istrimu, dan aku lagi hamil! Tapi kamu lebih sibuk urusin mereka!”Haris melempar dasinya ke meja. Napasnya berat. “Iya, aku sayang anak-anakku. Tapi kamu juga harus tahu, perceraian itu bukan hal sepele. Ada aturan, ada proses. Aku gak bisa asa

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status