Share

Yang Pertama

               “Tadi tamu terakhir kan?” tanya Rajendra.

                “Iya, Mas,” jawab Yudith.

                “Akhirnya, astaga tiga hari setelah resepsi dan tamu masih banyak. Keluarga kamu besar sekali ya? atau kamu mengundang satu kampung. Sudahlah capek resepsi dua hari, belum bisa istirahat juga sampai lima hari,” gerundel Rajendra.

                “Keluarga mama papa memang banyak, dan aku anak satu-satunya sudah pasti semua diundang. Kamu istirahatlah, biar sisanya aku yang temui.” Yudith menghela nafas akan keluhan suaminya selama hampir lima hari terakhir ia dengar.

                “Aku mau tidur sampai malam, jangan bangunkan ya. Kamu buatlah alasan kalau mama kamu dan keluarga yang masih di sini tanya,” pesan Rajendra.

                “Iya Mas,” jawab Yudith.

                Yudith menutup pintu kamarnya yang untuk sementara mereka gunakan sebelum menempati rumah baru pemberian dari suami karena tidak ingin pernikahan rumit mereka terendus oleh mama Yudith. Tamu keluarganya memang silih berganti berdatangan karena tidak semua tinggal di Jakarta jadi sekalian melepas rindu mereka menginap di hotel dan siang hari akan bercengkerama dengan keluarga lainnya di kediaman Yudith.

                “Mas bangun dulu, makan malam dulu. Nanti kamu bisa tidur lagi.” Yudith membangunkan suaminya yang terlelap pulas sedari sore.

                “Aku masih mengantuk, kamu makan dulu saja.” Rajendra menepis tangan di bahunya.

                “Mama sudah memasak dan menunggu di bawah, makan dulu nanti bisa dilanjutkan tidur.” Yudith sabar membujuk, ia tidak mungkin mengatakan pada mamanya jika menantunya malas makan malam bersama.

                “Ya Tuhan, Yudith,” geram Rajendra.

                “Enggak bisa banget lihat orang istirahat, memangnya harus banget aku ikut makan? kan bisa duluan. Aku akan makan saat merasa lapar,” gerutu Rajendra.

                “Kamu mau aku bilang ke mama kalau kamu capek dan memilih tidur dari pada menikmati masakan mama?” tanya Yudith.

                “Astaga ... kamu berani mengancam rupanya?” Rajendra menyibak selimut dengan kesal dan turun dari ranjang besar menuju kamar mandi, tidak lagi menghiraukan di punggungnya Yudith menarik nafas panjang.

                Mereka makan malam di kediaman Yudith sebelum esok menempati rumah baru mereka sesuai rencana awal permintaan mama Yudith untuk tinggal lima hari dahulu di rumah tersebut sebelum putrinya benar-benar meninggalkan rumah ikut suami.

                “Kamu yang menyetujui ya, Yudith. Jangan menuntut macam-macam dari aku saat kamu benar-benar hamil nanti. Aku tidak ingin kamu meminta ini itu dengan dalih mengidam.” Ucapan pertama Rajendra saat sampai rumah baru mereka.

                “Aku bisa melakukan apa pun sendiri, aku wanita mandiri. Kamu tidak perlu berulang kali mengatakan hal itu.” Yudith akhirnya kesal dengan ucapan penuh peringatan di setiap keadaan oleh laki-laki berstatus suaminya.

                “Baguslah kalau begitu, mari kita selesaikan malam ini. Kamu bisa bersiap-siap, siapa tahu kamu takut melakukan malam pertama,” sindir Rajendra telak.

                Yudith menghela nafas panjang, memilih mengabaikan ucapan sang suami dan melanjutkan merapikan isi kopernya. Ia tidak membawa semua pakaiannya di rumah orang tuanya karena akan ia cicil perlahan untuk memindahkannya nanti. Yudith mengerutkan kening saat suaminya masuk ke dalam kamar dengan membawa dua gelas entah berisi apa.

                “Walau aku terlihat sangat jahat sama kamu, tapi aku menghargai keputusan kamu yang ingin berbakti sama orang tua. Jadi mari kita lakukan dengan nyaman,” papar Rajendra akan keanehannya tiba-tiba bersikap baik dan lembut pada istrinya.

                Yudith terdiam menerima gelas hangat lemon teh dari aromanya, memandang paras tenang Rajendra lebih dalam. Sungguhkan yang di depannya adalah laki-laki menyebalkan yang dikenalkan almarhum papa padanya?

                “Kamu benar siap? masih bisa menolak.” Rajendra bertanya saat mereka hendak melakukan hubungan suami istri untuk pertama kalinya.

                Yudith mengangguk tanpa suara, ia bisa apa kali ini. Ia yang mengambil keputusan menerima pernikahan gila ini dengan sadar. Ia yakin ia tidak mencintai laki-laki bernama Rajendra Dallas Oberto. Ia akan bisa bertahan selama satu tahun, Yudith sangat yakin akan hal itu. Ia hanya cukup mengandung janin Rajendra dan semua akan selesai dengan cepat.

                “Clara ... honey .... “

                Rajendra menyerukan sebuah nama wanita lain saat ia mencapai puncak. Bukan nama Yudith yang ia sentuh sedari satu jam lalu, bukan nama Yudith yang memberikannya kepuasan yang disebutkan olah suaminya. Sakit yang ia rasakan pada pangkal kakinya karena memang ia tidak pernah berhubungan sebelum pernikahan, tidak sebanding dengan sakit di hatinya.

                “Thank you honey, amazing right?” Rajendra berbisik pada sosok tubuh yang membeku di bawahnya.

                Yudith tidak pernah membayangkan jika bercinta dengan suami yang ia harapkan akan membahagiakan dulu, karena ia menjaga dirinya dengan amat baik hingga tidak membolehkan siapa pun menyentuhnya jika bukan suaminya kelak. Kini bagai pisau belati menyayat-nyayat bukan hanya tubuhnya, tapi hidup Yudith sepenuhnya. Sakit luar biasa terasa hingga ia menggigil memeluk lututnya sendiri saat Rajendra dengan kejamnya meninggalkan dirinya yang belum baik sepenuhnya bahkan tanpa menyelimuti tubuh polosnya. Tiada yang lebih menyakitkan dari itu seumur hidup Yudith.

                “Aku akan tinggal di tempat Clara, tugas aku sudah selesai. Sabtu sore aku akan pulang ke sini dan minggu sore ke sana. Seperti itu jadwalnya, jangan menghubungi aku jika bukan urusan orang tua kita. Karena kamu sudah kaya raya, maka tidak perlu lagi kan uang nafkah dari aku, kan. Aku pergi sekarang.” Kekejaman Rajendra lainnya pada sang istri.

                Yudith tidak menjawab, tangannya yang sedang mengisi dua gelas teh dan sudah menyiapkan sarapan berhenti di udara. Rajendra bahkan tidak melirik atau menyentuh sedikit saja apa yang sudah ia siapkan. Pernikahan neraka baginya segera di mulai.

                Yudith adalah anak tunggal sekaligus pewaris kerajaan bisnis almarhum papanya. Ia wanita mandiri dan berpendidikan, ia bisa melakukan segala hal kecuali menolak permintaan terakhir papanya dan menjadi begitu lemah dengan perlakuan kejam Rajendra padanya. Bukan pernikahan seperti ini yang ia impikan sedari dulu.

                “Mama akan datang minggu pagi sama Ibu kamu, sebaiknya kamu pulang.” Yudith mengirimkan pesan untuk Rajendra setelah menerima panggilan dari mamanya dan ibu mertuanya bahwa mereka akan berkunjung di minggu pagi.

                “Ok.” Singkat balasan dari Rajendra.

                “Hallo Mas?” Yudith menerima panggilan Rajendra setelah jeda beberapa menit dari balasan singkatnya.

                “Orang tua kita enggak menginap, kan?” Rajendra langsung menembak pertanyaan begitu panggilannya di angkat oleh Yudith.

                “Aku enggak tahu dan enggak tanya juga, mama hanya bilang akan menengok sama ibu kamu,” jawab Yudith.

                “Runyam kalau mereka sampai menginap, aku malas bersandiwara. Aku akan tanya sama ibu aku saja buat pastikan mereka sebentar saja ke rumah.” Rajendra kembali mengakhiri sepihak.

                 "Runyam kamu bilang? Mereka keluarga aku, dan tidak mungkin aku usir keluarga yang jauh-jauh datang untuk memberikan doa," bantah Yudith.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status