“Tunggu 40 hari,” jawab Yudith. Rajendra menoleh kaget mendengar jawaban Yudith setelah ia mengatakan apa pesan terakhir dari almarhum ibunya untuk Yudith dan untuk dirinya tanpa ia kurangi atau ia tambah. “Tunggu sampai 40 hari setelah almarhum ibu adakan selamatan terakhir. Aku akan penuhi permintaan ibu,” tambah Yudith. “Kenapa harus tunggu 40 hari? bukankah kamu sangat ingin dipercepat?” tanya Rajendra. “Iya, jika bisa hari ini juga akan aku lakukan hari ini. Tapi sangat tidak etis memenuhi permintaan almarhum ibu bahkan saat tanah makamnya masih basah. Kamu tidak perlu berpikir kenapa aku menunda, aku enggak menunda, tapi aku sungguh-sungguh menyayangi ibu seperti mama aku sendiri. Ibu menyayangi aku juga terlepas bagaimana rupa kamu sama aku, aku akan menjadi menantunya sampai beliau 40 hari ke depan. Dan kamu tinggal menyetujuinya saat nanti panggilan dari pengadilan agama. Aku yang mengajukan gugata
“Aku memaafkan kamu ... memang sedari awal aku menyetujui juga. Aku ingin tutup buku mengenai semua yang terjadi kemarin, kamu tentu tahu bukan hal mudah melupakannya. Jadi mari kita lanjutkan hidup kita masing-masing.” Yudith memandang wajah suram mantan suaminya. Rajendra mengangguk, ia tentu saja tidak dapat memberikan bantahan mengenai hal itu. Ia sudah sangat tertampar dengan kepergian ibu tercintanya yang hanya ia miliki. Penyesalannya tiada dapat diceritakan dengan perkataan apa pun jua. Yudith menolak jabat tangan Rajendra dengan memberikan anggukan kecil sebelum meninggalkan tempat bicara mereka. Yudith tidak ingin memberikan sedikit saja celah mengasihani sosok Rajendra. Ia mungkin pernah salah paham dengan perasaannya sendiri, namun kini ia menegaskan bahwa itu hanyalah perasaan semunya.** “Yudith ... bagaimana kamu membawa ini ke depan saya?” Desah kecewa terlepas dari seorang paruh baya yang duduk berhadapan de
“Minum dulu, Dek.” Galuh memberikan botol air mineral dingin yang sudah ia buka tutupnya pada Yudith yang telentang di sofa tanpa blazer dan tanpa heels. Kedua barang tersebut yang biasanya melekat rapi pada badan Yudith, kini teronggok di lantai sembarangan. “Tarik nafas ... tarik nafas dulu yang panjang .... “ Satu kantor langsung tahu saat Yudith yang biasanya tegas berwibawa sampai mengamuk sedemikian besar. Alasannya hanya satu, saat ia tengah menginterogasi empat mata dengan Carlos, ia menerima pesan singkat dari asisten Mr Brahma yang mengatakan akan mengkaji ulang kerja sama mereka. Arti dari mengkaji ulang bagi pebisnis kelas kakap seperti Mr Brahma adalah hampir 80% Yudith yakin batal, gagal total. Dan ia sedari awal mengendus kebohongan Carlos yang menjelaskan bagaimana ia meletakan dokumen dengan map sama di mejanya. “Mr Brahma bilang akan mengkaji ulang kerja sama kita, Abang. You know i mean ar
“Tidak perlu saya perkenalkan lagi toh, kalian sudah saling kenal. Semoga tidak musuhan ya,” tukas Mr Brahma. Yudith mengerti pasti Mr Brahma sudah mengetahui jika ia adalah mantan istri dari laki-laki di sampingnya yang tengah tersenyum kecil saat ia mendengar ucapan sang pemilik acara. Yudith dan Galuh dipersilakan duduk di bangku kosong samping Rajendra. Galuh menarik kursi selang satu dari Rajendra agar adiknya tidak duduk bersebelahan dengan laki-laki yang masih menyisakan kebencian di kepala Galuh. “Kami tidak bermusuhan Pak Brahma, sekali lagi selamat sudah memiliki menantu. Saya cukup mengenal sosok Abimana, laki-laki yang baik menurut saya untuk Catherine,” ucap Yudith. “Terima kasih Yudith, sampai saat ini sih saya melihat baik. Tapi kalau besok hari berubah ya tinggal penggal kepalanya,” kelakar Mr Brahma dan menjadikan seisi meja besar tersebut turut tertawa. “Silakan makan dulu ya Yudith, Galuh.
Yudith melepas cepol rambutnya, merapikan dengan kedua tangannya di hadapan tiga laki-laki dalam satu meja. Hampir lima jam nonstop mereka menekuri layar monitor pada satu ruang kontrol kantornya. “Dek ... kamu bisa pulang duluan, lelah sekali sepertinya?” Galuh memberikan kotak tisu ke hadapan adiknya. “Semua lelah Bang, Abang juga pasti. Kita makan dulu, kita setidaknya memberikan makan pada mereka yang kita seret di hari libur. Terima kasih ya Bapak Arman, dan Bapak Rajendra. Maaf waktu liburnya kami ganggu.” Yudith memberikan senyuman hangat dengan rambut sedikit lebih rapi, ia ikat ekor kuda. “Saya tadi hampir mati sendirian, Bu Yudith. Ingat kalau punya kenalan hebat, pak Rajendra ini. Pak Galuh bilang bawa yang bisa dipercaya, jadi saya tarik saja beliau lagi Gym di rumahnya. Maaf ya Pak Rajendra enggak saya kasih waktu ganti pakaian,” kelakar Arman. “Tidak apa-apa Arman, saya memang tidak punya banyak
Yudith tersentak dari lamunan saat sang sekretaris menyapanya untuk kedua kali. Ia jarang sekali melamun di depan pekerjaan yang sedang dikerjakan. Semua karena ucapan-ucapan maaf dari Rajendra minggu lalu ketika ia menyetujui bertemu dengan secangkir capucino hangat. “Kita ada meeting sepuluh menit lagu, Bu,” tukas sekretaris Yudith. “Iya kita jalan sekarang.” Yudith mematikan layar monitor setelah menyimpannya, mengambil tablet untuk ia berikan pada sekretarisnya dan berjalan beriringan. “Ibu belum makan siang tapi, tadi pas jam makan siang katanya tanggung,” ungkap sekretaris mengingatkan. “It’s ok, nanti pulangnya baru makan.” Yudith menjawab dengan mengerutkan kening, mencoba mengingat apakah tadi pagi ia sarapan atau tidak. “Bu ... anu ... ada bapak Rajendra tapi bersama PT Zeus. Saya baru mengetahui tadi dari pihak Zeus mengatakan mereka akan membawa satu orang yang akan memprogram ker
“Itu yang mau saya minta tolong ke kamu, bisa tolong kamu temani saya ke kamar mandi? atau jangan deh, sampai depan pintu saja,” desah Yudith. “Tentu saja saya akan temani sampai dalam, kalau Ibu jatuh di kamar mandi bagaimana. Sudah bisa bangun, Bu?” Nasa membantu Yudith bangun untuk duduk. “Sory.” Rajendra yang tidak sabar atau lebih tepatnya tidak tega melihat Yudith menahan kesakitan hanya untuk bangun, mengangkat tubuh Yudith ringan. “Nasa tolong bawa infusnya,” titah Rajendra. “I ... iya Pak,” jawab Nasa terbata-bata melihat bagaimana dengan mudahnya Rajendra mengangkat tubuh lemah mantan istrinya. “Aku akan tunggu di luar pintu, jangan banyak protes Yudith kamu pasien dan aku hanya menolong. Lekas ganti dan berbaring.” Rajendra keluar kamar mandi usai mendudukkan Yudith di closet. “Iya,” jawab Yudith pelan. Yudith segera membersihkan diri dan berganti pa
“Wah Ibu ... terima kasih,” jerit tertahan Nasa menggema di depan ruangan Yudith. Yudith terkekeh melihat reaksi sekretarisnya, setelah satu minggu beristirahat pasca kejadian ia kambuh saat meeting, Yudith kembali berangkat bekerja namun tadi ia sempat mampir ke toko ice cream dan roti jadul setelah sehari sebelumnya memesan ice cream kelapa untuk Nasa. Kini di hadapannya Nasa memeluk paper bag berlogo toko tersebut dengan senyuman lebar. “Astaga Nasa ... saya belikan satu galon nanti kalau lihat mata kamu yang berbinar-binar seperti ini. Hari ini kita akan bekerja keras, awas kalau melakukan kesalahan. Lima menit lagi bawa jadwal saya masuk ya.” Yudith melenggang masuk, bersiap bekerja. “Siap Bu, aku simpan ini dulu di pantry sama tulis nama ibu ya biar enggak ada yang berani buka,” kekeh Nasa. “Iya boleh,” timpal Yudith geli sekali. Yudith tengah bergulat dengan layar monitor saat sebuah pe