“Aku melihat cinta di matanya.”Aku berdecak kesal. Tak ingin kutanggapi ucapannya yang ngelanturke mana-mana. Rena sudah bertunangan, dan itu sudah cukup sebagai bukti bahwadi antara aku dengannya tidak memiliki hubungan apa-apa.“Dia menyukai Abang,” ucapnya lagi.“Jangan ngawur, dan jangan mengada-ada.”Aku berdiri, lalu menyingkir dari hadapannya. Sakit dikepalaku saja belum reda, Shanti sudah menambahkannya lagi masalah yang lainnya.“Abang, tolong pertemuan aku dengannya. Setelah itu, akuakan pergi dari sini.”Shanti mengikutiku sampai ke kamar. Aku mengenyakkan bokong untuksekadar duduk mendengarkan ocehannya yang tak penting.“Kalau kamu sudah bertemu dengannya, apa yang akan kamulakukan? Dia, Rena tidak selevel dengan kita, Shanti. Aku tak mungkinmenyuruhnya meluangkan waktu hanya untuk mendengarkan ocehan kamu yang gakpenting itu.”“Aku gak penting. Iya, benar sekali. Setelah satu kesalahan fatal yang aku lakukan, semuanya seakan tidak ada yang penting lagi bagi Abang. Aku m
“Maaf, Pak. Karena saya pikir, pak Tito lebih berhak membawanon Rena pergi. Mereka kan ....”“Tunangan?” Pak Baskoro menyahut ketika aku tidak berani meneruskan kata-kata.“Iya, begitu.”“Sekarang juga, kamu susul mereka. Saya tidak yakin Rena akan baik-baik saja bersama dengan Tito.”“Tapi ... mereka pasti marah sama saya.”“Kamu mau melihat mereka marah atau saya yang marah sama kamu?”Suara bas seorang Baskoro menggelegar seisi paviliun. Aku semakin tertunduk dan tidak berani mengangkat wajah.“Ba-baik, Pak. Saya permisi.”Aku memundurkan kaki dua langkah, lalu berbalik untuk menjalankanperintah.“Tunggu dulu!” cegah pak Baskoro. Aku pun berbalik lagi, menatap pria itu yang sekarang berjalan mendekatiku.“Saya lihat, cuma kamu satu-satunya orang yang pernah dan berani memarahi Rena dan Rena pun tidak membalas. Itulah makanya saya percaya padamu. Tolong, jangan ingkari kepercayaan saya.”Aku mengangguk, lalu membalas, “Mengerti, Pak. Saya permisi.”Langkahku pun terasa ringan karena
“Anda mau melukai saya? Ingat, saya melakukan ini karena perintah pak Baskoro.”Aku buru-buru bangkit, tapi tetap membiarkan Rena tergeletak di rerumputan yang basah. Aku harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk dari pemuda yang tengah mabuk ini.“Kembalikan Rena padaku!”“Anda pria berpendidikan. Tidak sepantasnya Anda berperilaku seperti ini. Rena adalah tunangan Anda. Dia pasti bakal menjadi milik Anda, tetapi tidak dengan cara hina seperti ini.”Bukannya surut, justru langkahnya malah semakin maju. Tito mulai memainkan pisau ke kanan dan ke kiri untuk mengelabuhi. Dengan jarak yang semakin dekat, bisa kubaui jika dirinya mabuk berat.“Silahkan simpan senjata Anda. Saya hanya berniat melindungi Rena, bukan merampasnya dari Anda,” ucapku lagi. Tapi sepertinya, alkohol itu telah melumpuhkan kesadarannya sehingga otaknya tidak mampu bekerja dengan benar.“Kamu takut? Sebenarnya kamu takut. Tapi aku tidak takut padamu. Tidak akan pernah takut. Kamu takut padaku, kan? Heh, kam
“Hei, pemabuk, lepaskan tanganmu,” ucapku sambil menepuk pipinya.“Aku sadar, aku nggak lagi mabuk,” jawabnya.“Kalau dia bisa menjeratmu dengan menyerahkan tubuhnya, sekarang kamu pun bisa melakukan hal yang sama,” ucapnya lagi, semakin tak kumengerti.“Jangan macam-macam. Aku lagi malas bercanda. Lepaskan tanganmu.” Aku meraih tangannya agar segera terlepas dari leherku. Tapi memang Rena ini sengaja mengerjai. Dia tetap tidak mau melepaskan.“Apa bedanya aku dengannya?” Sebuah pertanyaan keluar dari mulutnya yang masih berbau alkohol.“Jelas beda. Dia itu istriku. Ayo lepaskan!” jawabku masih memegangi tangannya.“Dulu, dia orang lain. Aku pun sama. Tapi kamu memilih dia, padahal kamu lebih dekat denganku.”“Ngawur kamu. Cepat lepaskan!”“Katakan, apa kurangnya aku?”“Gak ada yang kurang dari dirimu. Justru aku tidak memacari kamu itu sebuah keberuntungan bagimu.”“Untungnya di mana? Kamu pikir enak menahan sakit hati selama bertahun-tahun? Aku menderita, Rohan!”“Salah kamu sendiri
“Iya, Mas. Kan saya sudah lama bekerja dengan pak Baskoro.Dulu saya bekerja di villa yang lama, karena villanya sudah tua dan bangunannya padakeropos, saya dipindahkan kemari. Oya, ngomong-ngomong, pak Tito bukan priabaik-baik menurut saya. Maaf lo ya, hanya menurut perasaan saya saja.”Beberapa orang yang kutemui mengatakan hal yang sama tentangTito. Apa benar begitu? Lalu, kenapa pak Baskoro nekat menjodohkan Rena denganTito? Dan sekarang, beliau malah seakan-akan sedang menjauhkan anaknya dari pria itu.“Apa Mas Rohan nggak tau, kalau sebenarnya non Rena terpaksabertunangan dengan pak Tito?”Aku menoleh ke arah pria yang tampak serius dengankata-katanya itu.Aku pun menggeleng.“Non Rena itu nggak pernah pacaran. Beberapa kali dekatdengan anak temannya pak Baskoro, tapi nggak pernah jadi.”“Kok, Mamang tau?”“Ya tau saja, isteri saya dulu bekerja jadi pembantu dirumah pak Baskoro dan sering cerita keadaan di sana. Karena istri saya sakit, terus berhenti.”“Oh.” Aku menanggapi.“Kas
Rena memutar bola mata, menimbang permintaanku.“Untuk apa?” tanyanya kemudian.“Nanti juga kamu akan tau. Urusan perempuan pastinya.”“Emm ... oke!”Rena menjawab seperti tidak ada beban. Dia pun berbalik danpergi.Ternyata tidak sesulit perkiraanku mempertemukan mereka.*Rena menikmati perjalanan dengan santai. Kedua telinganya disumpal menggunakan earphone. Entah musik apa yang diperdengarkan melalui benda itu.Yang jelas, dia terlihat begitu asyik, hingga sesekali tangannya ikut bergerak, seperti tanpa sadar.Aku mengamati setiap pergerakannya. Sangat lucu menurutku, hingga membuatku tersenyum.Sudah lama aku tidak merasakan perasaan bebas seperti ini. Bersama dengan Rena, aku seperti dilempar ke masa lalu. Bebas dan tidak perlu terbebani dengan apapun itu. Sungguh, aku rindu dengan masa-masa dulu.“Han!” Rena menepuk pundakku, membuatku berjingkrak kaget. Beruntung stir kemudi tetap kokoh dalam genggaman.“Apaan, sih? Bikin kaget aja!” keluhku menanggapi.“Kenapa senyum-senyum se
POV Renata BaskoroAku memandangnya dari samping. Tampan, meskipun terlihat garis-garis di bawah kelopak matanya. Pertanda usia yang matang, ditambah lagi tempaan beban kehidupan yang berat selama ini, semakin membuatnya terlihat jauh lebih dewasa dari pria yang kukenal belasan tahun yang lalu.Dia sopir pribadiku sekarang ini.Tangannya kokoh memegang stir kemudi. Diam-diam, sering kuperhatikan setiap gerak tubuhnya. Dia, lelaki yang pernah kukagumi, sekaligus satu-satunya lelaki yang membuatku patah hati hingga bertahun-tahun. Dan ketika kata-kata move on itu hampir terwujud, dia malah datang kembali. Meskipun sudah menjadi sosok yang berbeda.Rohan Radityawan, seorang bapak dan suami yang baik. Tapi nasibnya tidak seberuntung kebaikannya. Kasihan. Sayang sekali, wanita yang beruntung mendapatkan cinta dan pelukan hangatnya bukanlah aku.“Aku mau ketemuannya di kafe saja, ya?” pintaku padanya. “Biar lebih bebas ngobrolnya.”Aku memang bersemangat kali ini. Bisa mengobrol dengan Sha
“Shan,” panggilku yang kemudian membuatnya menatapku. Anehnya hanya sesaat saja, lalu dia tertunduk. Bahkan terdengar isakannya.“Kenapa menangis?” tanyaku.Dia menggigit bawah bibirnya, seperti sedang menahan rasa sakit.“Aku sudah kehilangan dia,” jawabnya.Aku menghela nafas. Merasa prihatin. Sebab, aku pun pernah merasakan perasaan yang sama. Sangat mencintai, berharap memiliki, tetapi dihadapkan pada pilihan harus melepas perasaan itu karena tidak mungkin memilikinya.“Aku ikut prihatin. Sabar, ya.”Aku berusaha menguatkan. Terdengarnya lucu, di balik berita yang seharusnya membuatku gembira. Tapi aku tak setega itu.“Aku pikir, kamu akan bisa membantuku, “ ucapnya.“Membantu? Membuatnya kembali padamu?” Aku menebak dengan mudah.“Iya. Kamu kan temannya.”“Kami nggak seakrab yang ada dalam pikiranmu, Shan. Rohan itu tertutup, termasuk permasalahan kalian.”“Tapi setidaknya kamu bisa membujuknya.”Sebuah keinginan yang sulit.Aku menegakkan punggung sebagai respons ketegangan pad