Share

SAAT PENUMPANGKU ADALAH ISTRIKU DAN SELINGKUHANNYA
SAAT PENUMPANGKU ADALAH ISTRIKU DAN SELINGKUHANNYA
Penulis: Ina Shalsabila

Penghianatan Keji

“Cantik, enggak?”

“Cantik.”

“Cocok ‘kan, Bang?”

“Iya.”

“Abang, coba lihat. Pas ke badanku 'kan baju yang kubeli online kemarin?”

Shanti berlenggok di depanku, kemudian berpindah ke depan cermin yang ada di kamar kami. Dia memutar badannya beberapa kali guna memamerkan baju baru yang memang cocok sekali di badannya.

“Memangnya kamu mau ke mana? Abang baru saja pulang kerja, loh?”

“Mau keluar sebentar. Ketemu sama teman-teman. Lagian, Abang kerjanya 'kan cuma duduk sambil nyetir mobil. Gak capek-capek amat 'kan?”

“Maunya, ya pas abang di rumah, kamunya juga di rumah.”

“Halah cuma sebentar. Nanti semalaman aku temanin. Mau berapa ronde? Mau sampai pagi juga boleh. Sudah ah, temenku sudah menunggu.”

Shanti memaksa pergi. Ia meraih tanganku, lalu menciumnya.

"Abang istirahat saja. Pasti ngantuk habis perjalanan jauh. Persiapkan tenaga untuk nanti malam." Setelah berucap, Shanti benar-benar pergi.

Aku hanya bisa menatap punggungnya yang mulai menjauh, lalu menghilang di balik pintu. Seperti biasanya, dia tak mendengarkan laranganku.

*

Masih terlalu awal untuk tidur siang. Aku hanya tergolek di ranjang sambil memikirkan banyak hal. Tentang Shanti yang mulai boros, tentang tabungan yang mulai menipis dan tentang masa depan kami yang masih menjadi tanda tanya.

Saat mata ini mulai lelah dan hampir saja terpejam, tiba-tiba ponsel di saku bergetar tanda panggilan masuk.

Aku menekannya, lalu terdengar suara khas temanku.

“Mau duit, gak? Ada langgananku yang minta dijemput sekarang juga, tapi aku gak bisa karena lagi menemani istriku lahiran. Dia minta dicarikan driver,” ucapnya tanpa basa-basi.

“Oke,” jawabku bersemangat. Pikirku, rejeki tak boleh dilewatkan.

“Aku kirimkan alamatnya.” 

Setelah itu panggilan terhenti. Tak lama kemudian, sebuah pesan darinya pun masuk.

Gegas aku bersiap-siap. Menyambar topi dan jaket yang masih terbungkus plastik. Kemudian, pergi mengejar si rejeki.

Aku meluncur menuju alamat yang diberikan oleh temanku. Tak lupa sebelumnya sudah menghubungi customer yang bersangkutan. 

Lima menit kemudian, aku berhasil menemukan seseorang yang kucari. Pria bertubuh gempal, tinggi dan putih memasuki mobilku.

“Maaf, lama menunggu,” ucapku.

“Gak pa-pa. Saya sedang terburu-buru sebenarnya. Tapi, gak apa-apa terlambat beberapa menit.”

“Iya, maaf.”

“Kalau saya, sih gak masalah, tapi pacar saya suka ngambek kalau saya datangnya telat. Dia gak punya waktu banyak soalnya.”

“Iya, maaf, maaf.” 

Aku mengerti arti kata menunggu. Terlebih untuk orang-orang tertentu yang memiliki keterbatasan waktu. Maklum, tinggal di kota besar bermacam-macam kesibukan yang mereka lalui. Dan aku adalah salah satu orang yang menghargai waktu.

“Kita jemput pacar saya dulu, baru ke hotel,” ucapnya.

“Hotel?” 

Tiba-tiba aku nyeletuk. Maksudnya heran saja, karena dia mengaku sekadar pacar, tapi kok berakhirnya ke hotel.

“Kami biasa menghabiskan waktu di sana. Maaf, jadi curhat.”

“Santai saja. Banyak pelanggan saya yang suka cerita dalam perjalanan begini.”

“Saya percaya, sih. Oya, kita berhenti di depan salon Anjani. Pacar saya menunggu di sana.”

Salon Anjani? 

Tak asing di telingaku, karena beberapa kali Shanti mengaku sedang di sana saat kutelepon. Mungkin secara kebetulan saja salonnya sama.

Aku menghentikan mobil tepat di depan salon yang dia sebutkan. Menunggu beberapa saat sampai penumpangku ke luar dan masuk kembali.

“Lama menunggu, Sayang. Maaf, ya?” ucap si pria pada wanitanya. Aku tak berani menoleh, karena harus memutar arah saat kondisi jalan padat sekali.

“Hu’um,” jawab si wanita.

Aku terfokus ke jalanan, dan berusaha mencari celah di antara mobil-mobil yang merambat.

“Aku sudah membelikan hadiah untukmu. Tapi, kita buka nanti saja setelah sampai hotel,” ucap di pria lagi.

Tak ada sahutan dari si wanita. Yang terdengar hanya suara desa—han si wanita yang entah diapakan oleh pria itu.

Ingin kutegur, tapi tak jadi. Karena sebentar lagi sampai di tempat tujuan mereka.

“Ahh ....” 

Suara si wanita semakin meresahkan. Aku jadi teringat Shanti karenanya. Sialan memang, saat-saat begini malah teringat yang enak-enak.

Untung sudah sampai di hotel. Aku segera menghentikan mobil, dan mempersilahkan penumpangku untuk turun.

“Terima kasih banyak. Kembaliannya ambil saja,” ucap si pria. 

Aku menoleh ke belakang untuk meraih bayaranku. Tetapi yang terjadi adalah, aku langsung memandang wajah lain yang bersama pria itu.

“Shanti!”

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status