“Cantik, enggak?”
“Cantik.”
“Cocok ‘kan, Bang?”
“Iya.”
“Abang, coba lihat. Pas ke badanku 'kan baju yang kubeli online kemarin?”
Shanti berlenggok di depanku, kemudian berpindah ke depan cermin yang ada di kamar kami. Dia memutar badannya beberapa kali guna memamerkan baju baru yang memang cocok sekali di badannya.
“Memangnya kamu mau ke mana? Abang baru saja pulang kerja, loh?”
“Mau keluar sebentar. Ketemu sama teman-teman. Lagian, Abang kerjanya 'kan cuma duduk sambil nyetir mobil. Gak capek-capek amat 'kan?”
“Maunya, ya pas abang di rumah, kamunya juga di rumah.”
“Halah cuma sebentar. Nanti semalaman aku temanin. Mau berapa ronde? Mau sampai pagi juga boleh. Sudah ah, temenku sudah menunggu.”
Shanti memaksa pergi. Ia meraih tanganku, lalu menciumnya.
"Abang istirahat saja. Pasti ngantuk habis perjalanan jauh. Persiapkan tenaga untuk nanti malam." Setelah berucap, Shanti benar-benar pergi.
Aku hanya bisa menatap punggungnya yang mulai menjauh, lalu menghilang di balik pintu. Seperti biasanya, dia tak mendengarkan laranganku.
*
Masih terlalu awal untuk tidur siang. Aku hanya tergolek di ranjang sambil memikirkan banyak hal. Tentang Shanti yang mulai boros, tentang tabungan yang mulai menipis dan tentang masa depan kami yang masih menjadi tanda tanya.
Saat mata ini mulai lelah dan hampir saja terpejam, tiba-tiba ponsel di saku bergetar tanda panggilan masuk.
Aku menekannya, lalu terdengar suara khas temanku.
“Mau duit, gak? Ada langgananku yang minta dijemput sekarang juga, tapi aku gak bisa karena lagi menemani istriku lahiran. Dia minta dicarikan driver,” ucapnya tanpa basa-basi.
“Oke,” jawabku bersemangat. Pikirku, rejeki tak boleh dilewatkan.
“Aku kirimkan alamatnya.”
Setelah itu panggilan terhenti. Tak lama kemudian, sebuah pesan darinya pun masuk.
Gegas aku bersiap-siap. Menyambar topi dan jaket yang masih terbungkus plastik. Kemudian, pergi mengejar si rejeki.
Aku meluncur menuju alamat yang diberikan oleh temanku. Tak lupa sebelumnya sudah menghubungi customer yang bersangkutan.
Lima menit kemudian, aku berhasil menemukan seseorang yang kucari. Pria bertubuh gempal, tinggi dan putih memasuki mobilku.
“Maaf, lama menunggu,” ucapku.
“Gak pa-pa. Saya sedang terburu-buru sebenarnya. Tapi, gak apa-apa terlambat beberapa menit.”
“Iya, maaf.”
“Kalau saya, sih gak masalah, tapi pacar saya suka ngambek kalau saya datangnya telat. Dia gak punya waktu banyak soalnya.”
“Iya, maaf, maaf.”
Aku mengerti arti kata menunggu. Terlebih untuk orang-orang tertentu yang memiliki keterbatasan waktu. Maklum, tinggal di kota besar bermacam-macam kesibukan yang mereka lalui. Dan aku adalah salah satu orang yang menghargai waktu.
“Kita jemput pacar saya dulu, baru ke hotel,” ucapnya.
“Hotel?”
Tiba-tiba aku nyeletuk. Maksudnya heran saja, karena dia mengaku sekadar pacar, tapi kok berakhirnya ke hotel.
“Kami biasa menghabiskan waktu di sana. Maaf, jadi curhat.”
“Santai saja. Banyak pelanggan saya yang suka cerita dalam perjalanan begini.”
“Saya percaya, sih. Oya, kita berhenti di depan salon Anjani. Pacar saya menunggu di sana.”
Salon Anjani?
Tak asing di telingaku, karena beberapa kali Shanti mengaku sedang di sana saat kutelepon. Mungkin secara kebetulan saja salonnya sama.
Aku menghentikan mobil tepat di depan salon yang dia sebutkan. Menunggu beberapa saat sampai penumpangku ke luar dan masuk kembali.
“Lama menunggu, Sayang. Maaf, ya?” ucap si pria pada wanitanya. Aku tak berani menoleh, karena harus memutar arah saat kondisi jalan padat sekali.
“Hu’um,” jawab si wanita.
Aku terfokus ke jalanan, dan berusaha mencari celah di antara mobil-mobil yang merambat.
“Aku sudah membelikan hadiah untukmu. Tapi, kita buka nanti saja setelah sampai hotel,” ucap di pria lagi.
Tak ada sahutan dari si wanita. Yang terdengar hanya suara desa—han si wanita yang entah diapakan oleh pria itu.
Ingin kutegur, tapi tak jadi. Karena sebentar lagi sampai di tempat tujuan mereka.
“Ahh ....”
Suara si wanita semakin meresahkan. Aku jadi teringat Shanti karenanya. Sialan memang, saat-saat begini malah teringat yang enak-enak.
Untung sudah sampai di hotel. Aku segera menghentikan mobil, dan mempersilahkan penumpangku untuk turun.
“Terima kasih banyak. Kembaliannya ambil saja,” ucap si pria.
Aku menoleh ke belakang untuk meraih bayaranku. Tetapi yang terjadi adalah, aku langsung memandang wajah lain yang bersama pria itu.
“Shanti!”
****
“Shanti!”Dunia seakan berhenti berputar sepersekian detik, sebelum akhirnya kusambardua lembar uang ratusan ribu, lalu buru-buru memalingkan wajah. Pria itu masih melongo.“Kamu mengenalnya, Sayang?” Suara pria itu terdengar. Tak ada jawaban dari Shanti.“Silahkan ke luar. Saya buru-buru harus menjemput pelanggan yang lain,” ucapku beralasan. Sengaja mendahului ucapan mereka sebelum terjadi keributan.“Ayo, Sayang.”Pria itu terlihat menarik tangan Shanti. Setidaknya terlihatdari kaca. Untuk pertama kali melihat benda itu selama perjalanan tadi. Rasanya... entahlah. Aku seperti tidur siang dan berharap terbangun, lalu semua akanmemudar seiring terbukanya mataku. Tapi kenyataannya, aku tetap saja melihatsosok mereka berdua.“Maaf, bisa tinggalkan mobil saya!” pintaku setengahmembentak. "Hei, sabar, dong, Bung!" Dia membalas."Iya, iya, aku turun. Sudah jangan ribut," sahut Shanti.Blem!Ketika pintu sudah tertutup, aku langsung menancapkan gas.Tak menoleh lagi ataupun berusaha tau a
“Kopinya, Bang.”Aku hanya melirik saja ketika secangkir kopi yang masih mengepul terhidang di depanku.Aku yang masih asik berbalas pesan dengan beberapa teman seprofesi, sengaja tak menghiraukan ucapan Shanti. Bahkan, ketika dia pergi dan datang lagi dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya.“Bang, aku masak hari ini. Coba dicicip.”Dia menawarkan.Aku melirik masakannya, terlihat menggiurkan. Tapi, seleraku lenyap seketika saat melihat wajahnya.Tuhan, ampuni aku yang belum bisa memaafkannya.“Abang, gak lapar?”Shanti terus mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan. Membuatku merasa kasihan juga.“Abang cicip, gih.”Sebenarnya, aku tak tega mendiamkan dia seperti ini. Terlebih Shanti sudah berusaha berubah tiga hari terakhir ini. Dia tak lagi ke luar rumah, ke salon atau arisan bersama dengan teman-temannya.Ada perubahan yang baik saat dia tak lagi mengutak-atik ponsel untuk belanja online. Benda yang biasanya tak pernah lepas dari tangannya itu pun hanya tergeletak b
“Bang, tunggu dulu! Dengarkan penjelasanku. Itu tadi takseperti pikiran burukmu!”Shanti mengejarku saat aku turun dari mobil. Rupanya, dialangsung naik taksi dan mengejar mobilku saat aku pergi tadi.“Bang Rohan!” panggilnya lagi. Kali ini dia memaksa menghentikanaku dengan cara menarik lengan jaketku.“Dengerin dulu, atau kita akan malu dilihat para tetangga.”Dia menunjuk kontrakan sebelah di mana beberapa orang masih mengobraldi teras.“Malu sama mereka,” ucapnya lagi.“Kamu yang membuat malu. Tingkahmu sudah gak bener,”sahutku.“Iya, Bang. Aku sadar, aku--.”“Sudah-sudah! Gak usah ribut-ribut. Kamu dengar suara azan,enggak?” Aku memotong ucapannya.Suara azan Maghrib yang menggema menjadi pemisah perdebatankami. Aku bergegas masuk, diikuti Shanti yang ternyata masih sesenggukan.Halah, cuma akting!*Aku melepas peci dan meletakkannya di atas meja, usai melaksanakankewajiban tiga rekaat. Kemudian duduk di kursi dekat meja tersebut sambilmengamati seorang yang masih duduk di pingg
Meja yang biasanya hanya berisi satu atau dua lauk saja, kini berubah seperti ala rumah makan. Shanti memasak banyak macam menu akhir-akhir ini.Sebenarnya, bagiku ini sesuatu yang asing, karena biasanya rasa masakan di rumah dengan yang biasa kunikmati di warung makan cenderung sama. Shanti memilih membeli dengan alasan aku lebih sering makan di luar. Jadi, dia pun lebih banyak makan makanan di luar pula. Tidak menyangka juga jika kesempatan itu disalah gunakan sampai terjadi sebuah kesalahan fatal.“Di sana, aku gak pernah makan makanan sebanyak ini.”Tiba-tiba Fikri berkomentar. Ia masih lahap menyantap meskipun sudah masuk piring kedua. Memandangnya seperti itu, aku jadi merasa senang. Setidaknya mengubur sejenak rasa sakit hati.“Makan yang banyak. Besok, ibu akan masak sebanyak ini lagi.” Aku menanggapi.“Nggak usah banyak-banyak. Nanti mubazir kalau gak habis.” Fikri membalas.“Nggak ada yang mubazir di sini, Fikri. Tuh, tetangga kita pun banyak. Nanti setelah ini, biar diberik
Mobil melaju dengan kencang. Sepertinya perjalanan kali ini akan cepat sampai tujuan, karena tak ada basa-basi dan perbincangan. Aku dan Shanti sama-sama diam.Satu jam yang lalu, Shanti tersedu seperti menangisi sebuah kematian. Sejak awal memindahkan pakaiannya ke koper, kemudian meninggalkan rumah yang sudah dua tahun kami tempati, dia berhenti menangis.Aku bisa apa? Jika pada kenyataannya dialah penyebab kegagalan ini.Selain hanya diam, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Hatiku tidak hanya beku, tapi rasanya sudah mati.Perjalanan yang biasanya penuh tawa pun, berubah bagai mengendarai sebuah ambulans, sepi, sendu dan hanya berisi tangisan di sepanjang perjalanan.Maafkan bapak, Fikri, karena bapak tidak bisa menepati janji.*Shanti terus tertunduk di depan Bapak. Tak terdengar ucapannya, hanya suara tangis yang berusaha dia tahan terdengar perih. Ibu memeluk putrinya, sambil mengelus punggung yang terguncang itu.Kulihat Bapak berkali-kali menghela nafas panjang, lalu mengembus
Kutingglkan wanita yang dulu sangat dikagumi kecantikannya, sampai harus berdebat bahkan berkelahi untuk merebutkannya.Wanita yang kunikahi karena sebuah kesalahan karena masa lalu.Dulu, dialah wanita tercantik di kampung ini. Putri semata wayang seorang kepala desa, pak Anwar.Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, Shanti, si gadis remaja sering mencuri-curi pandang padaku.Aku dan enam orang lainnya sedang menjalankan tugas sebagai mahasiswa KKN yang ditempatkan di kampung ini. Selama dua bulan lamanya, kami berinteraksi dengan sangat dekat dengan keluarga Shanti. Apalagi kami tinggal di rumah itu.Aku dan Shanti sama-sama di mabuk cinta, sama-sama mengagumi dan sama-sama merasa saling memiliki. Berat rintangan yang harus kulalui untuk bisa menaklukkan hatinya, termasuk harus berebut dan berkelahi dengan dua orang teman lainnya.Akhirnya, aku menenangkan hati Shanti. Cinta yang memabukkan itu membuat kami lupa daratan, hingga kami melakukan hubungan yang dilarang. Namun
“Aku kan sudah punya pekerjaan? Apa kamu mau memecatku?” tanyaku, bingung.“Bo—doh! Pekerjaan lain maksudku. Siapa tau cocok. Kamu gak harus bekerja denganku kalau sudah mendapat pekerjaan yang lebih baik. Buruan!”“Tapi ....”“Halah! Kamu kan sudah gak punya istri. Buat apa menunggurumah yang kosong?”“O-oke. Tunggu sebentar.”Aku bergegas ke dalam. Menyiapkan syarat yang diminta olehRoni, kemudian pergi. Rumah kutingglkan dalam keadaan kosong. Jelas kosong,karena hanya aku satu-satunya penghuni.“Ayo!”Roni terlihat lebih bersemangat dibandingkan denganku.Semenjak aku dan Shanti bertengkar, dialah tempatku mengeluh.“Ke mana, sih?” tanyaku.“Ada kerjaan untuk tenaga ahli komputer di kantor punyatemanku. Kamu bisa melamar ke sana.”“Kenapa nggak ngomong? Lihat penampilanku?”Aku menunjuk tubuh sendiri. Kaos oblong, celana jeanssobek-sobek dan rambut yang acak-acakan.“Gampanglah. Kita ke salon dulu, sekalian mengganti bajugembelmu itu.”“Sialan lo!”“Eh, ngomong-ngomong, aku mau kas
“Dari mana kamu tau?” tanyaku. Sementara Rena malah tersenyum saja. “Roni?” Aku menebak.“Bukan. Aku sering melihat kalian antar jemput anak kalian, kamu dan istrimu. Dia masih cantik ya, walaupun anakmu sudah besar. Salut,”ucapnya.Dia sedang memuji, tapi bagiku terdengar seperti sebuah ejekan. Renatak tau permasalahan kami, itu masalahnya.“Mau, ya? Lagian istrimu pasti setuju.”“Oke,” jawabku cepat, karena tidak ingin Rena terus membahas Shanti.“Kapan aku bisa langsung kerja?”“Sesuka kamu saja kapan mulainya. Setelah kalian pindahan malah lebih baik.”“Oke. Lusa aku mulai kerja.”“Sip. Eh, tapi bukannya kamu harus bicarakan ini dengan istrimu?'“Buat apa? Kan kamu sudah memutuskannya tadi. Penting gitu?”“Kamu tersinggung?”“Enggak sama sekali. Tapi aku memang setuju kok.”“Oke, terima kasih. Sementara bawa saja mobilku. Biar nanti enak datangnya."“Eh, gak usah.”“Gak pa-pa. Aku masih ada mobil yang lain.”Kami mulai memasuki kawasan rumah yang maha luas ini. Memandangnya dengan