Share

Mawas Diri

Meja yang biasanya hanya berisi satu atau dua lauk saja, kini berubah seperti ala rumah makan. Shanti memasak banyak macam menu akhir-akhir ini.

Sebenarnya, bagiku ini sesuatu yang asing, karena biasanya rasa masakan di rumah dengan yang biasa kunikmati di warung makan cenderung sama. Shanti memilih membeli dengan alasan aku lebih sering makan di luar. Jadi, dia pun lebih banyak makan makanan di luar pula. Tidak menyangka juga jika kesempatan itu disalah gunakan sampai terjadi sebuah kesalahan fatal.

“Di sana, aku gak pernah makan makanan sebanyak ini.”

Tiba-tiba Fikri berkomentar. Ia masih lahap menyantap meskipun sudah masuk piring kedua. Memandangnya seperti itu, aku jadi merasa senang. Setidaknya mengubur sejenak rasa sakit hati.

“Makan yang banyak. Besok, ibu akan masak sebanyak ini lagi.” Aku menanggapi.

“Nggak usah banyak-banyak. Nanti mubazir kalau gak habis.” Fikri membalas.

“Nggak ada yang mubazir di sini, Fikri. Tuh, tetangga kita pun banyak. Nanti setelah ini, biar diberikan sama mereka. hitung-hitungan sedekah." Aku menjawab.

“Nanti Fikri yang ngasihkan saja. Sudah lama nggak kumpul sama mereka,” ucap Fikri.

“Boleh. Tapi, nggak usah keluyuran. Ngobrol di sana saja.” Shanti mengingatkan.

“Iya, Bu. Bosan juga beberapa hari cuma d rumah saja,” jawab Fikri.

“Lanjutkan makannya dulu. Kamu masih punya waktu seminggu bermain-main sama mereka.”

Aku menyudahi makan siangku setelah menghabiskan satu piring penuh. Inilah rutinitas selama Fikri di rumah. Menikmati makan siang bersama mereka.

Sampai saat ini, Fikri tidak mengetahui jika bapak dan ibunya sedang bermasalah. Akan lebih baik begitu. Dia jadi tidak banyak pikiran.

*

Hari ini aku memutuskan libur satu hari. Sebab, dua hari sebelumnya sudah menerima pelanggan yang berpergian ke luar kota. Sehingga tidak ada waktu untuk bercengkrama dengan Fikri.

“Bang, cemilannya.”

Shanti mendekat membawa sepiring pisang goreng dan secangkir kopi. Aku segera bangkit dari posisi tidur. Bukan untuk menyambut Shanti, tapi merasa tidak nyaman saja.

Setelah peristiwa itu, aku berusaha menjaga jarak. Meskipun Shanti berusaha mati-matian untuk memperbaiki diri, tapi dalam hatiku masih jauh dari kata mengikhlaskan.

“Abang gak kerja hari ini?” tanyanya. Mungkin heran melihatku seharian hanya tiduran.

“Istirahat. Capek.”

“Mau aku pijit?”

“Enggak usah.”

Raut wajahnya terlihat kecewa. Aku hanya ingin membiasakan diri untuk tidak berharap padanya. Dan Shanti pun harus belajar juga untuk terbiasa.

Mungkin, saatnya nanti perpisahan itu harus terjadi. Entahlah.

Saat kami masih duduk dengan kecanggungan, tiba-tiba Fikri mendorong pintu dengan kasar. Dia terlihat marah dan langsung masuk ke kamarnya.

Apa sudah terjadi sesuatu dengannya?

Tapi Fikri adalah anak yang tidak suka menganggu temannya apalagi sampai berkelahi.

Ketidakberesan Fikri ditangkap oleh Shanti. Dia buru-buru mengikuti anaknya. Aku pun demikian.

“Kenapa? Ada masalah?” tanya Shanti sambil duduk di samping Fikri, di tepi ranjang.

Bocah itu terdiam dengan posisi tertunduk.

“Bilang sama ibu. Kamu berantem sama teman-temanmu?” tanya Shanti memancing.

Barulah Fikri menggeleng.

Aku memerhatikan mereka dengan menyandar pada sisi pintu.

“Lalu?” tanya ibunya.

Fikri masih tak bersuara. Sepertinya, memang ada masalah yang sedang dia hadapi.

“Kalau nggak ngomong, mana tau bapak dan ibu apa masalahmu,” ucap Shanti.

Tiba-tiba Fikri menegakkan kepala seperti akan menyampaikan sesuatu.

“Ngomonglah,” bujuk Shanti lagi.

“Bapak sama ibu mau pisah?”

Pertanyaan itu mendadak membuatku resah. Akhirnya, terkuak juga rahasia kami. Shanti menatapku, ragu.

“Tau dari mana?” tanya Shanti setelah lama berpandangan denganku.

“Jawab saja. Fikri ini sudah besar. Pantas saja Bapak dan Ibu jarang ngobrol. Nggak kayak dulu-dulu.”

“Kamu salah paham. Bapak kalau lagi capek kan memang pendiam.” Shanti memberi alasan.

“Bohong! Mereka saja bilang begitu.”

“Mereka siapa? Bilang apa?” tanyaku baru membuka suara.

“Mereka, ya tetangga-tetangga kita. Bapak sama Ibu sering berantem kata mereka.”

Aku dan Shanti bungkam, merasa tidak mampu lagi beralasan.

“Jadi benar, Bapak dan ibu mau pisah?” Fikri kembali menekan dengan pertanyaan.

“Pak! Ngomong, dong! Kenapa? Apa ibu sudah tak cantik lagi?”

Ngomong apa bocah ini? Kenapa mikirnya langsung ke sana?

“Nggak boleh bicara begitu. Bapak nggak seperti itu.” Shanti menjawab.

“Terus kenapa, Bu?” tanya Fikri ngotot.

Shanti kembali menatapku, kali ini netranya berembun.

Aku berjalan mendekati Fikri. Berdiri di depannya, lalu mengusap kepalanya dengan perasaan sayang.

“Jangan pikirkan apapun tentang bapak dan ibu. Tugasmu hanya belajar. Kamu gak akan kehilangan bapak, juga ibu. Sudah, istirahatlah. Jangan pikirkan apa-apa, termasuk omongan tetangga.”

Aku berbalik, lalu pergi. Belum saatnya Fikri tau. Sebab, kenyataan yang sesungguhnya justru lebih menyakitkan dari pada mendengar kabar perpisahan bapak dan ibunya.

Aku tau, dia harus belajar memahami kondisi kami. Tapi tidak untuk saat ini.

Setidaknya saat ini, dia tidak mendengar pertengkarannya kami. Itu sudah cukup.

*

Shanti menggenggam tangan putra semata wayangnya. Akhirnya, perpisahan itu harus terjadi juga.

“Baik-baik di sana, rajin belajar, jangan lupa doakan bapak sama ibu,” ucap Shanti mengingatkan, seperti yang sudah-sudah.

“Fikri doakan Bapak sama Ibu biar gak jadi pisahan.”

Jawabannya membuatku tercengang. Sesak rasanya dada ini.

Terlihat juga Shanti sedang menyeka air mata.

“Berjanjilah, bahwa kalian gak akan pisah,” tuntutnya.

Dia bukan lagi bocah lima tahun yang bisa dibohongi dengan kepura-puraan. Melihat gelagat kami saja, aku yakin Fikri sudah bisa membaca kondisi hubungan orang tuanya. Lalu, apa yang bisa kami sembunyikan, selain kejujuran dan kenyataan pahit?

“Fikri, bapak tau kamu sudah besar, sudah paham. Bapak gak bisa berjanji apa-apa. Bapak hanya bisa memastikan kalau kamu gak akan kehilangan bapak dan ibu.”

“Tapi Bapak gak akan menceraikan ibu kan? Bukankah sebuah keluarga itu kuncinya ada di kepala keluarga?”

Pertanyaannya membuatku tersenyum kecut.

"Masalahnya tak sesederhana itu, Fik." Sayangnya, aku hanya bisa membatin.

*

Fikri sudah menghilang dari pandangan. Sedangkan aku dan Shanti harus pulang. 

"Bang." 

Aku tak menoleh ketika mendengar panggilannya.

"Fikri sudah kembali. Apa niat Abang gak bisa diubah lagi?" tanyanya dengan suara sendu. Jujur, aku tak tega.

"Abang butuh menyendiri untuk saat ini. Kamu juga butuh introspeksi diri."

"Abang bercanda kan?"

"Abang antarkan pulang. Nanti biar abang yang ngomong ke bapak."

"Bang."

"Abang butuh waktu menyendiri. Butuh terbiasa sendiri juga. Akan lebih baik bagi kita seperti ini dulu. Sambil abang urus perpisahan kita nanti."

****

Next

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status