Meja yang biasanya hanya berisi satu atau dua lauk saja, kini berubah seperti ala rumah makan. Shanti memasak banyak macam menu akhir-akhir ini.
Sebenarnya, bagiku ini sesuatu yang asing, karena biasanya rasa masakan di rumah dengan yang biasa kunikmati di warung makan cenderung sama. Shanti memilih membeli dengan alasan aku lebih sering makan di luar. Jadi, dia pun lebih banyak makan makanan di luar pula. Tidak menyangka juga jika kesempatan itu disalah gunakan sampai terjadi sebuah kesalahan fatal.
“Di sana, aku gak pernah makan makanan sebanyak ini.”
Tiba-tiba Fikri berkomentar. Ia masih lahap menyantap meskipun sudah masuk piring kedua. Memandangnya seperti itu, aku jadi merasa senang. Setidaknya mengubur sejenak rasa sakit hati.
“Makan yang banyak. Besok, ibu akan masak sebanyak ini lagi.” Aku menanggapi.
“Nggak usah banyak-banyak. Nanti mubazir kalau gak habis.” Fikri membalas.
“Nggak ada yang mubazir di sini, Fikri. Tuh, tetangga kita pun banyak. Nanti setelah ini, biar diberikan sama mereka. hitung-hitungan sedekah." Aku menjawab.
“Nanti Fikri yang ngasihkan saja. Sudah lama nggak kumpul sama mereka,” ucap Fikri.
“Boleh. Tapi, nggak usah keluyuran. Ngobrol di sana saja.” Shanti mengingatkan.
“Iya, Bu. Bosan juga beberapa hari cuma d rumah saja,” jawab Fikri.
“Lanjutkan makannya dulu. Kamu masih punya waktu seminggu bermain-main sama mereka.”
Aku menyudahi makan siangku setelah menghabiskan satu piring penuh. Inilah rutinitas selama Fikri di rumah. Menikmati makan siang bersama mereka.
Sampai saat ini, Fikri tidak mengetahui jika bapak dan ibunya sedang bermasalah. Akan lebih baik begitu. Dia jadi tidak banyak pikiran.
*
Hari ini aku memutuskan libur satu hari. Sebab, dua hari sebelumnya sudah menerima pelanggan yang berpergian ke luar kota. Sehingga tidak ada waktu untuk bercengkrama dengan Fikri.
“Bang, cemilannya.”
Shanti mendekat membawa sepiring pisang goreng dan secangkir kopi. Aku segera bangkit dari posisi tidur. Bukan untuk menyambut Shanti, tapi merasa tidak nyaman saja.
Setelah peristiwa itu, aku berusaha menjaga jarak. Meskipun Shanti berusaha mati-matian untuk memperbaiki diri, tapi dalam hatiku masih jauh dari kata mengikhlaskan.
“Abang gak kerja hari ini?” tanyanya. Mungkin heran melihatku seharian hanya tiduran.
“Istirahat. Capek.”
“Mau aku pijit?”
“Enggak usah.”
Raut wajahnya terlihat kecewa. Aku hanya ingin membiasakan diri untuk tidak berharap padanya. Dan Shanti pun harus belajar juga untuk terbiasa.
Mungkin, saatnya nanti perpisahan itu harus terjadi. Entahlah.
Saat kami masih duduk dengan kecanggungan, tiba-tiba Fikri mendorong pintu dengan kasar. Dia terlihat marah dan langsung masuk ke kamarnya.
Apa sudah terjadi sesuatu dengannya?
Tapi Fikri adalah anak yang tidak suka menganggu temannya apalagi sampai berkelahi.
Ketidakberesan Fikri ditangkap oleh Shanti. Dia buru-buru mengikuti anaknya. Aku pun demikian.
“Kenapa? Ada masalah?” tanya Shanti sambil duduk di samping Fikri, di tepi ranjang.
Bocah itu terdiam dengan posisi tertunduk.
“Bilang sama ibu. Kamu berantem sama teman-temanmu?” tanya Shanti memancing.
Barulah Fikri menggeleng.
Aku memerhatikan mereka dengan menyandar pada sisi pintu.
“Lalu?” tanya ibunya.
Fikri masih tak bersuara. Sepertinya, memang ada masalah yang sedang dia hadapi.
“Kalau nggak ngomong, mana tau bapak dan ibu apa masalahmu,” ucap Shanti.
Tiba-tiba Fikri menegakkan kepala seperti akan menyampaikan sesuatu.
“Ngomonglah,” bujuk Shanti lagi.
“Bapak sama ibu mau pisah?”
Pertanyaan itu mendadak membuatku resah. Akhirnya, terkuak juga rahasia kami. Shanti menatapku, ragu.
“Tau dari mana?” tanya Shanti setelah lama berpandangan denganku.
“Jawab saja. Fikri ini sudah besar. Pantas saja Bapak dan Ibu jarang ngobrol. Nggak kayak dulu-dulu.”
“Kamu salah paham. Bapak kalau lagi capek kan memang pendiam.” Shanti memberi alasan.
“Bohong! Mereka saja bilang begitu.”
“Mereka siapa? Bilang apa?” tanyaku baru membuka suara.
“Mereka, ya tetangga-tetangga kita. Bapak sama Ibu sering berantem kata mereka.”
Aku dan Shanti bungkam, merasa tidak mampu lagi beralasan.
“Jadi benar, Bapak dan ibu mau pisah?” Fikri kembali menekan dengan pertanyaan.
“Pak! Ngomong, dong! Kenapa? Apa ibu sudah tak cantik lagi?”
Ngomong apa bocah ini? Kenapa mikirnya langsung ke sana?
“Nggak boleh bicara begitu. Bapak nggak seperti itu.” Shanti menjawab.
“Terus kenapa, Bu?” tanya Fikri ngotot.
Shanti kembali menatapku, kali ini netranya berembun.
Aku berjalan mendekati Fikri. Berdiri di depannya, lalu mengusap kepalanya dengan perasaan sayang.
“Jangan pikirkan apapun tentang bapak dan ibu. Tugasmu hanya belajar. Kamu gak akan kehilangan bapak, juga ibu. Sudah, istirahatlah. Jangan pikirkan apa-apa, termasuk omongan tetangga.”
Aku berbalik, lalu pergi. Belum saatnya Fikri tau. Sebab, kenyataan yang sesungguhnya justru lebih menyakitkan dari pada mendengar kabar perpisahan bapak dan ibunya.
Aku tau, dia harus belajar memahami kondisi kami. Tapi tidak untuk saat ini.
Setidaknya saat ini, dia tidak mendengar pertengkarannya kami. Itu sudah cukup.
*
Shanti menggenggam tangan putra semata wayangnya. Akhirnya, perpisahan itu harus terjadi juga.
“Baik-baik di sana, rajin belajar, jangan lupa doakan bapak sama ibu,” ucap Shanti mengingatkan, seperti yang sudah-sudah.
“Fikri doakan Bapak sama Ibu biar gak jadi pisahan.”
Jawabannya membuatku tercengang. Sesak rasanya dada ini.
Terlihat juga Shanti sedang menyeka air mata.
“Berjanjilah, bahwa kalian gak akan pisah,” tuntutnya.
Dia bukan lagi bocah lima tahun yang bisa dibohongi dengan kepura-puraan. Melihat gelagat kami saja, aku yakin Fikri sudah bisa membaca kondisi hubungan orang tuanya. Lalu, apa yang bisa kami sembunyikan, selain kejujuran dan kenyataan pahit?
“Fikri, bapak tau kamu sudah besar, sudah paham. Bapak gak bisa berjanji apa-apa. Bapak hanya bisa memastikan kalau kamu gak akan kehilangan bapak dan ibu.”
“Tapi Bapak gak akan menceraikan ibu kan? Bukankah sebuah keluarga itu kuncinya ada di kepala keluarga?”
Pertanyaannya membuatku tersenyum kecut.
"Masalahnya tak sesederhana itu, Fik." Sayangnya, aku hanya bisa membatin.
*
Fikri sudah menghilang dari pandangan. Sedangkan aku dan Shanti harus pulang.
"Bang."
Aku tak menoleh ketika mendengar panggilannya.
"Fikri sudah kembali. Apa niat Abang gak bisa diubah lagi?" tanyanya dengan suara sendu. Jujur, aku tak tega.
"Abang butuh menyendiri untuk saat ini. Kamu juga butuh introspeksi diri."
"Abang bercanda kan?"
"Abang antarkan pulang. Nanti biar abang yang ngomong ke bapak."
"Bang."
"Abang butuh waktu menyendiri. Butuh terbiasa sendiri juga. Akan lebih baik bagi kita seperti ini dulu. Sambil abang urus perpisahan kita nanti."
****
Next
Mobil melaju dengan kencang. Sepertinya perjalanan kali ini akan cepat sampai tujuan, karena tak ada basa-basi dan perbincangan. Aku dan Shanti sama-sama diam.Satu jam yang lalu, Shanti tersedu seperti menangisi sebuah kematian. Sejak awal memindahkan pakaiannya ke koper, kemudian meninggalkan rumah yang sudah dua tahun kami tempati, dia berhenti menangis.Aku bisa apa? Jika pada kenyataannya dialah penyebab kegagalan ini.Selain hanya diam, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Hatiku tidak hanya beku, tapi rasanya sudah mati.Perjalanan yang biasanya penuh tawa pun, berubah bagai mengendarai sebuah ambulans, sepi, sendu dan hanya berisi tangisan di sepanjang perjalanan.Maafkan bapak, Fikri, karena bapak tidak bisa menepati janji.*Shanti terus tertunduk di depan Bapak. Tak terdengar ucapannya, hanya suara tangis yang berusaha dia tahan terdengar perih. Ibu memeluk putrinya, sambil mengelus punggung yang terguncang itu.Kulihat Bapak berkali-kali menghela nafas panjang, lalu mengembus
Kutingglkan wanita yang dulu sangat dikagumi kecantikannya, sampai harus berdebat bahkan berkelahi untuk merebutkannya.Wanita yang kunikahi karena sebuah kesalahan karena masa lalu.Dulu, dialah wanita tercantik di kampung ini. Putri semata wayang seorang kepala desa, pak Anwar.Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, Shanti, si gadis remaja sering mencuri-curi pandang padaku.Aku dan enam orang lainnya sedang menjalankan tugas sebagai mahasiswa KKN yang ditempatkan di kampung ini. Selama dua bulan lamanya, kami berinteraksi dengan sangat dekat dengan keluarga Shanti. Apalagi kami tinggal di rumah itu.Aku dan Shanti sama-sama di mabuk cinta, sama-sama mengagumi dan sama-sama merasa saling memiliki. Berat rintangan yang harus kulalui untuk bisa menaklukkan hatinya, termasuk harus berebut dan berkelahi dengan dua orang teman lainnya.Akhirnya, aku menenangkan hati Shanti. Cinta yang memabukkan itu membuat kami lupa daratan, hingga kami melakukan hubungan yang dilarang. Namun
“Aku kan sudah punya pekerjaan? Apa kamu mau memecatku?” tanyaku, bingung.“Bo—doh! Pekerjaan lain maksudku. Siapa tau cocok. Kamu gak harus bekerja denganku kalau sudah mendapat pekerjaan yang lebih baik. Buruan!”“Tapi ....”“Halah! Kamu kan sudah gak punya istri. Buat apa menunggurumah yang kosong?”“O-oke. Tunggu sebentar.”Aku bergegas ke dalam. Menyiapkan syarat yang diminta olehRoni, kemudian pergi. Rumah kutingglkan dalam keadaan kosong. Jelas kosong,karena hanya aku satu-satunya penghuni.“Ayo!”Roni terlihat lebih bersemangat dibandingkan denganku.Semenjak aku dan Shanti bertengkar, dialah tempatku mengeluh.“Ke mana, sih?” tanyaku.“Ada kerjaan untuk tenaga ahli komputer di kantor punyatemanku. Kamu bisa melamar ke sana.”“Kenapa nggak ngomong? Lihat penampilanku?”Aku menunjuk tubuh sendiri. Kaos oblong, celana jeanssobek-sobek dan rambut yang acak-acakan.“Gampanglah. Kita ke salon dulu, sekalian mengganti bajugembelmu itu.”“Sialan lo!”“Eh, ngomong-ngomong, aku mau kas
“Dari mana kamu tau?” tanyaku. Sementara Rena malah tersenyum saja. “Roni?” Aku menebak.“Bukan. Aku sering melihat kalian antar jemput anak kalian, kamu dan istrimu. Dia masih cantik ya, walaupun anakmu sudah besar. Salut,”ucapnya.Dia sedang memuji, tapi bagiku terdengar seperti sebuah ejekan. Renatak tau permasalahan kami, itu masalahnya.“Mau, ya? Lagian istrimu pasti setuju.”“Oke,” jawabku cepat, karena tidak ingin Rena terus membahas Shanti.“Kapan aku bisa langsung kerja?”“Sesuka kamu saja kapan mulainya. Setelah kalian pindahan malah lebih baik.”“Oke. Lusa aku mulai kerja.”“Sip. Eh, tapi bukannya kamu harus bicarakan ini dengan istrimu?'“Buat apa? Kan kamu sudah memutuskannya tadi. Penting gitu?”“Kamu tersinggung?”“Enggak sama sekali. Tapi aku memang setuju kok.”“Oke, terima kasih. Sementara bawa saja mobilku. Biar nanti enak datangnya."“Eh, gak usah.”“Gak pa-pa. Aku masih ada mobil yang lain.”Kami mulai memasuki kawasan rumah yang maha luas ini. Memandangnya dengan
“Jadi ... kalian sudah pisah?”Aku menunduk, kali ini sambil menyedot jus jeruk hingga tandas.“Fikri tau?” Rena bertanya lagi.Aku menghela nafas panjang, lalu menggeleng.“Dia pasti bakal syok,” ucap Rena lagi. Dia menyudahi makannyadengan meletakkan sendok, meneguk jusnya lalu mengelap kedua ujung bibir menggunakantisu. Aku memperhatikannya hampir tanpa berkedip. Kebiasaannya saat ini masih samaseperti Rena yang dulu.“Fikri sudah remaja. Dia akan mengerti keadaan bapak danibunya. Walaupun dia akan memberontak. Dan mungkin menyalahkan aku,” ucapku.“Aku turut prihatin,” ucapnya lirih.Aku tidak berani menatapnya saat ini. Aku malu seandainya menyadaridia iba dengan keadaanku.“Biasa saja. Hidup kan memang berproses. Lagi digilir beradadi bawah, ya sabar aja,” balasku pura-pura kuat.“Rohan, Rohan, kamu gak berubah dari dulu. Sok tegar, padahalrapuh.”Sialan. Kenapa tebakan tidak pernah meleset, sih.“Kamu boleh pura-pura tegas, tapi tidak bisa jika di hadapanku.”“Ck, sudahlah, ga
Aku berjongkok di depan kolam renang sambil menikmatisegelas kopi dan menghabiskan sisa-sisa rokok. Sehabis makan siang tadi,aku berpindah tempat ke bagian samping rumah ini. Sekedar mengambil udara.Sejenak menyendiri, tiba-tiba teringat akan diri Shanti. Tak terasa sudah dua Minggu berpisah dengannya. Rasanyarindu juga.Beruntung sekarang punya kesibukan, sehingga hanya saat-saatsendiri begini baru teringat padanya.Di sini, di kediaman pak Baskoro ini aku diterima denganbaik. Dengan para pekerja lainnya juga mulai akrab. Rata-rata mereka malahsungkan padaku, padahal seprofesi, sama-sama sopir. Tukang kebun dan parapembantu juga pada segan.Kata mereka, aku sedikit berbeda dari mereka. “Mas Rohan kansopir merangkap asisten pribadinya non Rena. Ya jelas berbeda dengan kita,”kata pak Mun, si tukang kebun.“Rohan!”Sebuah teriakan mengagetkan aku. Suaranya berasal darilantai atas. Aku memutar kepala dan mendongak, Rena tampak melambai.“Naiklah! Aku butuh bantuanmu!”“Baik, Non.”Aku m
Lewat tengah malam pak Baskoro dan aku ke luar dari sebuah kafe miliknya. Beliau mengajakku bertemu dengan seorang bawahannya, pak Adam, lalu aku pun diberi kesempatan untuk mendengarkan. Mereka membicarakan masalah suatu bisnisyang sedang mereka rancang. Sedikit banyak, aku mulai paham.Hanya itu saja. Aku hanya mendengarkan, setelah itu tidakada yang di bebankan ke padaku. Termasuk laptop yang kubawa pun menganggur. Tak tau rencana pak Baskoro melibatkan aku dalam pertemuan itu. Padahal, bisa saja beliau menyuruhku menunggu di luar.“Kamu perhatikan sikap Adam tadi?” tiba-tiba beliau menanyakan hal yang membuatku bingung, saat dalam perjalanan pulang.Aku tak menjawab, hanya meliriknya melalui kaca.“Bingung?” tanyanya lagi.“Iya, Pak,” akuku.“Kamu bakal tau,” ucapnya.Apa maksudnya? Sama sekali tak tertebak..Suara alarm berdering nyaring membangunkan aku. Semalam,untuk pertama kali mendiami kamar yang sudah dipersiapkan oleh Rena.Jam enam pagi aku bersiap-siap untuk pulang, kar
POV Shanti Kenapa cobaanku sedemikian dahsyatnya. Belum juga membaik hubunganku dengan bang Rohan, dia malah sengaja menjauhiku. Bagaimana caranya untuk menebus dosa-dosaku, kalau dia saja seakan sengaja menjauhi. Bang Roni. Aku langsung teringat padanya. Dia pasti tau tempat tinggal bang Rohan yang baru, karena hanya dialah satu-satunya orang yang dekat dengan keluarga kami di kota ini. Aku bergegas berdiri, lalu menuju ke tempat yang lebih teduh untuk memesan ojek online. Saat aku melintas untuk menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah tangan meraihku. Tak tau dari mana sangkanya, seseorang ini datang kemudian menarikku ke pinggir jalan. “Lepaskan!” ucapku bernada teriakan. Dia tidak menghiraukan. Malah mendekatkan aku pada mobilnya. “Masuk!” perintahnya. “Enggak!” tolakku. “Kamu mau kita menjadi pusat perhatian!” Aku mengitari sekeliling dengan pandangan. Dan benar saja, tingkah kami dilihat oleh beberapa orang. Akhirnya aku masuk ke dalam mobilnya. Dia duduk di belakang stir.