Share

Senam Jantung di Siang Hari

"Saya punya pacar, Mbak." Tanpa diduga Sandra menjawab pertanyaanku.

"E-eh, udah ayo kita makan dulu." Mas Hendra menarik lenganku, menimbulkan rasa sakit.

"Aww!" teriakku menampilkan wajah sakit.

"E-eh maaf, Sayang!" Mas Hendra buru-buru meniup lenganku yang memerah. Aku menatap Sandra, kulirik tangannya mengepal.

Sepertinya ada yang terbakar api cemburu nih!

"Sayang kok kasar sih!" tanyaku berpura-pura kesal pada Mas Hendra. Aku melirik Sandra yang raut wajahnya berubah sangat kesal. Bodo amat lah, akan kubuar dia terbakar hingga ke akar-akar rambutnya. Sampai meledak sekali pun itu kepala, aku tak peduli.

"Nggak sengaja, Sayang," ujar Mas Hendra aku melihat ada raut khawatir di matanya. Entah benar-benar khawatir atau dia hanya berpura-pura saja. Karena jujur saja, setelah aku tahu kebusukan mereka, rasanya sangat susah membedakan mana serius dan juga dua rius ... eh maksudnya pura-pura saja.

"Kamu sengaja, ya," ucapku dengan sendu, sengaja menampilkan raut wajah seperti orang yang ingin menangis. Padahal di hati sudah sangat muak memainkan drama yang jelas-jelas menjengkelkan.

Namun, di sisi lain aku juga sedang ingin membalas sedikit demi sedikit perlakuan mereka padaku. Siapa suruh mereka berani bermain api denganku.

"Nggak, Sayang. Beneran deh. Jangan nangis dong," bujuk Mas Hendra, ia mengusap-usap pucuk kepalaku.

Aku melirik tangan Sandra yang beralih mencengkram sendok di tangannya. Tatapan matanya sangat tajam, setajam mata elang.

Makin tambah panas lah pelakor itu, batinku tertawa. Masih belum puas aku balas mengusap mesra telapak tangan Mas Hendra. Dan tentu saja Mas Hendra sedikit terkejut dengan perlakuanku.

"Sayang, geli ah, jangan gitu." Mas Hendra melepaskan genggaman tangannya padaku.

"Kok dilepas sih, Mas. Ya udah deh nggak papa, lagian kita mau makan juga." Aku lalu beralih mengambil makanan yang sudah tersedia di atas meja.

"Oh iya, Mas, aku ada satu permintaan sama kamu," ucapku pada Mas Hendra. Tiba-tiba terlintas sebuah rencana di pikiranku.

"Apa, Sayang?" tanya Mas Hendra lembut.

"Aku capek banget, Mas, nanti setelah makan gendong ke kamar ya, Sayang. Kita udah lama nggak kayak gitu," ucapku sambil tersenyum padanya.

Mas Hendra terdiam, tatapannya mengarah pada Sandra. Aku menunggu jawaban yang akan diberikan oleh Mas Hendra, antara mengiyakan atau menolak.

"Nggak ah, Sayang, malu loh dilihat sama Sandra," ucapnya pelan.

"Ngapain malu, kita mah udah halal. Malu itu kalo ngelakuinnya diam-diam apalagi sama suami orang, kan kamu suami aku. Benerkan, Sandra?" tanyaku padanya.

Sandra terlihat gelagapan. "I-iya, Mbak," jawabnya.

"Nah, tuh, dengerkan jawaban Sandra. Kamu kalo mau digendong buru-buru nikah, San. Jangan mau digantung mulu hubungan mah. Kalo digantung mulu tu cowo berarti nggak serius sama kamu," ucapku sengaja memojokkan Mas Hendra dan juga Sandra. Sedangkan Ibu hanya memperhatikan gerak-gerik kami bertiga.

"Benerkan, Bu yang Anna katakan. Sandra harus benar-benar memilih lelaki yang bisa menerima dia apa adanya. Tapi jangan sampai lelaki yang dia cintai udah punya pasangan apalagi istri. Jangan sampai ya, Sandra, sesama perempuan ga boleh gitu. Masa sebagai perempuan merebut kebahagiaan perempuan lainnya," ujarku lagi membuat wajah Ibu dan Sandra pias, tak terkecuali wajah Mas Hendra.

"Iya, Mbak. Mungkin sebentar lagi juga aku akan menikah," jawabnya ketus. Terdengar sekali dari caranya berbicara kalo ia sedang kesal padaku. Bukan kesal sih, lebih tepatnya ada amarah terpendam yang dia simpan rapat-rapat padaku.

"Kita sebagai cewek itu harus pintar, kalo cowok cuma modal mulut doang, ngomong gombal sana sini. Terus nggak ada kasih tindakan, nggak ada kasih pembuktian itu namanya bullshit, San. Coba kamu tanya sama cowokmu itu serius nggak, jangan sampai ujung-ujungnya malah ditinggalin, kasihan kan jamunya. Udah cinta, ngarep, eh malah nggak jadi," ujarku lagi panjang lebar. Sandra menatapku tajam seperti ingin meluapkan amarahnya yang menggebu.

"Iya, Mbak. Nggak sok nasehatin saya, saya lebih tahu dengan kehidupan saya. Mending Mbak urus saja rumah tangga, Mbak, lelaki seperti Mas Hendra itu orangnya sempurna. Sudah ganteng, baik, perhatian idaman para wanita. Mbak Anna harus extra banget ngejaga Mas Hendra biar nggak ke lain hati." Sandra membalas ucapanku tak kalah pedas. Kentara sekali bahwa dia marah denganku.

"Ya Sandra sih berdoa semoga rumah tangga kalian baik-baik saja sih, ya. Tapi kalo sampai nggak baik-baik saja, berarti ada yang salah dengan diri, Mbak. Siapa tau karena mbaknya bawel, atau--"

"Ya kalo seandainya Mas Hendra meninggalkan aku, aku nggak akan rugi satu pun. Cintaku sama Mas Hendra juga ga sebesar cintaku pada Tuhanku. Jadi, saat dia pergi meninggalkanku karena seseorang, bukan aku yang akan kehilangan dia. Namun dia yang akan kehilangan aku, rela melepas berlian demi seonggok sampah masyarakat." Aku tersenyum sinis menatap Sandra, selanjutnya menatap Mas Hendra dengan senyuman terbaik yang kupunya.

"Mas, kamu harus tahu. Jika suatu saat kamu bermain api denganku, pastikan lawan yang kuhadapi adalah orang yang derajatnya setara denganku. Jangan sampai kamu malah memilih seseorang di bawahku, karena kamu tau, Mas, aku tak akan bergerak untuk melawannya secara fisik, tapi dia sendiri yang akan merasakan insecure terus menerus dengan kerja keras dan keberhasilan yang akan aku pamerkan."

"Dan untuk kamu Sandra, jadilah wanita berkelas yang tak gampang mendapatkan barang bekas, apalagi hasil merampas. Bukan apa-apa, pelakor jaman sekarang banyak tak tahu diri, jika suatu saat kamu menikah. Pastikan dirimu berada di atas dan memiliki pekerjaan yang tetap, jadi saat ditinggalkan kamu tidak akan terlunta-lunta hidup di jalanan."

Aku sengaja berbicara begini, seolah-olah sedang menasehati Sandra. Padahal memang sengaja membuatnya terpojokkan dan membuat dia merasa rendah diri di hadapanku. Agar dia juga tahu, bahwa dia salah memilih lawan.

Sandra hanya diam tak menjawab ucapanku, suasana yang berubah hangat berubah menjadi panas karena ucapanku. Bahkan Mas Hendra pun terdiam tak berbicara. Seperti shock dengan kata-kata yang sudah kurangkai sedemikian rupa.

"Pacarmu masih lajang kan, San?" tanyaku setelah beberapa menit hanya keheningan yang terjadi di antara kamu. Ketika aku bertanya seperti itu mertuaku tersedak saat meminum air.

"Ibu kenapa?" tanyaku pada Ibu mertua. Aku bergegas memberikan tisu pada Ibu mertua.

Dia tertawa pelan, eh, lebih tepatnya terpaksa. "Kamu ini aneh-aneh aja loh, Ann. Ya lajang toh, masa iya Sandra milih pacar yang nggak lajang," kilah mertuaku. Aku tau sekali dari ekspresi wajah dan segala tingkah lakunya itu menandakan bahwa dia sedang berbohong. Bahkan mungkin saat ini jantungnya pun sedang tak baik-baik saja karena ucapanku yang panjang lebar tadi.

"Ya bagus kalo begitu, Bu. Ibu tau nggak kemaren Anna baru aja lihat berita di tv, katanya seorang gadis b*nuh d*ri karena dijanjikan pernikahan sama pacarnya. Parahnya si pacar udah punya istri, istrinya orang terpandang pula. Terus karir si gadis itu hancur, Bu, dia dipecat dari pekerjaannya. Bukan cuma ceweknya, cowoknya juga ikut hancur lho, Bu."

"Anna nggak kasihan, malah Anna makin seneng, Bu, siapa suruh mereka bermain api, makanya langsung dikasih hukuman sama Tuhan."

Aku menghela napas sebentar, setelah selesai mengarang cerita. Tujuanku ya hanya ingin bermain-main dan menakuti mereka.

"Bentar, Bu, Anna haus mau minum dulu," ucapku langsung bergegas berjalan mendekati meja makan dan menuangkan segelas air, lalu meminumnya hingga tandas.

"Terus gimana selanjutnya, Ann?" tanya Ibu mertuaku lagi. Dia terlihat sangat penasaran dengan cerita karangan milikku.

Wah, ternyata kepo juga ini mertuaku. Kayaknya suka gosip sama ibu-ibu komplek nih, batinku.

"Terus orang tua si gadis nggak nerima anaknya lagi. Habis itu, orang-orang di sekitarnya dia juga menghakimi dia. Sampai akhirnya dia putus asa, Bu. Tragis lah pokoknya," ucapku lagi.

"Wah, terus nasib cowok sama keluarganya gimana?" tanya mertuaku lagi.

"Si cowok juga parah, Bu. Semua aset yang diberikan keluarga istri buat dia ditarik kembali, parahnya mertuanya juga tau perselingkuhan itu. Si mertua kena stroke, habis tu si cowok jadi gelandangan. Terus ...."

Aku menatap wajah Mas Hendra dan Sandra yang terlihat pias. Sedangkan mertuaku masih serius menghayati cerita karangan yang kubuat.

"Terus apa, Ann?" tanya Ibu tak sabar.

"Terus selesai deh, Bu. Sebentar doang ditampilkannya," ucapku lagi.

"Eh, kok jadi malah bahas berita sih, ayok makan. Hendra udah lapar, Bu," ucap Mas Hendra, selanjutnya dia membersihkan mulutnya dan bergegas beranjak dari duduknya

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk membuat panas pelakor, aku berlari kecil menghampiri Mas Hendra dan langsung loncat ke belakang punggungnya.

"Gendong ya, Mas," ujarku langsung, sambil menoleh ke belakang tempat Sandra berdiri.

Sedangkan Sandra berjalan terlebih dahulu, aku melihat kakinya yang dihentak-hentakkan di lantai. Sepertinya Sandra juga baru saja selesai makan. Kelihatan sekali dia sedang kesal, apalagi tadi baru saja mendapatkan ceramah gratis yang menohok.

Dalam hati aku senang bisa membuat mereka skak mat, tambah panas tuh si pelakor. Namun di sisi lain, aku merasa kecewa, marah, dan sedih yang bercampur aduk menjadi satu.

Masih tak menyangka, tak menyangka dengan sandiwara mereka selama ini. Dan aku terhanyut ke dalam bualan serta sikap manis yang diberikan Ibu mertua dan suamiku.

Mas Hendra lalu menggendongku di punggungnya. Mungkin dengan terpaksa juga. Apalagi saat ini selingkuhannya ada di sini.

"Ikhlas-ikhlas dong, Mas, gendong istrimu ini," ucapku sambil menarik rambut Mas Hendra sedikit kasar.

"Aduh, sakit, Dek! Ini Mas sudah ikhlas gendong kamu tau," ujarnya dengan nada kesal menjawab.

"Maaf, Mas, kelepasan tadi narik rambutnya padahal niatnya cuma bercanda. Maaf ya sayang aku," ujarku padanya sambil mengusap rambutnya pelan.

"Iya nggak papa," jawabnya ketus. Sepertinya Mas Hendra masih terngiang-ngiang dengan kata-kataku waktu di meja makan tadi. Biarlah, biar dia tahu dengan siapa dia berhadapan sekarang.

Tiba-tiba ide jahil terlintas di benakku. Sambil berjalan menuju kamar, aku sengaja membisikkan sesuatu di telinga Mas Hendra. "Kau selingkuh, kuhancurkan karirmu," ucapku sambil tersenyum jahil di belakang punggung Mas Hendra. Mas Hendra berhenti berjalan.

"D-dek," ucap Mas Hendra terdengar parau. Detak jantungnya terasa lebih cepat berdetak. Dalam hati aku tertawa girang karena berhasil mengerjai Mas Hendra, padahal hanya bercanda.

"Kira-kira, bagus nggak, Mas, kalo Adek buat cerita dengan judul itu?" tanyaku lagi.

Mas Hendra lalu mengembuskan napasnya. Dan menarik napas lebih panjang. Seperti baru pertama kali merasakan nikmatnya oksigen. Padahal baru saja aku perlakukan begitu, dia sudah ketakutan setengah mati.

Nggak papa deh, ya, Mas Hendra harus senam jantung siang-siang. Biar sambil olahraga juga, jarang-jarang kan ada yang senam jantung, biasanya senam aerobik. Siapa suruh dia bermain-main denganku, jadi nikmati saja permainan dalam sandiwara yang dia lakukan.

-

-

-

Next?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
cara kau murahan njing,norak dan kampungan. sok2an wanita berkelas tapi sama sampahnya dg suami mu. g usah banyak drama menjijikkan pake mau main2 dulu sebelum menghancurkan mereka.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status